Bujet produksi film Indonesia saat ini kalau perlu dibikin kategorinya mungkin seperti ini, ya:
- bujet mikro: di bawah 3 milyar IDR
- bujet rendah: 3 - 6 milyar IDR
- bujet menengah: 6 - 10 milyar IDR
- bujet tinggi: 10 - 20 milyar IDR
- bujet tinggi banget: 20 - 30 milyar IDR
- bujet sultan: di atas 30 milyar
Tiap film masih butuh biaya promosi yang besarnya 1 milyar IDR buat rata-rata film bujet menengah, 2 milyar IDR buat film bujet tinggi, dan ada yang 5 milyar atau lebih untuk film bujet tinggi ke atas. (Ini sebenarnya lebih kecil dari kebutuhan)
Pendapatan kotor (gross) untuk satu film Indonesia (rata-ratanya saat ini) adalah 1 tiket x IDR 40 ribu.
Pendapatan tayang bioskop yang diterima bersih ke perusahaan film setelah dipotong pajak dan dibagi 50-50 persen dengan bioskop (rata-ratanya saat ini) adalah 1 tiket x 18 ribu IDR.
Jadi kalau bujet produksi sebuah film dengan bujet produksi 18 milyar IDR dengan 2 milyar bujet promosi, film itu butuh 1,111,111 tiket bioskop untuk balik modal.
Film, selain karya ekspresi seni, juga benda bisnis. Tentu perusahaan film akan mencoba membuat film yang dipercaya diminati cerita, genre, dan formatnya oleh masyarakat dan berhati-hati membuat film dengan presentasi, genre, tema yang selalu gagal di pasaran. Logikanya begitu. 🙂
Nah sekarang coba kita lihat pemasukan uang ke perusahaan film untuk film yang tayang di platform streaming.
Sebuah film bisa tayang di platform streaming (OTT) lewat beberapa cara:
A. Sebagai ‘ORIGINAL’.
Ini adalah film yang dibuat dengan uang dari OTT. Biasanya perusahaan film mengajukan project (dimulai dari ide sampai siapa kru-krunya). Lalu setelah dikasih ‘green light’ maju ke tahap FASE DEVELOPMENT (pembuatan skenario). Lalu setelah di-approved, baru masuk ke FASE PRODUKSI. Pemasukan ke perusahaan film adalah sebagai ‘PH (production house) Fee’ yang besarnya 10 persen dari bujet produksi (lihat twit sebelumnya).
B. Sebagai ‘second window release’.
Ini artinya, setelah suatu film tayang di bioskop (biasanya setelah 120 hari), OTT tertentu akan memiliki hak eksklusif menayangkannya di platform mereka untuk jangka waktu tertentu. Nilai rupiahnya di bawah original.
C. Dibeli OTT setelah diproduksi dan belum tayang di bioskop. Biasanya perusahaan film bikin film untuk bioskop, tapi mereka ganti rencana dengan dijual langsung ke OTT. Nilainya juga beragam. Bisa untung, bisa rugi.
D. Dibeli OTT setelah tayang di OTT lain. Nilainya kecil.
D. Lewat agregator film. Film-film lama (atau kecil) bisa dijual ke distributor agregator film dan mereka akan jual ke banyak OTT non-ekslusif. Nilainya kecil banget lah ke perusahaan film hehe.
Berapa persen film yang dirilis dan nggak balik modal? Coba tebak.
Rilis Film di Bioskop vs. Rilis Langsung di OTT
- film yang rilis di bioskop, uang masuk ke perusahaan film bisa tak terbatas. Selagi yang beli tiket banyak, film akan dipertahankan terus oleh pihak bioskop. Revenue akan masuk terus. (Ini yang membuat beberapa perusahaan film merasa perlu untuk memborong sendiri tiket film mereka untuk memberi kesan penontonnya banyak. Dikenal sebagai “ngebom tiket”. Bukan praktik yang sehat. Bahasan tentang ini akan butuh thread tersendiri).
Sedangkan kalau langsung dirilis di OTT, untuk ‘originals’ biasanya beli putus. Jadi nilainya sudah fixed.
Untuk beberapa film yang tayang di OTT sebagai ‘second window release’, OTT memberikan nilai beli hak tayang dalam ‘tier’ atau jenjang. Artinya, mereka akan bayar lebih setiap film tersebut ditonton lebih banyak di bioskop. Misalnya tiap kelipatan 1 juta penonton, nilai beli hak tayang akan naik 100 ribu USD, misalnya.
- Jika produser menilai bahwa filmnya akan sulit mendapatkan penonton di bioskop (karena tema, genre, dll), produser akan memilih tayang langsung di OTT karena bisa langsung tau kerugian (yang diusahakan minimal) atau keuntungannya.
Perlu dicatat bahwa, biasanya untuk ‘originals’, hak milik film akan jadi milik OTT. Sedangkan untuk ‘second window release’ dan seterusnya, hak kepemilikan film masih ada di perusahaan film.
Perlu dicatat sebaik-baiknya, yang sedang kita bicarakan dalam thread ini adalah tentang bisnis film. Bukan tentang film bagus atau tidak bagus. Film laku atau tak laku TIDAK selalu ditentukan oleh filmnya bagus atau tidak. Tidak juga sesimpel selera penonton bagus atau tidak. Mudah-mudahan nanti setelah thread-nya tuntas, kita awam bisa dapat sedikit pencerahan tentang bisnis film yang memang ruwet ini. 😝
Setelah pemasukan dari bioskop dan OTT di dalam negeri, apa lagi sumber pemasukan sebuah film Indonesia?
A. penayangan bioskop luar negeri secara komersil.
Pemasukan terbesar buat film Indonesia selama ini adalah dari bioskop Malaysia dan Singapura. Besarnya di Malaysia ada yang sampai 20 juta Ringgit. Cara hitung yang masuk ke perusahaan film Indonesia hampir sama dengan yang dari bioskop lokal.
Beberapa film Indonesia bisa menembus bioskop komersil negara ASEAN, atau lebih jauh. Termasuk biasanya Jepang. Bahkan ada yang sampai tayang komersil di bioskop Amerika dan Eropa. (Pengabdi Setan 1 dan 2, Impetigore tayang di bioskop komersil di berbagai benua dan ada yang menduduki tangga box office ✌🏻)
B. Penayangan di OTT luar.
Beberapa perusahaan film mengambil strategi (jika cocok) untuk hanya menjual hak tayang (disebut juga ‘licensing’) buat film mereka di OTT hanya untuk region Indonesia sehingga mereka bisa jual licensing ke OTT luar. Contoh, Pengabdi Setan 1 dan 2, Impetigore, hanya dijual licensing second window release-nya ke OTT awal untuk bisa diakses di Indonesia saja sehingga bisa dijual lagi ke OTT SHUDDER. Tapi kalau nilai licensing bisa tinggi hanya dengan satu OTT, ini lebih disukai produser. Nggak ribet.
B. Perilisan di Home Video dalam Blu-ray dan DVD di luar negeri. (Di dalam negeri sudah mati heyy). Ini nilai yang sampai ke perusahaan film kecil sih. Tapi keren.
C. Penayangan di Festival Film dan Event Lain. Ini kecil sekali. Malah kalau festival film besar dan bergengsi, mereka nggak bayar karena buat film ini adalah sarana promosi. Dan susah juga masuknya. Kalau tayang festival yang bayar biasanya kalau filmnya sudah dikenal dan tayangnya jauh setelah film dirilis awal. Nilainya kecil. Mungkin cuma 500 USD.
Oh perlu dicatat, bahwa film Indonesia yang bisa tayang di luar negeri termasuk Malaysia jumlahnya sangat kecil, ya. Hanya 1 sampai 3 persen dari jumlah yang rilis tiap tahunnya. Apalagi kalau bisa tayang di negara-negara lain. Mungkin hanya 1 atau 2 film Indonesia tiap tahunnya.
D. Satu lagi pemasukan dari film Indonesia adalah hak tayang di TV. Untuk pertama kali tayang di TV, nilainya untuk film ‘besar’ dan terkenal bisa mencapai 1 milyar IDR. Kalau sudah tayang berkali-kali, biasanya nilainya kecil.
E. Pemasukan-pemasukan lain yang sangat kecil seperti hak tayang di pesawat udara dalam IFE (in flight entertainment), kereta api, dan sebagainya.
Sekarang, mari kita lihat dari mana perusahaan film dapat uang buat bikin film.
‘DARI MANA UANGNYA?!’ 🤪
A. Pendanaan dari Dalam Negeri.
Perusahaan film dijalankan dengan uang dari:
- pribadi/keluarga
- beberapa investor (individu maupun perusahaan)
- publik melalui penjualan saham (di Indonesia sangat sedikit. Saat ini baru 2 perusahaan film yang sudah go public. Pembahasan tentang plus minus perusahaan film yang go public butuh thread tersendiri).
Untuk memproduksi sebuah film, perusahaan bisa menggunakan uang perusahaan saja, atau digabung dengan uang dari investor lain untuk project film tersebut. Investor ini bisa sebagai individu, perusahaan film lain, atau venture capital (VC). VC adalah kumpulan uang dari para pemodal yang dikelola secara profesional untuk invest di project-project. VC yang invest di project film, di Indonesia disebut dengan ‘film fund’.
Setelah film rilis, uang masuk jual tiket dan lain-lain setelah dipotong pajak, pembagian dengan bioskop jika tayang bioskop, dipotong biaya-biaya lain seperti biaya distribusi untuk perusahaan distribusi, marketing, dll, akan masuk ke para pihak sesuai besar persentase modal mereka. Bahasa kerennya ‘waterfall’.
Kerjasama dengan sponsor bisa dalam bentuk uang, atau nilai lain. Misalnya sebuah project film dapat sponsorship dari perusahaan make-up sebesar 1 milyar IDR. 50 persennya cash, 50 persennya nilai buat poster filmnya dipampang di billboard milik mereka. Sebagai imbalannya, harus ada ‘product placement’ adegan dengan menunjukkan produk mereka yang kalau tidak hati-hati bisa mengganggu.
Project film yang dinilai memiliki nilai budaya atau ‘pendidikan’ yang tinggi bisa mendapatkan uang dari pemerintah pusat maupun lokal dalam bentuk ‘grant’. Artinya tidak perlu dikembalikan walaupun filmnya untung. Tapi ini jarang terjadi.
Untuk film ‘original’ OTT, perusahaan film akan pitching project film mereka dan uang untuk produksi akan diberikan oleh OTT secara bertahap sebelum dan saat produksi film berlangsung.
B. Pendanaan dari Luar Negeri
Produser yang sudah memiliki track record sebagai produser yang film-filmnya profitable bisa dengan lebih mudah mengajak perusahaan film luar negeri untuk invest di project film mereka dengan skema yang sama dengan investasi dalam negeri. Atau jika tidak punya track record tersebut, produser bisa bekerja sama dengan sutradara yang memiliki filmografi yang dikenal menguntungkan.
Untuk film yang diprediksi memiliki penonton yang lebih segmented termasuk film ‘arthouse’, perusahaan film bisa mencari dana lewat ‘film market’ di beberapa festival film. Biasanya, produser akan mendaftarkan project film mereka di sebuah film market. Yang dinilai bagus akan diundang untuk bertemu calon investor, pemberi grant dari beberapa negara.
Biaya untuk bikin film itu mahal sekali.
Ke mana perginya bujet ini?
Jawabannya: ke setiap hal yang dituliskan dalam skenario.
Contoh sebuah adegan dalam 1 halaman sebuah skenario:
“ANTON mengendarai mobilnya di sebuah jalan yang ramai. Tak lama kemudian, dia parkir di pinggir jalan lalu turun dan masuk ke sebuah kafe yang ramai oleh pengunjung. Begitu dilihatnya SANDRA sedang berduaan dengan TOMO, Anton mengambil botol dan melempar Tomo yang menunduk menyebabkan botol melayang ke bar dan memecahkan botol-botol minuman.”
Di jalan:
- uang sewa mobil Anton, uang bayar lokasi jalanan, uang bayar ijin ke preman, uang sewa mobil-mobil lain, uang untuk figuran pejalan kaki ramai dan kostum mereka, dll.
Di dalam kafe:
- uang sewa kafe untuk suting, uang untuk figuran pengunjung kafe dan kostum mereka, uang untuk botol-botol pecah, dll.
Ini belum termasuk: uang sewa kamera dan lighting, art props, VFX, kru sebanyak 200 orang, uang bayar pemain, katering, dll. 🤪🤪
Jadi, next time ada yang bertanya “kok Indonesia nggak banyak bikin film action?” atau “bikin dong film kolosal!” atau “kenapa nggak bikin film alien nyerang Jakarta?” Jawabannya: nggak ada duitnya. 🤪🤪
Kalau ada yang bilang “pasti penontonnya banyak”. Jawabannya: belum tentu. Tidak ada yang tau.
Adakah orang atau institusi yang bisa memastikan film bakal laku atau tidak?
Unfortunately, jawabannya: TIDAK. Kalau ada, pasti sudah dipekerjakan oleh perusahaan-perusahan film terkaya Hollywood untuk memastikan film yang mereka buat laku. Nyatanya, bahkan film bikinan perusahaan Hollywood yang punya uang untuk bayar konsultan dan firma marketing paling top pun filmnya banyak yang rugi. Analisis tentang kenapa film rugi biasanya dilakukan ‘post-mortem’ atau setelah film selesai ditayangkan untuk perbaikan project ke depan. Itu pun masih sering rugi juga haha.
Kenapa ini bisa terjadi, faktornya banyak dan berubah-ubah termasuk: selera penonton pada saat itu lagi pengen atau sudah jenuh dengan tema tertentu, situasi ekonomi masyarakat, situasi politik, cuaca dan iklim, skill pembuat filmnya, dan masih banyak lagi.
Yang bisa dilakukan oleh perusahaan film adalah meminimalisasi hal-hal yang mungkin membuat film rugi. Seperti mengetahui dan memahami siapa target audience project mereka.
Data dan transparasi sangat dibutuhkan oleh industri film. Makanya semua pemangku kepentingan harus mendukung usaha pengumpulan data seperti yang dilakukan @cinepoint_ oleh @bicaraboxoffice . Please please support them.
Dibanding Thailand, bujet film Indonesia bisa dibilang hanya hampir setengahnya. Dan harga tiket film bioskop di Thailand adalah 83 ribu - 112 ribu IDR untuk bioskop biasa, dan mulai 130 ribu sampai 432 ribu IDR untuk bioskop premium dan first class. Gokil kan murah banget harga tiket nonton di bioskop Indonesia. Padahal bioskop-bioskopnya bagus-bagus banget! Bisa dibilang terbaik di dunia. Sementara kenaikan harga tiket bioskop di kita tidak berbanding lurus dengan inflasi.
Dan jangan pula dibandingkan dengan bujet film Hollywood yang rata-ratanya bisa mencapai 765 milyar IDR sampai 1,5 triliun IDR per film.
Kenapa Hollywood, Korea, India berani bikin film dengan bujet gede? Karena pasarnya luas. Bukan cuma dalam negeri. Karena mereka berhasil membawa kultur mereka ke dunia. Sementara kita, usaha-usaha untuk membuat negara lain familiar dengan kultur kita masih sangat rendah. Nanya orang Indonesia masakan Thailand pasti banyak yang tau. Nanya masakan Indonesia ke orang Thailand sangat jarang yang bisa jawab.
Pasar kita? Buat kebanyakan film masih penonton lokal, itu pun banyak dikurangi oleh yang nonton secara ilegal. Gratis? Nggak juga jatohnya. Ngasih uang ke pembajak.
Mungkin suatu hari bisa berkurang. Aminn.
90 persen film Indonesia nggak balik modal. Lalu kenapa pada bikin film terus? Karena dalam usaha apapun dibutuhkan residence, kegigihan. Mungkin kali ini gagal, yang selanjutnya berhasil. Kalau gagal lagi, coba lagi sampai mati.
Juga karena, cinta. Cinta dan dedikasi buat sesuatu yang kita percaya membawa kebaikan, kemajuan, keindahan, pencerahan. Sesuatu itu bernama film. Mungkin anugerah seni terbesar yang pernah dialami manusia.
Sementara cukup sampai di sini dulu. Terimakasih perhatiannya, teman-teman.
Resilience.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Saya mau share tentang industri film Indonesia ya, teman-teman. Mudah-mudahan bisa nambah wawasan. Gimana film Indonesia bisa dibuat? Siapa yang mendanai, gimana kru dapat gaji, kenapa nonton film secara ilegal bikin perfilman nyungsep, dan sebagainya. Yuk!
A thread.
Saya mau mulai thread ini dengan bilang bahwa, sekitar 70 persen film merugi setiap tahunnya. Artinya, kalau dalam setahun ada 140 judul film Indonesia yang rilis, 94 film di antaranya nggak balik modal. Gimana proses film dari mulai pendanaan sampai bisa dinikmati penonton?
Di Indonesia, pendanaan film didapat umumnya dari private investor. Artinya orang punya duit terus invest di film. Sebagian kecil ada yg dari venture capital yaitu beberapa orang ngumpulin duit lalu dikelola buat invest di film. Para investor di film namanya 'Executive Producers'
Lagi heboh ngomongin situs film bajakan yang tutup. Banyak yang nanya komentar saya gimana. Bingung juga jawabnya karena ini bisa sesensitif isu agama hehe. Tapi mungkin begini penjelasan saya. Yang mau nambahin monggo, ya.
Kita bahasnya dari sisi konsumen aja ya, nggak usah dari sisi provider.
Penulis skenario itu profesi keren. Hasil kerja kita akan jadi tulang punggung dari sebuah film dan mungkin bisa menginspirasi orang banyak dan mengubah hidup mereka. Bayarannya pun lumayan sampai fantastis.
Sejak film dibuat pertama kali, para cendekiawan film meneliti film-film yang berhasil diminati banyak penonton. Hasilnya adalah beberapa teori penulisan skenario. Sama dengan profesi lain, ilmu ini harus dipelajari dulu sebelum mulai menulis.
Jadi inget, saya dulu pernah jadi kritikus film professional untuk harian cetak The Jakarta Post dan dikasih kolom khusus. Saya jadi kritikus film tahun 2000-2005. Seru jadi kritikus. Dulu para kritikus diundang nonton film-film baru hari Rabu pagi.
(A thread)
It was a really good job buat saya. Saya suka nonton film di bioskop, jadi bisa nonton film gratis (sering dapat official merchandise juga) dan tulisan saya selalu dibayar secara profesional. Jadi lumayan bisa nutup biaya kos, naik bus, dan keperluan lain.
Kritikan saya awalnya disukai orang karena kata mereka fun. Mungkin karena saya nggak mengerti teknis film (karena saya nggak pernah belajar teknis film) jadi saya coba menjelaskan apa yang saya maksud dengan bahasa yang sederhana.
Mau cerita tentang perjalanan Perempuan Tanah Jahanam ya, teman-teman.
Tahun 2009, saya nulis skenario Perempuan Tanah Jahanam setelah sering mimpi berada di sebuah desa dan melihat seorang perempuan tua di depan sebuah rumah. #PTJbts
Tahun 2018, Base Entertainment yang didirikan oleh Shanty Harmayn menunjukkan skenario Perempuan Tanah Jahanam kepada Ivanhoe Pictures, perusahaan film di Los Angeles yg bikin Crazy Rich Asians dan The Wailing dan mereka suka. #PTJbts
Beberapa perusahaan film lain, CJ Entertainment dari Korea Selatan dan Rapi Films bergabung untuk memproduksi Perempuan Tanah Jahanam yang dijalankan oleh Logika Fantasi yang dipimpin Tia Hasibuan. #PTJbts
Tantangan terbesar adalah mencari lokasi yang sesuai dengan skenario.
Baru sampe Toronto nih, teman-teman! Baru aja dijemput di bandara. Ntar aku update update #GundaladiToronto ya. Sekalian mau share gimana kalo ikut festival film.
Jadi, saya kan pernah bikin thread soal festival film internasional kan ya. Sekarang mau share lebih detil. Buat gambaran. #GundaladiToronto
Festival film adalah event yang biasanya tahunan, yang menayangkan film. Berbeda dengan ajang penghargaan, seperti Academy Awards, Golden Globes, atau FFI (walaupun kepanjangan dari Festival Film Indonesia) yang hanya membagikan penghargaan. #GundaladiToronto