Sumpah pocong menjadi awal dari teror yang terjadi di salah satu desa di Jawa Timur..
- A Thread -
#bacahorror
Mereka diperlakukan layaknya jenazah. Dimandikan, disholatkan, dan dibungkus dengan kain kafan.
“Edan, uwong-uwong kuwi wis edan..”
(Gila, orang-orang itu sudah gila) gumam bapak.
“Kuwi ngopo to pak? kok medeni?” (Itu kenapa to pak? kok nakutin) Tanyaku.
Bapak tidak segera menjawabku, ia masih melirik-lirik diantara warga desa lain sembari melihat pada kedua orang yang sekarang sudah terbungkus kain kafan sepenuhnya.
“Sumpah pocong…” (Jawab Bapak)
Mereka adalah Pak Kadirin suami dari Bu Denok, dan Imah anak dari Pak Raji.
Aku sempat mendengar Pak Rusli sudah bertemu dengan mereka untuk menengahi permasalahan mereka, tapi aku tidak menyangka hasilnya akan seperti ini.
“Setelah terbukti bahwa janin di perut anak sundal itu bukan anak saya, keluargamu juga harus meninggalkan desa ini malam ini juga!” Teriak Pak Kadirin yang sudah terbungkus kafan.
Iapun segera mengambil posisi di sebuah tikar yang telah disiapkan bersama beberapa saksi.
“Pak, Imah gimana pak? Imah takut..” rengek Imah ketakutan melakukan ritual itu.
Aku sedikit iba melihatnya. Umurnya yang baru belasan tahun sudah harus menghadapi masalah sepelik ini.
dari desas desus warga barusan, aku baru tahu bahwa imah hamil dan menuduh Pak Kadirin yang menghamilinya. Pak Kadirin jelas membantahnya. Sudah beberapa hari pertikaian diantara keluarga mereka terus berlanjut hingga tidak menemukan titik temu.
Pak Raji yang terus berusaha menuntut keadilan terus mendesak Pak Kadirin untuk mengaku sampai akhirnya Pak Kadirin menantang Imah untuk melakukan suatu ritual yang lama tidak terdengar di desa kami.. Sumpah Pocong.
“Kamu yakin tidak berbohong kan, Mah?” tanya Pak Raji.
“Imah jujur pak..” ucapnya sambil menangis.
“Kalau kamu jujur, kamu akan selamat.. bapak akan jagain kamu” hibur Pak Raji.
Imah tidak punya pilihan, sepertinya Pak Rajipun sudah terdesak.
Kalau ia menghindar maka anaknya akan dicap warga desa sebagai pembohong, wanita murahan, dan harus hidup menanggung beban itu bersama anak di kandunganya. Apalagi nama keluarga mereka juga ikut rusak.
Seketika suasana rumah pak rusli menjadi hening. Tidak ada suara bisik-bisik sedikitpun di gelapnya malam saat itu. Semua penasaran menyaksikan ritual itu dengan hening hingga akhirnya Ustad Ramli itu menyelesaikan mantranya.
Pak Kadirin menoleh ke arah Imah, namun wajahnya malah terlihat ketakutan.
“Pak! cepat bacakan sumpahnya! Jangan bilang bapak takut!” ucap Bu Denok Istrinya dengan wajah kesal setengah mati.
Pak Kadirin terlihat menelan ludah..
“Bapak mau menarik ucapan bapak tadi?” tawar Ustad Ramli.
“Nggak!” teriak Bu Denok, “Bapak nggak salah, dia akan buktikan di sini.”
Mendengar ucapan istrinya, Pak Kadirinpun terus membacakan sumpah yang sudah tertahan di tenggorokanya.
…
“Saya Kadirin bin Hasbin, dengan kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun melakukan sumpah Mubahala….
Waulaahi, Billahi, Taulaahi….
Laknat Allah atas diriku, dan matilah aku saat ini juga bila aku berdusta…
Bahwa saya benar tidak berbuat apapun yang dituduhkan oleh imah. Anaknya bukan anak saya, Bila saya berbohong saya… Saya…”
Pak Kadirin terlihat pucat saat ingin mengucapkan kata-kata terakhirnya.
“Saya tidak akan terbangun dari wujud pocong ini”
Seketika perasaan aneh terjadi lagi dengan datangnya angin dingin di sekitar tengkuk kami.
Setelah menerima sumpah itu, Ustad Ramli pun mengelilingi tubuh sembari membacakan doa.
Tak lama kemudian mereka berduapun tertidur dan Ustad Ramli menutupi wajah kedua orang itu dengan selembar kain putih.
“Saat lewat tengah malam akan ada salah satu dari mereka yang tidak terbangun,” ucap Ustad Ramli.
Wajah Bu Denok dan Pak Raji saat itu terlihat pucat menahan rasa tegang akan hasil dari sumpah pocong ini. Tengah malam masih lama, kamipun merasa harus tetap berada di tempat itu sebagai saksi atas ritual ini.
***
Sudah tiga hari pasca kejadian sumpah pocong antaran Kadirin dan Imah. Sama sekali tidak ada yang menyangka hasil dari ritual yang sudah sangat lama tidak pernah dilakukan itu.
Tepat saat malam melewati puncaknya, Ustad Ramli membuka kain putih yang menutupi wajah Imah dan Kadirin. Namun tidak ada dari mereka berdua yang terbangun.
Mereka berdua meninggal…
Seluruh warga kebingungan. Pak Raji dan Bu Denok menangis menuntut jawaban pada Ustadz Ramli bagaimana itu bisa terjadi. Tapi Ustadz Ramli pun bingung. Penyesalan muncul di wajah Bu Denok dan Pak Raji.
Mungkin mereka berpikir seandainya saja mereka melarang anak dan suaminya itu melakukan sumpah pocong.
Paginya pemakaman pun dilakukan. Warga tidak terlalu banyak berbicara pada Pak Raji dan Bu Denok.
Mereka lebih banyak bergunjing sesama warga mempertanyakan tentang hasil sumpah pocong ini. Walau begitu setidaknya warga desa menganggap pemakaman itu adalah akhir dari konflik ini. tapi ternyata mereka salah.
Suatu malam aku dan beberapa warga sedang menonton tayangan sepak bola di pos. di masa itu televisi masih merupakan barang mewah dan tidak semua orang bisa memilikinya. Pos ronda adalah tempat favorit untuk kami untuk menonton televisi saat ada tayangan-tayangan yang ramai.
Saat malam semakin larut, ada seorang anak bernama Ragil yang menatap ke arah jalan yang berdekatan dengan kebun pisang. Wajahnya pucat, dan hanya terpaku ke arah itu.
“Gil! Ngapain?” aku memainkan tanganku di hadapan matanya.
“Mas, a—aku pulang duluan ya..” ucapnya terlihat ketakutan.
Kami pun curiga dan menoleh ke arah yang membuat Ragil ketakutan seperti itu.
Tidak jauh dari tempat kami berada, di jalan desa yang bersebelahan dengan kebun pisang terlihat sosok pocong yang melayang perlahan melintasi jalan desa.
“Po—pocong!!!”
Semua melihatnya dengan jelas, itu bukan bayangan putih layaknya asap.
Tapi sosok makhluk yang terbungkus kain kafan lusuh yang melayang.
Saat menyadari penampakan itu seketika pemuda yang berkumpul di tempat itu membubarkan diri dan lari terbirit-birit menuju rumahnya masing-masing. Aku dan Yono pun terpaksa memutar untuk sampai ke rumah.
Keesokan harinya kabar mengenai penampakan pocong itu menyebar ke warga desa, tapi cerita dari pemuda pos ronda saat itu hanya menjadi cerita biasa di desa Patirejo. Sampai pada malam berikutnya sesuatu terjadi.
Tok.. tok.. tok… tok… tok…
Suara ketukan terdengar di rumah Yono di malam hari. Saat itu Yono dan orang tuanya sudah tertidur. Ibu Yono tahu suara ketukan itu bukan berasal dari rumahnya namun karena suara ketukan itu terus terdengar ia pun terbangun dan mencoba mengintip dari gorden rumahnya.
Benar.. ketukan itu berasal dari depan rumahnya, rumah Bu Denok. Namun Ibu Yono tidak pernah menyangka dengan apa yang dilihatnya.
Kini ia tahu mengapa tetangga di depan rumahnya itu tidak membuka ketukan pintu itu. pemandangan yang Ia lihat saat itu seketika membuatnya lemas.
Di hadapannya ada pocong yang tak henti-hentinya mengetuk pintu rumah Bu Denok.
Makhluk yang terbungkus kain kafan itu berdiri di depan pintu dan mengeluarkan tanganya yang membusuk dan terus mengetuk pintu rumah Bu Denok.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana takutnya Bu Denok yang tinggal seorang diri dan mengetahui ada sosok pocong yang mengetuk pintu rumahnya.
Ibu Yono pun memilih untuk menutup gorden jendelanya dan kembali ke kamarnya.
“Kenapa, Bu?” Tanya ayah Yono yang juga terbangun.
“Jangan, jangan keluar pak! Ada Pocong…”
“Hah? Ngawur kamu…!” Ayah Yono ingin memastikan ucapan istrinya itu, namun istrinya bersikeras menahannya. Ia takut jika pocong itu sampai berbalik dan menuju rumahnya.
Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali. Malam berikutnya giliran rumah Ragil. Saat itu Ragil sendiri yang mendengar suara ketukan pintu. Sebenarnya ia curiga dengan suara ketukan yang terjadi di tengah malam itu.
Namun karena merasa terganggu, ia pun membuka pintunya dan mendapati bahwa yang mengetuk itu adalah sosok pocong yang jadi perbincangan warga.
Wajahnya pocong itu menghitam seolah sudah membusuk. Ragil mencium sendiri bau amis dari sosok yang terbungkus kain kafan itu.
Entah apa yang terjadi setelahnya, tapi saat paginya Ibu Ragil menemukan Ragil terbaring tak sadarkan diri di pintu rumahnya.
“Sumpah! Itu pocong!! Mukanya serem!” Saksi Ragil.
Saati itu desa Patirejo mulai cemas dengan teror sosok pocong yang sudah terjadi selama berhari-hari. Ada yang melihat pocong itu melayang melintasi desa. Ada rumah yang diketuk tanpa henti.
Dan bahkan ada yang berpapasan di tengah jalan saat sedang memasuki desa,
Mbak indri namanya…
Ia merantau ke kota untuk bekerja dan pulang beberapa bulan sekali untuk menemui orang tuanya. Saat itu indri baru saja turun dari angkutan umum.
Ia berjalan melintasi jalan desa hingga memasuki gapura desa Patirejo.
Dari jauh, samar-samar ia melihat seseorang berdiri menatapnya. Sontak indri merasa tidak nyaman, ia merasa keanehan pada orang yang menatapnya itu.
Saat semakin dekat, tiba-tiba orang di hadapan Indri itu terjatuh lemas dan berpaling berlari ketakutan. Indri pun bingung, tapi saat itu juga ia mencium bau busuk.
Seketika indri merinding sejadi-jadinya, sesuatu menetes di lehernya membuat Indri merasa semakin panas dingin.
Ia pun menoleh dan sesosok pocong sudah berada di belakangnya.
Indri lari terpontang panting dan berteriak meminta tolong, setiap menoleh sosok pocong itu terlihat masih mengikutinya hingga sampai di dekat pos, ada beberapa pemuda yg menghampirinya.
Lelaki yang kabur tadi rupanya meminta pertolongan pada warga untuk menolong Indri, dan saat sudah banyak warga di sana. Pocong itu pun tak lagi terlihat.
Kejadian Indri semakin meresahkan ketika keesokan harinya Indri sakit dengan luka aneh di kulit bekas ludah pocong itu menetes. Rasa gatal di tubuhnya tidak mau menghilang dan terus mengeluarkan bau busuk.
Keresahan warga pun semakin memuncak, mereka mencoba melindungi diri dengan menaburkan garam krasak ke sekitar rumah mereka agar tidak didatangi pocong itu. Mereka juga sering mengadakan pengajian, berharap pocong itu tidak lagi mengganggu warga.
Tapi rupanya, usaha mereka tidak banyak membuahkan hasil. Masih ada yg mengaku rumahnya didatangi sosok pocong itu…
Pak rusli pun mengumpulkan perangkat desa dan warga yang berpengaruh untuk membahas tentang hal ini.
Ustad Ramli pun diundang untuk membahas tentang sosok pocong tersebut. Pertemuan itu mengaitkan kemunculan pocong itu dengan sumpah pocong yang dilakukan oleh Imah dan Kadirin.
Tak ada cara lain selain menghadirkan kedua orang terdekat almarhum untuk mencari tahu apa yang terjadi. Namun hal yang tidak terduga pun mereka temukan.
Bu Denok memang terlihat trauma saat didatangi sosok pocong itu,
namun sejak saat itu ia selalu mendapat mimpi bahwa ia didatangi oleh suaminya. Menurutnya, di mimpinya itu Kadirin masih bersikeras menentang bahwa ia bersalah.
Bu Denok hanya sedih melihat keadaan Kadirin di mimpinya, ia selalu mengatakan bahwa ia menuntut keadilan.
Tapi saat datang ke rumah Pak Raji, mereka pun kaget. Rupanya sudah beberapa hari Pak Raji sakit dan membuatnya tidak bisa meninggalkan ranjangnya.
"sakit… sudah hentikan.."
Bu Raji menceritakan keadaan suaminya yang selalu merintih kesakitan, bahkan saat tidur. Sudah ada beberapa obat obatan di meja yang menandakan bahwa Pak Raji telah mencoba pengobatan medis.
"Ada apa ini sebenarnya, Bu?" Tanya Ustad Ramli.
"Saya nggak tahu, Pak Ustad. Sudah kehilangan Imah, sekarang suami saya jadi seperti ini.." jawabnya sedih.
Ustad Ramli pun meminta izin untuk memeriksa Pak Raji. Ia melihat kejanggalan pada penyakit yang dialami olehnya.
Ada luka koreng di kulitnya yang terus mengeluarkan bau busuk, tubuhnya kaku, kesadaran terganggu. Pak Raji selalu berhalusinasi melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan.
“Pe–pergi! Pergi!!!”
Pak Raji menunjuk ke arah jendela. Ia benar-benar ketakutan dan berusaha menutupi matanya. Ustad Ramli pun menoleh dan ia terperanjat melihat sosok pocong berdiri di luar dari balik jendela itu.
“Astagfirullahaladzim…” Istighfar Ustad Ramli.
Ia pun membacakan ayat kursi dan doa-doa di tempat itu juga. Sosok pocong itu menghilang, namun Ustad Ramli tahu ia akan kembali lagi. Kini ia yakin, kemunculan pocong itu berhubungan dengan Pak Raji.
“Sulit untuk menolong Bapak,” ucap Ustad Ramli pada Bu Raji.
“Maksudnya gimana, Pak Ustad?”
“Penyakit itu sudah menggerogoti tubuh Pak Raji, dan dia diganggu oleh makhluk halus. Saya bisa saja meminta bantuan Kiai di pesantren untuk meruqyah Pak Raji. Tapi semua Allah yang menentukan.
Penderitaan Pak Raji bisa berakhir dengan kesembuhan, atau dengan kepergiannya..” Jelas Ustad Ramli.
Bu Raji dan Pak Rusli yang mendengarnya pun cukup bingung. Tidak ada yang menyangka Pak Raji yang sebulan lalu masih sehat kini jatuh terpuruk dengan penyakit yang mengerikan.
Namun setelah tahu usaha medis yang dilakukan tidak berdampak, Bu Raji pun menyerahkan pengobatan suaminya pada pak ustad.
Kiai Gustaf namanya. Ia datang beberapa hari kemudian bersama beberapa santrinya atas permintaan Ustad Ramli dan Pak Rusli selaku kepala desa.
Ia datang bersama beberapa santri ke rumah Pak Raji.
Seusai menunaikan Sholat Maghrib, Kia Gustaf dan para santrinya mendoakan Pak Raji dan membacakan ayat-ayat suci di kamarnya. Alunan ayat-ayat suci itu membuat Pak Raji meronta-ronta. Ia merasa tidak nyaman dan terus berteriak.
“Wong iki sing nggawe perkoro!” (Orang ini yang membuat perkara!)
Suara mengerikan terdengar dari tubuh Pak Raji. Jelas itu bukan suara Pak Raji.
Sllappp!!!
Tiba-tiba listrik di rumah itu mati tanpa sebab. Kegelapan menyelimuti kamar Pak Raji dan membuat para santri gelisah.
“Astagfirullahaladzim…Astagfirullahaladzim…” Semua Santri membaca istighfar dengan apa yang terjadi.
Daun jendela terbanting begitu saja. angin kencang berhembus bersama masuknya cahaya bulan yang sedikit menerangi kamar.
Dan sekarang, dia ada di sana..
Pocong itu ada disana…
Ia berdiri menginjak wajah Pak Raji yang tak mampu melawan.
Di Wajah…
“Urusanku selesai jika orang ini sudah mati…” ucap sosok itu dengan suara yang keluar dari tubuh Pak Raji. Sementara pocong itu hanya diam menatap tajam pada Kiau Gustaf.
“Aku tidak punya niat untuk berbicara dengan setan!” Ucap Kia Gustaf yang dengan tegas membaca doa-doa dengan tasbih di tangannya.
Pocong itu terlihat gelisah. Ia geram, suara erangannya terdengar membuat siapapun di ruangan itu merinding. tak lama kemudian pocong itu menghilang.
Mereka hampir saja bernafas lega, tapi tiba-tiba seorang santri berdiri. ia menatap Kiai Gustaf dengan mata yang memutih. kulitnya seketika memucat dan urat-urat di sekitar wajahnya menebal.
“Khek.. khek.. khe…” Santri itu tertawa mengerikan dengan liurnya yang terus menetes dari mulutnya.
“Mungkin kau mau mendengarkan bila santrimu yang berbicara.. Khek..khekk.khe..”
Kiai Gustaf geram, ia meminta santri-santrinya memegangi Santri yang kesurupan itu dan melakukan ruqyah padanya. Santri itu meronta-ronta dengan kekuatan yang tak masuk akal, namun Kia Gustaf menahan tenaganya dengan doa-doa yang ia bacakan.
“Ki–Kiai!” Teriak salah satu santrinya.
Santri yang keraskukan itu terkulai lemas, namun santri lainnya pucat melihat sesuatu di belakang Kiai Gustaf. “Po–pocong, Kiai!”
Kia Gustaf menoleh dan pocong itu tepat berada di belakang Kiai Gustaf.
Wajah hitamnya yang sudah membusuk bertatapan dekat dengan wajah Kiai Gustaf. Kali ini Kia Gustah terperanjat, ia mundur namun bukan karena takut.
“Bila tidak ingin berurusan denganku, setidaknya kau bisa menyampaikan kebenarannya.. Ini adalah kutukan yang disebabkan olehnya sendiri…”
Pocong itu berkata melalui tubuh Pak Raji lagi.
Namun sebelum Kiai membacakan doa-doanya lagi, pocong itu mundur pergi dan meninggalkan mereka. Ia benar-benar menghilang dari kamar itu.
Tapi untuk kali ini Kiai Gustaf memahami sesuatu.
Kia Gustaf meminta Pak Ruslin dan Bu Raji untuk berkumpul bersama mereka.
Ada sesuatu yang akan ia lakukan dan itu semua harus disaksikan oleh Bu Raji.
Sebuah doa panjang dibacakan oleh Kiai Gustaf dan Santri-santrinya. segelas air putih yang telah didoakan diminumkan pada Pak Raji. kali ini semua berjalan baik.
Pak Raji pun membuka matanya dan mulai mendapati kesadaranya.
“Ibu…” ucap Pak Raji dengan lemah.
“Alhamdulillah, Pak…” Sambut Bu Raji dengan haru.
Kiai Gustaf menghela nafas dan sedikit memalingkan wajahnya.
“Bu.. Ikhlasin bapak ya.. Bapak sudah berbuat salah, salah yang tidak termaafkan..” Ucap Pak Raji.
“Ma–maksudnya apa, Pak? Bapak sudah sadar, bapak sudah sehat, sebentar lagi pasti pulih..” ucap Bu Raji.
Pak Raji menggeleng mendengar ucapan itu.
Bu Raji menoleh pada Kia Gustaf, ia hanya mengangkat tanganya menunjuk agar Bu Raji terus memperhatikan ucapan suaminya itu.
“Demi imah, Bapak berbuat dosa. Imah mati karena dustanya, tapi Kadirin….”
Pak Raji menangis meneteskan air mata penyesalannya.
“Bapak yang meracuni Kadirin…”
Mendengar ucapan itu Bu Raji, Pak Ruslin, dan semua yang berada di tempat itu pun kaget. Kini mereka tahu penyebab mengapa sumpah pocong itu memakan dua korban.
“Imah hamil , ia dijebak oleh sasto warga pendatang desa sebelah yang tiba-tiba menghilang. Ia dibawa ke sebuah gubuk, dia diperkosa oleh Sasto dan teman-temannya yang mabuk.
Saat itu ia tersadar seorang diri di gubuk dengan tubuh yang sudah ternodai, dan saat ia ingin pulang ada Kadirin yang berada di tempat yang tak jauh darinya.”
“Imah cerita begitu, Pak?”
“Nggak, Bu.. Imah nggak pernah cerita. Bapak tahu dari orang yang menjual minuman itu ke orang-orang itu. Saat imah hamil dan menuduh Kadirin, Bapak nggak mau warga tahu kebohongan Imah.
Saat sumpah pocong diputuskan, Bapak memutuskan untuk membunuh Kadirin untuk membersihkan nama Imah…”
“Astaghfirullahaladzim pak…”
Semua orang di ruangan beristighfar saat itu.
“Bapak berdosa pada Ibu, Bu Denok, Warga desa, dan juga sama imah. Biarkan Bapak menebus dosa bapak…” Ucapnya.
Suara tangisan Bu Raji memenuhi ruangan itu. Ia tahu kepergian suaminya sudah tidak bisa dihindari.
Setidaknya, kali ini ia tidak pergi dengan tersiksa dan bisa mengakui dosa-dosanya sebelum kepergiannya.
Malam itu Pak Raji menghembuskan nafas terakhirnya. Kabar itu menyebar cepat ke warga desa termasuk ke Bu Denok.
Ia yang mendengar pengakuan itu langsung dari Bu Raji yang ditemani Pak Ruslin pun tak mampu menahan tangisnya.
“Kadirin nggak salah apa-apa… suami saya nggak salah, kenapa dia harus mati..” Tangisnya saat itu.
Namun Bu Denok berhati besar.
Ia tidak melimpahkan kesalahanmu pada Bu Raji dan menganggap bahwa Pak Raji sudah menerima balasan atas perbuatannya.
Sepeninggal Pak Raji cerita kemunculan pocong di desa Patirejo tidak lagi terdengar di telinga warga.
Terlebih pengajian semakin rutin diadakan oleh warga selain untuk menolak hal-hal buruk di desa, mereka juga berharap kegiatan itu membuat warga semakin menjauhi hal-hal buruk dan selalu mengingat akan penciptaNya.
Cerita tentang pocong Kadirin sempat menggegerkan desa Patirejo selama beberapa bulan.
Banyak yang mengaku masih melihatnya, namun warga yakin Kadirin sudah tenang di alam sana dan yang mereka lihat hanyalah sosok jin yang ingin menyesatkan manusia atau malah hanya bualan semata.
Yang pasti kisah ini telah berakhir dan menjadi pelajaran berharga untuk warga desa Patirejo.
***
Kejadian teror pocong seperti ini juga sempat terjadi di beberapa daerah. Banyak yang sudah viral dan menyebar di media sosial.
Salah satu yang paling mengerikan adalah kemunculan sosok pocong walisdi sang dukun ilmu hitam yang bangkit dalam sosok pocong.
Mungkin kalian ada cerita serupa di tempat tinggal atau di desa kalian? Boleh kita obrolin di komen ya…
Nanti coba kita bahas tentang sumpah pocong atau terror pocong di daerah kalian juga!
#terorpocong
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pertarungan mulai memasuki babak akhir, dan tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan kembali memijakkan kaki di alam itu lagi...
@bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
#bacahorror
Kobaran api kembali mengarah ke arah kami, namun dengan sigap Nyi Sendang Rangu membuat perisai untuk menahan serangan itu.
Walau begitu, Nyi Sendang Rangu terlihat kewalahan. Sepertinya ia belum tentu bisa menahan serangan itu lagi.
“Danan! Pisahkan mereka sampai Kimpul bisa menentukan mana tubuh yang sebenarnya,” Ucap Nyi Sendang Rangu.
Benar, itu cara terbaik. Walaupun kekuatan Raden Sengkuni begitu kuat. Cara terbaik tetaplah melawanya satu persatu.
Sraatt!!!
Mayat-mayat hidup yang dikumpulkan oleh Baron dan Keling kini bangkit dengan Kutukan Sewu Lelembut.
Tapi kali ini Danan dan Cahyo tidak sendiri, mereka yang pernah terbantu muncul untuk menolong mereka
@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror
“Nggak usah sekejam itu bisa kan, Nyi,” ucapku mencoba mengingatkan.
“Berisik!” Balasnya sembari terengah-engah mengatur nafas dan emosinya.
“Bukan begitu, percuma Nyi Sendang Rangu melakukan itu. Toh sebentar lagi mereka akan bangkit lagi..”
Nyi Sendang Rangu pun menoleh ke arahku seolah baru teringat akan hal itu. Sepertinya emosinya membuat ia lupa bahwa yang kami hadapi saat ini adalah mayat hidup yang akan terus bangkit kembali. Tapi Setidaknya, kali ini aku memiliki waktu untuk melumpuhkan Kang Waris.
Waktu kemarin kita bahas Saranjana di Rabu Misteri bareng @gustigina banyak yang menanyakan mengenai kota ghaib lain seperti wendira dan padang 12. Kita bahas yang satu ini dulu ya
@bacahorror @idn_horror @bagihorror
#bacahorror
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya. Secara sumber daya alam, manusia, budaya, hingga kekayaan mistis yang kadang sulit untuk dijabarkan. Banyak kisah menceritakan mengenai tempat-tempat gaib yang tak kasat mata di mata manusia normal.
Namun untuk mereka yang terpilih, mungkin saja tempat itu benar-benar nyata.
Kota gaib…
Saat kita membicarakan sebuah kota, pasti ada unsur bangunan dan penduduk yang menempati terlebih bila sudah disebut sebagai sebuah kota,
Malam begitu sepi, sudah beberapa hari tidak ada warga desa yang berani keluar setelah adzan maghrib berkumandang.
Saat itu seorang perempuan yang baru pulang dari tempat kerjanya terburu-buru melangkah menuju ke rumah setelah turun dari angkutan umum. Ia cukup tenang saat mendengar suara kentongan dari warga yang tengah menjalankan ronda. Setidaknya ia tidak sendirian malam itu.
Sebenarnya, malam belum terlalu larut. Tapi apa yang terjadi di desa belakangan ini membuat warga terpaksa mengunci pintunya rapat-rapat dan menjawalkan ronda untuk berkeliling lebih awal.
KUTUKAN SEWU LELEMBUT
Part 5 - Pendekar Jagad Segoro Demit
Danan dan Cahyo membutuhkan sekutu untuk melawan pasukan lelembut yang dibangkitkan Raden Sengkuni.
Mereka dihadang oleh setan suruhan sengkuni. Pertarungan di atas keretapun tak terhindarkan.
@bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
#bacahorror
Angin dingin berembus begitu kencang menerpa wajah Cahyo yang tengah berdiri di atap kereta yang tengah berjalan kencang menembus malam.
“Panjul! Aku nyusul!” teriak Danan dari perbatasan gerbong, tapi ucapannya itu belum terwujud dengan keberadaan penumpang kereta yang berkerumun mengarah padanya.
“Nggak usah, Nan! Biar aku yang ngurusin demit ini, kamu cari cara untuk menyadarkan orang-orang itu dan menghentikan kereta ini aja!”
Keadaan benar-benar di luar kuasa Danan dan Cahyo. Perjalanan yang mereka harapkan bisa menjadi waktu untuk sejenak istirahat malah merupa mimpi buruk yang harus dihadapi.
Semua itu dimulai dengan kemunculan sosok yang mengaku bernama Ki Tunggulpati yang muncul di kereta tanpa mereka sadari. Dalam hitungan menit saja, seluruh penumpang di kereta itu dikuasai oleh setan-setan gentayangan pengikut Ki Tunggulpati. Mereka semua tak sadarkan diri dan nyawa mereka berada dalam bahaya.
“Seluruh penumpang kereta ini sudah ditakdirkan menjadi tumbalku. Tidak ada gunanya kalian melawan…” ucap Ki Tunggulpati dengan seringaian yang bengis.
Ia yang sebelumnya berwujud kakek-kakek kini berubah menjadi sosok bertangan empat yang panjang dan bergerak menyerupai seekor laba-laba raksasa. Ia mencengkeram satu gerbong dengan tangan dan kakinya yang panjang untuk menghadang Cahyo di atap kereta.
“Jangan bercanda!” Cahyo mengepalkan tangannya, ia tak langsung memanggil Wanasura, tapi menggunakan ajian penguat raga dan menghantamkan pukulan ke arah wajah Ki Tunggulpati.
Sraaaat!!!
Ki Tunggulpati tahu ia tidak bisa menahan serangan Cahyo yang melesat cepat karena ukuran tubuhnya, tapi ia meludahkan cairan hitam yang sanggup melelehkan benda ke arah Cahyo. Beruntung Cahyo menyadarinya dan memilih menyingkir.
Sementara itu, dari sisi gerbong sebelah tangan panjang melesat ke arah Cahyo. Ia hendak menghindar, tapi gumpalan cairan hitam yang diludahkan Ki Tunggulpati juga mengarah kepadanya. Cahyo tak bisa menghindari keduanya.
Bugghh!!!
Cahyo terkena telak pukulan itu dan terpelanting beberapa meter hingga tubuhnya membentur sisi antena kereta, beruntung ajian penguat raga mengurangi rasa sakit sempat ia rapalkan dan tangannya mencengkeram atap kereta sehingga ia tak jatuh.
Cahyo terbatuk dan mengeluarkan darah. “Sial!”
Kali ini Cahyo bergegas bangkit, tapi Ki Tunggulpati sudah lebih dulu berada di dekatnya dan menghunuskan kuku-kuku tajamnya dari ketiga tangannya untuk menembus tubuh Cahyo.
“Sayang sekali kau terlalu berbahaya untuk kujadikan tumbal…” Ki Tunggulpati terkekeh.
“Jangan harap!” balas Cahyo.
Karena tak punya pilihan lagi, dengan sekuat tenaga Cahyo memanggil kekuatan Wanasura dan memukul sisi gerbong di sampingnya hingga gerbong itu hampir terjatuh miring. Ki Tunggulpati kehilangan pijakannya dan oleng.
“Kaulah yang harus kembali ke kuburanmu!” hardik Cahyo yang telah berhasil kembali ke atap dan menghantamkan sebuah pukulan yang dengan cepat ditangkis dengan tangan panjang Ki Tunggulpati yang tampak kian geram.
Buaggh!!!
Krakkk!!!
Pertarungan sengit terjadi di atap kereta, sesekali Cahyo harus memperhatikan sisi di hadapannya untuk memastikan ia berada di posisi yang tepat untuk merunduk di terowongan atau melompati kabel listrik. Ia pun tak bisa salah pijak.
Sementara itu Danan tak henti-hentinya membacakan amalan putih untuk menenangkan roh yang merasuki penumpang kereta. Sayangnya, kondisi Danan tidak lebih baik. Ada puluhan orang mengerumuninya dengan niat membunuh dan ia tahu tidak mungkin bisa melawan atau menyakiti penumpang kereta yang juga merupakan korban.
Satu per satu penumpang mulai pulih, tapi roh gentayangan lain langsung merasuki mereka lagi. Seperti pekerjaan yang tak habis-habis. Yang Danan khawatirkan adalah sang masinis dan semua awak kereta yang belum jelas nasibnya.
Itu artinya, kereta berjalan tanpa kendali.
Entah berapa lama kereta ini akan bertahan. Mana yang akan muncul lebih dulu di hadapan mereka? Perpindahan rel? Jalur buntu? Atau kereta yang berpapasan dengan mereka? Biar bagaimanapun Danan dan Cahyo harus segera mengambil keputusan dan menyelesaikan pertempuran di kereta. Namun, tak semudah yang mereka kira.
Ada orang-orang yang harus mereka hubungi untuk ikut membantu menghadapi apa yang sedang terjadi di Astana Giridanyang. Mereka sepakat bahwa mereka akan mencari bantuan dari Timur, sementara Jagad dan Dirga akan mencari bantuan dari Barat.
Gama, Budi dan Kimpul pun melakukan hal yang sama saat melihat apa yang tengah terjadi di Astana Giridanyang. Tentang sosok yang sedang melakukan ritual penyempurnaan untuk menguasai Kutukan Sewu Lelembut…
***
//Post 2
KUASA TERTINGGI TRAH NINGRAT
(Satu malam sebelumnya…)
Api yang membakar Alas Rowosukmo semakin membesar seolah belum puas melahap pepohonan di hutan bukit itu. Jalan menuju Astana Giridanyang semakin terbuka lebar, Danan dan yang lain tidak mengerti kejadian itu adalah hal yang mempermudah mereka atau justru berbuntut bencana lainnya?
“Bah Jajang?” Cahyo teringat akan keberadaan warung Bah Jajang yang berada tak jauh dari Alas Rowosukmo.
“Astafirullahaladzim…”ucap Gama yang juga teringat keberadaan Bah Jajang.
Mereka pun mbergegas meninggalkan Desa Leuwijajar dan berlari menuju perbatasan Alas Rowosukmo. Tujuan mereka adalah sebuah warung yang hanya dihuni oleh seorang pria gaek bernama Bah Jajang. Mereka harus menyelamatkannya.
Asap yang mengepul dan membumbung tinggi dari kebarakan hutan mulai mengganggu pernafasan dan pandangan. Dengan kain baju seadanya, mereka menutupi hidung untuk melindungi diri dari asap yang semakin mengepul.
“Bah Jajang!!! Bah Jajang!!!”
Cahyo dan yang lain berteriak sepanjang jalan menyisir kemungkinan Bah Jajang sudah berlari terlebih dahulu melewati jalur itu. Namun ternyata mereka salah.
Api yatanya nsudah menjalar hingga keluar Alas Rowosukmo. Warung yang terlihat dari pandangan mereka mulai dimakan api yang merambat dari sisi hutan. Namun, Danan yang lain bernafas lega saat melihat seseorang tengah memandang dari jauh bangunan sederhana yang terbuat dari kayu tengah terbakar sedikit demi sedikit.
“Bah?! Bah Jajang tidak apa-apa?” Danan akhirnya tiba di hadapan Bah Jajang, ia memeriksa tubuh kakek itu yang masih terpaku melihat warungnya perlahan tandas dimakan si jago merah.
Namun, Bah Jajang masih terpaku dengan pemandangan di hadapannya. Rautnya sedih dan matanya memerah.
“Bah?” Cahyo.
Air mata menetes di pipi Bah Jajang. Matanya memantulkan kobaran api yang menggilas atap warung yang terbuat dari daun kelapa. Ia masih tak merespons ucapan Cahyo.
“Bah, ini kami, Bah! Ikhlaskan warungnya saja dulu. Kita cari tempat aman!” bujuk Gama.
Bah Jajang akhirnya menggeleng dan melihat semua orang yang menghampiri dirinya. Ia menarik nafas yang panjang dan bermuatan duka mendalam. “Saat aku mendengar adanya ramalah hutan ini akan terbuka ketika tahta Astana Giridanyang terisi, aku tidak pernah menyangka dengan seperti inilah cara hutan terbuka,” ucapnya kelu.
“Benar, tidak ada yang menyangka,” tambah Kimpul yang menepuk pundak Bah Jajang.
Bah Jajang menoleh pada Kimpul sebentar, matanya yang senduh sedikit berbinar mendapati lelaki itu selamat dari Siti Kawaruhan.
“Tujuan kita bukan keluar dari hutan. Tujuan kita harusnya menuju Astana Giridanyang untuk benar-benar menyelesaikan semua,” ucap Bah Jajang pelan.
“Benar Bah, kami akan ke sana. Mungkin Bah Jajang, Abah, dan Dirga bisa mencari tempat yang aman untuk kembali ke Desa Leuwijajar sementara kami menuju Astana Giridanyang,” balas Danan.
Bah Jajang menggeleng. “Tidak, kita harus ke sana saat ini. Kita harus menyaksikan apa yang terjadi dan menghentikan sebelum semuanya terlambat!”.
“Sudah Bah Jajang, biar saya temani kembali ke Desa Leuwijajar dulu. Mereka mengerti kok apa yang mereka hadapi,” ajak Abah.
Danan menoleh ke arah Bah Jajang dan mengangguk memberikan isyarat bahwa mereka akan baik-baik saja. Namun, Bah Jajang tampak ragu sebelum benar-benar melihat anggukan yang lain.
“Saya mengenali Bah Jajang, ada yang harus kita bahas di desa,” ucap Abah.
“Sepertinya Abah mulai mengetahui tujuannya untuk ikut ke tempat ini,” ucap Jagad pada Dirga.
Dirga mengiakan, ia lebih memilih untuk ikut dengan Danan dan yang lainnya menuju Astana Giridanyang. Urusan Bah Jajang, ia mempercayakan ayahnya.
“Bah, Dirga ikut sama Mas Danan, ya. Ada sesuatu yang harus Dirga pastikan,” Dirga berkata dengan penuh keyakinan.
“Iya, jangan gegabah. Jaga diri kamu,” balas Abah.
“Abah juga hati-hati,” pesan Dirga.
Danan memandang Dirga. “Kita berangkat sekarang.”
Dirga lalu ikut berkumpul bersama Danan dan yang lainnya. Mereka segera berlari menyusuri sisi hutan yang sudah habis dilalap api sambil memastikan jalur yang mereka lewati aman.
Sepanjang trek hutan, ombak api yang menjalar terus menyisir sekitarnya. Angin yang berembus membiaskan hawa panas.
“Gila! Hutan sebesar ini bisa dibakar dalam sekejap begini?” celetuk Cahyo.
Yang lain juga merasakan keheranan yang sama, kecuali Budi yang hanya memandang lurus permukaan tanah hutan yang sarat akan abu yang beterbangan. Kali ini, Cahyo tidak berani mengusik Budi. Wajah Budi terlihat begitu geram.
Menghancurkan hutan yang merupakan tempat yang sangat budi jaga benar-benar menyulut amarahnya.
“Lebih cepat!” teriak Kimpul yang tahu-tahu berada paling depan.
Danan dan Cahyo menyadari mereka tidaklah sendiri. Ada beberapa sosok di sekitar mereka yang bermunculan dari balik pepohonan seperti mengisyaratkan ke arah mana mereka terus berlari.
Mereka adalah sekumpulan kera-kera kecil yang Cahyo tahu persis adalah teman-teman Kliwon.
Srat!!! Srat!!! Srat!!!!
Kera-kera itu menyibakkan ranting-ranting yang terbakar untuk membuka jalur. Mereka menghabiskan jalur hutan yang mulai habis terbakar sampai pada reruntuhan yang kemunculannya telah menenggelamkan satu desa.
Astana Giridanyang…
***
// Post 3
“Jadi, ini tempatnya?” tanya Gama.
“Tidak salah lagi, tempat ini yang pernah muncul di pangaweruh-ku…” Kimpul mengangguk.
Cahyo menaiki salah satu sisa pohon tertinggi yang telah hangus terbakar dan matanya mengilatkan amarah. Budi menyusul di bawahnya dan memberi reaksi yang sama. Sudah jelas hal mengerikan yang mereka lihat.
“Apanya yang tanah para pendekar? Tempat ini lebih tepat disebut dengan tanah terkutuk!” hardik Cahyo.
Danan, Gama, dan Kimpul maju sedikit lebih jauh ke salah satu daratan yang lebih tinggi permukaannya.
Dari situ mereka baru menyadari apa yang sebenarnya dilihat oleh Cahyo dan Budi dari atas sana.
Entah berapa banyak jumlah mayat bergelimpangan di reruntuhan itu, nyaris tak terhitung karena bertumpuk-tumpuk membentuk bukit. Mayat-mayat itu bukan jasad orang yang baru mati. Ada yang sudah membusuk dipenuhi belatung dan burung bangkai, ada yang menyisakan tulang belulang, bahkan membatu layaknya mumi.
“Mengerikan…,” Gama bergumam. “apa mereka korban pembantaian?”
“Bukan, mereka jasad yang dikumpulkan oleh Raden sengkuni di Siti Kawaruhan untuk saat ini,” balas Kimpul penuh ironi.
“Ma—maksudnya? Sebentar, maksudmu mereka akan dibangkitkan?” Gama terbelalak.
Kimpul mengangguk.
“Seperti yang terjadi pada jasad trah Pakujagar yang menyerang Dirga,” tambah Jagad.
Danan menelan ludah membayangkan bencana apa yang akan terjadi saat Raden Sengkuni membangkitkan mereka. Sudah jelas, jasad-jasad ini bukanlah jasad manusia biasa. Mereka adalah pendekar-pendekar kuat pada jamannya. Tidak terbayang jika mayat hidup pendekar dibangkitkan untuk dikendalikan sebagai bala tentara. Sudah pasti menimbulkan kehancuran.
“Dengan pangaweruhan-ku, Raden Sengkuni bisa meramalkan sandi yang digunakan untuk ritual Sewu Lelembut. Tidak ada celah untuk menggagalkannya,” ucap Kimpul pelan.
Cahyo dan Budi melondat dari pohon dan menghampiri mereka.
“Kalau gitu, kita serang sebelum mereka bangkit sepenuhnya!” seru Budi yang hendak bergegas menuju reruntuhan.
“Betul!” Cahyo sependapat.
Namun dalam hitungan detik, Danan menarik sarung Cahyo dan menahannya hingga terjatuh di tanah, sementara Gama menarik kerah belakang baju Budi untuk menghentikannya.
“Tahan! Jangan terbawa emosi!” ucap Gama dengan tegas.
Budi segera menghentikan langkahnya tanpa membantah sedikitpun.
“Kenapa, Nan? Kalau ada waktu yang tepat untuk menghentikannya adalah sekarang!” protes Cahyo geram.
“Aku paham kita ingin berjuang, tapi bukan berarti tanpa perhitungan dan tanpa rencana, Jul. Kamu mau kita ke sana cuma nganter nyawa? Kita gak tahu bahaya macam apa di sana kalau kita terlalu terbawa emosi. Yang kita lawan ini bukan manusia biasa. Dia manusia dengan hati iblis. Iblis aja mungkin sungkem sama dia,” jelas Danan.
Cahyo mengatur nafasnya yang memburu. Danan menjulurkan tangannya, membantu Cahyo berdiri, lalu menunjuk lurus ke salah satu sudut reruntuhan.
“Lihat itu! Kalau kamu asal maju, yang ada celaka kita.”
Mereka semua menatap ke arah telunjuk Danan. Mata mereka terbelalak melihat sosok raksasa siluman lowo ireng bersayap dengan banaspati bersarang di punggungnya yang tengah terbang.
Sosok itu mendarat di balik reruntuhan dan di punggungnya berdiri seorang pria yang mengenakan jas. Siluman itu mengantar pria tersebut menduduki sebuah singgasana di antara tumpukan mayat itu. Sungguh pemandangan yang menggentarkan nyali.
“Raden Sengkuni…” gumam Kimpul Geram.
Melihat sosok itu, Danan mengepalkan tangannya. Cahyo dan Budi juga hanya terdiam. Mereka tampaknya memulih menarik diri. Mereka tidak akan lupa bagaimana serangan satu banaspatinya saja bisa membumihanguskan Alas Rowosukmo.
Cring…
Di tengah kebisuan mereka, tiba-tiba gelang gengge Gama berbunyi dengan sendirinya.
“Ke—keris ragasukma,”
Danan kebingungan keris Ragasukmanya muncul dengan sendirinya dari.
“Ada apa, Nan?” tanya Cahyo penasaran.
Budi mendekat kepada Gama menyadari keganjilan yang terjadi. Namun, Gama pun tak paham.
“Tinggalkan tempat ini sejauh mungkin…”
Samar-samar terdengar suara tak jauh dari mereka. Mereka mengenal jelas sang pemilik suara yang akhirnya menunjukkan dirinya dalam wujud kakek bersorban putih.
“Kalian akan melawan mereka, tapi tidak sekarang…” Suara seorang wanita menyusul bersamaan dengan gerimis yang jatuh.
“Ki Langsamana?” ucap Danan. “Nyi Sendang Rangu?”
Mereka berlima terpaku pada sosok yang tak mereka sangka akan kemunculannya saat ini.
“Me—mereka siapa?” Kimpul merasa takjub dengan kemunculan dua sosok spiritual itu.
“Kawan kami,” balas Jagad singkat.
“Raden Muda, kamu adalah kunci untuk menyelesaikan bencana ini. Kuasai dulu pusaka dan sosok yang melindungimu itu terlebih dahulu sebelum menghadapi Sengkuni,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Ki Langsamana mengangguk. “Ini bukan lagi pertempuran biasa, ini medan perang. Untuk memenangkan peperangan kalian membutuhkan sekutu. Tinggalkan tempat ini dan kembali dengan orang-orang yang terikat dengan kalian,” ucapnya tegas.
Danan dan Gama ragu, tapi mereka tak berani membantah, demikian juga Budi yang hanya memerhatikan.
“Tapi gimana dengan jasad-jasad yang akan dibangkitkan itu? Mereka akan memakan banyak korban?” ujar Danan khawatir.
Nyi Sendang Rangu dan Ki Langsamana saling bertatapan. Mereka tidak segera menjawab dan malah berangsur-angsur menghilang.
“Kadang, memang ada yang harus dikorbankan demi keberlangsungan hidup umat manusia. Peperangan sudah pasti menjatuhkan korban yang tidak sedikit, tapi itu harga yang harus dibayar untuk mencegah korban yang lebih banyak. Jika kalian mati di sini, tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan tanah ini.” Nyi Sendang Rangu menghilang dibalik rintikan hujannya.
“Jangan remehkan kuasa Sang Pencipta, bisa saja dia sudah memberikan peran pada ciptaannya yang lain untuk menahan mereka.” Wujud Ki Langsamana yang perlahan memudar akhirnya benar-benar menghilang.
Kemunculan kedua sosok itu seperti memberi keyakinan pada mereka untuk memilih langkah bersabar.
“Paklek, Mbah Jiwo, Nyai Jambrong…” Cahyo mulai menghitung siapa saja sosok yang mungkin akan membantu mereka.
“Kang Sukri, Bhanurasmi…”
“Ki Duduy, Mang Idim…”
Mereka semua bergumam sembari mengingat dan membayangkan siapa saja yang mungkin membantu mereka menghadapi jasad-jasad pendekar yang bangkit itu dalam medan perang nanti.
“Tiga hari!” Jagad membuka pembicaraan. “Aku akan mengumpulkan pusaka dan kekuatanku untuk menjemput kalian dalam tiga hari. Dan kita akan kembali dengan semua sekutu yang kita miliki!”
Danan, Cahyo, Gama, Budi, dan Kimpul serentak menoleh ke arah Jagad dan menganggukkan kepala. Tanpa mendunggu lama mereka pun berpaling, meninggalkan tempat mengerikan itu dan berpencar untuk mengumpulkan sekutu untuk menghadapi Raden sengkuni dan pasukannya.
Katanya, belum bisa ngaku driver senior kalau belum ngalamin kejadian mistis pas narik.
Ini salah satu kisah yang diceritakan Driver Taxi Online yang beberapa hari lalu saya tumpangi
@bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
#bacahorror
Beberapa hari lalu sempet naik taxi online yang baru aja hari sebelumnya ngalamin kejadian yang bikin geleng-geleng kepala.
Sebut saja namanya Pak Roni. Waktu itu saya iseng menyetel cerita horror di youtube hanya untuk mereply komen-komen saja.
Nggak di sangka tiba-tiba Pak Roni nyeletuk.
“Semalem saya juga habis ketemu setan, Mas.”
Sontak aku matikan handphone saya dan menanyakan lebih lanjut tentang kejadian itu.