– Kasus Petrus Bakus, polisi yang memutilasi anak-anaknya –
Mantan anggota Sat Intelkam Polres Melawi ini membacok leher dua anaknya yang masih balita lalu memutilasinya. Hakim kemudian memvonisnya bebas.
Peringatan!! memuat deskripsi kekerasan.
Dari sembilan bersaudara, Petrus Bakus adalah yang paling cerdas. Langganan berprestasi di sekolah dan menjadi kebanggaan orang tua. Pada 2007 ia mendaftar polisi dan lulus dengan sangat memuaskan, malah disebut mendapat nilai tertinggi. Januari 2016, Bakus naik pangkat menjadi brigadir.
Saat itu dia sudah menikah dengan Windri Hairin Yanti, wanita asal Banyuwangi. Dari perkawinannya lahir Fabian (4) dan Amora (3). Anak-anak itu tampak manis dan pintar. Namun, rumah tangga Bakus dan Windri tidak semanis itu. Mereka kerap cekcok. Kata Windri, suaminya temperamental.
Tidak tahan dengan perlakuan suami, Windri sempat meminta cerai. Keduanya juga berbeda keyakinan, entah hal ini berpengaruh atau tidak, yang jelas, itulah yang diinginkan Windri.
Suatu hari, Windri mendengar celoteh Amora yang masih polos, "Katanya mak mau dibunuh."
"Kata siapa?" balas Windri heran.
"Papa."
Ucapan Amora rupanya diamini oleh kakaknya, Fabian, yang mengatakan hal serupa. Pada satu kesempatan, di atas motor bocah sulung itu berkata pada mamanya, "Kalau papa bunuh kita, kita akan mati dan dikubur seperti kakek, ya?"
Windri tak begitu menghiraukan celoteh Faabian. "Hush, jangan bilang begitu," tepisnya.
Celakanya, kata-kata itu segera terbukti, meskipun wanita itu tidak sampai terbunuh.
Pada Jumat (26/2/2016) dinihari, sekira pukul 00.05, Windri yang sedang tidur sendiri di kamarnya mendadak terbangun. Mungkin ini firasat. Yang pasti, ia kemudian melihat Bakus mendatanginya. Lelaki itu menenteng parang dan mengenakan sweater abu-abu.
Karuan hati merasa tidak enak, Windri bertanya, "Kau mau bunuh saya kah?"
"Ya," singkat Bakus.
"Tunggu, saya mau tengok dulu anak-anak."
"Anak-anak sudah tidak ada."
"Maksudnya?"
Bakus menunjukkan sweaternya, dan ada bercak darah di situ, sambil berkata, "Ini darahnya."
Windri berusaha merebut parang dari tangan Bakus, tetapi segera ditepis. Dalam situasi segawat itu, ia berkata, "Oh, masukkan dulu parangnya." Lalu suaminya melempar sajam ke dalam kamar.
Lantas Windri mendatangi kamar anaknya. Ucapan Bakus bukan isapan jempol belaka. Kamar itu telah bergelimang darah. Fabian dan Amora tertelungkup tak bernapas.
Leher kena bacok, kedua tangan dan kedua kaki pun terpisah dari badan. Tak lama setelahnya ia berbalik lalu memeluk Bakus dan bertanya, "Kau sadar gak, Pa?"
Jawab Bakus, "Saya sadar."
"Kok mereka gak ada nangis, minta tolong begitu."
"Mereka pasrah, dik. Mereka yang mau."
"Siapa yang suruh?"
Dengan dingin pria itu katakan, "Tuhan Yesus yang menyuruh."
Bakus tak berhenti di situ. Selanjutnya sudah jelas akan bagaimana, Windri gilirannya dibunuh. Dia dengan enteng berkata, "Mandilah kau, Dik, atau aku mandikan. Biar bersih dan suci."
Tidak terukur lagi sehebat apa tekanan yang dihadapi Windri, akan tetapi dia masih punya akal. Dia minta izin ingin minum dulu. Suaminya membolehkan. Windri berkata, "Aku ambil sendiri atau diambilkan?"
"Biar kuambilkan," ujar Bakus.
Pria itu selanjutnya berjalan ke kamar anak-anaknya yang telah tewas untuk mengambilkan air minum. Di saat itulah Windri kabur terburu-buru. Bakus sadar dirinya terkecoh, tetapi ia sudah kalah langkah.
Perempuan ini menghambur ke rumah Kasat Intelkam Amad Kamiludin. Namun, pintu tidak segera dibuka. Beruntung ada anggota lain, yakni Sukadi yang bergegas menolongnya. Sedangkan Bakus tak punya pilihan lagi, saat itu juga ia akui perbuatannya sekaligus menyerahkan diri.
Peristiwa ini menggemparkan masyarakat Melawi bahkan se-Kalimantan Barat, lebih-lebih terjadi di komplek asrama polisi. Bupati, bahkan Kapolda Kalimantan Barat sampai turun gunung.
Apa motif Bakus menghabisi anak-anaknya? Mengingat ini adalah pembunuhan yang begitu sadis, pasti ada motif luar biasa di balik itu. Penyidik mulanya agak sulit mengorek informasi dari pelaku, terutama karena Bakus menunjukkan gejala mental tidak stabil.
Bakus disebut kadang tertawa sendiri di kamar tahanan. Bicaranya ngawur, dan mengklaim bahwa perbuatannya adalah perintah Tuhan. Polisi juga menemukan kertas berisi tulisan tangan pelaku di TKP, berbunyi, "Terjadilah padaku menurut perkataanmu".
Dugaan kejiwaan Bakus terganggu muncul tak lama berselang. Pasalnya, ia bukan anggota yang bermasalah. Kinerjanya bagus, bahkan pernah menjadi pengawal salah satu calon bupati dalam Pilkada Melawi 2015.
Dia hanya pernah sehari mangkir dari tugas dengan alasan yang dapat dimaklumi. Adapun kehidupan pribadinya, meski disebut temperamental, tidak ada catatan ia pernah melakukan kekerasan terhadap anak.
Penyelidikan, rekonstruksi, dan persidangan kemudian menguak fakta lebih dalam, antara lain sebagai berikut:
- Awal rentetan kejadian sejak 23 Februari 2016. Ketika itu Bakus minta tolong adik letingnya, Darma Saputra, agar dibelikan parang dan arit untuk membersihkan halaman. Tanpa curiga Darma memenuhi permintaan Bakus.
- Tidak hanya minta tolong dibelikan parang dan arit, Bakus juga mengajak saksi Darma membersihkan halamannya. Namun, Darma menolak karena saat itu ia akan bertugas.
- Pada malam hari, beberapa saat sebelum pembunuhan, Bakus mengajak dua korban ke rumah Kasat Intelkam, Amad Kamiludin. namun yang bersangkutan sudah tidur. Tidak diketahui secara pasti apa maksud pelaku mengunjungi rumah Amad.
- Bakus pulang bersama anak-anaknya. Ia pun segera memandikan Fabian dan Amora. Setelah mandi keduanya dikumpulkan di dalam kamar.
- Bakus menyuruh Fabian dan Amora telungkup di kasur. Posisi keduanya berdempetan. Selanjutnya, dengan parang yang sudah disiapkan, Bakus membacok leher Fabian.
- Amora yang melihat hal tersebut hanya meringis takut. Namun Bakus tidak peduli. Segera sesudah itu ia membacok leher Amora.
- Bakus tidak langsung menemui istrinya, melainkan memutilasi kedua tangan (dipotong di atas siku) dan kedua kaki (dipotong di atas lutut) para korban, disamping melukai bagian tubuh yang lain.
- Setelah memutilasi kedua korban, Bakus pergi ke dapur untuk mengasah parang. Selanjutnya ia pergi ke kamar dengan maksud membunuh Windri.
- Ditemukan potongan-potongan kayu, daun kering, dan ranting di halaman yang sebenarnya akan digunakan untuk membakar jasad para korban (termasuk Windri jika terbunuh) dan dirinya sendiri.
- Hasil visum Biodekkess Polda Kalbar menunjukkan kedua korban meninggal karena luka bacok yang mengakibatkan terpotongnya pembuluh, otot, dan, persyarafan belakang, dan terpotongnya selaput keras otak dan selaput lunak otak.
- Visum juga menunjukkan luka bacok di pipi, luka tusuk di dada, luka tusuk di punggung, dan sejumlah luka bacok dan memar lainnya. Artinya perusakan tubuh para korban dilakukan setelah mereka tidak bernyawa.
- Bakus di persidangan menyatakan tidak bisa mengingat perbuatannya. Akan tetapi di waktu sebelumnya ia pernah bicara kepada salah seorang saksi bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya (membunuh anak-anaknya).
Belakangan Bakus dianggap pura-pura gila.
Selama persidangan jaksa penuntut juga saksi Windri menyangkal kejiwaan Bakus kacau. Dia dianggap baik-baik saja, pikirannya waras, bisa naik motor, juga mampu bertugas seperti biasa. Apa mungkin seseorang ujug-ujug gila?
Penuntut bahkan menyatakan, bahwa selama masa persidangan, pelaku dan saksi Windri melakukan komunikasi dengan baik. Disebut juga keadaan Bakus di dalam tahanan cukup baik, dan ia dapat berinteraksi dengan orang lain seperti manusia normal.
Hanya saja, hasil pemeriksaan psikologi menyatakan, pelaku mengidap gangguan skizofrenia akut. Dalam situasi tertentu yang tidak dapat ditebak, terdakwa bisa mengalami delusi atau halusinasi, yakni tidak mampu mengenali realitas sebagaimana mestinya.
Namun, secara lahiriah terdakwa tampak seperti manusia normal pada umumnya. Tentu saja ini menjadi pukulan telak untuk jaksa penuntut yang menuntut Bakus dengan dakwaan seumur hidup.
Akhirnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Sintang, pada 1 Desember 2016 memutus melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Selain itu hakim memerintahkan Bakus ditempatkan di rumah sakit jiwa daerah Sungai Bangkong selama satu tahun.
Jaksa penuntut mengajukan banding atas putusan tersebut. Kemudian Pengadilan Tinggi Pontianak mengoreksi masa penempatan terdakwa dari satu tahun menjadi sampai sembuh seperti sediakala.
Tidak puas juga, jaksa penuntut memohon kasasi. Namun, hasilnya justru di luar dugaan. Mahkamah Agung malah memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Kalbar sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Sintang sebelumnya, yakni menempatkan terdakwa di rumah sakit jiwa selama satu tahun.
Mejelis hakim berpendapat, sesuai pasal 44 ayat (2) KUHP, kepada terdakwa yang jiwanya cacat, hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai masa percobaan.
Tidak diketahui bagaimana kondisi kejiwaan Petrus Bakus hari ini. Saya sudah meminta konfirmasi pihak RS Sungai Bangkong melalui pesan elektronik, tapi belum memperoleh tanggapan.
Mudah-mudahan kejiwaan pasien sudah pulih dan stabil seperti yang diharapkan. Juga untuk saksi Windri sekaligus istri pelaku, semoga memperoleh pendampingan psikis dan moril yang layak agar dapat melanjutkan hidup dengan baik.
Tambahan 1, keterangan saksi Windri (istri terdakwa) dalam putusan kasasi.
Tambahan 2, keterangan saksi Amad Kamiludin, dalam putusan kasasi.
Tambahan 3, keterangan Romo Karyono, dalam salinan putusan kasasi.
Tambahan 4, Perihal keberatan penuntut umum, dalam salinan kasasi. Sandwich gen ternyata.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
– Anak ini dikurung di dalam kandang kucing, disiksa sampai mati –
Pelakunya bukan siapa-siapa, melainkan kedua orang tua kandungnya sendiri.
Mana kacamatanya mirip lagi.
Utas
Ridzuan Mega Abdul Rahman dan Azlin binti Arujunah telah menikah beberapa tahun dan dikarunai anak. Pada 2011 putranya yang lain lahir–yang kemudian menjadi korban penyiksaan. Nama anak ini tidak dapat diketahui atas perintah pengadilan Singapura.
Sesudah anak itu lahir, teman dekat Azlin, Zufarina memintanya untuk mengurusnya. Azlin setuju. Demikianlah anak itu kemudian diasuh orang tua angkat sampai umur 4 tahun.
Ini adalah panguman atau tempat berendam air hangat di Sungai Serayu. Saya pernah diceritakan kakak leting, tentang satu kisah horor juga sedih yang berkaitan dengan tempat ini. Seorang santri hanyut setelah berkali-kali dihantui mimpi aneh. Ceritanya nyambi ya.
Seingat saya, dulu, kejadian hanyut di area panguman ini bukan hal langka. Saya juga pernah hanyut di situ, terseret sampai lewat jembatan, untung masih selamat. Kalau gak selamat, cerita ini lebih menyeramkan.
Serius. Penyebabnya adalah banjir dari hulu yg sungai ada di Dieng.
Saya diceritakan peristiwa ini tahun 1999 atau 2000. Kejadiannya sebelum itu. Anak tsanawiyah, mondok. Karena panguman letaknya dekat dari pondok, maka banyak santri yang angum (berendam). Tempat ini ramai siang malam, bahkan jam 2 pagi pun ada yg berendam. Apalagi gratis.
Izin tag
@IDN_Horor @bacahorror @Penikmathorror @threadhororr @menghorror
#bacahorror
Sewaktu anak hingga remaja, aku paling takut pada Om Pras. Dia adalah adik ibuku. Kata ibu dan ayah, Om Pras orang kaya. Orang tuaku juga bukan orang miskin. Tetapi karena mereka menyebutnya kaya, kurasa memang dia lebih kaya.
Om Pras lumayan nyentrik. Kata ayahku, hobi Om Pras berburu dan mancing. Dia senang membawa senapan laras dan pergi dengan mobilnya yang kaku. Atau adakala ia pergi dengan laras kail.
Semua berawal dari Wirjo yang senang miras, main perempuan, dan judi. Gara-gara itu ia menebas dengan celurit dan parang siapa saja yang ditemuinya di jalan. Salah satu tragedi yang seharusnya tidak perlu ada. Masyarakat Banyuwangi masih mengingatnya sampai sekarang.
14 April 1987, Wirjo untuk kali kesekian cekcok dengan istrinya, Indirah. Penyebabnya tidak jauh, yakni uang. Pria yang terkenal temperamental ini kemudian mengamuk. Indirah dipukuli, malahan akan dibunuh sebelum ia berhasil menyelamatkan diri ke rumah orang tuanya.
Namun, rupa-rupanya otak Wirjo sudah gelap.
Esok paginya Wirjo mengasah celurit dan parang di halaman belakang rumahnya di Desa Banjarsari. Tidak jauh di depan mata, Renny (anak angkatnya) dan temannya, Arbaiyah yang sama berumur 4 tahun sedang bermain.
Bapakku punya pusaka, bukan aji-aji, hanya semacam benda yang katanya diwariskan secara turun temurun. Bentuk pusaka itu yang sesungguhnya tidak jelas,
karena aku belum pernah melihat isinya. Pokoknya bulat, dalamnya konon dililit serat-serat kayu, lalu dililit kain, luarnya dibungkus tas kulit. Memang kecil.
Salah satu pembunuh berseri terkejam dalam setengah abad terakhir ini tidak membiarkan legendanya menguap bersamaan dengan kematiannya. Jeffrey Dahmer meninggalkan cerita horor di sejumlah hunian yang pernah ia tempati.
Kembali ke tahun 1978. Sebuah rumah-hutan 700 meter persegi di Bath Road, Ohio. Di sekitarnya adalah bentangan pepohonan setinggi menara, juga jalanan sepi. Rumah itu sendiri menempati lahan seluas 1900 meter persegi.
Jeffrey Dahmer telah tinggal di sana selama 10 tahun, baru lulus SMA beberapa waktu lalu, tetapi ia kesepian di rumah. Orang tuanya bercerai. Ayahnya kerap pergi menemui gandengan baru. Segala hal jadi semakin sukar ia pahami.