Brii Profile picture
Dec 7 130 tweets 16 min read Twitter logo Read on Twitter
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.

Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.

*** Image
“Satu batang lagi, ah”

Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.

Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Kuhisap dalam-dalam rokok di tangan, lalu hembuskan asapnya perlahan, sambil berpikir hendak melangkah ke mana sebaiknya. Masih terus duduk di kursi kayu panjang yang lembab ini, belum bisa memutuskan mau lanjut perjalanan ke mana,
sempat berniat untuk kembali saja ke arah di mana aku diturunkan oleh bis malam yang aku tumpangi tadi, tapi jaraknya sudah cukup jauh dan akan memakan waktu lama lagi, ditambah aku sudah lupa arah jalannya.
Tapi kalau ingin melanjutkan jalan ke arah barat, mengikuti jalan yang lumayan besar ini, juga gak tahu harus akan berjalan seberapa jauh lagi sampai menemukan setidaknya kota kecil untukku bermalam.
Sampai akhirnya rokok ditangan habis, aku pikir sudah saatnya bergerak, gak bisa juga untuk menunggu di tempat ini sampai pagi.
Kemudian aku bangkit dari duduk memutuskan untuk melanjutkan pejalanan ke barat dengan berjalan kaki mengikuti jalan aspal ini.
Aku masih yakin kalau jalan yang sedang aku susuri ini masih termasuk Jalan Lintas yang dijadikan jalan utama oleh kendaraan yang melintasi pulau Sumatera, tapi kalau memang ini jalan utama kenapa sepinya begini? Kosong, sama sekali gak ada kendaraan yang melintas.
Permukaan jalan masih basah, akibat guyuran hujansebelumnya. Kanan kiri jalan hanya gelap, menaungi pepohonan tinggi yang berdiri cukup rapat. Gak ada suara sama sekali kecuali suara langkah kakiku, pijakan sepatu yang bersinggungan dengan permukaan aspal, hanya suara itu saja.
Tipikal jalan di lintas pedalaman Sumatera, jalan berliku banyak tikungan disertai dengan tanjakan serta turunan, semuanya nyaris dipagari oleh pepohonan tinggi dan rindang.
Udara gak ada pergerakan, namun dinginnya mulai terasa. Langit sama sekali gak berbintang, hanya abu pekat awan yang masih kelihatan menggantung menyisakan uap air, semoga jangan dulu turun hujan lagi.
Agak goyah nyaliku sebenarnya, berjalan di daerah seperti ini, agak menyeramkan, tapi gak ada jalan lain selain terus melanjutkan langkah, sampai seenggaknya aku menemui perumahan penduduk yang mungkin bisa aku tumpangi untuk bermalam.
Sudah setengah jam lebih, belum juga ditemui ada perumahan penduduk atau bangunan lainnya, masih saja pepohonan dan semak belukar di sisi jalan, gak ada juga kendaraan melintas, satu pun juga gak ada, sepertinya hanya aku saja manusia yang sedang bergerak di sini.

Sepi..
Sampai kemudian ketika sudah hampir satu jam perjalanan, aku berhenti sejenak untuk mengambil sebotol air mineral dari dalam tas ransel yang kugendong sejak tadi. Sambil terus memperhatikan sekitar, masih saja sama sekali gak ada kehidupan, sepinya mati.
Setelah minum, aku lanjut berjalan.
Tapi, baru beberapa langkah bergerak, aku berhenti lagi, karena mendengar ada suara dari kejauhan. Suara yang sepertinya mesin motor, masih sangat jauh karena belum ada penampakannya, tapi aku yakin kalau suara itu arahnya dari belakang.
“Alhamdulillah, akhirnya ada motor lewat,” gumamku.
Deru mesin motor terus terdengar, yang tadinya sayup-sayup jadi makin jelas. Ah, ternyata benar itu motor, samar mulai terlihat lampu depanya yang menyala walau gak terlalu terang, sinar lampu motor yang awalnya menyembul dari sela-sela pepohonan sampai akhirnya kelihatan jelas karena sudah makin dekat jaraknya.
Masih agak jauh, tapi aku sudah menghadap ke motor itu sambil melambaikan tangan member isyarat agar dia menghampiri. Motor yang memang sedari awalnya berjalan tidak terlalu kencang, sepertinya sang pengemudi sudah melihat keberadaanku karena dia melambatkan kecepatan.
Walaupun sudah cukup dekat, tapi aku masih belum bisa melihat dengan jelas si pengemudi karena terhalang sinar lampu motornya ditambah sekitaran yang sangat gelap.

Sampai akhirnya motor ini berhenti di hadapan.
“Eh Bang, mau ke mana tengah malam gini?”

Senyum terpancar di wajah lelaki muda berkumis tipis ini, walau masih terlihat gurat keanehan diwajahnya, mungkin karena melihat ada orang yang sedang berjalan sendirian di tengah hutan seperti ini.
“Iya Bang, saya mau cari penginapan dekat-dekat sini, atau terminal bis umum lah kalau ada,” jawabku.

“Ah, mana ada penginapan di sini, gak ada bang, terminal juga masih jauuhh,” jawabnya.

“Masih jauh ya,” lemas aku bicara.
“Emang, abang cari terminal mau ke mana?” tanya dia lagi.

“Saya dari Jakarta, mau ke Pagaralam, Bang,”

“Waahh, Pagaralam masih jauh kali dari sini, gak mungkin bisa lanjut jalan kalau sekarang. Gimana kalo abang ikut aku aja? Menginap di tempat aku aja, lebih aman,”
“Terima kasih banyak kalo boleh begitu bang,” kembali aku sumringah, tawaran yang gak mungkin aku tolak.

“Ya sudah, ayok naik,”

Aku lalu naik ke motornya
Agak sedikit bersukur bisa bertemu dengan orang ini, walau dalam hati aku masih harus waspada, bisa saja dia ini penjahat, ah semoga saja bukan.

Kemudian motor kembali berjalan, menyusuri jalan gelap dan masih saja sepi.
“Kok abang bisa terdampar di situ tadi?” percakapan kami di atas motor dimulai dengan pertanyaan lelaki ini.

“Ah panjang ceritanya bang, pokoknya intinya saya kesasar, hehehe,” jawabku.
“Ada-ada aja abang ini, ngeri kali daerah ini bang. Oh iya, namaku Danil bang, kita belum kenalan,”

Danil, lelaki ini berusia sekitar 20 tahunan, mungkin masih beberapa tahun umurnya di bawah aku, berlogat Medan, bercelana panjang kargo mengenakan kaos berwarna gelap.
“Saya Biyan, Bang. Lah, abang sendiri dari mana?” tanyaku.

“Aku dari kota, trus singgah sebentar ke tempat teman, tapi malah kemalaman karena keasikan ngobrol, hahahaha..” jawabnya sambil menyebutkan nama kota yang gak terlelu jelas aku dengar, ditutup dengan tawa.
“Aku kerja di perkebunan di balik hutan ini, kira-kira satu jam perjalanan motor, kalau abang mau menginap di situ saja bang, besok aku antar ke jalan besar, saranku sih begitu,” tambahnya.

“Tempat tinggalnya masih berjarak satu jam? Gila, masih jauh dong,” pikirku dalam hati.
Tapi gak ada pilihan lain, benar kata Danil kalau tempat ini sangat sepi, sepanjang berjalannya motor aku masih belum menemukan rumah penduduk atau bangunan lain, aku sepertinya harus ikut dia ke tempat tinggalnya dan menumpang barang semalam.
Motor terus melaju menembus pekatnya malam, membelah antah berantah di satu sudut Sumatera. Desir angin yang makin dingin menerpa wajah, Danil yang masih sambil terus mengajakku berbincang memacu motor cukup kencang.
“Aku agak cepat ya, bang, supaya bisa cepat sampai,” ucapnya.
Aku mengiyakan.
Gak berapa lama kemudian, Danil membelokkan motor ke arah kiri, turun dari jalan aspal kemudian masuk ke jalan tanah biasa yang gak terlalu lebar.
“Nah, dari sini jalannya agak jelek ya bang, hehehe,” kata Danil.
Beberapa kali harus menahan nafas karena memperhatikan jalan dan sekitar, sungguh pemandangan yang cukup menyeramkan seenggaknya buat aku yang terbiasa hidup di kota besar, tapi beda dengan Danil, dia terlihat biasa saja, mungkin karena sudah terbiasa dan hapal dengan jalur yang sedang kami lalui ini.
Setelah berganti ke jalan tanah, yang terlihat di sekeliling lebih “suram” dari jalan aspal tadi. Menurutku, di jalan aspal sebelumnya yang masih termasuk jalan Lintas Sumatera sudah cukup menyeramkan, tapi di jalan tanah ini malah makin menyeramkan suasananya, pepohonan makin rindang, jalanan bergelombang, tanjakan serta turunan, dan sepertinya makin kecil kemungkinan untuk menemukan rumah penduduk apa lagi keramaian.
Sementara itu Danil terus memacu motor walau tidak sekencang sebelumnya. Pada beberapa titik, aku memutuskan untuk memejamkan mata gak berani melepas pandangan menatap gelap sangat pekat yang belum pernah aku temui sebelumnya.
“Agak seram ya Bang, hehehe, tapi tenang aja, sebentar lagi kita sampai,” Danil bilang begitu.

Aku gak menjawab apa-apa, hanya bisa diam sambil mulai berdoa sebisanya.

Pada kanan kiri jalan, berbagai jenis pepohonan aku lihat, bukan hanya satu jenis, jadi sepertinya yang sedang kami tembus ini adalah hutan belantara.
Di tengah-tengah lamunan kengerianku tiba-tiba Danil menghentikan motor,

“Ada apa, Bang?” tanyaku.

“Jadi gini bang, aku mau ngambil jalan potong, biasanya kalau sedang sendirian aku memilih lewat jalan memutar,” jawab Danil, yang tentu saja memancing pertanyaan dariku.

“Emang kenapa,Bang?”
“Jadi, jalan potongnya agak sedikit seram karena lewat kebun bambu, jalannya kecil dan lebih gelap dari ini karena banyaknya pohon bambu,” jawab Danil.

“Jalan memutar lebih enak dan gak begitu seram, tapi jadi lebih jauh. Karena sekarang aku ada teman, jadi gak apa-apalah kalau lewat jalan potong, hehehe” sambung Danil lagi.
“Oh yaudah bang, terserah abang aja, saya kan gak tahu jalan,” jawabku.

“Baiklah kalo begitu, kita jalan ya,” ucap Danil.

Tapi sebelum jalan, sejenak Danil terlihat bibirnya komat-kamit membaca doa. Hmmmm, menambah ketakutanku saja.
Lalu, motor mulai melaju. Derunya gak sekencang sebelumnya, benar kata Danil kalau jalan potong ini jalannya kecil dan bergelombang, lebih terlihat seperti jalanan orang, bukan kendaraan, makanya motor jadi gak bisa melaju cepat.
Kali ini, Danil gak banyak bicara, dia fokus mengendalikan motor.

Aku juga melihat kalau sedikit-demi sedikit pohon bambu mulai muncul kelihatan, satu persatu terlihat berdiri di pinggir jalan.

Sepertinya kami mulai masuk ke perkebunan bambu, seperti yang danil bilang tadi.
“Ini ya bang, kebun bambunya?” tanyaku, ketika pohon bambu makin menguasai pemandangan sekitar.

“Iya,” jawab Danil pendek.

Motor terus melaju, menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya kali ini sudah dipenuhi oleh pepohonan bambu yang rapat.
Tempat ini jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya, aku bisa merasakannya.

Cukup lama kami membelah menyusuri pepohonan bambu ini, nyaris setengah jam kami terus disuguhi sesaknya batang bambu, sampai ketika kami berhasil menemui jalan agak lebar tapi masih jalan tanah.
Sukurlah, aku sedikit lega karena sepertinya kami kembali bertemu jalan “Utama”.

“Udah aman, bang, hehehe,” ucap danil.

Sialan, aku kira Danil ini gak ketakutan, ternyata sama sepertiku.
“Bentar lagi sampai bang,” Danil bilang begitu ketika motor kembali melewati jalan yang sekitarannya bukan pepohonan bambu lagi, berganti seperti semula dipenuhi oleh pohon lain yang tinggi besar dan rindang.
Sangat berharap apa yang Danil bilang itu benar, aku sudah lelah fisik dan mental, perjalanan dari Jakarta sejak kemarin sungguh menguras habis tenaga. Ingin rasanya merebahkan badan ini dan tidur lelap.

“Naaaahh, itu rumah kami, bang,” ucap danil dengan nada gembira.
Benar, di kejauhan aku melihat ada satu rumah gak terlalu besar yang berdiri dalam gelap, berdiri di tengah-tengah hutan belantara ini.

Sukurlah, perjalanan ini ada akhirnya juga.

***
“Wah, bawa kawan kamu Nil?”

Seorang lelaki berumur 40 tahunan keluar dari kamar setelah kami masuk ke dalam rumah dan Danil menyalakan lampu petromak di tengah ruangan. Lelaki itu terlihat baru bangun tidur dengan sarung masih menutupi tubuhnya.

“Iya Bang, kawan baru, hehehe,”
Ternyata Danil gak tinggal sendirian di rumah ini.

Kemudian kami duduk berbincang di ruang tengah, jam sudah menunjuk ke pukul dua pagi.
“Waaaaahh, bisa ya kamu sampe terdampar sendirian di jalan Lintas yang sepi itu ya, daerah rawan itu, untung aja Danil tampan ini nemuin kamu ya, hahahaha. Ya, inilah rumah kami, kecil dan jelek, silakan kamu istirahat di sini, besok kalau sudah siap Danil akan antar ke terminal di kota ke Pagaralam,”
Lelaki ini bernama Dirman, aku dan Danil memanggilnya Bang Dirman, dia berasal dari Bengkulu. Dan juga akhirnya aku tahu belakangan kalau Bang Dirman dan Danil ini bukan hanya sekadar tinggal di rumah itu, tapi ternyata mereka sambil bekerja.
Mereka berdua bekerja pada satu orang terpandang dan kaya raya di daerah itu, tugas mereka adalah menjaga dan merawat tanah perkebunan luas milik orang terpandang itu.

Cukup seru perbincangan kami, walaupun baru kenal tetapi Bang Dirman dan Danil merupakan orang yang cukup senang berbincang.
“Hutan gini, kan kosong aja gak ada apa-apa, tapi kenapa harus dijaga ya?” tanyaku heran kepada mereka berdua.
“Oh jangan salah, di dalam hutan ini banyak pepohonan yang kayunya berharga tinggi, belum lagi bambu-bambu di atas tadi, kalian berdua lewat kan? Waaah, duit itu, kalo gak dijaga bisa habis semuanya,” lantas Bang Dirman langsung ter-triger menjelaskan karena pertanyaanku tadi.
Jadi begitu, mereka ditugaskan untuk menjaga isi dari hutan ini agar nggak dicuri, aku mulai mengerti.

Kemudian mereka bertanya tentang aku juga, banyak pertanyaan, salah satunya adalah “Ada perlu apa di Pagaralam?”
Aku memberikan sedikit penjelasan, kalau di Jakarta baru saja kehilangan pekerjaan akibat Pandemi yang baru saja terjadi, dan karena sudah cukup lama mengganggur untuk sementara aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah orang tua di Pagaralam.
“Oh begitu ceritanya, emang di Pagaralam ada udah ada kerjaan lagi?” tanya Danil.

“Belum ada, mau pulang aja dulu, sekalian kumpul sama orang tua, udah lama juga gak mudik, hehe,”
“Hmmmm, sebenernya, kami sedang butuh orang di sini kalo kamu memang butuh pekerjaan sementara, tapi kerjaan kuli sih,” Bang Dirman kali ini yang bersuara.
“Oh iya? Kerjaan apa Bang?” aku penasaran.

“Lahan perkebunan dan hutan ini terlalu luas untuk kami jaga kalau cuma berdua, butuh orang lagi supaya bisa cakup semuanya, sekarang kami masih sering kecolongan,”
“Iya bang, kami butuh orang lagi untuk jaga lahan. Sebelumnya udah beberapa orang yang kerja di sini, tapi gak ada yang lama-lama, pada gak tahan kerja di hutan, hehehe,” Danil menambahkan.
Aku langsung berpikir, waah lumayan nih, hitung-hitung aku akan bisa membawa sedikit uang untuk di rumah nanti, gak seperti sekarang yang pulang dalam keadaan gak membawa uang sama sekali kecuali ongkos. Gak perlu lama-lama, cukup satu bulan saja kerja di sini sebagai penjaga lahan, aku bisa bawa uang sedikit untuk orang tua.
“Waah, boleh tuh bang, saya mau deh,” aku bilang begitu.

“Naaahh, bagus kalo begitu, nanti siang saya ngomong ke Pak Anwar deh, dia pasti setuju, besok kamu bisa mulai kerja,” sambil tersenyum Bang Dirman bilang begitu.
“Tapi bayarannya gak besar ya, jangan dibandingin sama gaji di kota,” kata Bang Dirman lagi.

“Iya bang, gapapa, saya ngerti kok, hehe,”

Ya sudah, dalam percakapan singkat itu akhirnya mencapas konklusi yang cukup mengejutkan buatku, kok tiba-tiba aku dapat kerjaan, hehe.
Setelah itu perbincangan selesai, kami memutuskan untuk tidur.

***
Malam berikutnya, kami sudah berkumpul lagi di rumah, dan atas persetujuan Pak Anwar, Bos mereka, aku diperbolehkan bekerja di sini juga.
“Malam pertama ini, kamu jaga di kebun bambu dulu ya, Danil di kebun jati, saya keliling patroli,”

Bang Dirman memberikan tugas kami masing-masing untuk bekerja malam itu.
Kebun bambu yang Bang Dirman maksud adalah kebun yang ketika datang pertama kali sudah kulewati bersama Danil menggunakan motor, kebun yang pepohonannya cukup rapat.

Sedangkan Danil bertugas menjaga kebun Jati yang jaraknya agak jauh dari kebun bambu menurut cerita mereka.
Singkatnya, setelah perlengkapan sudah siap semua, sekitar jam sembilan malam kami keluar rumah menuju perkebunan yang akan kami jaga.
Tujuan pertama adalah kebun jati yang akan Danil jaga, jaraknya gak terlalu jauh dari rumah, setelah melewati jalan terjal dan berliku dengan barjalan kaki, kurang dari setengah jam kami sudah sampai.
Ada satu gubuk bambu sederhana yang dijadikan semacam pos tempat kami berjaga nantinya, gubuk ini gak terlalu besar, kira-kira hanya cukup untuk empat atau lima orang saja di dalamnya.
Setelah berbincang sebentar di gubuk itu, kemudian aku dan Bang Dirman lanjut perjalanan menuju kebun bambu yang akan aku jaga, sementara Danil tinggal di kebun jati yang akan dijaganya malam itu.
Nah, perjalanan menuju kebun bambu ini sedikit lebih jauh dan menantang, karena beberapa kali kami harus melewati jalan menanjak dan sempit.

Tapi walaupun terasa lama akhirnya sampai juga.
Sama dengan kebun jati tadi, kebun bambu ini juga ada gubuk kecil yang digunakan sebagai tempat berjaga buatku nanti.

“Nah kita sudah sampai, kamu berani kan? Hehe” tanya Bang Dirman.

“Berani Bang,” jawabku pendek.
Walaupun begitu, tapi tetap saja aku agak gentar nyali ketika melihat suasana di kebun bambu ini, pepohonan bambu yang nyaris rapat, gelap, sama sekali gak ada pencahayaan, tapi digubuk kecil ada lampu minyak tanah yang bisa dinyalakan nantinya.
Yang membuat nyaliku agak ciut ketika sadar kalau tempat ini jauh dari mana-mana, jauh dari pemukiman apa lagi keramaian, sepi gak terkira, mungkin hanya kami bertiga manusia yang ada di dalam hutan belantara Sumatera ini.
Tapi ya sudah, karena sudah terlanjur mengiyakan untuk mengambil pekerjaan ini, akan aku jalani saja sampai mana nantinya.
“Biyan, saya keliling dulu ya, habis itu ke tempatnya Danil, baru ke sini lagi, tenang aja saya gak akan lama-lama, kamu masih baru kerja, nanti kalo udah lamaan pasti akan terbiasa, hehehe,”
Benar, ternyata sudah hampir jam sebelas, gak terasa cukup lama kami berbincang.

“Iya Bang, amanlah, semoga lancar malam ini gak ada apa-apa,” jawabku.

“Iyalah, pasti aman, hehehe,” jawab Bang Dirman.
Setelah itu, Bang Dirman berangkat meninggalkan aku sendirian, dia berjalan menuju jalan setapak arah dari mana kami datang tadi. Dalam gelap, aku melihat Bang Dirman berjalan menjauh sampai akhirnya benar-benar hilang dari pandangan.
Maka dimulailah aku bekerja di tempat ini, sendirian menjaga kebun bambu yang cukup luas. Duduk di gubuk kayu dengan penerangan lampu minyak tanah yang pada akhirnya aku matikan juga. Sepeninggal Bang Dirman, aku hanya ditemani oleh suara-suara binatang malam yang bersahutan, selebihnya hanya senyap alam
Seram? Iya, agak.

***
“Gila, udah sejam lebih Bang Dirman belum datang juga..”

Lagi-lagi ucapan kalimat kekawatiran meluncur dari mulut, jelas saja aku mulai cemas ketika sudah sedemikian lamanya Bang Dirman belum muncul juga.
Ketenangan perlahan berganti, desir angin merambah masuk ke sela-sela bambu yang menjulang tinggi, membuat batang-batangnya mulai bergoyang pelan.

Awalnya yang gak ada suara sama sekali, sekarang mulai terdengar batang bambu beserta dedaunan di atasnya yang bergesekan satu sama lain.
Aku makin sering mengubah posisi duduk, gelisah, juga agar sambil dapat terus memantau ruang terbuka di sekitar. Gelap, sama sekali gak ada penerangan, penglihatan hanya terbantu oleh serpihan cahaya langit yang walaupun sedikit tapi bisa memantulkan objek pada retina mata.
Gak bisa menyalakan lampu templok yang masih menyisakan sedikit minyak tanah di dalamnya, aku gak mau menghidupkannya karena justru akan menyulitkan mata untuk melihat kejauhan kalau lampu ini menyala.
Sekali lagi aku menyalakan rokok, coba mengurangi kegugupan dan kekhawatiran.

“Siyal, kok aku bisa sampai di sini, kenapa aku mau ambil pekerjaan ini?”

Menggerutu sendirian, menyesal dengan langkah yang aku ambil sebelumnya sehingga bisa terdampar di tengah-tengah hutan Sumatera di tengah malam mengerikan ini.
Jam setengah satu, hampir satu setengah jam Bang Dirman masih belum juga kelihatan juga batang hidungnya, “Bangsat, gw dikerjain nih..”, kalimat umpatan lagi-lagi keluar dari mulut.
Situasi mencekam seperti ini membuat waktu lambat berputar, detik sangat perlahan untuk berganti menjadi menit, menit yang satu tertahan berat untuk bergulir menuju menit berikutnya.
Tapi setelahnya, aku tiba-tiba menahan nafas sejenak, menajamkan pendengaran, karena merasa ada yang berubah..

Tiba-tiba semuanya diam, gak ada lagi suara sama sekali, hening..
Diamku lama, statis, gak berani bergerak, memperhatikan semuanya, sepertinya waktu benar-benar berhenti berputar.

Ya itu tadi, putaran waktu yang sebelumnya terasa sangat lambat bergerak, kali ini malah seperti berhenti..
Lalu, tiba-tiba,

“Sreeeeeeek, sreeekkk..”

Pendengaranku menangkap suara seperti itu, tapi masih belum yakin kalau itu memang benar suara atau hanya halusinasiku saja.
“Sreeeeeeeeeek..”

Kedengaran lagi..

Benar, aku mendengar ada suara, ternyata bukan halusinasi.

Kali ini lebih jelas, membuat aku jadi tahu arah sumber suaranya dari mana.

Dari sebelah kiri, sebelah kiri gubuk.

Aku lantas menoleh..
Batang bambu berdiri rapat tapi masih menyisakan celah di antaranya, jadi aku bisa memaksa mata untuk menerobos gelap dan mencari tahu sumber suara.

Dari suaranya, terdengar seperti gesekan antara benda dengan permukaan tanah yang dipenuhi banyak daun bambu yang sudah mengering.
“Bang Dirman?”

Memberanikan diri bersuara, aku memanggil nama Bang Dirman karena mulai yakin kalau suara itu adalah suara langkah kaki.

Tapi gak ada jawaban, walau sejenak suara itu berhenti setelah suara panggilanku.
“Sreeeeeeeeeek..”

Tiba-tiba kedengaran lagi setelah belasan detik menghilang.

“Bang?”

Nekat, aku memanggil sekali lagi, tapi sama saja, gak ada jawaban.

Suara itu kembali gak terdengar setelah aku bersuara.
“Sreeeeeeeeeek, sreek..”

Kedengaran lagi, bulu kudukku mulai merinding karena sepertinya aku melihat sesuatu di antara pepohonan bambu.

Memicingkan mata, aku coba menajamkan penglihatan untuk menembus gelap, penasaran.
Setelah mata agak terbiasa, barulah aku bisa melihat objek tersebut walau masih samar.
Ternyata seperti ada orang yang sedang berdiri dalam gelap, meski agak terhalang oleh batang-batang bambu, namun aku masih bisa melihatnya cukup jelas.
Iya, jaraknya sekitar 10 meter dari tempatku, cukup dekat untuk memastikan kalau itu memang manusia, dan aku bisa memastikan kalau itu bukan Bang Dirman atau Danil, karena sejak tadi aku memanggil gak ada jawaban.
Keberanianku muncul, terselip dalam pikiran kalau yang sedang aku perhatikan itu adalah pencuri, dan aku ditugaskan di sini sebagai penjaga kebun.

Kemudian aku raih lampu senter dan sebilah golok lalu bangkit dari duduk, keluar dari gubuk berjalan menuju ke tempat orang itu.
“Heh!, lagi ngapain di situ?” ucapku sambil berjalan.
Gak ada jawaban, orang itu masih diam berdiri di tempatnya. Aku makin semangat untuk mendekat.

“Berani-beraninya ya mau maling!” setengah berteriak aku bilang begitu, makin berani.

“kampret nih orang,” kali ini aku mengumpat dalam hati.
Tapi, ketika makin mendekat dan makin dekat, ketika hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku berhenti, akhirnya dapat melihat dengan jelas.
Ternyata sosok yang sedang aku dekati ini ukuran tubuhnya agak beda dengan ukuran manusia normal, walaupun tidak besar tetapi tingginya kira-kira nyaris dua meter. Dan juga awalnya aku pikir karena dia berdiri dalam gelap sehingga tubuhnya jadi masih terlihat hitam seperti bayangan, tapi salah.
Kami berjarak hanya sekitar tiga langkah saja, aku berdiri diam sambil terus memperhatikan, mengurungkan niat yang awalnya ingin berteriak membentak sekali lagi. Perlahan aku arahkan cahaya lampu senter ke tubuh sosok itu.
Aku ketakutan, lemas badanku, tulang-tulang seperti lepas dari engselnya.
Tubuhnya hitam legam, seperti hangus terbakar tapi sama sekali gak mengeluarkan asap. Benar perkiraanku sebelumnya, kalau sosok ini tingginya gak normal, setinggi dua meter atau mungkin lebih. Lampu senter aku arahkan mulai dari kakinya, lalu perlahan terus ke atas menuju kepala, dari sini aku sudah bisa melihat jelas semuanya, sangat mengerikan.
Tapi, cahaya lampu senterku tertahan di lehernya, di titik itu aku gak berani lagi untuk melihat kepalanya, kenapa? Karena dalam gelap aku bisa melihat kalau kedua matanya berwarna merah menyala!
Mahluk apa ini? gemetar tanganku yang sambil memegang senter.

Seperti mati, aku gak bisa menggerakkan tubuh, sangat ingin lari dari situ tapi gak bisa, sama sekali gak mampu, hanya berdiri diam dalam ketakutan. Kami berhadapan, sangat dekat.
Sampai ketika, terdengar suara lagi, suara langkah yang bunyinya sama dengan yang aku dengar sebelumnya, kali ini suaranya berasal dari sebelah kanan.
“Sreeeek, sreeek, sreeeek,”

Aku menoleh ke kanan, lalu mengarahkan lampu senter ke sana.
Ternyata, cahaya senterku menangkap satu lagi sosok seram yang perawakannya nyaris sama dengan yang sedang berdiri di hadapan, bedanya adalah yang ini tubuhnya lebih besar dan tinggi, dengan kedua matanya yang menyala merah juga, seram!
Aku terus memperhatikan mahluk yang di sebelah kanan ini, walaupun jaraknya belum dekat tetapi aku sudah bisa memastikan kalau dia ternyata masih terus berjalan mendekat, dari langkahnya terdengar suara “Sreeek, sreeek” yang sama.
Sosok hitam legam ini terus berjalan mendekat, makin dekat, sampai akhirnya jaraknya sudah cukup buat aku untuk melihat lebih jelas lagi.
Ternyata, mahluk ini berjalannya seperti sedang membawa sesuatu, seperti sedang menyeret sesuatu dengan satu tangannya, aku yakin itu..
Sedang mambawa apa dia?
Ketika jarak kami hanya tinggal beberapa langkah saja, dia berhenti. Saat inilah aku bisa melihat semuanya, termasuk benda yang sedang dia bawa, benda yang sedang dia seret.
Detik berikutnya, entah mendapat energi dari mana, aku lalu mundur beberapa langkah kemudian berlari menjauh menembus pepohonan bambu, akhirnya bisa melarikan diri.
Aku ketakutan, panik, melangkah menerjang apa pun yang ada di hadapan dengan tujuan pergi sejauh mungkin dari kebun bambu itu.
Kenapa tadi aku panik? Kenapa tiba-tiba langsung melarikan diri? Karena tadi sebelum lari akhirnya aku bisa melihat apa yang sedang dibawa oleh mahluk seram yang kedua, ternyata sosok itu sedang membawa jenazah manusia berpakaian lengkap namun tanpa kepala!
Aku sangat ketakutan melihat itu semua..
Selanjutnya aku terus berlari gak mempedulikan apa yang ada di belakang, mengikuti jalan setapak yang aku temui, terus mengikuti sampai pepohonan bambu menghilang berganti pepohonan rindang lainnya.
“Biyan!”

Tiba-tiba aku mendengar ada suara memanggil, menoleh ke belakang, ternyata Bang Dirman.

Sukurlah, aku akhirnya bisa berhenti berlari dan mengatur nafas.
Singkat cerita, aku dan Bang Dirman sampai di rumah pada akhirnya, kemudian aku ceritakan semua kejadian yang baru saja aku alami.
“Hehehe, ya sudah sekarang istirahat aja, tidur, udah jam setengah tiga juga,” Bang Dirman menyuruhku.

Tentu saja menuruti omonganya, gak mau aku balik lagi ke kebun bambu itu lagi.
Jadi, Bang Dirman cerita kalau tadi dia sempat ketiduran di pondokan tempat Danil jaga, yang rencanannya hanya sebentar jadinya malah lama, makanya dia gak nongol-nongol lagi ke tempatku tadi.

***
Keesokan paginya, aku terbangun jam tujuh di rumah itu, di ruang tengah sudah ada Bang Dirman dan Danil.

“Eh abang sudah bangun, hehe, sini ngopi dulu,”
Sumringah wajah Danil menyapaku, di meja sudah ada singkong rebus dan kopi untuk sarapan.
“Tadi malam katanya liat hantu ya, Bang? Hehehe,” lagi-lagi Danil yang bicara.

Kemudian sekali lagi aku menceritakan semuanya, kali ini lebih detil.

“Hantu kebun bambu itu sudah jadi perbincangan orang-orang desa sekitar dari dulu, emang seram sih,” ucap bang Dirman.
“Jadi gimana? masih mau kerja di sini kan? Masa baru dua malam udah nyerah?” lanjut Bang dirman lagi.

“Gak, Bang, makasih, saya lanjut pulang ke Pagaralam aja,” jawabku.
Iya, aku memutuskan gak mengambil tawaran pekerjaan ini dan lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan pulang, gak akan tahan dengan teror yang mungkin akan aku alami lagi kalau tetap tinggal di tempat ini.

***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.

Selesai satu fragmen horror malam ini, semoga bisa jadi penghantar mimpi.

Sampai jumpa minggu depan, tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.

Jaga perasaan diri sendiri dan orang lain,

Salam,
~Brii~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Brii

Brii Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @BriiStory

Sep 28
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.

Simak di sini, hanya di Briistory..

*** Image
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.
Read 57 tweets
Sep 21
Gambaran kehidupan penghuni Panti Asuhan di kota kecil di Banten, pergulatan dalam menjalani hidup yang harus juga berjuang menghadapi banyak keanehan dan kejanggalan menjurus seram yang terjadi di dalam Panti.

Series seram terbaru, Panti Asuhan, hanya di Briistory..

*** Image
~Pada suatu malam, di pertengahan tahun 1995~

Bu Bertha selalu paling awal duduk di meja makan, kursi paling ujung di deretan sebelah kanan. Malam itu juga sama, beliau sudah duduk dengan senyum khasnya. Perempuan berdarah Batak dengan kerut tegas di wajah, rambut panjang yang sudah beruban tergerai sampai bahu, seperti biasa dia berpakaian terusan panjang bermotif bunga.
“Ayoook anak-anak, sudah waktunya makan, sudah siap semua ini,” Bu Bertha berteriak begitu, tiba-tiba.

Sudah jam tujuh malam, tepat, tidak kurang tidak lebih, waktunya makan malam. Banyak kursi mengelilingi meja panjang berbentuk oval, kursi yang biasanya tidak terlalu lama untuk habis dipenuhi oleh para penghuni panti setelah ada aba-aba teriakan dari Ibu Bertha. Dan benar, setelah itu para penghuni langsung meninggalkan semua kegiatannya, yang rata-rata sedang belajar dan mengaji, bergegas menuju meja makan.
Read 55 tweets
Sep 14
Banyak dari kita yang secara sadar atau gak sadar pernah merasakan kengerian di tempat kerja dengan bermacam bentuk. Bisa jadi, besok atau lusa, kita akan merasakannya (lagi).

Salah satu teman menceritakan pengalaman seram di kantornya. Simak di sini, hanya di Briistory.

*** Image
Hilir mudik beberapa pekerja kantoran di depan gedung ini seenggaknya bisa membuatku tenang sedikit, setelah baru saja mengalami kejadian yang sungguh membuat shock.

Menyalakan rokok, lalu meghisapnya dalam-dalam, berikutnya kepulan asap tebal keluar dari mulutku, what a relieve, “Untung aja masih rame,” pikirku dalam hati.

Kantorku ini letaknya bukan yang di pusat perkantoran Jakarta seperti Sudirman Thamrin atau Kuningan, tapi masih tetap cukup ramai, yah namanya juga Jakarta. Gedung tempatku bekerja ini letaknya di bilangan Jalan Simatupang Jakarta Selatan, terhitungnya sih masih gedung baru kalau dibandingkan dengan gedung-gedung yang ada di sekitarnya, bentuk gedungnya juga cukup modern, bukan yang kaku seperti gedung lama pada umumnya, letaknya gak jauh dari Citoz lah.

Ini belum terlalu malam, masih jam setengah sepuluh, kenapa aku masih di kantor? Karena jobdesk-ku memang mengharuskan begitu. Aku sebagai Admin Marketing Support terpaksa kerja sampai malam kalau rekan-rekan marketing sedang ada event pameran di luar kantor, aku harus menunggu mereka untuk balik ke kantor dan melaporkan hasil penjualan hari itu. malah beberapa kali aku baru bisa pulang nyaris tengah malam.

Sama juga dengan malam ini, aku masih menunggu rekan marketing untuk pulang, katanya sih jam 10 mereka baru selesai pameran.

Iya, seperti yang aku bilang di awal tadi kalau aku keluar kantor ini ada alasannya, kurang lebih untuk menenangkan diri, menenangkan diri dari apa? Akan aku ceritakan semuanya dari awal.

***
~kira-kira satu jam sebelumnya~

“Ah, paling tertiup angin”, aku pikir begitu.

Beberapa detik sebelumnya aku terkejut kaget ketika tiba-tiba pintu gudang bergeser terbuka sendiri, gudang itu letaknya di belakang mejaku tapi gak benar-benar persis dekat di belakang, jaraknya agak jauh sekitar 20 atau 25 meter, tapi suara pergeseran itu jelas kedengaran karena hanya tinggal ada aku saja di ruangan besar ini, pergerakan pintu yang terbuka secara perlahan.
Read 45 tweets
Aug 24
Di tempat baru, yang belum kita kenal sama sekali, kadang memberikan sajian seram di dalamnya. Kita yang gak tahu menahu, jadi tercengang ketakutan setelahnya, ternyata ada sesuatu yang ingin menyampaikan pesan, mungkin.

Dena, mahasiswi Jakarta, bertarung melawan rasa takutnya sendiri, merasakan keseraman di tempat baru, di Rumah Cipaganti.

Simak ceritanya di sini, hanya di Briistory..
“Gludug, gludug, gludug..”

Terdengarnya seperti ada benda menggelinding.
Yang awalnya jauh, jadi agak dekat, dekat pintu kamar. Masih kaget karena baru saja terjaga, nyawa belum ngumpul, aku masih diam tapi terus memperhatikan, keadaan rumah yang sepi menjadikan suara itu kedengaran jelas walau gak terlalu keras.

“Gludug, gludug, gludug..”

Nah loh!, kali ini sangat dekat, benda yang jadi sumber suara sepertinya baru saja melintas persis di depan pintu kamar!

Bernafas pun aku gak berani, sebegitu takutnya untuk mengeluarkan bunyi..

Tapi, berikutnya gak terdengar apa-apa lagi, sepi, suara itu sejenak menghilang..

Dinginnya kota Bandung membuat aku menggigil, makin menjadi-jadi karena ditambah dengan suasana seram yang sedang berlangsung.

Perlahan menarik selimut lagi sampai sebatas leher, pantas saja aku kedinginan karena sebelumnya selimut gak menutupi tubuh seluruhnya.

Namun, ketika sedang “menikmati” sepi, tiba-tiba..

Duk..

Duk..

Duk..

Tiga kali terdengar bunyi seperti itu lagi!

Yang aku tangkap, dari bunyi dan jaraknya, kedengarannya seperti ada benda yang sedang membentur-bentur pintu kamar. Jarak antara “duk” yang satu dengan “duk” berikutnya ada jeda, gak berdekatan.

Sekali lagi cekam itu datang, “Itu suara apa sih? Kok makin aneh,” aku terus bergumam dalam hati.

Atau aku nyalakan lampu saja? supaya terang benderang. Ah, mengambil beberapa langkah untuk berjalan ke saklar pun gak berani, gak mau membuat suara, aku takut.

Duk..

kedengaran lagi, kali ini hanya sekali.

Setelah itu hilang, sepi lagi.
Ngantukku sudah gak terasa, sedikit pun nggak. Tapi, gak ada yang bisa aku lakukan selain melamun sambil bertanya-tanya dengan cemas apa yang akan terjadi kemudian.

Oh iya, ponsel!, aku bisa menyibukkan diri, mungkin bisa melupakan keseraman ini dengan membuka ponsel, tapi apa daya, ponsel tergeletak di atas meja yang letaknya agak jauh dari tempat tidur.

Tapi, ketegangan sedikit berkurang ketika sudah beberapa belas menit lamanya gak ada suara-suara lagi, sep aja, mungkin gak akan kenapa-kenapa kalo aku turun tempat tidur untuk mengambil ponsel. Ya sudah, akhirnya memberanikan diri untuk bangun dan melangkah ke meja.

Rumah besar ini terlalu besar untuk kami yang hanya bertiga saja, jadi makin dingin dalam senyap. Beberapa lampu di dalam sengaja dimatikan, pencahayaan jadi remang mendekati gelap.

Nah, akhirnya ponsel sudah dalam genggaman, masih berdiri di dekat meja tapi aku sudah mulai melihat layarnya. Cahaya dari ponsel jadi terasa terang karena kamar dalam keadaan nyaris gelap..

Aku lalu melangkah pelan balik lagi ke tempat tidur, sambil mata masih terus memandang ke ponsel. Gak langsung merebahkan diri, aku malah duduk di pinggir ranjang.

Beberapa menit kemudian aku mulai tenggelam larut dalam keasikan berselancar melihat-lihat linimasa media sosial, beberapa kali tertawa kecil karena ada gambar atau video lucu, jadi teralihkan dengan peristiwa aneh yang baru saja terjadi.

Sampai akhirnya, aku dikagetkan dengan suara benda menggelinding lagi!

“Gludug, gludug, gludug..”

Terbelalak, sontak aku langsung mematikan ponsel..
Masih duduk di pinggir tempat tidur, aku menatap tajam ke pintu.

Dari suaranya, benda itu menggelinding dari depan rumah ke belakang, lewat depan kamar.

Lama aku diam memperhatikan, menajamkan pendengaran, bunyi itu terus terdengar..

“Gludug, gludug, gludug..”

Kembali muncul, kali ini datang dari belakang menuju bagian depan rumah.

Lalu berhenti, hilang..

Tapi beberapa belas detik kemudian kedengaran lagi, “Gludug, gludug, gludug..”.

Gak seperti sebelum-sebelumnya yang berlanjut sampai ke depan atau belakang, kali ini suaranya berhenti. Kalau itu adalah benda yang menggelinding, dari suaranya terdengar kalau benda ini berhenti tepat di depan pintu kamar!

“Itu apa sih..?” dalam hati aku bertanya-tanya.

Takut dan cemas menyeruak isi kepala, tapi entah kenapa rasa penasaran juga ada, ingin tahu apa sih sebenarnya yang menggelinding itu?
Read 28 tweets
Oct 13, 2022
Halo, jumpa lagi..:)

Malam ini, akan ada cerita tentang pengalaman seram seorang teman ketika sedang berlibur di Bali bersama sang istri.

Liburan yang harusnya menyenangkan, malah jadi menyeramkan.

Simak di sini, hanya di Briistory..

*** Image
Bali, salah satu destinasi wisata dunia, gak bisa diperdebatkan lagi kalau ini adalah tempat yang sangat indah dan menyenangkan.

Berbagai macam kesenangan dan hiburan tersedia, berbagai tempat indah mengantri untuk dikunjungi, entah itu pantai atau pegunungan, banyak.
Begitulah, tanpa banyak kata, malam ini gw akan berbagi cerita pengalaman seorang teman yang baru-baru ini berlibur ke Bali bersama istrinya, cerita tentang pengalaman seram ketika menginap di salah satu hotel di Ubud Bali.

Dari sini, Dia yang akan cerita langsung..

***
Read 107 tweets
Jul 21, 2022
Keseraman terus berlanjut, malam cekam belum selesai. Om Heri dan Wahyu sedang coba mencari jalan keluar dari keseraman di perkebunan karet.

Simak semuanya di episode berikutnya, untold story #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..

*** Image
Sementara itu, Wahyu masih terus berusaha memperbaiki motor, semampunya, bekerja dalam gelap.
Tapi, entah berapa menit kemudian, aku tersadar kalau Wahyu tiba-tiba sudah berhenti bergerak, diam dalam posisinya yang terakhir, dengan tangan masih memegang obeng, tapi wajah menghadap ke satu arah, lagi-lagi Wahyu seperti sedang melihat sesuatu.
Read 68 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(