Creepylogy Profile picture
Aug 24 63 tweets 8 min read Twitter logo Read on Twitter
– Pajangan Kera di Rumah Om Pras –

Kalian tidak akan melewatkan cerita ini.

Izin tag
@IDN_Horor @bacahorror @Penikmathorror @threadhororr @menghorror
#bacahorror Image
Sewaktu anak hingga remaja, aku paling takut pada Om Pras. Dia adalah adik ibuku. Kata ibu dan ayah, Om Pras orang kaya. Orang tuaku juga bukan orang miskin. Tetapi karena mereka menyebutnya kaya, kurasa memang dia lebih kaya.
Om Pras lumayan nyentrik. Kata ayahku, hobi Om Pras berburu dan mancing. Dia senang membawa senapan laras dan pergi dengan mobilnya yang kaku. Atau adakala ia pergi dengan laras kail.
Pantas saja, ia suka memberi ikan maupun daging yang tidak wajar, yang selanjutnya dimasak oleh ibu. Misalnya daging rusa. Asal kalian tahu, daging rusa itu enak, jauh sekali dibanding babi hutan.
Yang menakutkan dari pada Om Pras sebetulnya bukan orangnya, melainkan rumahnya. Bukan kebetulan, ia tinggal bersebelahan kota. Ayah kerap membawaku ke sana dan menginap bahkan sampai berhari-hari. Rumahnya sih bagus, besar, dan aku punya teman sepermainan, yaitu Didi,
adik sepupuku. Akan tetapi Om Pras menyimpan banyak sekali hewan yang dikeraskan. Tentu saja binatang-binatang itu sudah mati, tak jelas bagaimana matinya. Sebut saja apa, kadal besar, kucing hutan, rusa, ular sanca, macan dahan, mereka seperti berkeliaran di dalam rumah. Seram.
Bukan aku takut hewan. Mana ada anak-anak tidak suka binatang kecuali sudah diajari takut. Yang membuatku ngeri pada pajangan Om Pras karena mereka selalu diam dengan ekspresi yang aneh. Dan yang paling seram dari semua itu ialah orang utan.
Coba pikir, deh. Orang utan itu tidak seremeh di gambar uang kertas pecahan 500. Badannya besar dan seperti mengenakan jubah berumbai. Kukira ia hampir setinggi Om Pras kalau berdiri. Memang dia tak pernah berdiri.
Om Pras membuatnya duduk di kursi beludru, di dalam kotak kaca, memasangkan mahkota di kepala, juga menyelipkan sebilah kapak di tangan kanannya–aku tidak yakin itu lebih tepat disebut tangan atau kaki depan.
Dalam suatu kunjungan, Om Pras memperkenalkan sang ratu itu. "Yang ini namanya Zora."

Aku cuma memandang Om Pras tanpa berkedip, sebab itu lebih baik daripada menyilangkan mata kepada Zora.

"Coba lihat Zora. Cantik dan kuat, bukan?"

"Dia perempuan?"
"Karena itu kamu harus melihatnya, Nak."

Lalu aku berpaling ke arah Zora dan Om Pras berkata, "Pejantan tidak punya dada seperti itu."

"Jadi, itu untuk menyusui?"

"Benar sekali," suara Om Pras lebih keras dan bersemangat.
"Kata ibu, aku menyusu sampai dua tahun. Apakah anaknya Zora begitu?"

"Bisa lebih lama."

"Wow! Berapa tahun, Om, tiga tahun?"

"Terkadang lebih dari tujuh tahun."

"Malangnya Zora. Kenapa anaknya tidak makan yang lain saja?"
"Anak orang utan makan buah juga tumbuhan tapi tetap mau menyusu."

Aku hanya menunggu selanjutnya, dan Om Pras bertanya, "Om dengar kucingmu baru melahirkan."

"Betul, Om. Bolu baru melahirkan."

"Ah, itu namanya, bolu."
"Ayah yang kasih nama. Artinya bobo melulu."

Diiringi tawanya, Om Pras berkata, "Bolu pasti makan sangat banyak."

"Kurasa juga begitu. Ayah menyuruhku memberi makan empat kali, padahal sebelumnya cuma tiga kali."
"Bolu kucing yang sangat beruntung."

Aku tergoda dengan ucapannya sehingga bertanya, "Adakah kucing yang tidak beruntung?"

"Sangat banyak. Kucing yang hidup di luar rumah kamu, yang liar dan tidak tentu kapan bisa makan. Bayangkan jika mereka melahirkan dan harus menyusui anak-anaknya."
"Ah, benar juga. Kasihan sekali. Aku tidak pernah tega melihat kucing-kucing sakit di jalan."

"Zora pun begitu. Dia harus makan lebih banyak untuk menyusui anaknya. Dan ia hidup di hutan."

"Di mana anaknya Zora?"
Sepintas riak wajah Om Pras berubah keruh. Hanya, ia berujar, "Dia dipisahkan dari anaknya dan tidak pernah kembali."

Kisah Zora membuatku sedikit tertarik padanya, walau rasa takut tidak berkurang. Kemudian aku tahu,
hal itu mungkin disebabkan oleh matanya yang selalu membeliak, seakan-akan selalu mengikuti setiap langkah dan pergerakan. Lebih-lebih di sisi Zora berdiri seekor macan dahan yang laiknya siap menerkam, rahangnya menganga, barangkali ingin mengesankan sebagai pelindung ratu Zora.
Bagaimana pun, aku selalu tidur di kamar Didi kalau menginap. Terasa aneh setiap kali membuka pintu, aku mesti berhadapan dengan Zora dan penjaganya. Jika tiba gilirannya malam, lampu rumah akan menyala, dibarengi lampu sorot yang menembak singgasana Zora.
Bagai kerajaan dalam fabel, hewan-hewan itu tampak begitu awas. Kemudian Om Pras menghadirkan penghuni istana yang baru, yakni seekor burung hantu yang bertengger di pundak sang orangutan.
Aku tidak tahu kenapa takutku tidak berkurang. Tadinya mungkin karena mereka semua kaku, tetapi agaknya bukan itu saja.

Saat libur kenaikan kelas bulan Juni tahun 1991, keluargaku kembali menginap di sana.
Belakangan kutahu, Opa Joshua, ayah mertua Om Pras yang kebetulan sedang di sana meninggal. Aku kenal ayahnya Tante Wenny, ia kakek-kakek yang baik dan rajin berusaha melucu. Tidak jarang memberi sesuatu hadiah, entah mainan atau sepatu. Dia bukan orang asing, dan kepergiannya jadi meninggalkan kesan aneh.
Namun demikian, meninggalnya Opa Joshua membuat rumah Om Pras tidak begitu menyeramkan. Orang-orang berdatangan, saudara-saudara, dan aku punya lebih banyak teman. Kemudian aku ke gereja, mendengarkan musik dan eulogi, dan mengkhidmati saat-saat terakhir Opa Joshua menuju tempat peristirahatannya yang tenang.
Dan setelah itu semua, rumah Om Pras kembali seperti awal. Temanku hanya Didi, sementara Zora dan pasukannya senantiasa bersikap tegang di wilayahnya.

Sudah malam ketika itu. Aku sedang main video game bersama Didi, tetapi mataku tidak tahan lagi. Akhirnya aku menyerah. Kukatakan, "Aku ngantuk. Sudah dulu, ya."
Didi mengangguk alakadarnya sambil mengatakan dia akan menyusul. Aku pun beranjak sendirian. Menyusuri dua ruangan yang memanjang. Di tengah ruangan kedua kuayun langkah lebih cepat.
Hewan-hewan itu seolah langsung menangkapku, bahkan berusaha menindas bayanganku. Sesekali terbersit keinginan melirik mereka, namun perasaanku keburu makin ciut. Akhirnya sampai juga di depan kamar Didi. Aku tinggal mendorong pintunya lalu segera berbalik untuk menutupnya.
Namun, aku tidak segera melangkah ke dalam. Antara ragu dan yakin, kupikir aku baru mendengar langkah seseorang di belakang, agaknya tepat di sekitar kursi kebesaran Zora. Aduh, yang benar saja, tidak mungkin ada siapa-siapa di situ. Hanya saja aku jadi ragu, sebab dari tadi mataku terus menunduk.
Dan langkah itu terdengar lagi dengan lebih nyata. Sandal kayu, ya, itu bukan bunyi yang mudah disayupkan.

Plok...plok...plok

"Ayah..." suaraku bergetar pelan.

Plok...

Plok...plok
Sungguh itu langkah seseorang, yang berkitar-kitar di situ saja. Kemudian aku sadar, yang paling tepat adalah segera masuk ke kamar Didi.

Akan tetapi aku pun ingat, yang mengenakan sandal kayu di rumah ini cuma Opa Josua.
Kenangan malah membuat diriku semakin terperosok. Daripada mengalami yang tidak-tidak, aku lantas membuka pintu. Berbarengan dengan itu terdengar lagi sandal kayu berulang-ulang dan makin dekat.
Tanpa berpaling pintu kubanting, lalu aku menahannya dengan punggung. Oh, ya, aku juga bisa menguncinya, tetapi itu tidak perlu.

Lain halnya setelah terdengar ketukan berulang dari luar.

Tok tok tok...

"Iya, siapa?"

"Bukain pintunya, kok kamu kunci, sih."
Ah, leganya mendengar suara Didi. Maka aku berbalik segera lalu membuka pintunya.

"Maaf, aku enggak sengaja, Di."

Adik sepupuku tidak ada. Sedangkan aku telah berhadap-hadapan dengan Zora dan lain-lain.
Kali ini aku dan dia tak bisa menghindari kontak mata. Batinku tersengat. Karena rupanya kera besar itu tidak begitu menyeramkan ketimbang wujud Opa Joshua yang tengah mengusap rumah kaca orang utan itu.
Opa Joshua melirik ke arahku. Tatap yang kering dan tidak peduli. Dia seperti biasanya di saat masih hidup, dengan kaos dan kain tenun Sumba yang melilit kaki. Akan tetapi dia tak seharusnya ada di rumah ini.
Aku membanting pintu kedua kali, menguncinya, kemudian kabur ke dalam selimut. Hati sudah karuan ribut. Menunggu tegang dari saat ke saat. Kian lama, syukurlah, gangguan yang kukira semakin menjadi ternyata tidak ada.
Semoga tidak pernah datang lagi. Akan tetapi tidak gampang mengenyahkan Opa Joshua, Zora, dan lain-lain dari dalam kepala. Ia seolah hadir di dalam kamar, sangat dekat, bahkan hendak menyelinap ke dalam selimut.
Kemudian berbunyi lagi ketukan. Suara yang sama. Didi. Awalnya aku tak percaya, hingga ia terdengar kesal lantaran mengira aku sengaja mengerjainya.

"Kenapa dikunci sih, Mas?" ucapnya sewot.

Pintu terbuka.

Aku pun menceritakan pengalamanku beberapa saat kemudian.
"Kamu lihat Opa?" komentar Didi dengan terpana.

"Demi Tuhan, aku lihat jelas."

"Selain itu apa lagi?"

"Cuma itu."

"Sebelumnya?"

"Maksud kamu apa?"
"Santai saja. Aku paham perasaan Mas di rumah ini."

Mendapat kesempatan mengeluh membuatku lebih tenang. "Terus terang, memang baru sekali ini. Tapi aku sudah lama takut dengan hewan-hewan itu."
"Kamu enggak salah, Mas. Aku juga dulu ketakutan, apalagi awal-awal harus tidur sendiri. Cukup lama sampai aku jadi biasa. Terus terang juga, aku selalu membujuk papa supaya kamu menginap di sini."

"Jadi, perasaanku wajar, ya?"
"Bahkan itu bukan sekadar perasaan. Memang hewan-hewan itu seram, tahu."

"Kamu punya pengalaman apa?"

"Aku percaya mereka sering bergerak sendiri, bahkan lebih dari itu."

"Ha?"

"Kamu tahu buaya yang di ruang tamu?"

"Ada apa?"
"Aku yang membuat dia dipindahkan sendirian di sana. Kata papa, aku kesurupan berkali-kali karena sesuatu yang ada di dalam spesimen itu."

"Hewan-hewan itu memang seperti bernyawa."
"Papaku sangat suka taksidermi. Itulah alasannya binatang-binatang di rumah ini begitu ekspresif."

"Semuanya dibuat-buat?"

"Ya, dia yang membuatnya. Kelihatannya rumit."

"Bagaimana mereka mati?"

"Kamu pernah mengira mereka dibunuh papaku?"
"Hmm, enggak mesti begitu, sih."

"Sebelumnya aku pikir begitu."

"Ternyata?"

"Hewan-hewan itu dia dapatkan sudah mati."

"Termasuk ular dan buaya?"

"Semuanya. Kebanyakan itu pemberian orang atau dibeli bangkainya."
"Macan itu?"

"Kambila, ya, dia dari kolektor yang terpaksa menembaknya mati karena menerkam anaknya."

"Kukira beberapa mereka dibunuh papamu."

"Dia cuma berburu rusa dan babi. Kamu tahu cerita Zora?"

"Aku tahu dia seorang ibu. Sebatas itu."

"Zora itu pelacur."
"Zora itu pelacur."

"Pelacur WTS?" aku tidak pernah berharap mendengar ucapan sejauh ini.

"Bagaimana, ya, pokoknya dia melayani seks untuk pria."

"Aku juga enggak tahu banyak tentang itu."
"Mana mungkin kita tahu. Begini deh, kata papa, Zora diburu dari hutan di Borneo lalu dijual kepada seorang dukun. Ia kemudian dilatih, atau dipaksa dengan sadis, sampai bisa berhubungan badan dengan pria."

"Jijik sekali, bagaimana bisa manusia begituan dengan kera?"
"Supaya kaya dan sakti."

"Ah, ceritamu aneh. Kamu baca buku apa, sih?"

"Papaku yang cerita, dia enggak pernah membohongiku."

"Dan Zora mengerti berhubungan seks dengan manusia?"

"Begitu yang kudengar."
"Aku enggak menuduhmu bohong, tapi cerita ini susah kupercaya."

"Orang utan sangat pintar, Mas. Kata papa, dia sudah di ambang zaman batu."

"Seperti masa paleojavanicus?"

"Ya, tinggal saatnya mereka menemukan api, dan kita enggak bisa membayangkan ke depannya."
"Tapi, apa benar Zora punya napsu dengan manusia?"

"Menurutku manusia juga enggak bernapsu padanya."

"Tetapi manusia-manusia menjijikkan itu punya maksud, kan."

"Kalau itu, Zora juga punya maksud. Agar dia enggak disiksa oleh si dukun."
Dengan urutan seperti itu, aku lantas menebak, "Akhirnya Zora dibunuh?"

"Konon, dia berusaha kabur lalu ditembak. Kebetulan ada orang baik yang menyelamatkan jasadnya, begitulah sampai akhirnya ia berpindah tangan menjadi milik papa."
"Tunggu dulu, aku belum paham, kenapa manusia yang begituan sama Zora bisa kaya dan sakti."

"Sejauh yang diceritakan, dia dipengaruhi roh jahat, arwah, atau semacamnya. Gampangnya begini, roh itulah yang sebenarnya mau begituan sama manusia, sebelum ia memberi imbalan. Lalu dia menggunakan Zora untuk penampilan fisik. Kamu percaya ada roh jahat dan setan?"
"Tentu, itu ada di Alkitab. Aku kan lebih rajin kebaktian daripada ayah. Tapi, soal Zora, artinya dia enggak secerdas itu dong."

"Kamu benar juga. Yang pasti aku cerita sesuai yang diceritakan. Omong-omong,
aku juga pernah lihat Opa sebelum dia meninggal. Mirip dengan kisahmu yang tadi. Opa mengusapi rumah Zora, menatapnya dalam-dalam, seakan mereka berdua sedang saling bicara. Dia itu sayang Zora setengah mati, padahal hewan itu kan sudah mati, ya."
"Tapi itu bukan kisah horor, Didi. Opa Joshua masih ada."

"Sayangnya, opa baru datang kemari keesokan malamnya."

"Ha!"

"Masih banyak cerita tentang Zora. Roh itu rupanya terus mengikutinya ke mana pun. Mamaku pernah mengamuk karena pengaruh roh itu. Kamu masih mau dengar?"
"Boleh. Cerita saja."

"Tapi aku pipis dulu, ya."

Didi bergegas ke kamar kecil yang ada di sudut kamar. Kembali aku sendiri, namun untuk sementara. Keran air terdengar mengucur dari situ. Dan aku terbayang lagi kisah memilukan Zora.
Tiba-tiba, "Hey, kenapa kamu melamun saja?"

Didi tampak di pintu masuk yang baru saja didorongnya. Sebaliknya, aku mendengar pintu kamar mandi dibuka.

***
Peristiwa aneh itu terjadi saat aku berumur 15 tahun. Aku tidak pernah melihat Didi kembali dari kamar mandi. Di sisi lain, Didi yang belum begitu lama tiba, menjerit seketika lantaran sesuatu yang sukar kumengerti.
Lantas ia menyuruhku pergi. Aku tidak melihat, mendengar, atau berfirasat apa-apa saat itu. Semua serba membingungkan. Namun, aku segera sadar ketika Didi mengepalkan tangannya, lalu diacungkan, seiring tubuhnya yang menggeletar.
Dan ia meracau tentang Zora. Aku berlari menghampirinya, kemudian melihat suatu bayangan hitam dari dalam rumah Zora berkelibat ke arah Didi.

Adik sepupuku tidak dapat menemukan kesadarannya sejak itu.
Butuh waktu lama, meskipun telah dimintakan bantuan gereja, departemen psikiatri dan ahli neurologi, sampai pemuka agama Islam. Dia kehilangan masa belajar yang sangat berharga.
Om Pras berkisah, Zora pernah dibersihkan segera setelah Tante Wenny dirasuki, dan tidak pernah ada keanehan sesudah itu. Namun, pengamatan itu terbukti meleset.

Pada 1999 Om Pras pergi melewati perbatasan Indonesia di Borneo.
Aku hanya tahu dia hendak mengembalikan Zora kepada seseorang di hutan. Tiga hari selepas keberangkatan Om Pras, Didi secara ajaib sadar dan dapat melakukan semuanya secara normal. Akan tetapi aku tidak pernah lagi melihat Om Pras.

***

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Creepylogy

Creepylogy Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @creepylogy_

Aug 26
Ini adalah panguman atau tempat berendam air hangat di Sungai Serayu. Saya pernah diceritakan kakak leting, tentang satu kisah horor juga sedih yang berkaitan dengan tempat ini. Seorang santri hanyut setelah berkali-kali dihantui mimpi aneh. Ceritanya nyambi ya. Image
Seingat saya, dulu, kejadian hanyut di area panguman ini bukan hal langka. Saya juga pernah hanyut di situ, terseret sampai lewat jembatan, untung masih selamat. Kalau gak selamat, cerita ini lebih menyeramkan.

Serius. Penyebabnya adalah banjir dari hulu yg sungai ada di Dieng.
Saya diceritakan peristiwa ini tahun 1999 atau 2000. Kejadiannya sebelum itu. Anak tsanawiyah, mondok. Karena panguman letaknya dekat dari pondok, maka banyak santri yang angum (berendam). Tempat ini ramai siang malam, bahkan jam 2 pagi pun ada yg berendam. Apalagi gratis.
Read 13 tweets
Aug 17
– Wirjo dan Pembantaian Banjarsari 1987 –

Semua berawal dari Wirjo yang senang miras, main perempuan, dan judi. Gara-gara itu ia menebas dengan celurit dan parang siapa saja yang ditemuinya di jalan. Salah satu tragedi yang seharusnya tidak perlu ada. Masyarakat Banyuwangi masih mengingatnya sampai sekarang.
14 April 1987, Wirjo untuk kali kesekian cekcok dengan istrinya, Indirah. Penyebabnya tidak jauh, yakni uang. Pria yang terkenal temperamental ini kemudian mengamuk. Indirah dipukuli, malahan akan dibunuh sebelum ia berhasil menyelamatkan diri ke rumah orang tuanya.

Namun, rupa-rupanya otak Wirjo sudah gelap.
Esok paginya Wirjo mengasah celurit dan parang di halaman belakang rumahnya di Desa Banjarsari. Tidak jauh di depan mata, Renny (anak angkatnya) dan temannya, Arbaiyah yang sama berumur 4 tahun sedang bermain.
Read 20 tweets
Aug 5
– Kuntilanak di Lemari –

Ngilu ini ceritanya 😖

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror @Penikmathorror @threadhororr @menghorror
#bacahorror #ceritaserem Image
Bapakku punya pusaka, bukan aji-aji, hanya semacam benda yang katanya diwariskan secara turun temurun. Bentuk pusaka itu yang sesungguhnya tidak jelas,
karena aku belum pernah melihat isinya. Pokoknya bulat, dalamnya konon dililit serat-serat kayu, lalu dililit kain, luarnya dibungkus tas kulit. Memang kecil.
Read 73 tweets
Jul 11
"Cerita Horor di Bekas Rumah Jeffrey Dahmer"

Salah satu pembunuh berseri terkejam dalam setengah abad terakhir ini tidak membiarkan legendanya menguap bersamaan dengan kematiannya. Jeffrey Dahmer meninggalkan cerita horor di sejumlah hunian yang pernah ia tempati.
Kembali ke tahun 1978. Sebuah rumah-hutan 700 meter persegi di Bath Road, Ohio. Di sekitarnya adalah bentangan pepohonan setinggi menara, juga jalanan sepi. Rumah itu sendiri menempati lahan seluas 1900 meter persegi.
Jeffrey Dahmer telah tinggal di sana selama 10 tahun, baru lulus SMA beberapa waktu lalu, tetapi ia kesepian di rumah. Orang tuanya bercerai. Ayahnya kerap pergi menemui gandengan baru. Segala hal jadi semakin sukar ia pahami.
Read 42 tweets
Jun 24
-RUQYAH-

Rahasia kesaktian dukun teluh Dulono 🤮

(16)
Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @menghorror
#bacahorror
Bikin kopi dulu.
(16)

Pada saat itu dapat dikatakan Marissa telah hidup sendiri, kalau bukan namanya bercerai. Memang ia belum talak secara hukum, tetapi rumah tangganya tidak bisa lagi diharapkan bertahan lebih lama.
Read 98 tweets
Jun 18
-KOMPILASI CERITA HOROR REDDIT-

Saya selalu suka Reddit. Bikin geleng-geleng ceritanya. Mana true story lagi. Saya post terjemahan bebasnya yang lebih singkat. Kalo rame nanti bisa dibikin utas bulanan.

Oke, mulai.
1. Menginap di hotel

Aku berkendara sembilan jam menemui orang tuaku untuk menjemput putriku yang dititipkan pada mereka. Kami bersepakat jumpa di satu hotel.
Setelah bertemu aku menawarinya menginap dan kuharap mereka mau. Namun ayahku berkata ia akan pulang saja. Jadi, aku hanya menginap bersama putriku. Segera check in lalu pergi ke kamar yang ditentukan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(