Teguh Faluvie Profile picture
Jun 15 209 tweets >60 min read Twitter logo Read on Twitter
GETIH WANGI Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

[Part 4]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Halo selamat malam teman-teman akhirnya kita kembali berjumpa di hari kamis malam, yang artinya kita akan kembali memasuki cerita lanjutan Getih Wangi, dimana misteri dan kekejian manusia itu pernah terjadi.
Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Sebelum kita mulai untuk download eBook teman-teman bisa klik langsung link dibawah yah, semua judul cerita tersedia lengkap dan lebih nyaman untuk membacanya dalam versi eBook, sambil memberikan dukungan. Terima kasih dukungannya.
karyakarsa.com/qwertyping
Part 4 – Persembahan Janji

Korban tumbal sudah dibawa ke suatu tempat dimana Ni Kanti berasal, satu persatu orang-orang yang mengetahui masa lalu itu dihabisi, persembahan janji akan segera tersaji.
...
Sejak puluhan tahun lalu rumah kokoh nan megah yang terbiasa diselimuti kesepian dan kensunyian, tak jarang hanya suara angin kencang saja yang terdengar membawa udara dingin mengigil, manakala berhembus dari arah bukit dan sebuah hutan yang di ujungnya terdapat sebuah air terjun
menjadi pembatas kampung Ujung Hejo dengan memiliki ciri khas hamparan kebun teh Carangka Puncak Wangi.
Seketika rumah yang biasanya hanya sepi bak hutan mati kini berubah menjadi ramai, suara tertawa riang gembira menyelimuti seluruh penjuru rumah,
sejak kedatangan Dewi dan Zihan yang tiba pagi tadi.
“Cepat juga yah bagunan depan itu di rombaknya, barusan aku lihat nenek kamu juga seperti nya pengen cepat selesai, bilang sama yang pakai topi koboi itu Nur Wangi...” ucap Zihan sambil menyantap makanan
yang sudah disiapkan Mak Ayu di dekat jendela, mengarah lurus pada hamparan indah kebun teh, setelah mengobati pergelangan tangan Nur Wangi yang memiliki luka semakin basah, bukan semakin kering atau sembuh.
“Iyah Han aku beruntung sekali Ni Kanti seperduli itu -
-dan utungnya juga kalian cepat datang, bersyukur juga bisa memberikan penjelasan pada Rudi seperti pagi tadi, dan untung nya Teh Dewi bisa membuat Rudi jadi tenang” jawab Nur Wangi terus dekat dengan Dewi bak kakak dan adik yang sudah tidak lama berjumpa.
“Bersyukur Nur Wangi kamu ini, hadiah untuk hidup kamu yang sebelumnya ini tuh” sahut Dewi sambil mengirimkan pesan di handphonenya kepada Gama.
“Mungkin nanti bisa ajak suami kamu juga Han kesini, Teh Dewi ajak juga Pak Gama” jawab Nur Wangi terseyum,
setelah satu hari penuh mereka bertiga tidak jarang mengingat persahabatan yang sudah terjalin lama, dan kini mereka sedang menikmati matahari yang akan segera tengelam.
Dari kejauhan senyum nenek tua yang memakai cardigan rajut yang mewah sedang berjalan mendekat,
sambil membawa dua selimut tebal menuju arah Nur Wangi, dibantu Mak Ayu membawa makanan lainnya juga, padangan mata Ni Kanti terus saja memastikan cahaya kuning keemasan itu dari bukit soca bereum, menunggu cahaya merah yang dijanjikan atas ikatan darah ritual pembuka,
yang sudah ia lakukan pada Nur Wangi sama seperti yang sudah ia lakukan juga kepada tiga anak perempuan dan menantunya itu.
“Kalau malam disini jauh lebih dingin... ini pakai selimut selama Dewi dan Zihan tinggal disini yah, kamar juga sudah dibersihkan -
- kalau ada keperluan apa-apa bilang saja sama Mang Yana atau Mak Sari” ucap Ni Kanti, membuat Dewi dan Zihan mengucapkan terimakasih dengan sambutan hangatnya Ni Kanti sejak kedatangan mereka.
“Sudah Mak masukan juga barang-barangnya tadi sama Mang Yana semuanya, -
- kamarnya sebelah sana yah...” sahut Mak Ayu, sambil menunjuk dua kamar yang sudah lama tidak dipakai.
“Bukanya kamar itu selalu di kunci sama Nini” bisik hati Nur Wangi, sudah melihat juga Rudi baru saja keluar dari kamar yang ia tempati dengan mengenakan sarung dan baju koko.
“Aku di belakang yah Nur Wangi, sebentar lagi magrib” ucap Rudi cukup kencang, tidak mau mengganggu istrinya itu yang sedang berbicara dengan Ni Kanti dan dua sahabatnya.
Namun langkah Rudi yang sedang memegang kopiah putih di tangan nya itu tiba-tiba berhenti, melihat dua kamar
yang sebelumnya di gembok rapat tiba-tiba sudah terbuka dengan lebar, melihat tas yang Zihan dan Dewi bawa sudah berada didalamnya.
Ni Kanti melihat jelas dari kejauhan tingkah Rudi yang sedang kebingungan, langsung menganggukan kepalanya ke arah Mak Sari memberikan pertanda
agar mendekat pada Rudi.
“Aku siap-siap dulu yah Nur Wangi sebentar lagi magrib mau sekalian mandi” ucap Dewi sambil berdiri dari duduknya, setelah melihat jelas tingkah aneh Ni Kanti seharian ini terlebih kepada Rudi, seperti mempunyai perhatian khusus.
“Aku juga deh biar sekalian...” sahut Zihan.
“Kalian kalau mau ibadah di belakang saja, sudah Mak Sari siapkan semuanya” ucap Ni Kanti sambil mengelus-elus rambut Nur Wangi.
“Tidak apa-apa Ni di kamar saja” jawab Zihan dibarengi anggukan kepala Dewi.
Ni Kanti hanya tersenyum tanpa menjawab ucapan Zihan, kemudian tanganya melanjutkan mengelus rambut Nur Wangi.
Dewi dan Zihan yang merasa salah tingkah dihadapan Ni Kanti, sudah berjalan bersama-sama menuju kamar yang akan ditempatinya selama dua malam kedepan.
“Sejak pagi Teh jujur, rumah dan pemandangan disini sama udaranya bagus dan segar, tapi tingkahnya Ni Kanti kayak yang aneh yah” ucap Zihan sudah tidak bisa menahan apa yang ia rasakan.
“Teteh juga merasa begitu Han, tapi syukur juga tadi pagi kita tepat waktu datangnya, -
- hingga membuat Rudi dan Nur Wangi rujuk, sudah jangan aneh-anehnya Zihan nya tujuan kita liburan saja sambil silaturahmi yah” jawab Dewi berusaha mengikuti saran suaminya yang terasa semakin cemas, apalagi Mang Ade sampai saat ini belum memberikan kabar
setelah Dewi merasa curiga pada perhatian Mang Amo sebelumnya, ketika melihat Mang Ade pertama kali.
“Kalau takut malam ini aku tidur sama Teh Dewi saja yah bolehkan” tanya Zihan semakin merasakan hal yang tidak biasa di rumah itu, kala matahari dengan sinar kuning keemasan
nan indah sudah berganti dengan gelap malam.
“Boleh Han” jawab Dewi kembali melihat layar handphonenya.
“Apapun yang terjadi di rumah Neneknya Nur Wangi berikan aku kabar Wi, usahakan handphone tetap berada di tangan kamu, kemanapun kamu pergi yah.”
Pesan itu dari Gama yang sudah Dewi baca, sambil mengerutkan dahinya pada perubahan Gama yang semakin cemas.
“Baik Gam, besok pagi aku mau jalan-jalan di kebun Teh, mau ke salah satu air terjun juga katanya bagus juga, doakan saja yah, aku bakalan baik-baik saja”
Balas Dewi dengan cepat, walaupun ia sempat menoleh ke arah Ni Kanti dan Nur Wangi yang terlihat semakin hangat sebelum masuk ke dalam kamar yang akan ditempatinya, tangan Ni Kanti sedang mengganti perban yang menutupi luka dipergelangan tangan Nur Wangi.
“Padahal sore tadi baru dibersihkan sama Zihan kenapa di ganti lagi” bisik hati Dewi.
“Silahkan Neng Dewi kamarnya sudah bersih! Sudah bisa tempati, sudah ada sajadah dan mukena didalam, kamar mandi juga sudah siap Neng...”
Membuat Dewi langsung berbalik badan, bahkan ia sebelumnya tidak menyadari Mak Sari sudah berada di dalam kamarnya.
“Ba–baik Mak terima kasih” ucap Dewi berusaha tenang.
Mak Sari hanya tersenyum kemudian berjalan ke arah kamar Zihan kemudian mengetuk pintunya perlahan,
sambil membawa mukena dan sajadah yang terlihat baru.
“Sampai sajadah dan mukena baru disiapkan Ni Kanti padahal aku bawa sendiri...” bisik hati Dewi perlahan merasakan sebuah keanehan yang terjadi di rumah ini, berbarengan dengan pertama kali
ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
“Seperti kamar yang sudah tidak pernah ditempati lama, aneh bau bunga dari mana ini...” ucap Dewi perlahan, matanya langsung tertuju pada satu lemari besar yang terbuat dari kayu jati tau, tercium juga bau bunga yang menyengat,
namun ketika ia berusaha membuka– lemari itu terkunci rapat, hanya gorden besar nan mewah saja yang tiba-tiba Dewi lihat bergerak walau tanpa ada angin yang menerpanya, bak ucapan selamat datang di kamar itu.
...
Salah satu ruangan paling belakang yang bersebelahan dengan dapur dan teras, sudah terlihat Rudi sedang duduk pada tahiyat akhir, seketika kepalanya bergerak mengucapkan salam dengan khitmat, setelah mengusapkan kedua tangan nyadi wajahnya.
“Mang mau shalat juga” tanya Rudi
sudah melihat bayangan tubuh Mang Yana berada dibelakangnya.
“Su–sudah tadi di rumah Rud” jawab Mang Yana, diantara jepitan tanganya terdapat rokok yang menyala.
Membuat Rudi dengan perlahan berdiri, dan menyadari bahwa ruangan ini baru saja dibersihkan,
bukan tempat yang biasa digunakan orang-orang di rumah Ni Kanti untuk melakukan ibadah.
“Sudah puluhan tahun baru ada lagi orang shalat di rumah ini Rud” ucap Mang Yana tiba-tiba.
Membuat Rudi tidak begitu kaget, apalagi ruangan yang barusan ia pakai menghadap kiblat itu
adalah ruangan yang baru disiapkan.
“Rudi juga masih belajar taat saja Mang sejak menikahi Nur Wangi...” jawab Rudi mengikuti langkah Mang Yana menuju teras, dimana dua gelas kopi sebelumnya sudah Mang Yana siapkan.
Rudi hanya terdiam ketika Mang Yana yang baru saja ia lihat membawa golok di samping pinggangnya itu tiba-tiba berdiri, tanganya bergerak perlahan ke arah senter bateraiberukuran besar dan seketika dinyalakannya.
“Ada apa Mang!” ucap Rudi
sambil ikut memperhatikan ke arah Mang Yana berdiri.
“Tidak biasanya masih ada orang di kebun teh! Harusnya tidak ada berani yang datang ke kebun, apalagi malam!” jawab Mang Yana, langsung menyorotkan ke arah lelaki dengan rambut gondrongnya terurai panjang.
“Lelaki itu bukannya berjalan ke arah kampung Mang, mungkin pekerja juga” jawab Rudi, semakin jelas melihat lelaki berambut gondrong itu berjalan dengan tenang masuk ke dalam kampung.
“Iyah mungkin pekerja baru juga di musim panen begini banyak orang baru” jawab Mang Yana kaget,
bahkan orang yang seharusnya menyadari sorotan jarak jauh cahaya kuning dari baterai besar itu malah mengabaikannya.
“Kamu kenal tidak Rud dengan orang yang siang tadi mengantarkan Dewi dan Zihan temanya Nur Wangi itu?” tanya Mang Yana tiba-tiba sambil duduk disebelah Rudi
mengabaikan rasa anehnya itu pada lelaki barusan.
“Hanya tahu namanya saja Mang Ade, memangnya kenapa Mang?” jawab Rudi sambil minum kopi yang sudah hampir dingin itu, bahkan ia sudah merasakan udara dingin datang lebih awal dengan angin yang cukup kencang,
seperti pertanda akan datang sebuah hujan deras malam ini.
Mang Yana hanya mengangguk kecil tanpa menjawab ucapan Rudi karena sudah mendengar langkah kaki lain terdengar mendekat, padahal ingin rasanya ia bercerita atas nasib buruk yang menimpa Mang Ade,
setelah satu sayatan golok tajam di tangan Mang Amo melukai pundaknya hingga berdarah cukup parah, atas alasan yang tidak Mang Yana ketahui.
“Amang berjaga saja, apalagi ada tamu teman-temannya Nur Wangi” jawab Mang Yana
“Rudi, Yana itu sana makan malam Ni Kanti menunggu, -
- Mang Amo juga sudah di meja makan” ucap Mak Sari tergesa-gesa.
“Sana Rud makan, Amang sudah kenyang!” ucap Mang Yana kemudian berdiri dan pergi begitu saja, tidak ingin dirinya berhadapan dengan Mang Amo setelah kejadian tadi siang di warung Mak Amih.
“Hati-hati saja!” lanjut Mang Amo sambil mematikan rokoknya dengan cara diinjak, kemudian menepuk pundak Rudi, dan berjalan ke arah hamparan kebun teh sambil membenarkan posisi golok yang berada disamping pinggangnya itu.
“Cepat Rud! Ajak juga Mang Yana!” teriak Mak Sari.
“Hati-hati apalagi Mang, aku tidak paham sudah banyak kejadian aneh di luar nalar, sampai penjelasan Ni Kanti perihal membakar baju Nur Wangi, termasuk menabur garam sebagai tanda ritual kedatangan Nur Wangi yang telah lama meninggalkan rumah ini” bisik hati Rudi sambil melamun,
melihat Mang Yana yang semakin hilang di makan gelap malam, hanya sesekali lampu baterainyamenyala, menuju ke arah gubuk yang sudah sejak kedatangan Rudi membuatnya curiga.
“Malah melamun, cepat Rud orang-orang menunggu kamu untuk makan malam, -
- biarkan saja Mang Yana itu semakin aneh” ucap Mak Sari sudah berdiri di belakangtubuh Rudi, membuyarkan lamunannya.
...

Di meja makan kehangatan dan kecerian sudah Rudi lihat dari kejauhan sambil dirinya merasa semakin aneh ketika melewati kamar Ni Kanti,
seperti ada tarikan kuat kepadanya hanya untuk sekedar melihat isi dalam kamar itu.
“Nah itu Rudi, cepat sini semua sudah menunggu” teriak Nur Wangi dengan gembira, setidaknya setelah Mang Amo yang pandai membuat suasana semakin hangat dengan cerita lucunya
pada kelakuan para pekerja kebun Teh, dan indahnya air terjun yang besok akan Nur Wangi, Dewi dan Zihan kunjungi.
Mak Sari melemparkan senyum bak seolah pertanda kepada Mang Amo dan Ni Kanti, kemudian Ni Kanti yang berada tepat disebelah Mang Amo itu
hanya menempuk lengan Mang Amo secara perlahan.
“Silahkan lanjutkan makan malamnya, Amang perlu mendatangi rumah para pekerja besok yang akan meneruskan merombak ruangan depan itu, supaya sebelum Zihan dan Dewi pulang, bisa kasih tahu amang perihal izin mendirikan praktekyah...”
ucap Mang Amo sambil memakai topi koboinya yang tergeletak diatas meja, kemudian berjalan ke arah depan memastikan ruangan depan yang tinggal setengahnya lagi itu selesai perombakannya dengan cepat.
“Alhamdulillah tuh Rud, nanti Nur Wangi bakalan semakin betah -
- semoga kamu juga banyak kegiatan biar betah juga” sahut Zihan, kemudian Dewi menepuk tangan Zihan merasa tidak enak dengan ucapan Zihan.
“Iyah Han...” jawab Rudi singkat, masih merasa bahwa kejadian semakin buruk akan terjadi lagi malam keduanya berada di rumah ini.
Ni Kanti hanya tersenyum bahagia menatap ke arah Dewi yang sedari pagi selalu menarik perhatiannya, tidak jarang ketika Dewi menyantap lahap hidangan makannya itu, terus saja hatinya Ni Kanti bersorak.
“Akan terjadi jauh lebih meriah...” bisik hati Ni Kanti penuh arti
atas apa yang selama ini ia nantikan.
“Sudah gerimis, bakal hujan deras juga malam ini... kalau nanti malam kedinginan minta lagi saja selimut tambahan pada Mak Sari yah” ucap Ni Kanti sambil menyantap makannya perlahan.
“Baik Ni terima kasih” jawab Dewi,
sudah merasakan sedari tadi Ni Kanti terus memperhatikannya.
Apa yang dirasakan Dewi tidaklah seorang diri, begitu juga Rudi yang merasa beberapa kali menangkap pandanganya itu ke arah mata Ni Kanti yang terus saja beberapa kali melihat ke arah Dewi dan Zihan,
membuat Rudi perlahan cemas akan keselamatan dua sahabat istrinya itu, terlebih sejak kemarin malam banyak hal yang terjadi di luar nalarnya sebagai manusia.
Sebelum adzan isya menginjak pada waktunya kalah cepat dengan angin kencang dan rintik hujan
yang sudah menerpa seluruh jendela rumah Ni Kanti, bersamaan selesainya makan malam nan hangat dan ramai yang baru saja terjadi lagi setelah puluhan tahun itu.
“Kalau sudah selesai kalian boleh istirahat biar besok jalan-jalannya segar yah, Nini duluan” ucap Ni Kanti
kemudian berdiri dibantu Mak Sari berjalan ke kamarnya.
Seketika membuat Zihan dan Dewi saling bertatapan mata, melihat semakin anehnya keadaan rumah berbarengan dengan tingkah Mak Sari dan Ni Kanti.
“Nini memang suka begitu Teh Dewi, dia senang dengan kedatangan Teteh dan Zihan-
- jadi maaf tadi ketika makan memperhatikan Teh Dewi sampai seperti itu” ucap Nur Wangi.
“Eh tidak apa-apa Nur Wangi itu hal biasa juga tidak usah minta maaf juga” jawab Dewi sambil tersenyum, padahal dirinya ikut heran juga ketika Nur Wangi baru saja tiba kemarin
namun seperti sudah mengenal Ni Kanti begitu lama.
“Yuk istirahat saja kasihan kalian pasti capek juga” sahut Rudi berusaha membuyarkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang.
“Iyah yuk, apalagi hujan begini pasti enak buat tidur” jawab Zihan sambil berdiri,
menarik tangan Dewi yang sedang melihat ke arah handphone, sedang membaca sebuah pesan dari Gama.
Begitu juga dengan Rudi yang baru saja menutup pintu kamarnya, ketika Nur Wangi langsung menjatuhkan tubuhnya itu diatas kasur.
“Soal pagi tadi aku minta maaf Nur Wangi” ucap Rudi.
“Iyah sudah tidak apa-apa Rud, aku tahu itu rasa cemas kamu saja, tapi tidak mungkin kita pergi dari rumah ini sesuai apa yang kamu mau, apalagi kembali ke rumah Bah Pepen dan Mak Ayu” jawab Nur Wangi sambil membenarkan pergelangan tangan nya yang masih terdapat perban,
bahkan ia kini menatapnya dengan heran.
“Perasaan tadi siang aku lihat sudah tidak berdarah lagi” ucap Rudi dengan cepat, memegang perlahan perban putih itu tiba-tiba penuh dengan merah darah.
Nur Wangi yang semakin penasaran pada lukanya itu dengan cepat membuka perbannya.
“Tadi bukannya diganti lagi sama Ni Kanti yah, padahal sore aku juga tahu itu dibersihkan Zihan” lanjut Rudi.
“Ja–jadi begini lihat Rud, menjijikan sekali” ucap Nur Wangi terbata-bata, namun ia sudah tidak ingat apa yang dilakukan Ni Kanti tadi sore pada lukanya itu.
“Sudah Nur mending kita pergi dari rumah ini, turuti apa kata suami kamu ini!” ucap Rudi dengan tegas, bulu pundaknya seketika berdiri ketika melihat luka itu semakin banyak mengeluarkan darah kental.
“Rud! Ini tidak ada kaitanya dengan rumah ini, paham! - -
Ini rumah tempat aku lahir dan ibu bapaku meninggal!” bentak Nur Wangi, untuk kedua kalinya selama menikah dengan Rudi berani membentaknya, setelah pertengkaran tadi pagi.

***
Suara guyuran hujan deras sudah terdengar di kamar Ni Kanti yang baru saja Mak Sari selesai menyelimuti tubuh perempuan tua itu, membenarkan bantalnya agar nyaman dengan jendela kamar yang sengaja tidak di tutup.
“Seharusnya Amo sedang menjalankan tugasnya Mak” ucap Ni Kanti,
menatap ke arah jendela yang sudah terlihat hujan mengguyurderas kampung ujung hejo.
“Seharusnya begitu Ni, tinggal nunggu saja Mang Amo kembali... mungkin lewat dapur atau depan rumah biar Mak saja yang menunggunya, nanti Mak berikan kabar ke kamar ini lagi” jawab Mak Sari.
“Secepatnya kamu berikan kabar, sepertinya tidak bisa kita satu-satu, harus berbarengan Mak dan tidak akan pernah ada yang bisa keluar dari rumah ini lagi” ucap Ni Kanti, membuat Mak Sari kembali lagi mendengar ucapan itu setelah ibu dan bapaknya Nur Wangi mati,
dan membuat dirinya terpenjara hidup bersama Ni Kanti.
“Ba–baik Ni, Mak hanya menuruti saja... baiknya seperti apa” jawab Mak Sari yang tidak bisa berbuat banyak, setelah mengetahui semua sisi kelam Ni Kanti, membuatnya hanya bisa pasrah dan tidak ingin mati di tangan Ni Kanti.
Derasnya hujan dan kencangnya angin yang hadir malam ini membuat gelap malam yang semakin pekat tiba lebih awal, tidak jarang beberapa sambaran kecil cahaya petir sudah terlihat, angin kencang menghembus dari hamparan kebun teh menuju rumah Ni Kanti dan gubuk tua–
yang berdiri dilapisi anyaman bilik, di belakangnya hanya terdapat satu pohon tua yang sangat besar.
Gubuk itu sudah terkena cipratan air hujan, dari balik lubang-lubang kecil anyaman bilik tua yang menjadi tembok terlihat seseorang sedang duduk diatas sebuah bangku,
dengan pakain yang sudah kotor bekas mengenai tanah.
Wajahnya lelaki itu sudah pucat dengan kedua tangan nya sudah terikat dibelakang, mulutnya disumpal oleh sebuah kain, hanya goloknya saja yang masih terikat di bagian pinggangnya, dan kacamata yang ia kenakan
sudah hampir jatuh dari wajahnya, lelaki itu bak baru saja kalah dari perkelahian.
“Duk!! Dukkk!!”
“Jo! Ajo buka!!!”
Lelaki yang sedari tadi hanya memegang golok dengan pakaian yang sudah kotor dan rambutnya berantakan itu langsung berdiri, setelah mematikan rokoknya.
“Kang Jujun! Mana Mang Amo!” ucap Ajo dengan panik.
“Arrrggghhh!!! Arrrggghh!!!
Suara dari lelaki yang terikat itu berusaha untuk berbicara dengan mulutnya yang masih tersumpal, dan terus berusaha melepaskan ikatan dikedua tangannya.
“Mang Amo di belakang sedang jalan kesini, -
- sudah buka saja pintunya tidak akan ada yang lihat, orang-orang di rumah Ni Kanti dan para tamu itu sudah tidur apalagi hujan begini” jawab Kang Jujun, sambil melipat payung yang barusan ia kenakan.
“Berisik Yana!!!” teriak Kang Jujun didepan wajah pucat Mang Yana.
“Brugggg!!!!”
Satu kali pukulan kencang mendarat tepat di perut Mang Yana, hingga membuat kacamata terjatuh, kepalanya langsung menunduk menahan rasa sakit.
“Jun! sudah!” ucap Mang Amo yang baru saja tiba, langsung memberikan payung di tangan nya itu
kepada Ajo, dan membenarkan topi koboinya.
Ajo dengan cepat menutup pintu gubuk itu setelah memastikan di luaran dalam kondisi sangat aman, apalagi hujan deras baru saja perlahan reda.
“Yan seharusnya kamu tidak membantu supir itu Yana! Seharusnya dia mati kecelakaan di jalan -
- dengan lukanya, atau kehabisan darah... setelah ini Si Ujang akan bernasib sama denganmu, Mak Amih sudah cerita semuanya...” ucap Mang Amo sambil membakar rokoknya dengan perlahan.
Kepala Mang Amo bergerak memberikan perintah kepada Ajo dan Jujun, agar melepaskan kain
yang berada di mulut Mang Yana.
“Mang! Dia dan dua tamu Nur Wangi tidak ada urusan apapun dengan Ni Kanti! Termasuk Mang Ujang dia baru saja pulang kampung Mang!” bentak Mang Yana dengan tubuhnya ikut bergetar memaksakan dirinya untuk melawan.
“Ujang! Rudi! Akan habis dia di tanganku juga! Tidak tahu berterimakasih! Seharusnya dia mencontoh Bah Pepen dan Mak Ayu yang tunduk pada Ni Kanti!” ucap Mang Amo.
“Ja–jangan mereka tidak bersalah Mang!” bentak Mang Yana semakin kencang.
“Jo!!!” bentak Mang Amo.
Dengan cepat Ajo mencekik leher Mang Yana dengan hanya menggunakan satu tangan nya yang kekar itu, hingga mata Mang Yana melotot sekuat tenaga dan nafasnya berada di ujung tanduk.
“Jangan ikut campur urusan Ni Kanti! Jangan jadi pahlawan! Kalau kamu tidak ingin mati -
- seperti bapakmu yang jagoan itu! Dihadapanmu sekarang Amo! Bisa melenyapkan nyawamu kapan saja! Sekali ikut campur! Akan aku bawa kepala kamu terpisah dengan tubuh kamu kehadapan Ni Kanti!” ucap Mang Amo didepan wajah Mang Yana yang semakin pucat, kaki dan tangan nya
sudah bergerak, tinggal beberapa detik lagi akan kehabisan nafas.
Tanpa mereka bertiga sadari dari celah lubang-lubang bilik itu ada seorang lelaki dengan rambut gondrongnya, tubuh kekarnya itu bak ditelan kegelapan tidak terlihat, hanya dua putih matanya saja yang semakin jelas
melihat tontonan di dalamgubuk, dan kedua telinganya sedang mendengarkan dengan jeli.
“Hah... hah... hah...”
Mang Yana langsung mengatur nafasnya ketika cekikan tangan Ajo baru saja terlepas atas perintah Mang Amo, dan Jujun langsung memukul bagian perut Mang Yana yang kedua kali
“Aaaaaaa!!!!!” teriak Mang Yana sangat kencang, langsung mulutnya itu ditutup kuat oleh tangan Jujun.
“Jangan kotori tangan Amang dengan urusan seperti ini” ucap Jujun kepada Mang Amo.
“Brugggggg!!!!”
Seketika membuat tubuh Mang Yana terjatuh kebelakang,
bersama kursi dan tanganya yang masih diikat.
“Jangan Jo! Sudah!” ucap Mang Amo.
“Hanya pertanda saja biar kapok Mang!” jawab Ajo mengambil golok di samping pinggang tubuh Mang Yana.
“Sreeettttt!!!!”
Kembali mulut Mang Yana ditutup oleh Ajo agar tidak berteriak,
bersamaan dengan darah yang memancar dari bagian betisnya.
“Sekali kau ikut campur Yana! Lebih dari ini! Dan kau tidak akan pernah bisa lari dari Ni Kanti!” bentak Mang Amo kemudian mematikan rokoknya itu didekat wajah Mang Yana yang matanya itu sudah tertutup,
akibat menahan sakit dari darah yang semakin banyak keluar di betisnya itu.
“Kunci saja! Buka dua atau tiga hari kedepan! Kita tunggu perintah Ni Kanti selanjutnya, nyawa dia sudah di ujung tanduk, tunggu saja hari kematian kamu tiba Yana!” lanjut Mang Amo
sambil menerima payung yang sudah Jujun buka.
Ajo dan Jujun dengan cepat mengunci gubuk itu setelah memasukan kembali kain ke dalam mulut Mang Yana agar tidak mengeluarkan suara, dan langsung mengikuti langkah Mang Amo berjalan melewati hamparan kebun teh dengan menggunakanpayung
menembus rintik hujan dan malam yang semakin larut.
“Krekeeetttt...”
Mata Mang Yana yang sudah mulai buram itu melihat jelas seseorang baru saja masuk ke dalam gubuk dan menjatuhkan gembok dengan perlahan.
“Si–siapa kamu!” ucap Mang Yana, memaksakan berbicara
menggunakan sisa tenaganya.
Seketika lelaki bermbut gondrong itu malah mengeluarkan pisaunya, tanpa menjawab ucapan Mang Yana.
“Sreeeetttt!!!”
Dengan cepat pisau yang berada di tangan lelaki gondrong itu menyobek kain celana bawah yang dekat dengan luka di betis Mang Yana,
melilitkannya dengan cepat agar menahan darah dari betis Mang Yana tidak semakin banyak keluar.
“Arrrrggghhh!!”
“Siapa kamu!” ucap Mang Yana semakin panik merasakan ikatan di kakinya itu seperti yang ia lakukan ketika menolong supir yang mengantarkan teman-teman Nur Wangi,
ikatan yang dilakukan oleh orang yang terlatih pada sebuah luka.
“Jangan bicara lagi, simpan sisa tenaga amang agar bisa sampai rumah, diluar hujan sudah mulai reda, udara dingin dan air sisa hujan tidak akan mengenai luka ini” ucap lelaki gondrong dengan cepat
melepaskan ikatan pada tangan Mang Yana, dan memasukan golok Mang Yana yang sudah penuh dengan darah ke sangkarnya.
“Tidak akan bisa jalan, lukanya dalam!” lanjut lelaki gondrong, seperti sudah mengetahui Mang Yana akan kembali terpejam matanya akibat menahan rasa sakit
dan tidak akan kuat untuk berdiri sekalipun.
Dengan cepat lelaki gondrong itu merapikan posisi kursi pada tempat semula dan memangku tubuh Mang Yana sekuat tenaganya, setelah mengambil kacamata yang biasa dipakai Mang Yana, kemudian memasangkan gembok
yang bagi lelaki gondrong itu sangatlah mudah dibukanya.
“Jangan terlalu banyak bergerak, saya akan bawa ke rumah Amang... air hujan tidak akan mengenai luka itu, tahan dulu saja rasa perih di lukanya...” ucap lelaki gondrong sambil memangku tubuh Mang Yana.
Mang Yana yang matanya sudah terlelap masih mendengar jelas ucapan lelaki gondrong, dengan perasaan hatinya semakin cemas dan takut pada lelaki yang sedang memangku tubuhnya itu, karena bisa sampai tahu dimana rumahnya berada.
...
Di kamar yang Rudi baru saja terbangun setelah menyadari suara derasnya hujan baru saja reda, udara dingin yang menggigil membuat dirinya langsung ke kamar mandi untuk buang air kecil.
“Mau kemana Rud...” ucap Nur Wangi sambil bergeser dari posisi tidurnya.
“Dapur saja, haus mau sekalian ambil minum” jawab Rudi kemudian dengan cepat berjalan keluar dari kamarnya.
Tidak ada orang yang terbangun malam ini kecuali Rudi, setelah memastikan kamar yang Dewi dan Zihan tempati terkunci rapat, walaupun ia kembali mencium bau bunga
yang sama ketika melewati kamar Ni Kanti.
“Sudah dua malam bau bunga seperti ini tercium...” bisik hati Rudi sambil menuangkan air ke dalam gelas, namun ketika ia melihat rintik hujan di luar malah ia melihat hal yang aneh.
“Siapa itu jam segini seperti memangku tubuh manusia”
ucap Rudi sambil mendekat ke arah jendela.
Rudi melihat dari kejauhan lelaki berambut gondrong itu memangku tubuh manusia yang tidak bisa ia pastikan, namun berjalan perlahan baru saja keluar dari hamparan kebun teh menuju kampung.
“Tidak mungkin itu lelaki gondrong yang sama! -
- Siapa yang dia bawa” bisik hati Rudi mengingat kejadian tadi magrib bersama Mang Yana.
“Kirain siapa, lihat apa Rud sampai sebegitunya...”
“Eh Nini, tidak Ni habis minum saja...” ucap Rudi tiba-tiba Ni Kanti sudah berada dibelakang tubuhnya,
berbarengan dengan lelaki gondrong itu sudah memasuki jalan menuju kampung.
“Sudah sana tidur lagi, biar besok kamu antar Nur Wangi, Dewi dan Zihan bareng Mang Amo ke curug (air terjun) sana... Nini susah tidur lagi nunggu dulu Mak Sari keluar...” ucap Ni Kanti
sambil duduk di kursi meja makan.
Rudi hanya menganggukan kepalanya saja, kemudian pergi dengan cepat setelah tidak sengaja melihat kejadian barusan.
Belum lama Rudi pergi dari dapur, terdengar langkah tergesa-gesa dari balik pintu itu, berbarengan dengan senyum manis Ni Kanti
manakala melihat ke arah gubuk, ia cukup tenang dan senang semua rencananya berjalan dengan lancar sampai malam ini.
“Ni maaf...” ucap Mak Sari sambil melipat payungnya.
“Tidak apa-apa Mak, apa kata Amo apa sudah selesai...” jawab Ni Kanti.
“Yana sudah diingatkan, -
- tubuhnya masih terikat di dalam gubuk, sengaja disimpan dulu di sana besok malam mungkin...” ucap Mak Sari menjelaskan
“Besok malam perintah Amo suruh membuang saja ke curug (air terjun) jangan meninggalkan jejak apapun, setelah itu kita tutup pintu rumah rapat-rapat Mak! -
- Jangan ada satupun yang bisa keluar, termasuk dua teman Nur Wangi... seharusnya Yana belajar dari kematian bapak kandungnya Ki Surya di rumah ini, dasar anak tidak tau balas budi!” ucap Ni Kanti sambil berjalan dibantu Mak Sari menuju kamarnya,
tidak akan lama lagi ia segera menepati janjinya.

***

Lampu petromak yang menempel di dinding rumah nan sederhana baru saja lelaki gondrong itu nyalakan mengenakan korek api di tangannya, tubuh Mang Yana sudah terbaring dengan lukanya yang baru saja dibersihkan,
mata lelaki gondrong itu mengawasi segala penjuru rumah yang terletak tidak jauh dari perbatasan kampung dengan kebun teh.
“Arrrghhhh!!!”
Hanya erangan suara kesakitan yang keluar dari mulut Mang Yana, apalagi setelah dipaksakan mulutnya untuk terbuka dan diminumkan cairan ramuan
dari dedaunan, agar kondisinya cepat pulih.
“Jangan banyak mengeluarkan suara Mang, ketika sakit atur saja nafasnya, agar besok bisa berjalan, setidaknya bisa lari terlebih dahulu dari kejaran lelaki bernama Amo itu, itu juga jika ingin Amang masih hidup”
“Kamu siapa sebenarnya -
-baru pertama kali saya melihat, saya berhutang nyawa kepadamu...” ucap Mang Yana memaksakan mulutnya terbuka, bersamaan dengan padangan matanya masih buram, kemudian menerima kacamatanya yang diberikan lelaki gondrong.
“Balas saja hutang Amang dengan nanti aku ajukan -
- beberapa pertanyaan! Cukup jawab dengan jujur atau aku sendiri yang akan menghabisi Amang dalam kondisi seperti itu” jawab lelaki berambut gondrong dengan dinginnya.
Membuat Mang Yana seketika terdiam, apalagi ia baru menyadari sebuah pisau menempel dibalik pinggang lelaki
yang kini terlihat sedang memperhatikan sesuatu dari arah luar, melalui jendela yang sedari tadi terbuka.
Seketika kulit dahi lelaki gondrong itu yang sudah penuh dengan keringat mengkerut, langsung mematikan rokoknya dengan cepat, manakala melihat lelaki seumuran Mang Yana
dengan mengenakan kopiah hitam di kepalanya itu berjalan tergesa-gesa, menerobos rintik hujan yang tidak akan lama lagi reda.
“Ada orang berkopiah hitam seumuran Amang berjalan mendekat ke rumah ini, apa orang itu juga yang membantu supir di warung itu mang? Jawab!”
Mang Yana hanya menganggukan kepalanya saja, tanpa berani membuka mulut manakala baru bisa melihat jelas wajah lelaki berambut gondrong, bak hewan buas yang akan segera menerkam dirinya hidup-hidup.
“Jangan bilang apapun kejadian di gubuk! Terlebih menceritakan aku!”
“Ba–baik...”
Lampu patromak dengan cepat lelaki gondrong itu tiup agar segera mati, lalu berjalan ke arah salah satu kamar tanpa di lihat oleh Mang Yana.
“Yan! Yana... Yan! Yan!”
“Ma–masuk saya di dalam Mang Ujang, kunci lagi pintunya”
Mang Yana berusaha terus mengumpulkan tenaganya,
agar bisa menggerakantubuhnya itu untuk bangun, walaupun sudah berkali-kali gagal.
“Nyalakan saja lampunya Mang Ujang”
Seketika lampu petromak yang sebelumnya mati kembali menyala.
“Inalilahi apa yang terjadi Yana!” ucap Mang Ujang sambil berjongkok melihat keadaan luka sobekan
di bagian betis Mang Yana yang sudah bersih.
“Jujun dan Ajo yang di perintah Amo, mending Mang Ujang sudahi ikut campur urusan getih wangi ini Mang, dari pada istri dan anak-anak Amang di kampung sana mendapatkan malapetaka” ucap Mang Yana.
“Saya yang membawa mobil ketika Nur Wangi usianya empat bulan, keluar dari rumah itu dibawa Pepen dan Ayu, tidak bisa saya tinggal diam, Nur Wangi dan Rudi suaminya itu tidak bersalah apalagi dua temannya itu pasti dalam bahaya Yan! setelah kejadian supir itu di habisi Amo-
- di warung Mak Amih!” ucap Mang Ujang semakin panik.
“Jangankan Mang Ujang saya saja anak kandung dari Ki Surya di perlakukan begini, padahal janji Ni Kanti hanya akan menumbalkan keturunannya, Amang pernah dengar jugakan Ki Surya mengatakan hal ini pada Amang... -
- Nur Wangi bukan darah dagingnya itu hanya cucu yang tersisa, tapi keluar dari rahim anak perempuan terkahirnya Dina...” ucap Mang Yana, memaksakan mulutnya itu terbuka dan hatinya tetap merasakan ketakutan mencari keberadaan lelaki gondrong yang sudah menolongnya.
“Apa yang harus aku lakukan Yan, pertumpahan darah dan nyawa akan terjadi sejak Nur Wangi dan Rudi pergi dari rumah Bah Pepen dan Mak Ayu” jawab Mang Ujang semakin cemas.
“Jaga Nur Wangi, Rudi dan dua temannya itu malam ini saja Mang, besok mereka akan pergi ke curug bentang, -
- pastikan mereka semua masih hidup, dan hati-hati Amo pasti mencari Amang Ujang juga...” ucap Mang Yana perlahan, sudah tidak kuat lagi mulutnya itu terbuka sudah terlampau lemas.
“Ba–baik Yan, ini cara balas budi pada kematian Ki Surya yang sudah mendidik aku! -
- Kanti memang tidak akan berjumpa dengan puas dalam dirinya itu sudah iblis!” tegas Mang Ujang sambil membenarkan kopiahnya.
Lelaki gondrong yang sedari mendengarkan pembicaraan dengan Mang Yana dengan Mang Ujang hanya menganggukan kepalanya saja, apalagi ketika Mang Yana
dan Mang Ujang menyebutkan salah satu mana “Ki Surya”, nama yang dititipkannya sebelum ia tiba di kampung ujung hejo ini.
Dengan perlahan tanpa mengeluarkan suara lelaki gondrong itu melangkah kedepan rumah Mang Yana, kembali memperhatikan sekitar tidak ingin orang-orang
suruhan Mang Amo menemukan Mang Yana didalam rumahnya, apalagi hujan malam ini sudah reda.
“Seharusnya semua sudah jelas, akan aku habisi satu persatu apalagi jika Dewi menjadi taruhannya, akan aku bakar rumah itu! Penasaran sesakti apa memangnya Ni Kanti!”
bisik hati lelaki gondrong, sambil berjalan perlahan ke arah rumah Ni Kanti untuk memastikannya, dan akan kembali menjaga Mang Yana, sebelum mengirim laporannya.

***
Kediaman Umi Esih (Ibu Digjaya Adiguna Gama)
Jarum jam yang sedari tadi Gama lihat terus berputar, membawa pertanda malam semakin larut tinggal hitungan jari hari akan segera berganti, hanya handphone yang sudah beberapa kali ia lihat– tanpa adanya lagi pesan masuk
dari istrinya Halimun Dewi.
“Gam sudah istirahat besok kamu harus buka toko, biarkan Mang Idim berikhtiar dulu dalam duduk bersilanya, semoga semuanya salah” ucap Ki Duduy duduk disebelah Gama.
“Terakhir Dewi kirim pesan hanya ini Kek, tidak ada lagi kabar” jawab Gama
memberikan handphonenya.
“Besok aku mau pergi ke air terjun Gam, pagi sekali pasti aku kabari, ada yang aneh sih di rumah ini apalagi ketika malam, tapi mungkin perasaan aku saja sayangnya Zihan juga merasakannya, tenang aku baik-baik saja...”
Pesan dari Dewi sudah Ki Duduy baca,
membuat kepalanya saja mengangguk kemudian menyimpan handphone Gama diatas meja.
“Budi... apa sudah memberikan kabar?”
“Sore tadi dia sudah sampai, besok akan menyamar sebagai pekerja kebun teh, mengawasi rumah yang Dewi tempati bersama Zihan dan Nur Wangi -
- serta Rudi dari dekat Kek, hanya itu saja kabar terakhir dari Budi” jawab Gama menjelaskan perlahan.
Ki Duduy menarik nafasnya cukup dalam kemudian mengeluarkannya dengan perlahan, sambil kepalanya menengok ke arah salah satu kamar di rumah Umi Esih
yang dipakainya itu untuk bersila Mang Idim diatas sajadah.
Layar handphone Gama tiba-tiba menyala berbarengan dengan nada dering yang sengaja dinyalakan cukup kencang itu berbunyi.
“Budi ini Kek akhirnya telepon” ucap Gama dengan wajah cemasnya.
“Angkat Gam, Mang Idim juga itu baru selesai...” jawab Ki Duduy.
Gama langsung mendekatkan handphone ke arah terlinganya, dan Mang Idim sudah duduk disebelah Ki Duduy, walaupun malam dengan angin nya terasa dingin, lain dengan wajah Mang Idim yang banjir keringat.
“Assalamualaikum Bud”
“Waalaikumsalam Gam, aku tidak bisa bicara lama... banyak hal penting dan malam ini Dewi dalam bahaya di rumah Ni Kanti, aku juga sudah menemukan Ki Surya yang diperintahkan Ki Duduy dan Bah Idim” jawab Budi dengan perlahan.
Ki Duduy dan Mang Idim yang ikut mendengarkan ucapan Budi hanya menganggukan kepalanya.
“Kamu harus segera datang kesini Gam keadaan semakin bahaya, Ki Surya sudah meninggal ditangan Ni kanti, ini aku sedang berada di rumah anaknya Mang Yana, -
- yang sudah aku tolong dari orang-orang suruhan Ni Kanti yang menghabisi Mang Ade”
“Inalillahi wainalillahirojiun...” ucap Gama, membuat Ki Duduy hanya menggelengkan kepalanya dan Mang Idim menganggukan kepalanya.
“Jaga Dewi sampai aku datang! Dimana kita berjumpa Bud?”
“Warung terakhir sebelum sampai ke rumah Ni Kanti tempat Mang Ade dihabisi, tapi hati-hati jangan sampai kamu ketahuan suaminya Dewi, Dewi tidak akan mudah kita selamatkan apalagi besok akan sampai ke air terjun dimana Ni Kanti berasal, rumahnya sudah dipagari
sosok-sosok penjaga Ni Kanti dari malam sekarang!”
Gama hanya terdiam, berbarengan dengan gelang gengge yang berada di dalam saku celananya itu berubah menjadi panas.
“Ada orang yang datang ini Gam, aku harus waspada anak Ki Surya jadi saksi kekejaman Ni Kanti -
- dan sudah berada di tanganku, mungkin dari dia bisa kita cari tahu lebih...”
Ki Duduy tiba-tiba meminta kepada Gama untuk bicara kepada Budi.
“Bud ini Kakek, jaga Dewi dan orang-orang yang tidak bersalah termasuk Zihan, Nur Wangi dan Rudi, mati dan -
- hidup seseorang bukan ditangan perempuan tua itu...”
“Ba-baik Kek, Budi paham... tapi...”
“Tanpa aturan Bud, jaga mereka!” tegas Ki Duduy, kemudian mematikan handphonenya setelah mendengar langkah kaki Budi bergerak.
“Ternyata benar Kek maaf, Ni Kanti adalah orang yang sama -
- dengan Ni Surti, suami dan tiga anaknya mati dijadikan alat perjanjian dengan penunggu dari curug bentang...” ucap Mang Idim.
“Dan Dewi besok akan kesana mungkin Mang, aku harus segera pergi malam ini juga” jawab Gama semakin cemas.
“Jangan sekarang! Semua harus -
- dipersiapkan Gama, setelah subuh dan matahari terbit pergilah kesana, Budi yakin bisa menjaga Dewi sementara sampai kamu tiba...” ucap Ki Duduy kemudian berdiri perlahan dari duduknya.
“Semoga itu tempat yang sama, tempat yang pernah Ki Langsamana kunjungi, -
- dan meninggalnya Ki Surya ditangan Ni Kanti pasti bukan tanpa sebab, jangan berikan kabar genting ini pada Dewi bisa semakin bahaya keadaanya Gam” lanjut Ki Duduy.
“Kali ini bukan hanya menyelamatkan Dewi istri kamu Gam, tapi Zihan, Nur Wangi dan Rudi dalam bahaya, -
-jika anak dan suaminya saja dengan keji mati di rumah itu, tidak menutup kemungkinan sesuatu lebih buruk terjadi... Mang Ade datang sebagai pertanda sebenarnya, Amang akan awasi dahulu dari rumah bersama Ki Duduy, jika kondisi dan keadaannya genting Amang akan datang kesana... -
- besok Amang pastikan dulu keadaan Mang Ade dengan lukanya itu...” ucap Mang Idim, sambil menepuk pundak Gama.
“Bud ini perintah, habisi siapapun yang kiranya berbahaya, pastikan semuanya selamat!” Pesan itu Gama ketik dengan tangan nya bergetar, kemudian mengirimnya kepada Budi
Tubuh Gama sudah berbaring memandang ke arah jam yang tinggal beberapa jam akan memasuki waktu subuh, hatinya terus mengucapkan dzikir amalan sambil memejamkan matanya, dan baru saja ia sadari meong hideung sudah berada didekat kakinya,
sambil mengelus-eluskan kepalanya pada kaki Gama.
Padangan hamparan luasnya kebun teh dan angin kencang yang menerpa dedaunan hijau itu sudah tergambar dengan mata Gama yang semakin terpejam.
“Tapak tilas memang bener-bener aya Gama, teu soal kahadean hungkul, kaburukan oge aya,-
- jadikeun ieu ibadah... maranehna geus ngadagoan, puluhan tahun geus lila teuing tempat eta kudu binasa...”
(Jejak langkah itu benar-benar ada Gama, tidak perihal kebaikan saja, keburukan juga ada, jadikan ini ibadah... mereka sudah menunggu, -
- puluhan tahun waktu yang terlalu lama itu tempat harus binasa) suara dari Ki Langsamana sudah Gama dengar perlahan.
“Buyut getih wangi itu apa sebenarnya” ucap Gama perlahan, sambil menyaksikan semakin jelas hamparan kebun teh dan kini terlihat tiga perempuan
sedang berlari kencang menembus hamparan kebun yang tingginya hampir diatas pinggang mereka.
“Getih... nyawa... kekejamannu sengit jang maranehna...”
(Darah... nyawa... kekejaman yang harum bagi mereka...”
Gama kembali menganggukan kepalanya, dari penglihatannya
pada tiga perempuan yang sedang berlari panik itu, Gama mengenali salah satunya adalah Dewi, Zihan dan Nur Wangi tiba-tiba terjatuh, sambil berteriak kencang.
“Siapa itu!” teriak Gama.
Sosok perempuan lain dengan mengenakan baju putih kotor dengan rambut
yang menutupi seluruh wajahnya terus berjalan mendekat, bahkan semakin jelas merah darah terlihat dari bagian pinggang ke bawah pada baju yang dikenakan perempuan yang kini jalanya semakin cepat, dan berlari ke arah mereka bertiga sambil membawa dua pisau
yang sudah berlumuran darah.
Begitu juga darah sudah keluar banyak di pergelangan perempuan itu sama dengan luka di tangan Nur Wangi– dengan luka sayatan yang cukup panjang, bekas luka lainnya memenuhi bagian kaki perempuan itu, yang tiba-tiba menarik rambut Zihan dengan kasarnya
hingga kepala Zihan ikut tertarik kencang, membuat lehernya terlihat semakin jelas.
“Jangan!!!” teriak Gama sangat kencang.
“Sreeeetttttt!!!!”
Teriakan Gama tidak diperdulikannya, kalah cepat dengan satu pisau itu mendarat di leher Zihan, hingga membuat darah
memancar tepat pada wajah Dewi dan Nur Wangi yang tidak bergerak sama sekali, bak tubuhnya terkunci.
“Gi–giliran kalian, kalian tidak akan lepas!”
Membuat Dewi dan Nur Wangi yang sudah berpegangan tangan erat itu, semakin ketakutan manakala melihat wajah pucat sosok perempuan
di depan wajahnya, hingga mereka hanya bisa terdiam melihat ke arah dua pisau tajam yang sudah berlumuran darah.
“Dewi!!!!” teriak Gama dengan sangat kencang.
Perempuan itu malah melemparkan satu pisaunya ke arah Nur Wangi, dan Nur Wangi langsung tersenyum menakutkan pada Dewi,
membuat Dewi hanya menggelengkan kepalanya, apalagi tiba-tiba Rudi yang sudah berlumuran darah diseluruh tubuhnya berada di belakang tubuh perempuan bersama Ni Kanti yang tertawa kencang.
“Nu–Nur Wangi jangan Nur, jangannnnn!!!” teriak Dewi.
“Wi!!!!” teriak Gama semakin kencang,
menyaksikan didepan matanya itu pisau ditangan Nur Wangi berpindah dan menancap di leher Dewi, membuat mata Dewi melotot sekuat tenaga.
“Gama! Gam! Gam!”
“Kek! Dewi Kek, Zihan...”
“Mi–minum ini cepat! Sebentar lagi subuh, pergi ke kampung ujung hejo, temui Budi!” ucap Ki Duduy
sambil berusaha membuat Gama bangun.
Satu gelas air minum Gama langsung habiskan, bersamaan dengan meong hideung yang sudah berada di dalam pangkuannya, teriakan Gama barusan sontak membuat orang-orang didalam rumah terbangun, dan merasa cemas pada keadaan Gama
yang sudah banjir keringat.
“Pergi, bawa gelang gengge, sudah Kakek pastikan tempat itu pernah Ki Langsamana datangi juga Gam” bisik Ki Duduy, membuat Gama langsung ingat pada ucapan buyutnya yang hadir dalam mimpi, terutama ketika mengingat bagaimana kondisi Zihan dan Dewi.

***
Kediaman Ni Kanti, Kampung Ujung Hejo.

Sebelum embun-embun menetes dari dedaunan pohon teh dengan hembusan angin yang membawa udara dingin yang mengigil, Mak Sari sudah berada didepan katel berukuran cukup besar yang didalamnya sudah terdapat sayur ayam.
“Sudah dimasukan Mak...” tanya Ni Kanti.
“Barusan sudah Ni, satu ayam yang Nini minta juga sudah tercampur” jawab Mak Sari sambil membalikan kain hitam yang sebelumnya terisi Garam.
“Bagus, mereka akan makan dan datang ke curug itu... maka akan tiba malam ini juga, -
- pesta akan di mulai, sudah Amo siapkan semuanya juga Mak?” ucap Ni Kanti sambil tersenyum sudah melihat cahaya senter mendekat ke arah dapur.
“Karung-karung besar sudah Mang Amo siapakan akan dihantarkan pagi ini katanya Ni” ucap Mak Sari, hatinya semakin berkecamuk
bahwa peristiwa itu akan segera terjadi.
“Masuk Amo!” teriak Ni Kanti, sudah tahu Mang Amo semakin mendekat.
“Ini Ni karung-karung nya, apa ini tidak terlalu cepat Ni dan mencurigakan...” tanya Mang Amo sambil membakar rokoknya, setelah menembus udara dingin sebelum pagi.
“Bukan urusanmu, pastikan Yana malam ini kamu buang ke curug dan mereka para pekerja kebun tidak ada yang bicara dengan Rudi, Nur Wangi, Dewi dan Zihan! Paham! Bawa mereka sampai di curug sana! Dan makan sop itu disana! Buang tulang-tulangnya ke sungai!” tegas Ni kanti
“Ba–baik Ni malam ini juga Yana mati, dia pasti ada didalam gubuk sana! Tidak mungkin ada pekerja yang mengetahui, mereka tidak akan berani mendekat, mulut Yana sudah tersumpal...” jawab Mang Amo kemudian mengambil kopi yang disiapkan Mak Sari.
“Bagus, terlalu banyak rahasia di mulut anaknya Ki Surya itu, setelah semuanya selesai semua ini kamu yang teruskan Amo...” ucap Ni Kanti sambil menepuk pundak Mang Amo.
Membuat Mang Amo hanya menganggukan kepalanya, sambil tersenyum lebar, pengorbanannya dan kepatuhannya
kepada Ni Kanti sejak lama akan berbuah manis– yang sudah ia nanti-nantikan.
“Bawa ini nanti Amo taburkan di sungai dekat air terjun itu, dan mereka akan tunduk kepadamu” ucap Ni Kanti memberikan kain hitam berisikan garam.
...
Bersamaan dengan matahari yang baru saja tiba itu, sama sekali tidak ada makanan di meja, bahkan membuat Zihan dan Dewi merasa aneh.
“Makannya nanti saja di curug (air terjun), sudah Nini siapkan semuanya, kalian akan diantar Mang Amo, bersenang-senang dan -
- nikmati keindahannya yah...” ucap Ni Kanti sambil membenarkan perban di tangan Nur Wangi yang anehnya ketika di lihat oleh Rudi tidak seperti malam kemarin.
“Mang Yana tidak kelihatan kemana yah Mak” tanya Rudi ketika Mak Sari membawakan tiga rantang salah satunya adalah
masakan yang ia siapkan bersama Ni Kanti.
“Pergi dulu ke kota Rud, mungkin akan lama...” jawab Mak Sari kemudian pergi begitu saja, agar tidak terlihat mencurigakan di hadapan Rudi.
Membuat Rudi kembali ingat kejadian semalam, yang ia yakini bahwa tubuh yang di pangku
oleh lelaki gondrong itu adalah Mang Yana.
“Nanti juga balik lagi Rud, bakal menemani kamu...” sahut Ni Kanti membuyarkan lamunan Rudi, namun Rudi merasakan hal lain dalam ucapan tersebut seperti penuh makna.
Nur Wangi, Zihan, Dewi dan Rudi sudah berjalan mengikuti
langkah Mang Amo melewati jalan menembus hamparan kebun teh yang luas itu, tidak jarang beberapa pekerja yang melihat Mang Amo dari kejauhan hanya menundukan kepalanya saja atau melanjutkan pekerjaanya, tidak ingin berurusan dengan orang kepercayaan Ni Kanti
yang selalu membawa masalah besar itu.
“Gubuk itu semalam dari sana...” ucap Rudi tetap merasakan ketertarikan pada gubuk satu-satunya itu.
“Uhh seger sekali udaranya Mang” ucap Nur Wangi sambil menghirup udara dalam-dalam.
“Jauh lebih segar dari pada di rumah yah Wi” sahut Zihan
, merasakan hal yang sama.
Dewi hanya tersenyum sambil melihat ke arah handphone membaca pesan masuk dari Gama.
“Hari ini toko yang jaga Teh Anggit yah Wi, aku ada perlu nanti aku berikan kabar kalau sudah sampai”
Pesan dari Gama sudah Dewi baca,
dengan cepat ia membalas keperluan Gama dan tujuannya itu.
“Nanti di curug bakalan jauh lebih indah, tempatnya juga masih asri banget” ucap Mang Amo sambil menunjukkan arah hutan yang akan mereka lalui.
Hanya beberapa pegawai kebun teh saja yang mengelengkan kepalanya,
karena tahu sudah lama sekali tidak ada orang yang berani datang ke tempat itu, bahkan Ki Surya sebelum meninggal yang menjadi sesepuh kampung mengharamkan untuk tidak pernah ke curug bentang, jika para warga kampung hejo masih ingin hidup.
...
“Bud aku sudah dalam perjalanan memakai motor, akan segera sampai ke warung yang kamu sebut Mak Amih tempat Mang Ade dihabisi, berikan aku kabar secepatnya aku tidak enak hati sedari tadi”
Pesan dari Gama sudah Budi baca dengan perlahan, kemudian Budi turun perlahan
dari sebuah pohon yang cukup besar, manakala melihat rombongan Nur Wangi dan Mang Amo akan segera memasuki hutan untuk menuju curug.
“Jangan dulu datang ke warung Gam, sebelum aku perintah, aku mengawasi Dewi menuju curug, di dalamhutan dan di curug takutnya tidak ada sinyal”
Pesan terakhir itu Budi kirim, bersamaan dengan baterai handphone milik Indra yang dibawa Budi tinggal setengahnya lagi, setelah semalam mendapatkan listrik di rumah Mang Yana, yang sudah Budi amankan di kamarnya yang sengaja ia kunci rapat dan tidak mungkin ada orang yang masuk,
sengaja ia berantakan seisi rumahnya itu, bak rumah yang tidak terurus.
“Nah tinggal lurus dari sini, ayo sebentar lagi akan sampai jalannya juga tidak menanjak” ucap Mang Amo, sudah terdengar jelas oleh Budi yang sedang berada di balik pepohonan,
begitu juga langkah Dewi, Zihan dan Nur Wangi.
“Sepertinya jarang ada yang kesini yah Mang” tanya Dewi tiba-tiba setelah memperhatikan seisi hutan yang mulai dipenuhi cahaya dari matahari yang perlahan semakin tinggi.
“Mau ngapain juga Teh Dewi warga kampung sudah bosan -
- datang kesini, tapi tempatnya bakalan lebih indah, mungkin kalian baru pertama nanti melihat air terjun seperti itu...” ucap Mang Amo.
Baru saja Budi akan melangkah untuk mengikuti jejak rombongan tersebut, telinganya seperti mendengar langkah kaki,
membuat ia langsung terdiam seketika.
“Seharusnya tidak berbahaya, satu orang...” bisik hati Budi setelah memastikan langkah itu, tidak ingin ketinggalan jejak untuk pertama kalinya di leuweung (hutan) yang mempunyai nama carangka wangi, terlebih karena malah sekarang
giliran Dewi dan Zihan yang berada dibarisan paling belakang, membuat Budi mengabaikan suara yang membuatnya curiga.
Suara gemericik air turun dari dataran tinggi semakin terdengar jelas, membuat mereka semua terpesona dengan keindahan yang sudah tersaji dari jarak cukup jauh.
“Itu tempatnya...” ucap Rudi.
“Benar itu tempatnya kita turun kebawah sedikit lagi, tidak bisa terlalu dekat... semburan airnya kalau dekat seperti hujan deras, lihat saja sungai dibawahnya” jawab Mang Amo dengan hatinya bersorak, tidak mendapatkan kendala
manakala menjalankan perintah Ni Kanti.
“Indah sekali, beneran indah ini Teh Dewi, tidak sia-sia kalian datang ke tempat ini” ucap Nur Wangi, terus mengikuti langkah Mang Amo yang sudah sangat hafal.
Berbeda dengan Dewi yang merasa curiga pada rumput-rumput yang mereka injak,
karena tidak ada bekas langkah manusia, dengan rumput yang setinggi itu tidak jarang Mang Amo dengan mengenakan goloknya menebasnya berkali-kali, bak sedang membuka jalan.
...

“Sampai sini saja, sudah kelihatan jelaskan, disana bisa kalian berenang kalau mau, tapi airnya -
- sangat dingin” ucap Mang Amo langsung berhenti, membuka plastik dan rantang yang sedari tadi ia bawa itu.
“Jangan berenang Nur Wangi air sungainya deras ini” sahut Rudi.
“Tidak apa-apa Rud ada Amang, tenang saja” jawab Mang Amo.
“Sebaiknya tidak Mang! perkataan Rudi ada benarnya juga! Dari pada celaka tebawa derasnya air sungai” sahut Dewi tegas, malah terlihat tidak nyaman dengan keberadaanya saat ini.
“Yasudah sambil menikmati pemandangan kalian bisa makan dulu pasti sudah lapar, -
- takut keburu sop buatan Mak Sari ini dingin nanti tidak enak” jawab Mang Amo sambil tersenyum mendapat penolakan Dewi.
“Lihat saja sebentar lagi” bisik hati Mang Amo menatap Dewi, sambil memastikan kain hitam berisikan garam yang sebelumnya pagi tadi diberikan Ni Kanti
berada di dalam saku celananya.
Seketika Dewi dan Zihan sudah menerima ajakan Nur Wangi dan Rudi untuk makan terlebih dahulu, namun Mang Amo menolaknya dengan lembut, malah membakar rokoknya sambil mengucapkan sebuah bacaan dalam hatinya, sambil menatap kosong ke arah air terjun
yang didekatnya itu penuh bebatuan dan terdapat sebuah guadari balik derasnya guyuran air tersebut.
“Yang lahap makannya Nur Wangi habiskan saja biar nanti tidak berat amang bawa rantangnya saat pulang...” ucap Mang Amo, perlahan membuka kain hitam
dan menaburkannya ke arah sungai, setelah melihat tiba-tiba Nur Wangi membuang tulang ayam yang bekas di makannya itu ke arah sungai, bak pertanda untuk Mang Amo.
Budi yang memperhatikan dari jauh kelakuan Mang Amo hanya menggelengkankepalanya, tanpa mengetahui tujuan
yang akan diperbuat Mang Amo.
“Habiskan saja!” bentak Mang Amo tiba-tiba, setelah menaburkan semua garamnya itu.
Mata Dewi dan Zihan tiba-tiba melotot tajam ke arah Mang Amo, begitu juga Rudi dan Nur Wangi, seketika sayur ayam itu di makanya dengan rakus berserta tulang-tulangnya
bahkan menggunakan lima jari mereka, membuat sayur dan nasi itu tercampur dalam mulut mereka semua.
“Menghadap! Cepat!” teriak Mang Amo sangat kencang.
Tiba-tiba membuat Dewi, Zihan, Nur Wangi dan Rudi bukan berdiri dari duduknya itu, bak binatang peliharaan
mereka berempat berjalan merangkak dengan wajah yang melotot sekuat tenaga mereka, mengeluarkan mankanan dalam mulutnya dengan perlahan, membuat pakaian mereka kotor seketika.
Budi yang melihat kejadian cepat tersebut dibuat terkesima dengan apa yang ia lihat
dibalik derasnya air terjun, ia seperti melihat sosok perempuan dibalik air terjun itu.
“Bahaya! Mereka sudah dirasuki!” ucap Budi perlahan melihat Dewi dan yang lainnya merangkak perlahan ke arah Mang Amo.
“Persembahan ini bisa kalian bawa di rumah Ni Kanti!!! -
- Tumbalnya sudah saya bawa datang ke tempat kalian, ini persembahan getih wangi untuk janji Ni Kanti!!!” teriak Mang Amo semakin kencang dengan matanya seketika berubah menjadi merah.
Budi yang sudah mendengar jelas teriakan Mang Amo perlahan mengambil pisau
dari balik punggungnya itu, untuk mendekat ke arah Mang Amo.
“Di–diam jangan bergerak! Kamu siapa orang asing!”
Seketika tangan Budi sudah ada yang menahannya, dan mengenali suara yang sama ketika malam kemarin suara itu dari orang yang menyiksa Mang Yana didalam gubuk,
suara salah satu anak buah suruhan Mang Amo sudah berada dekat dengan tubuh Budi.
“Atau kamu mati disini, sekarang juga! Tidak akan bisa persembahan itu kamu batalkan orang asing!” dengan sebuah golok panjang ujung bagian tajamnya sudah berada didekat leher Budi,
seketika orang itu menjambak rambut panjang Budi dengan sangat kuat.
“Ak–akan aku gorok kamu hidup-hidup! Jika bergerak!” bisik orang itu di dekat telinga Budi.

(Bersambung Part 5...)
Kedatangan lelaki berambut gondrong bernama Jalu Kertarasaja alias Budi dalam misi menjalankan tugas dari Gama, harus membawanya mengetahui banyak hal dari Ni Kanti,
termasuk Rudi, Dewi dan Zihan masuk dalam incaran Ni Kanti yang harus mati.

Part (5) sudah bisa teman-teman baca dan download eBook, silahkan klik link.

karyakarsa.com/qwertyping/get…
Apakah Budi akan selamat dan bisa berjumpa dengan Gama, setelah menyelamatkan Mang Yana, atau ritual persembahan akan terjadi.

Part (6) juga sudah bisa teman-teman baca dan download eBooknya yah, sambil memberikan dukungan dan support, klik link.

karyakarsa.com/qwertyping/get…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Teguh Faluvie

Teguh Faluvie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

Jun 8
GETIH WANGI

Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

[Part 3]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Hallo selamat malam teman-teman pembaca, akhirnya tiba lagi di hari kamis yang artinya kita akan kembali memasuki cerita Getih Wangi, karena misteri besar sudah menanti dan tumbal-tumbal harus segera diberikan kepada "Mereka" yang sudah dijanjikan.
Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Read 213 tweets
Jun 2
GETIH WANGI

Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

[Part 2]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo selamat malam teman-teman pembaca, mohon maaf keterlambatan upload yang seharusnya kamis malam, karena ada keperluan mendadak kemarin. Semoga tidak mengurangi perjalanan kita memasuki kampung ujung hejo bersama Nur Wangi.
@bacahorror @IDN_Horor Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Read 195 tweets
May 24
GETIH WANGI

Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.

@bacahorror @IDN_Horor @diosetta @mwv_mystic

#bacahorror Image
“WAKTUNYA TELAH TIBA, PULANGLAH”

Sandyakala baru saja perlahan hadir dari timur, bergandengan mesra dengan hembusan angin yang membawa suhu dingin menerpa hamparan kebun teh yang sangat luas, dibatasi sebuah bukit dan air terjun yang sangat indah
dengan suara gemericiknya, namun keindahan itu haram untuk dijamah manusia.
Hamparan hijaunya warna daun-daun teh itu kini perlahan pudar sedang bersiap untuk menyambut gelap malam yang tak pernah sekalipun membawa kehangatan, perkebun teh itu
Read 190 tweets
May 6
Sosok Ketiga! Dari judulnya ini sudah menjanjikan sesuatu yang akan membuat kita terperanga, tapi! Apakah SOSOK KETIGA ini soal asmara saja?! Sayangnya ini lebih gila!!!

"Terkadang manusia lebih memalukan dari pada setan"

#sosokketiga Image
Ngeri! Liat aja dengan bayi yang ada di puggung seperti itu, apa kita mengharapkan film ini akan biasa saja, harusnya tidak sama sekali!!! Kehendak manusia mengunakan santet dan pelet masih ada di indonesia.

#sosokketiga
Harusnya ini film keren, liat teaser trailernya udah geleng-geleng kepala disuguhkan nontonan menegangkan dan terdapat pesan penting dari ini film! Yakin sih bakalan puas nonton film ini! Kelewatan nonton? nyesel!

#sosokketiga
Read 4 tweets
May 4
Leuweung Sarebu Lelembut

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"

[Part 7 Tamat]

@bacahorror @IDN_Horor

#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo selamat malam teman-teman pembaca tidak terasa Leuweung Sarebu Lelembut sudah memasuki part akhir, namun keterbatasan aturan twitter pada jumlah tweet perhari dan ceritanya sangat panjang maka akan di upload menjadi dua bagian.
@bacahorror @IDN_Horor Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman pembaca yang sudah mengikuti cerita ini sampai dengan selesai, dengan berakhirnya cerita ini pertnada judul baru akan segera hadir.
Read 380 tweets
Apr 27
Leuweung Sarebu Lelembut

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"

[Part 6]

@bacahorror @IDN_Horor

#bacahorror Image
@bacahorror @IDN_Horor Hallo teman-teman pembaca mohon maaf waktu upload bergeser lebih awal karena ada satu keperluan dan lain hal malamnya. Namun ada ritual sakral dari Leuweung Sarebu Lelembut yang harus segera kita ketahui bersama-sama. Bisa baca lengkap nanti malam, setelah selesai update yah.
@bacahorror @IDN_Horor Yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu, karena setiap KAMIS MALAM akan selalu ada asupan cerita horror.
Read 201 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(