Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.
[Part 7]
@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror
- adalah harga mati untuk kita” ucap Ki Duduy perlahan.
“Ga–gama paham kek” ucap Gama sambil terbata-bata, merasa bahwa dirinya harus cepat mendapatkan petunjuk lain untuk segera menyelamatkan Dewi.
“Sebentar lagi pagi, mungkin sebelum nanti malam hari berganti -
- entah pertumpahan apa yang akan terjadi, mungkin darah atau nyawa sekalipun... Yana dan Ujang harus hidup apapun yang terjadi... mereka tidak bersalah hanya menjalankan hidup tanpa mempunyai pilihan” ucap Ki Duduy perlahan.
“Kek maaf Budi tidak enak hati...” ucap Budi
tiba-tiba sambil membuka pintu.
“Kakek paham apa kemauan kamu Bud, sana keluarlah dari rumah ini dan awasi rumah Ni Kanti sampai matahari terbit” jawab Ki Duduy.
“Pastikan dan berikan kabar apapun yang terjadi Bud, meong hideung masih ada disana” sahut Gama.
“Bud jangan gegabah,-
-paham!” tegas Mang Idim, tidak ingin Budi bertindak di luar rencana Ki Duduy.
“Pa–paham...” jawab Budi sambil menundukan kepalanya, ia hanya ingin menuntaskan rasa tidak enak hati yang ia rasakan dan sudah tidak sabar menantikan sebuah perintah dari Gama.
...
Kumandang subuh baru saja terdengar berkumandang dengan lantang terdengar ke seluruh penjuru kampung ujung hejo, dengan udara dingin yang semakin menusuk kulit, piring berisikan singkong bakar itu hanya tersisa satu untuk Gama yang belum sama sekali menunjukan ia berdiri
dari duduk bersilanya itu, bahkan Mang Idim dan Ki Duduy sudah tidak berani lagi membuka pintu kamar yang sedang Gama tempati.
“Mang Ujang benar tidak ada warga kampung yang datang ke perkebunan teh yah” ucap Mang Yana tiba-tiba.
“Sudah beberapa kali Amang lihat dari pintu dapur-
- biasanya setelah subuh pekerja kebun akan melewati jalan ini” jawab Mang Ujang.
Membuat Ki Duduy dan Mang Idim membenarkan bahwa keadaan warga kampung seperti sudah terbiasa mengetahui hal apa yang akan di lakukan Ni Kanti.
“Mungkin karena sudah terbiasa apalagi pekerja -
- kebun teh yang sudah tau ini kali ke empat kejadian yang sama” ucap Mang Yana.
“Tidak apa-apa Yana memang seharusnya ini terjadi, bisa jadi ini yang terakhir atau akan terus berlanjut” sahut Ki Duduy.
Ucapannya itu membuat Mang Yana dan Mang Ujang langsung terdiam,
bahwa memang hari ini akan menjadi penentuan keselamatan mereka berdua, termasuk Nur Wangi, Rudi, Dewi dan Zihan.
“Budi juga belum datang kembali, semoga keadaan masih bisa terkendali” ucap Mang Idim semakin cemas pada keadaan Budi dan belum bisa memastikan apa yang akan Gama
dapatkan dari berdzikir nya itu.
Dibalik pintu tua kamar Gama masih duduk bersila, seluruh tubuhnya bak tidak merasakan dingin sama sekali dengan keringat yang terus membanjirnya itu hingga mengenai sorban bekas peninggalan Ki Langsamana yang sekarang berada di pundakknya,
tarikan nafasnya semakin berat manakala hatinya terus mengucapkan amalan doa kepada sanga pencipta meninta segala perlindungan dan pertanda untuk seluruh kesalamatan yang ia inginkan.
Semakin terlelapnya pejaman matanya yang kini hanya melihat hitam padangan hitam,
tiba-tiba ia melihat satu cahaya kuning dari mata meong hideung yang sudah ia sadari keberadaannya itu.
“Eweuh kawasa nu bisa ngalewihan pancipta Gama, ieu saukur cocoba nu bentukna ibadah jang arurang sarerea, tempo lewih jelas dimana eta sasajen eta aya nu kudu buru-buru -
- di lenyapkeun...”
(Tidak ada kuasa yang bisa melebihi pencipta Gama, ini hanya sekedar cobaan yang bentuknya ibadah untuk kita semua, lihat lebih jelas dimana itu sesajen itu berada harus cepat-cepat di lenyapkan) suara Ki Langsamana sudah terdengar semakin jelas,
membuat tubuh Gama semakin bergetar, sambil gelang gengge yang berada di genggamannya itu semakin terasa panas.
“Sumuhun buyut insallah Gama tiasa ninggal leuwih jelas”
(Iyah Buyut insallah Gama bisa melihat lebih jelas) ucap hati Gama,
kini penampakan tiga kamar di rumah Ni Kanti yang tergambar dari penglihatan gelap Gama itu dengan matanya terus terpejam sekuat tenaga.
“Eta nu di maksud ku kalula Gam...”
(Itu yang di maksud saya Gam...) bisik Ki Langsamana.
Gama seperti mendapatkan usapan lembut di wajahnya,
hingga membuat gelapnya penglihatan Gama perlahan menjadi terang.
Dari tiga kamar itu tiba-tiba keluarlah masing-masing perempuan dengan penuh luka sayatan di bagian kaki hingga sekujur tubuhnya, baju yang mereka kenakan sudah sobek berantakan,
dengan rambut yang terurai panjang hingga menutupi wajahnya.
“Wi!”
“De–dewi”
Bisikan hati Gama meyakini salah satu dari perempuan itu adalah istrinya yang kini berjalan ke salah satu kamar besar, hingga Gama melihat seorang perempuan tua sudah tersenyum lebar.
“Kemarilah... datanglah kemari kalian...” terus saja perempuan tua itu mengucapkan hal yang sama, membuat tiga perempuan itu semakin berjalan ke arahnya.
“Eta tiluan anak Kanti nu asup ngawujudkeun ka salah sahijina Dewi... ragana geus di asupakn mahluk Gam, buka eta mata -
- lain saukur pake urat tapi pake hate)
(Itu tiga anak Kanti yang masuk mewujudkan ke salah satunya Dewi... Raganya sudah di masuki mahluk Gam, buka itu mata bukan hanya mengenakan urat melainkan menggunakan hati) bisik suara Ki Langsamana semakin jelas.
Tiga perempuan yang mengenaskan dengan luka di sekujur tubuhnya tiba-tiba berjalan dan masuk ke sebuah kamar, sudah dinantikan satu perempuan berdiri di sebuah lemari besar nan tua.
“Buka! Cepat!” bentak perempuan tua secara tiba-tiba.
“Nur Wangi itu” bisik hati Gama.
Nur Wangi secara perlahan membuka lemar tersebut dengan cepat, seketika membuat tiga perempuan itu bak manusia yang sedang kelaparan, membuka mulutnya lebar-lebar hingga tubuhnya tiba-tiba merangkak menuju lemari, dengan mengeluarkan suara erangan berat dan meneteskan lendir.
“Heh! Jangan!!!!” terika Gama tiba-tiba sangat kencang.
Manakala melihat sebuah tarikan tangan sangat kencang pada rambut salah satu perempuan yang Gama lihat seperti Dewi, hingga di doronglah secara perlahan Nur Wangi oleh perempuan tua yang semakin mirip denga Ni Kanti
masuk ke dalam lemari itu dan seketika satu kali sayatan golok tajam mendarat di leher perempuan itu hingga memancarkan darah yang sangat banyak.
“Arrrrgggg!!!!”
Manakala Gama akan bergerak ke arah lemari tua untuk mencegah hal yang sama, tiba-tiba ia mendengar
sebuah derasnya guyuran air, dan seketika kamar itu menjadi sebuah curug dimana seorang sosok perempuan sedang menyeret rambut dari kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, semakin rambut itu diseretsemakin jelas Gama melihat wajah Dewi yang sudah pucat.
“Wi!!! Dewi!!!!” teriak Gama semakin kencang.
Seketika hal yang sama dilakukan oleh Nur Wangi pada dua perempuan itu, dan baru Gama lihat dengan jelas seseorang yang memegang golok itu mirip dengan Rudi.
“Hentikaaannnn!!!” teriak Gama bertambah kencang.
Untuk ketiga kalinya melihat kepala berpisah dengan tubuhnya, hingga kepala itu dilemparkan ke sebuah goa dibalik air terjun, dan sudah ada sosok hitam besar bersama Ni Kanti yang menerima dua kepala lainnya.
“Getih Wangi! Kemarilah!” teriak Ni Kanti, membuat Nur Wangi merangkak
menuju Ni Kanti di ikuti Rudi, bersama-sama menjilati darah yang berceceran di dekat goa curug.
Ni Kanti hanya tersenyum lebar ke arah Gama sambil menujukan jari telunjuknya ke arah meong hideung dan dirinya itu.
“Kalian selanjutnya!!!” teriak Ni Kanti tertawa terbahak-bahak.
Baru saja Gama akan melangkah, sebuah tepukan mendarat di pundak Gama.
“Aya hiji sareupna nu kaluar pulasna bereunm, eta waktuna nepi ka pargantian poe di hiji peuting, bereuskeun naon pernah ku kaula pernah di mimitian, kabeh beresan salemetkeun naon nu kudu di salamatkeun”
(Ada satu sore yang keluar warnanya merah, itu waktunya sampai pergantian hari di satu malam, selesaikan apa yang sudah saya mulai, bereskan semua dan selamatkan apa yang perlu di selamatkan)
Gama hanya menganggukan kepalanya, pandangannya masih melihat dari air terjun
nan putih warna airnya kini perlahan menjadi merah dan melihat dalam goa itu keluar cahaya merah semakin pekat.
“Di–sana tempatnya” bisik hati Gama.
“Salah menta pitulung jadi malapataka nu moal aya tung-tung na Gam, bener eta tempatna jeng gubuk nu kuduna Kanti paeh”
(Salah minta pertolongan jadi malapetaka yang tidak akan ada ujungnya Gam, benar itu tempatnya dan gubuk yang seharusnya Kanti mati) bisik Ki Langsamana sambil menepuk pundak Gama, seketika membuat Gama membuka matanya.
“Gam! Minum ini cepat!” ucap Ki Duduy dengan panik,
sudah berada di samping tubuh Gama, sejak mendengar teriakan Gama ia sengaja tidak langsung membangunkan Gama karena tubuhnya yang semakin panas itu.
“Kek...” jawab Gama dengan tubuh yang semakin lemas, tenggorokannyasangat kering dengan keringat yang sudah
membasahi seluruh tubuhnya itu.
Gama terus saja mengartikan kalimat terakhir dari Ki Langsamana tentang Ni Kanti yang meminta pertolongan dan seharusnya Ni Kanti mati di gubuk yang sudah Gama ketahui.
“Bu–buyut Kek...” ucap Gama perlahan.
Membuat Mang Idim langsung mengelus pundak Gama dan Ki Duduy kembali mengusap wajah Gama dengan perlahan.
“Pertanda Gam” tanya Ki Duduy.
“Sore berwarna merah, curug dan gubuk... mungkin hari ini akan jadi hari terakhir kita di kampung ujung hejo, akan Gama selesaikan semuanya...”
ucap Gama sambil kembali teringat bagaimana kejadian barusan yang menjadi gambaran paling kejam yang kembali ia lihat.
“Pulihkan keadaan kamu, yang akan kamu hadapi dari getih wangi adalah darah itu bisa mengundang kepada siapa saja yang sudah di teteskan getih-
- dari tubuh Nur Wangi, dan itu sosok dari sesajen di rumah Ni Kanti” ucap Ki Duduy setelah mendapatkan pertanda dari ikhtiar Mang Idim.
“Le–lemari kamar Ni Kanti...” ucap Gama semakin melemas sambil memejamkan matanya.
***
Cahaya terik matahari baru saja meninggi menyinari hamparan luas kebun teh dengan hijau daunya yang sangat indah, namun di musim panen itu tidak seperti biasanya hamparan kebun tidak ada satupun pekerja yang terlihat hari ini untuk memetik teh, bersamaan dengan kabar
di kampung ujung hejo yang semakin terdengar kencang– Ni Kanti sedang mengadakan ritual, mereka lebih memilih berdiam dan tidak ingin mengambil resiko untuk menjadi tumbal selanjutnya.
Dengan kelopak mata yang menghitam Budi terus saja berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya
untuk memperhatikan keadaan rumah Ni Kanti, tanpa adanya hal yang membuat ia curiga.
“Sudah saatnya kembali ke rumah Mang Ujang” bisik Budi sedari menuju pagi buta ia sudah tidak melihat keberadaan meong hideung juga.
Baru saja ia berdiri dari duduknya,
sebuah mobil mewah baru saja tiba yang dikendarai Mang Amo.
“Siapa lagi mereka nenek dan kakek tua itu” ucap Budi melihat tergesa-gesanya mereka berdua turun dari mobil mengikuti langkah Mang Amo, membuat Budi langsung berbalik badan dan akan segera memberikan kabar kepada Gama.
Di dalam rumah nan besar itu bagian ruangan tengah rumah masih terdapat tubuh Dewi, Zihan dan Rudi yang masih terbaring di atas ranjang tua, masih dikelilingi lilin yang sudah paham dan bunga-bunga di atas tubuhnya, luka di pergelangan tangan Dewi sudah di lilitkan perban putih
yang sudah banyak terdapat darah.
“Mak Ayu dan Bah Pepen datang Ni” ucap Mak Sari didepan kamar Ni Kanti.
“Suruh menunggu didepan tubuh mereka bertiga Mak!” tegas Ni Kanti di balik pintu.
“Ba–baik Mak, luka di tubuh Jujun dan Ajo juga sudah membaik, belum sadarkan diri saja”
jawab Mak Sari kemudian berjalan ke depan rumah, menyambut kedatangan dua orang yang sudah ia kenal sejak lama itu, yang lebih dulu bekerja dan patuh pada Ni Kanti.
Ni Kanti baru saja merias wajah Dewi dengan berbagai sesajen yang sudah di siapkan Mak Sari,
darah-darah dari tubuhnya sendiri itu sudah memenuhi seluruh wajah Nur Wangi, bahkan Dewi, Zihan dan Rudi tubuhnya itu sudah sama dimasukkan kembali air hijau yang Ni Kanti buat.
“Mana Yana Mak” tanya Mak Ayu.
“Penghianat juga Ujang yang akan menyusul terbaring diatas ranjang”
sahut Amo sambil membenarkan topi koboinya itu.
“Ujang balik kampung hanya untuk ikut campur urusan ini! Sialan!” bentak Bah Pepen dengan kesal.
“Sabar Bah buruan Amo tidak akan pernah bisa lari, termasuk dua orang lelaki dan salah satunya lelaki gondrong, dan dua lelaki tua”
jawab Mang Amo.
“Lelaki tua itu salah satunya sudah membujuk Abah, tapi percuma Abah tahu harus pulang kemana jika kaki ini berada di kampung ujung hejo...” jawab Bah Pepen sambil tersenyum.
“Maaf Amo saya telat...” tiba-tiba suara Kek Badrun dan Mak Amih membuyarkan keadaan.
“Bagus! Pilihan yang baik jika tetap ingin hidup Kakek tua! Tujuan kita semua sama...” ucap Mang Amo kemudian berhenti ucapannya, manakala melihat Ni Kanti keluar dari kamarnya.
“Sudah berkumpul semuanya, saya janjikan kalian kehidupan lebih mudah dan keabadian lebih lama -
- seperti saya, terimakasih Pepen dan Ayu yang sudah berhasil membesarkan Nur Wangi, hingga memberikan bonus dua perempuan yang tidak akan lama lagi aku bawa ke curug!” ucap Ni Kanti, membuat mereka semua menundukan kepalanya.
“Garam-garam itu sudah menyatu di semua tubuh Dewi, -
- Zihan dan Rudi begitu juga Nur Wangi... saya hanya ingin kalian semua menjaga kamar itu jika nanti saya berangkat ke curug dari dua orang lelaki keturunan Si Langsamana sialan itu! Akan saya buat mereka mati semuanya seperti Surya! Kehendak getih wangi harus tercium kembali! -
- Paham kalian semua!” bentak Ni Kanti.
Mang Amo, Mak Sari, Mak Ayu, Bah Pepen, Kek Badrun dan Mak Amih hanya menganggukan kepalanya.
“Setelah itu kalian akan pulang dengan keinginan apapun yang akan saya kabulkan paham!”
Senyum langsung terlontar dari bibir mereka semua
yang sudah mempunyai keinginan nan besar yang akan segera terlaksana, selama pengabdianya kepada Ni Kanti.
“Dengan satu syarat! Jaga kamar saya selama saya berada di curug!” ucap Ni Kanti perlahan sambil tersenyum.
Tidak ada yang berani satu katapun menjawab ucapan Ni Kanti,
apalagi sinar matahari sudah terkena tubuh Dewi, Zihan dan Rudi yang semakin pucat dan sudah lama tidak sadarkan diri itu.
“Sinjang dan bambu segera kalian siapkan! Sore ini cahaya merah akan tiba! Bantu saya dan kalian akan mendapatkan bayaran jauh lebih setimpal! -
- Dan jangan pernah berkhianat seperti Yana dan Ujang, setelah itu tumbal warga dan pengikut saya akan berdatangan! Ini akibat dendam saya puluhan tahun yang sama-sama kalian ketahui!” ucap Ni Kanti semakin penuh emosi, dan senyuman semakin lebar.
Mereka semua bak sangat kaget dengan ucapan Ni Kanti dan tidak menyangka luka puluhan tahun dan getih wangi sudah sampai tahap paling akhir, yang akan kembali akan melibatkan mereka semuanya.
“Ni maaf, apa ini akan berlanjut setelah Nur Wangi dan suaminya beserta teman-teman itu-
- menjadi persembahan...” tanya Kek Badrun.
Membuat mereka semua melihat ke arah Kek Badrun.
Tangan Ni Kanti tiba-tiba bergerak seperti mengusapkan angin ke arah tubuh Kek Badrun bagian perut.
“Arrrgggghhh!!!
Tangan Kek Badrun langsung memegangi bagian perutnya,
kepalanya seketika menunduk dan menetes darah dari mulutnya itu.
“Akan! Dan akan terus! Hingga akan tiba orang-orang datang menyembahku! Seperti aku menyembah Nyai Gusti Dewi Bentang!” bentak Ni Kanti, melangkah maju ke arah Kek Badrun.
“Ni maaf sudah cukup, -
- kita butuh Kek Badrun untuk membawa tubuh persembahan itu menuju leuweung Ni maaf” ucap Mang Amo dengan panik tidak ingin sesuatu lebih buruk terjadi, apalagi darah semakin banyak keluar.
“Baik! Siapkan semuanya! Tunggu sore tiba! Turuti semua perintah saya jaga kamar!”
bentak Ni Kanti kemudian tersenyum lebar penuh kebahagian.
“Tidak gentar sekalipun saya berhadapan dengan keturunan Si Langsamana akan saya balaskan dendam Nyai!!!!” bisik hati Ni Kanti sudah tidak sabar menunggu pesta yang selama ini ia nantikan.
Mak Sari langsung membantu Ni Kanti berjalan menuju kamarnya, sambil mendengarkan pesan penting yang nanti malam harus Mak Sari jalankan.
“Mereka pasti akan menjadi gangguan Mak, Mak sudah tahu harus melakukan apa” cucap Ni Kanti.
“Tahu Ni, Mak paham... hanya darah -
- yang harus dibalas darah dan nyawa harus dibalas nyawa” jawab Mak Sari dengan gemetar.
“Baik, empat bambu dan delapan sarung sinjang siapkan, panggilan itu akan datang sore ini, Nyai sudah menunggu saya untuk malam yang membahagiakan ini” ucap Ni Kanti
kemudian masuk ke dalam kamarnya, untuk menghabiskan banyak waktu dengan tubuh Nur Wangi yang sudah dalam keadaan bersiap, bak sebuah persembahan yang akan menjadi kado besar untuk sang Nyai dari curug bentang.
***
Budi sudah memberikan kabar kepada Gama, Ki Duduy dan Mang Idim bahwa kedatangan dua orang tua yang Mang Amo bawa, hingga membuat Mang Idim tidak lagi kaget dengan kabar itu, apalagi sampai terik matahari meninggi Gama belum juga bangun, begitu juga Budi masih terlelap.
Mang Ujang dan Mang Yana sudah membuatkan makanan dan berkeliling kampung, membenarkan keadaan kampung semakin mencekam, tidak ingin mendapatkan imbas dari apa yang sedang Ni Kanti lakukan, walaupun para warga di buat ambigu karena selama ini ia mendapatkan mata pencaharian
di atas lahan tanah milik Ni Kanti.
Gama dan Budi baru saja bangun dan langsung menyiapkan segala persiapan mereka berdua, begitu juga dengan Ki Duduy dan Mang Idim yang sudah mempunyai rencana matang tinggal berbicara dengan Gama.
Setelah mereka makan satu persatu di bantu Mang Ujang dan Mang Yana, Gama langsung mengajak Budi, Ki Duduy dan Mang Idim berbicara.
“Kamar Ni Kanti terdapat lemari tua, itu yang harus kamu buka dan hancurkan apapun yang ada didalamnya” ucap Gama dengan serius,
membuat Budi mengangguk.
“Lalu Gam...” tanya Mang Idim.
“Mereka akan membawa Nur Wangi, Rudi, Zihan dan Dewi ke curug Mang, yang aku dapatkan hanya itu, disana aku sudah tahu harus berbuat apa, ada satu goa dibalik air terjun, dan gubuk itu seharusnya tempat Ni Kanti mati–
buyut hanya bicara soal itu saja” ucap Gama perlahan.
“Jawaban siapa Ni kanti sebenarnya akan kita ketahui manakala semuanya selamat, dan jika sebaliknya yang terjadi, kejayaan Ni kanti akan lebih menggila dari hari ini, cepat bersiap, tinggal 30 menit lagi -
- matahari sore akan tenggelam, Yana dan Ujang sudah menyiapkan tempat dimana kita bisa melihat jelas ke arah bukit itu” ucap Ki Duduy menjelaskan dengan perlahan.
Mang Idim dan Budi langsung bergerak keluar kamar dengan cepat.
“Gelang gengge dan sorban Gam” ucap Ki Duduy.
“Baik Kek, doakan Gama Kek...” jawab Gama perlahan.
“Semalam undangan untuk Ki Sanca dari leuweung sancagetih sudah kakek kirim semoga sampai dan mengetahui kondisi ini, jika memungkinkan ia yang akan membawa kamu malam ini berhadapan dengan Ni Kanti... -
- Kakek tidak bisa mengantarkan sampai sejauh itu” ucap Ki Duduy sambil menepuk pundak Gam, menahan air matanya keluar.
“Pastikan Budi bisa membuka lemari itu Kek, dan Gama paham semua ucapan Kakek” jawab Gama sambil menundukan kepalanya, kemudian Ki Duduy mengelus kepala Gama.
Dari matahari yang semakin perlahan turun itu masih membawa warna kuning keemasan yang terpacar diatas bukit, bersamaan dengan waktu yang terus berputar cepat. Gama, Budi, Mang Idim dan Ki Duduy sudah bersiap tidak jauh dari rumah Ni Kanti,
memperhatikan apa yang selanjutnya akan terjadi, sementara Mang Ujang dan Mang Yana sudah memberitahu Gama jalan tercepat menuju leuweung carangka wangi yang akan membawanya menuju curug bentang.
“Belum, sabar...” ucap Gama menepuk pundak Budi yang sudah menatap tajam
ke arah rumah Ni Kanti, dan Gama terus memperhatikan ke arah gubuk.
“Kita belum tahu apa yang akan terjadi...” ucap Ki Duduy, terus memperhatikan ke arah cahaya kuning keemasan yang semakin menurun.
“Nanti kalian berdua berjaga di bagian belakang dapur Ni Kanti saat Budi masuk”
sahut Mang Idim memberikan perintah kepada Mang Ujang dan Mang Yana.
Sampai matahari perlahan semakin tenggelam sama sekali sinar cahaya kuning saja yang terlihat, tidak ada pertanda cahaya merah itu muncul.
“Sebentar lagi adzan berkumandang” ucap Gama,
malah melihat cahaya kuning dari mata meong hideung berada jauh di belakang rumah Ni Kanti.
“Jangan sampai mereka juga bersiap!” bisik hati Gama semakin cemas.
Bersamaan suara kumandang mereka dengar dari arah kampung dan cahaya kuning keemasan itu berganti dengan gelap malam.
“Seharusnya sekarang muncul!” tegas Ki Duduy.
Baru saja ucapan Ki Duduy didengar Gama dan Budi, dari arah bukit dan curug tiba-tiba muncul cahaya merah yang menyala terang diantara gelap malam yang baru saja tiba, membuat Yana dan Mang Ujang terkesima dengan cahaya itu.
“Akhirnya! Saatnya sekarang kita lihat apa yang akan Nenek tua itu lakukan! Sadar kalian!” bentak Mang Idim langsung menyipratkan air dalam botol ke wajah mereka semua.
“Lihat itu!!!” tegas Ki Duduy.
Tiba-tiba terlihat Mang Amo berjalan keluar dari arah belakang rumah Ni Kanti,
dengan bambu panjang berada di pundaknya di ikuti oleh Mak Sari, ujung bambu itu berada juga di pundaknya.
Bambu sudah masuk diantara celah lubang sarung sinjang yang sudah terdapat satu tubuh Nur Wangi didalamnya, sedang di panggul mengunakan bambu oleh Mang Amo dan Mak Sari.
“Nur Wangi itu...” ucap Gama.
“Akan dibawa ke curug (air terjun) pasti...” jawab Ki Duduy semakin tegang.
Di susul oleh Ajo yang sudah di rasuki sosok dari air terjun dan Mak Ayu melakukan hal yang sama dengan Amo dan Mak Sari, membawa tubuh Zihan didalam sarung sinjang itu.
“Tidak menyangka pantas saja mereka berkumpul, kekuatan mereka sudah dirasukisosok dari air terjun, sehingga mereka k” ucap Gama semakin tidak bisa mengendalikan dirinya, dengan gelang gengge yang semakin panas.
Lalu Ajo dan Bah Pepen membawa tubuh Dewi dengan hal sama juga,
menggunakan bambu di pundaknya dan membawa tubuh Dewi dalam sarung sinjang itu, dan yang terakhir adalah Kek Badrun memangku tubuh Rudi.
“Keranda mayat!” bentak Ki Duduy, sambil menepuk pundak Gama.
“Sekarang Gam cepat gerak!!!” lanjut Ki Duduy.
Gama langsung bergerak seorang diri berjalan dengan cepat ke arah jalan yang sudah Mang Yana dan Mang Ujang tunjukan agar sampai ke leuweung itu.
Iring-iringan pembawa tubuh Nur Wangi, Zihan, Dewi dan Rudi itu sudah melewati gubuk, tiba-tiba keluarlah Ni Kanti dalam gubuk itu
dan tanganya menunjuk ke arah leuweung (hutan) yang akan mengarah ke air terjun, dan seketika angin kencang berhembus meringi mereka semua dengan Ni Kanti berjalan perlahan paling belakang.
“Bahaya! Dan akhirnya terjadi Kek” ucap Mang Idim.
“Apa Budi masuk sekarang ” tanya Budi.
“Tunggu sebentar lagi keadaan rumah itu tidak mungkin kosong!” ucap Ki Duduy.
Baru saja mereka semua sampai di leuweung carangka wangi dengan cepat mereka menurunkan semua tubuh yang mereka bawa, hingga mereka menganggukan kepalanya ke arah Ni Kanti.
Membuat Mang Amo lebih dahulu berlari ke arah rumah Ni Kanti, di ikuti Bah Pepen, kemudian Ajo dan Jujun yang sangat kencang berlari seperti mengetahui kedatangan Budi.
“Budi sekarang! Cepat!” bentak Ki Duduy menepuk pundak Budi.
Budi langsung berlari di ikuti Mang Ujang
yang membantu Mang Yana berjalan untuk menuju dapur.
“Dim kita bergerak!” ucap Ki Duduy ketika melihat Dewi, Nur Wangi, Zihan dan Rudi tiba-tiba berdiri dan mengikuti langkah Ni Kanti.
Budi yang baru saja mendobrak pintu depan rumah, langsung berjalan ke arah kamar Ni Kanti
melewati ruangan tengah rumah yang sudah bau dengan darah.
“Akan aku habisi kalian semua!!!” bisik hati Budi dengan napasnya yang ngos-ngosan dan rambut gondrongnya berantakan.
Baru saja Budi memegang gagang kunci pintu kamar Ni Kanti, tiba-tiba golok melayang dengan kencang.
“Bangsat!!!!” teriak Mang Amo.
“Tidak akan semudah itu!!!” teriak Mang Amo berlari ke arah Budi, di ikuti Bah Pepen, Ajo, dan Jujun, juga Mak Sari yang sudah menyalakan kemenyan penuh dengan garam di bagian dapur.
Budi yang sudah menantikan hal ini hanya memandang dingin.
“Brugggg!!!!”
Satu kali tendangan kaki Budi mendarat di wajah Mang Amo yang berlari kencang itu, hingga membuat tubuhnya terpental dan membenarkan topi koboinya.
“Semuanya saja maju!!!” ucap Budi perlahan.
“Tahan ini urusan saya!” ucap Mang Amo menahan agar Jujun dan Ajo
bahkan Bah Pepen tidak bergerak.
“Perempuan-perempuan itu akan mati sebentar lagi!” ucap Mang Amo yang sudah menghirup asap dari kemenyan dan garam yang di bakar Mak Sari dan Mak Ayu juga Mak Amih di dapur, membuat sosok dari Ni Kanti masuk ke dalam tubuh Amo.
Mang Amo mengeluarkan goloknya dengan perlahan, “Tidak akan bisa kau memasuki kamar itu!” bentaknya langsung berlari ke arah Budi.
“Sreeettttt!!!!”
“Sekarang!!!”
Teriak Mang Amo, membuat Jujun, Ajo dan Bah Pepen mengeluarkan goloknya berlari ke arah Budi.
Budi sangat kaget melihat Mang Amo sudah berubah bagian wajahnya menjadi merah bahkan matanya menjadi hitam, bak tubuhnya sudah di kendalikan getih wangi yang sesungguhnya.
Satu kali sayatan mendarat di tubuh Budi saking cepatnya golok itu mendarat di bagian paha Budi,
membuat ia mundur beberapa langkah.
“Arrrrrghhhh!”
“Golok dari tagan Ajo dan Jujun melayang tepat di bagian dada Budi.
Dengan cepat Budi mengambil pisau dari belakang pinggangnya itu dan melemparkannya tepat di bagian leher Mang Amo, hingga menancap
dan membuat tubuh dan kepala Mang Amo tertunduk.
“Arrrghhhhh!!!”
Bersamaan dengan satu golok mengenai dada Budi.
“Maju Kalian semua!” ucap Budi dengan sangat dingin berjalan ke arah Mang Amo, dengan menggunakan lututnya ia dorongkan pisau yang berada di leher Mang Amo
hingga menancap lebih dalam.
“Krekeeettt!!!”
Tiga pintu kamar tiba-tiba terbuka, keluarlah tiga sosok perempuan berwajah pucat karena mendapat undangan dari bau kemenyan dan garam dari arah dapur, hingga membuat Budi benar-benar kaget.
“Kreeeekkk!!!”
“Arrrggghhhhh!!!”
Mang Amo dengan susah payah melepaskan pisau di lehernya, hingga mengeluarkan darah hitam.
“Aaaaaaaaa!!!!”
“Ampunnnnn!!!”
“Amppunnnnn!!!”
Seketika teriakan Mak Sari, Mak Ayu dan Mak Amih terdengar kencang dari arah dapur, dan sudah banyak darah memancar di lantai kermaik,
membuat Mang Amo melihat ke arah dapur dan sudah berdiri Mang Ujang dan Mang Yana.
“Bajingan Yana!!!” teriak Mang Amo mendapati Mak Sari sudah tergeletak di atas lantai keramik dapur.
(Bersambung part 8 akhir...)
Pertarungan hilang nyawa dan tumpah darah tidak bisa dihindari, Budi dan Gama harus segera mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi di curug bentang, sebelum Ni Kanti dan segala mimpi buruk Gama itu terjadi.
Namun bisakah Budi selamat di rumah itu dan terlebih dahulu membuka satu lemari sakral? Masa lalu apa sebenarnya menimpa Ni Kanti hingga getih wangi harus selalu tercium?
Part (8) Tebus Hayat, akhir dari cerita ini sudah bisa dibaca lengkap, klik link.
Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.
[Part 8 Tamat]
@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror
- saya hanya bisa mengantar kalian sampai sini, air curug disana akan berhenti suaranya itu pertanda kalian sudah sampai di curug bentang” ucap Ki Sanca.
“Cepat masuk akan saya ketukan lagi tongkat ini, Ki Duduy sudah menanti saya... setelah saya ketukan tongkat -
- semua mahluk pengikut Nyai akan berdatangan kepada kalian, darah kalian berdua dinantikan oleh seluruh penjaga di sini” lanjut Ki Sanca.
“Doakan Gama Ki dan maafkan darah di leher Aki atas perlakuan Budi” ucap Gama langsung berjalan.
“Semoga darah hitam lebih banyak keluar -
Selamat malam teman-teman pembaca, kali ini saya akan membahas video viral di Tiktok mengenai sebuah terror setelah membeli hp second, karena menarik ini perhatian saya.
Mungkin dari kalian sudah ada yang lihat videonya di serbakan oleh akun @/manfirngopi tapi akan saya bahas dari sisi yang berbeda, mari kita mulai.
Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.
[Part 6]
@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror
“Lebam Gam, cepat darahnya bisa saja tidak mengalir dalam tubuh Mang Ujang ini, bahaya” ucap Budi sangat kaget melihat warna hijau di punggung Mang Yana.
Mata Mang Yana bak tidak percaya pada benda yang kini berada di tangan Gama, namun ia langsung menundukan kepalanya
sambil dalam hatinya berucap sebuah doa untuk almarhum Bapaknya Ki Surya dan Ki Langsamana, yang sudah ia ketahui sejak dulu melalui cerita kini berbuah nyata.
“Tahan Mang baca ikuti dalam hati Amang, lawan... maaf aku buka dulu kopiahnya yah...” bisik Gama di telinga Mang Ujang,
Pengabdian puluhan tahun kembali terjadi, suami dan tiga anak yang mati belum cukup untuk mengakhiri.
[Part 5]
@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror
kemudian berjalan dengan cepat ke arah jalan menuju ujung kampung yang sebelumnya Budi tunjuk, untuk mencari rumah Mang Yana.
Sebelum sampai ke ujung belakang rumah Budi sudah menganggukankepalanya ke arah Gama, memberikan pertanda “Aman” agar Gama bisa bergerak,
apalagi beberapa pekerja kebun teh akan segera menepi untuk beristirahat.
Dengan langkah berusaha tidak menarik perhatian para pekerja kebun teh Gama sudah melewati rumah nan besar milik Ni Kanti, yang terlihat tidak terlalu jauh dari pandangan matanya itu.
Halo selamat malam teman-teman akhirnya kita kembali berjumpa di hari kamis malam, yang artinya kita akan kembali memasuki cerita lanjutan Getih Wangi, dimana misteri dan kekejian manusia itu pernah terjadi.
Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya, bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.
Hallo selamat malam teman-teman pembaca, akhirnya tiba lagi di hari kamis yang artinya kita akan kembali memasuki cerita Getih Wangi, karena misteri besar sudah menanti dan tumbal-tumbal harus segera diberikan kepada "Mereka" yang sudah dijanjikan.
Teman-teman yang belum baca thread part sebelumnya bisa baca terlebih dahulu agar mengikuti alur ceritanya, dan untuk yang belum FOLLOW akun ini silahkan follow dulu yah, karena setiap kamis malam akan selalu ada asupan cerita horror.