Keluarga Djojohadikusumo adalah salah satu keluarga ningrat yang berpengaruh di Indonesia.
Nama keluarga Djojohadikusumo mulai dikenal lewat sosok Raden Mas Margono Djojohadikusumo (1894-1978) yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara yang pertama dan juga dikenal sebagai pendiri BNI 46.
Isteri Margono adalah Siti Katoemi Wirodihardjo, anak dari Dr. R. Kahono Wirodihardjo yang merupakan keturunan dari KRT Wirodigdo alias Ki Ageng Wiroreno (Bupati Nayaka Kartasura) dan isterinya, RA Kistaboen yang merupakan keturunan Pangeran Singasari alias Pangeran Prabujoyo Adi Senopati Ingalogo alias Sunan Malang, putera Susuhunan Amangkurat IV yang membangun basis di Malang guna melancarkan pemberontakan melawan kakak tirinya, Susuhunan Pakubuwono II.
Katoemi yang merupakan saudari dari ekonom ternama, Saroso Wirodihardjo dan juga ipar dari Prof. Dr. Julie Sulianto Saroso, memberikan tiga putera untuk Margono yakni Prof. Dr. R. Soemitro Djojohadikusumo, Kapten R. Subianto Djojohadikusumo dan Taruna R. Soejono Djojohadisukumo.
Di antara ketiga puteranya tersebut, Subianto dan Soejono gugur dalam pertempuran Lengkong di Serpong, Tangerang melawan penjajah Belanda.
Sebagai putera Margono yang masih hidup, Soemitro berkiprah di pentas nasional dengan menjabat sebagai Menteri Keuangan dan juga Menteri Perdagangan selama era Orde Lama.
Soemitro kemudian mengulang Sejarah yang sama seperti leluhurnya, Pangeran Singasari dengan bergabung ke barisan PRRI yang dianggap memberontak terhadap Presiden Sukarno dan ia sempat kabur ke luar negeri sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada masa Orde Baru dan diamanahi jabatan sebagai Menteri Riset dan juga Menteri Perdagangan oleh Presiden Suharto.
Pada tahun 1947, Soemitro menikah dengan Dora Marie Sigar. Ia adalah keturunan dari Tawalijn Sigar, seorang Kepala Distrik di Langowan, Minahasa yang awalnya menentang kristenisasi karena isterinya adalah seorang Walian (pendeta atau imam sekaligus tabib dalam kepercayaan Malesung).
Akan tetapi, berkat usaha penginjil keturunan Jerman bernama Johann Gotliebb Schwarz, Tawalijn bersedia menerima iman Kristen.
Setelah dibaptis dan berganti nama menjadi Benjamin Thomas Sigar, ia bersama pasukan Hulptroopen ikut membekuk Pangeran Diponegoro.
Dari penikahan ini, mereka dikaruniai beberapa anak yakni Biantiningsih Miderawati Djiwandono, Marjani Ekowati le Maistre, Prabowo Subianto Djojohadikusumo, dan Hashim Sujono Djojohadikusumo.
Jika merujuk pada Sejarah versi keluarga Djojohadikusumo, asal-usul keluarga ini sama tuanya dengan kampung halaman mereka yakni Kabupaten Banyumas.
Raden Mas Margono adalah anak Raden Tumenggung Mangkuprodjo yang merupakan anak dari Raden Kartoatmodjo dari pernikahannya dengan RAy Djojoatmojo (cicit dari Sri Sultan Hamengkubuwono II).
Dari dua garis keturunan perempuan yakni RAy Djojoatmodjo dan RA Kistaboen, Keluarga Djojohadikusumo bisa melacak leluhurnya hingga ke pendiri Mataram, Danang Sutawijaya.
Raden Kartoadmodjo sendiri adalah anak dari Raden Muhammad yang merupakan anak dari Raden Tumenggung Kertanegara IV (Panglima Laskar Diponegoro Wilayah Gowong, Kedu).
Dari sini hingga ke leluhur Keluarga Djojohadikusumo yakni Raden Joko Kaiman alias Adipati Mrapat disebut sebagai Trah Wargahutama-Wirahutama-Wirasaba.
Trah ini juga memiliki beberapa cabang, Keluarga Djojohadikusumo termasuk cabang Kertanegaran. Sedangkan cabang lain yakni cabang Yudanegaran menurunkan Kapiten Cina, Tan Jing Sing dari pihak ibu.
Cabang lain dari keluarga ini yakni cabang Danuredjan menurunkan Patih Yogyakarta, Danuredja.
Trah Wargahutama-Wirahutama-Wirasaba sendiri merupakan Klan Penguasa lama di Banyumas. Sejarah terbentuknya Banyumas berawal dari Unifikasi antara Wirasaba yang merupakan wilayah Majapahit dan Pasir Luhur yang merupakan Mandala dari Kerajaan Sunda-Galuh.
Joko Kaiman alias Adipati Mrapat sebagai Penguasa awal Banyumas sebelum membentuk Trah sendiri yang bernama Wargahutama adalah menantu dari Adipati Wirasaba yang berasal dari Trah Wirahutama.
Leluhur Trah Wirahutama adalah Jaka Katuhu yang merupakan anak dari bangsawan Majapahit bernama Arya Baribin dan Putri Sunda-Galuh bernama Dewi Ratna Pamekas. Jaka Katuhu bisa menjadi Adipati Wirasaba karena ia adalah anak angkat dari Raden Paguwan alias Adipati Wirahudaya.
Adapun Joko Kaiman sendiri adalah anak dari Banyak Sasra, yang merupakan adik dari Raden Jaka Katuhu. Ibunda Joko Kaiman adalah Puteri dari Banyak Geleh alias Adipati Mangkubumi II yang menggantikan kakaknya, Banyak Belanak alias Adipati Mangkubumi I yang dihabisi oleh puteranya, Banyak Thole.
Banyak Geleh dan Banyak Belanak adalah keturunan dari Banyak Catra alias Arya Kamandaka, penguasa mandala Pasir Luhur yang disebut-sebut sebagai Putera Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dari isterinya, Nyi Ambetkasih.
Banyak Catra adalah saudara kandung dari Gagak Ngampar, penguasa mandala Dayeuhluhur di Cilacap. Mereka berdua adalah saudara tiri dari Walangsungsang (Pendiri Cirebon), Surawisesa (Raja Sunda) dan Kian Santang.
Singkat kata, melihat dari beberapa sisi leluhur Keluarga Djojohadikusumo, bisa disimpulkan bahwa mereka adalah keluarga bangsawan Jawa yang memiliki darah keturunan bangsawan Sunda.
Hal itu sejatinya merupakan cerminan dari tempat asal keluarga Djojohadikusumo yakni Banyumas yang merupakan tempat pertemuan budaya Jawa dan Sunda di masa lalu.
Penulis: @HansWibowo15
Editor: @LimantaraDaniel
Referensi:
Dirgayuza Setiawan. Nilai-nilai Pendekar Pejuang : Prinsip Berpolitik, Berbisnis dan menghidupi hidup Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Mediakita, 2015
Farabi Fakih. Authoritarian Modernization in Indonesia’s Early Independence Period. EJ Brill, 2020
H. Budiono Herusatoto. H. Budiono Herusatoto. Banyumas ; Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.Lkis Pelangi Aksara, 1 Jan 2008 Nasirun Purwokartun. Serat Babad Banyumas Mertadiredjan. Bale Pustaka, 2020
Sigit Prawoto. Hegemoni Wacana Politik. Universitas Brawijaya Press, 2018
Soenjata Kartadarmadja. Biografi Santoso Wirdjodihardjo. Depdikbud. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Setelah mengikuti pelbagai diskursus publik di beberapa media daring dan media sosial berkaitan dengan konflik di Desa Wadas di Purworejo kita bisa menarik kesimpulan atas problema yang multidimensional ini.
Di Desa Wadas terdapat deposit batu andesit yang amat diperlukan untuk membangun Waduk Bener, sebuah megaproyek strategis nasional yang dianggap bermanfaat bagi pembangunan nasional.
Greenflation. Sebuah tantangan dalam transisi energi.
{sebuah utas singkat}
Inflasi Hijau atau yang populer dengan sebutan Greenflation adalah kenaikan harga pelbagai bahan baku dan komoditas sebagai hasil dari transisi keberlanjutan.
Fenomena ini muncul seiring dengan rencana pemulihan pasca pandemi Covid-19 yang semakin parah akibat pecahnya perang di Ukraina yang mengganggu rantai pasokan, terutama untuk komoditas nikel dan logam lainnya yang digunakan dalam membangun turbin angin.
"Buruk, biadab, dan singkat". Itu mungkin satu kutipan yang cocok untuk menggambarkan kehidupan pemburu-pengumpul. Kutipan tersebut seringkali digunakan oleh ilmuwan terdahulu untuk menggambarkan gaya hidup masyarakat pemburu-pengumpul.
Masyarakat pemburu-pengumpul harus bekerja keras untuk mencari makan setiap hari dan sering kali berada di ambang kelaparan. Mereka hidup tanpa menikmati kenyamanan bendawi yang mendasar sekalipun, seperti tempat tidur yang empuk dan sandang yang memadai, lalu akhirnya mati muda.
Nenek moyangku seorang pelaut.
Gemar mengarung luas samudra.
Menerjang ombak tiada takut.
Menempuh badai sudah biasa.
{sebuah utas singkat}
Ave Neohistorian!
"Angin bertiup layar terkembang. Ombak berdebur di tepi pantai. Pemuda berani bangkit sekarang. Ke laut kita beramai-ramai."
Itulah cuplikan lirik lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" karya Ibu Soed. Sangat benar, leluhur mayoritas penduduk Indonesia adalah pelaut ulung.
Dahulu kita mengenal istilah Proto dan Deutro Melayu, yang diajarkan di sekolah, bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari Yunnan di Tiongkok. Teori ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1889.
Kala itu tentara Inggris menembak 26 warga sipil dalam demonstrasi yang menuntut Inggris agar hengkang dari Irlandia dan pengasingan mereka yang anti terhadap Inggris tanpa peradilan yang jelas.
Korban tewas sebanyak 14 orang dan 12 orang luka-luka dimana kebanyakan dari mereka ditembak ketika lari menghindari kejaran aparat Inggris resimen penerjun payung yang menembakan senapan L1A1 secara membabi buta kepada para demonstran tersebut.
Sudah lama Toyotomi Hideyoshi tidak suka dengan agama baru dari orang berkulit putih yang berkembang di wilayah kekuasaannya.
{sebuah utas}
Hideyoshi melihat bahwa agama tersebut menolak dewa-dewi yang disembah oleh orang Jepang. Pikirnya, agama tersebut bisa merusak harga diri orang Jepang. Apalagi Kristen melarang bunuh diri, yang pada waktu itu dianggap sebagai simbol kehormatan bagi para prajurit Jepang.
Suatu waktu, kapal San Felipe yang berlayar dari Manila yang hendak berlayar menuju Acapulco di Meksiko terdampar di pesisir Jepang.