“ini rumahnya ma?”
“iya pak. Teman yg saranin, halamannya luas, pohonnya rindang dan tanahnya itu loh, gak gersang, kayanya ibuk bisa produktif kalau tinggal di sini”
“harus di sini ya?”
“iya. Dari pertama mama lihat, mama ngerasa kalau berjodoh sama rumah ini”
Pak Prasto terdiam melihat rumah itu. Tidak ada yg salah dengan rumah yg saat ini ada dihadapannya, karena seperti apa yg dikatakan oleh Dona, isterinya, dari luar rumah itu, kelihatan sejuk, damai, serta tenang seperti yg diinginkan oleh seluruh keluarga,
hidup dalam ketenangan di bawah atap yg sama sembari menunggu hari tua yg semakin dekat.
“baik ma. Kita beli rumah ini ya”
Sekilas terlihat senyum bu Dona mendengar keinginannya bersambut hangat dari buah kalimat pak Prasto yg memang dikenal sayang sama isteri.
Hari itu juga. Ditengah langit yg terlihat mendung, sepasang suami isteri itu kemudian pergi meninggalkan tempat itu tanpa tahu latar belakang apa yg sudah menunggu mereka di sana.
Disebuah panti jompo di kota S, pak Prasto bersama Kandar, teman baiknya sedang duduk menunggu disebuah ruang tengah yayasan, menunggu setelah perawat yg bekerja di tempat itu mengatakan kepada mereka akan segera memanggil mbok Yah. orang yg tengah mereka berdua cari.
Kandar duduk sembari merogoh kantung celananya. Mencari-cari sesuatu. Tanpa mereka sadari, Prasto dan Kandar kemudian dikejutkan dengan suara parau dari burung gagak hitam yg tengah bertengger di atas tepi dahan sebuah pohon randu.
Kandar dan Prasto sempat menengok sebelum burung gagak berbulu hitam itu melesat terbang, pergi.
“tenan awakmu bakal tuku omah iku? Koyo gak onok omah liyane ae, nggon sing muk pilih iku dalan e sepi, jarak omah e yo adoh-adoh” (beneran kamu akan membeli rumah itu? Kaya gak ada rumah lain aja, tempat yg bakal kamu pilih itu jalannya sepi, jarak antar rumahnya juga jauh-jauh)
omel Kandar yg entah kenapa merasa tidak nyaman waktu pertama kali Prapto mengajaknya untuk melihat rumah itu dengan mata kepalanya sendiri.
“ya gak papa dong, lagian isteriku sendiri yg mau, sebagai suami nurutin isteri itu bisa bawa berkah” celetuk Prasto.
“yowes, karepmu!!”
Kandar kemudian berhasil mencari benda yg dia cari, sebatang rokok kretek dari kantong pakaian miliknya ketika seorang perawat senior kemudian datang dan menatap tajam sembari melirik kearah kertas peringatan “dilarang merokok” seketika Kandar tersenyum canggung,
malu sekaligus tidak enak hati, ia kemudian memasukkan kembali batang rokok itu ke kantong pakaian miliknya.
“bener panjenengan yg mau ketemu sama mbok Yah?” tanya seorang perawat wanita yg usianya tampak lebih tua dari mereka berdua,
usianya mungkin terpaut beberapa tahun dari usia Prasto dan Kandar yg sudah menyentuh kepala 4, Prasto pun mengangguk.
“iya ibuk, saya yg ingin ketemu sama-” belum selesai Prasto mengatakannya, perawat senior yg memperkenalkan dirinya dengan nama ibu Tisni kemudian memotong ucapan pak Prasto, membuat pria itu sempat tertegun sejenak di tempatnya.
“begini” ucap ibuk Tisni agak sangsi, ia terlihat bingung harus mencari kata-kata yg tepat untuk berbicara dengan 2 orang tamu asing yg datang tiba-tiba kepanti jompo tempat dia bekerja, “kalau boleh tahu, ada urusan apa anda ingin ketemu sama beliau?”
Prasto sempat melihat Kandar, tidak nyaman dengan situasi canggung ini. Tanpa membuang-buang waktu. Prasto kemudian mengatakan maksud kedatangannya ke tempat ini, “Saya dengar kabar kalau mbok Yah sedang proses menjual rumah"
"Saya kemari mau membeli rumah mbok Yah untuk keluarga kecil saya”
Ada perubahan gestur muka pada ibuk Tisni, entah kenapa wajah orang itu sempat menyisyaratkan ekspresi takut, cemas, gelisah, namun dengan cepat wanita itu bisa kembali mengendalikan situasi.
Kandar yg merasa kalau pembicaraan ini terasa menegangkan mencoba untuk mencairkan suasana.
“begini buk. Teman saya ini, Prasto asalnya dari luar pulau jawa, isterinya baru saja dapat kenaikan pangkat, mereka semua sedang mencari tempat tinggal dan kebetulan,
rumah mbok Yah menarik perhatian mereka ini, jadi kami berdua ingin ketemu sama beliau untuk membicarakan hal ini lebih jauh, apa boleh kami berdua ketemu sama mbok Yah?”
Ekspresi wajah ibuk Tisni masih menunjukkan sikap yg siaga, bahkan ada sirat ketakutan, namun perkataan Kandar bisa membuat wanita itu mengangguk lalu berpamitan masuk, sembari berujar lirih sekali kepada mereka berdua. “tunggu di sini sebentar ya..”
Prasto sempat merasakan kalau sebelum Kandar menenangkan situasi, entah kenapa wanita paruh baya itu seperti ingin mengatakan sesuatu kepada mereka namun sayang, entah kenapa kalimat itu tak kunjung keluar seolah berhenti diujung tenggorokan.
Tak berselang lama, datang perawat lain yg mendorong kursi roda seorang wanita tua yg menutupi kepalanya dengan kain tipis berwarna hitam pekat, Prasto dan Kandar melihat wanita tua itu duduk, meringkuk di atas kursi roda, dengan bola mata putih pucat.
Prasto sebelumnya tidak mengira kalau usia wanita ini sangat lah tua, ia terhenyak sejenak, ia memperkirakan mungkin usia beliau menginjak akhir 70-an, terlihat dari gestur tubuh ringkih kurusnya dengan rambut berwarna putih keabu-abuan.
Prasto kemudian melihat sorot pandangan sayu dengan kerutan pada wajahnya yg membuat siapa pun yg melihat wanita tua itu pasti setuju kalau orang yg ada dihadapan mereka ini sudah tak memiliki gairah untuk hidup.
Kandar yg melihat itu seketika berlutut mencium tangan Mbok Yah, kemudian diikuti Prasto, mereka berdua mengangguk seraya mengucap salam kepada wanita tua itu, namun sayang, tak ada jawaban ketika mereka berdialog. Hanya si perawat yg berusaha membantu dalam percakapan ini.
Prasto kemudian memulai pembicaraan, memperkenalkan dirinya terlebih dahulu sebelum bercerita tentang keluarganya serta maksud kedatangannya ketempat ini.
Dalam setiap perkataan yg keluar dari dalam mulutnya, mbok Yah hanya duduk dan melihat Prasto dengan pandangan malas, ia seperti tidak tertarik serta tidak peduli dengan kehadiran pria itu, sementara Kandar sesekali mencoba untuk membantu menerjemahkannya dalam bahasa jawa alus,
di sinilah letak keanehan kemudian terjadi saat Prasto menyebut rumah itu dan menyebutnya dengan nama rumah riak, seperti yg dia dengar dari beberapa warga lokal yang ada di sana. Ekspresi wajah mbok Yah tiba-tiba berubah menjadi senyuman yg terlihat aneh.
Senyuman itu cukup membuat Prasto merasa bingung dengan perubahan sikap yang tiba-tiba seperti ini. Senyuman itu juga sempat membuat Prasto merasakan perasaan yg tidak nyaman, dadanya sempat terasa sesak namun ada guratan ekspresi yg membuatnya sedikit terganggu.
“ngoten buk. Yok nopo, saget?” (begitu buk, gimana, boleh?) tanya Kandar masih mencoba untuk membantu kesepakatan ini.
Mbok Yah masih melihat wajah Prasto, ia masih saja tersenyum aneh diikuti tatapan yg membuat Prasto merasa semakin tidak nyaman.
Tapi Prasto mencoba untuk berpikiran positif, mungkin apa yg dilakukan oleh wanita tua itu dikarenakan faktor usia yg membuat mbok Yah menjadi kikuk seperti ini.
Singkat cerita, Kandar kemudian memberi pesan kepada Prasto, kalau biar dia saja yg akan maju untuk berbicara empat mata dengan mbak Tisni karena rupanya, perihal rumah itu kini dipasrahkan ke anak angkatnya, yaitu mbak Tisni yg sempat mereka ajak bicara tadi.
Pada siang yg panas itu. Prasto kini hanya duduk berdua dengan mbok Yah di teras rumah yayasan. situasi benar-benar canggung dan entah kenapa wanita tua itu masih saja melihat Prasto dengan tatapan dan senyuman yg semakin aneh.
Tak ada percakapan diantara mereka berdua karena wanita tua itu sendiri seperti orang yg sudah tidak bisa berkomunikasi dengan lancar sampai sesuatu kemudian mengejutkannya.
“Sanggih balong celeng idulungi omah iku” (kamu bisa nyium bau tulang babi di rumah itu?)
Kaget. Prasto tak menduga sebelumnya kalau rupanya mbok Yah masih bisa bicara, tapi Prasto yg notabennya bukan berasal dari pulau jawa tidak mengerti maksud dan arti kata-kata yg baru saja dia dengar. Prasto pun mencoba bertanya sekali lagi. “maaf, tadi si mbah ngomong apa?”
Mbok Yah hanya diam, diam dan terus melihatnya, kosong, sementara dari kejauhan tiba-tiba terdengar dengung seekor lalat yg melintas di depan wajah mbok Yah, binatang kecil itu kemudian hinggap pada bagian sisi pipi wanita tua itu yg sudah keriput,
ketika binatang kecil menjijikkan itu tengah merangkak melewati bibirnya, mbok Yah melahap binatang itu, mengunyahnya sembari masih memasang ekspresi tersenyum pada Prasto yg hanya bisa terkesiap menatapnya.
Kandar baru kembali dari diskusi bersama ibu Tisni di dalam ruangan, dari gestur dan sikap sahabatnya ini, Kandar seperti ingin menyampaikan sesuatu kepada Prasto yg tampaknya merupakan hal yg serius, dibelakangnya, mbak Tisni juga menatap Prasto dengan ekspresi yg janggal.
Sesaat sebelum meninggalkan tempat itu, mbok Yah yg tengah duduk di atas kursi rodanya masih memandangi Prasto, wanita tua itu sempat memberi gestur mengangkat jari telunjuk yg melingkar pada ibu jari belakangnya seolah memberi pesan kepada Prasto, namun pria itu tidak tahu.
Prasto yg sama sekali tidak mengerti maksud dari gestur tangan itu kemudian bertanya kepada Kandar, ia mencoba bertanya perihal apa yg baru dia dengar dari mbok Yah, tapi sayangnya Prasto sudah kepalang lupa dengan setiap kata yg berbahasa jawa,
yg dia ingat saat itu, mbok Yah sempat menyebut tulang babi saja, Kandar kemudian menggelengkan kepala, tidak mengerti, ia meminta Prasto untuk tidak perlu membahas hal aneh seperti ini lebih jauh, karena ada sesuatu yg Prasto harus tahu tentang rumah itu.
Singkat cerita, Prasto yg baru mendengar apa yg pernah terjadi di rumah itu hanya diam saja.
dari pertemuan Kandar dengan ibuk Tisni tadi, rupanya ia baru tahu kalau rumah itu merupakan rumah yg sudah dari lama ada di sana, yg memang secara tertulis dimiliki mbok Yah, tapi
kepemilikan rumah itu sudah turun keanak kandung beliau, rumah itu tidak mungkin bisa dijual tanpa kesepakatan dengan ahli waris yg sebenarnya, tapi mbak Tisni sudah mengatakan akan membantu, cuma wanita itu ingin memastikan sesuatu,
alasan kenapa rumah itu begitu menarik bagi mereka? karena sudah bertahun-tahun sejak rumah itu tidak ditinggali, dan tak satu pun orang tertarik karena terlihat wingit, meski rumah itu masih sering kali dibersihkan oleh sanak anak angkat mbok Yah yg lain, tetap saja, bu Tisni-
ingin tahu.
Prasto terdiam sejenak, ia tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Kandar.
Prasto pikir, ya karena isterinya suka dengan rumah itu, tidak ada alasan lain yg mendasari kenapa mereka merasa suka dengan rumah itu.
di sini Kandar tampak pucat.
Kandar kemudian melanjutkan kalau ibu Tisni pernah tinggal di rumah itu, saat dia masih anak-anak, ia sering sekali mengalami hal-hal buruk di sana, hal-hal yg berhubungan dengan sesuatu yg tidak bisa dijelaskan, tidak bisa dilihat,
Kandar kemudian menyampaikan pesan dari ibu Tisni lewat dirinya, beliau memperingatkan kepada keluarga Prasto kalau lebih baik menjauhi rumah itu, sebelum suatu hal buruk terjadi, namun Prasto yg ragu dengan peringatan itu, menolak, karena bagaimana pun isterinya sudah memutuskan
Kandar yg sudah tidak tahu lagi harus bagaimana akhirnya menyerah. sementara Prasto masih bersikeras dan ia juga tidak terlalu percaya dengan hal-hal yg berbau ghaib seperti itu, mungkin ada penjelasan yg lebih masuk akal dibalik peristiwa yg menimpa ibu Tisni.
Singkat cerita. Setelah beberapa minggu, Prasto dan Kandar yg terus menjalin komunikasi dengan ahli waris, kini, rumah itu akhirya sah dimata hukum menjadi milik Prasto. Kandar sendiri kebingungan menjelaskan semua ini,
karena ia tak menduga sebelumnya kalau semuanya bisa semudah dan semulus ini, bahkan untuk harga yang diajukan pun, ahli waris dari mbok Yah tak meminta harga yg tinggi, semuanya seolah-olah dipermudah. tapi justru itu yg harus Prasto khawatirkan.
Pada malam Rabu Wage. Seluruh anggota keluarga Prasto sudah resmi menempati rumah itu, Dona, isterinya yg terlihat paling bahagia diantara semuanya, Prasto masih bisa ingat dengan jelas bagaimana isterinya menyusuri setiap ruangan yg ada di dalam rumah itu,
melihat barang-barang tua yg diberikan sebagai hadiah serta gaya arsitekturnya yg terlihat masih setia dengan gaya jaman dulu, semuanya seperti yg Dona inginkan. Namun tidak untuk si anak Bungsu, sejak pertama dia menginjakkan kaki di rumah itu,
seringkali dia menoel hidungnya sendiri terkadang sampai menutupnya rapat-rapat hanya untuk membuang bebauan yg entah darimana datangnya. Kadif seperti mencium sesuatu yg seperti aroma tulang babi yg direbus.
saat sebagian besar anggota keluarga menyusuri ruang-ruang lain, Kadil justru berjalan sendirian menuju ke ruang dapur, ia masih saja mencium aroma busuk itu, ia kemudian melihat pintu dapur yg menuju ke halaman belakang terbuka, bocah itu berniat untuk menutupnya.
saat dari kejauhan, dari belakang pohon rambutan, Kadil terdiam ketika melihat seseorang atau sesuatu mengintip, menatap dirinya dengan kulit putih pucat dengan rambut keriting hitam panjang seperti postur ibunya sendiri.
bocah itu masih berdiri di sana, memandanginya sementara sosok yg mengintip itu, muncul bersembunyi, mengulanginya lagi, lagi dan lagi, hingga Kadif dibuat tersentak saat Layung menepuk bahunya, membuat Kadif tersentak ditempatnya sedang berdiri.
"mama manggil, makan katanya" Layung kemudian beranjak pergi sementara Kadif kembali menoleh melihat kearah pohon rambutan itu sekali lagi, ia masih diam dan menunggu namun siapa pun yg seharusnya ada di sana, tidak pernah keluar lagi, bocah bungsu itu kemudian menutup pintu.
di atas meja makan dengan kain taplak putih, Kadif duduk memandang lurus kearah mamanya yg tengah lahap menyantap daging kemerahan itu, sementara dibagian kiri dan kanan, kedua kakaknya sedang asyik sendiri, Kadif masih melihat mamanya, merasa aneh dengan situasi ini.
"kenapa mama suka sama rumah ini?" tiba-tiba saja Kadif menanyakan hal itu, membuat semua orang yg ada di atas meja terdiam sejenak, menghentikan aktifitasnya, sementara Dona yg melihat anak bungsunya tiba-tiba bertanya seperti itu hanya bisa diam,
"karena bagus, karena luas, karena deket sama tempat kerja mamah. kenapa Dif, kamu gak suka?"
Kadif masih diam, ia masih melihat kearah ibunya, tanpa sepengetahuan semua orang yg ada di sana, sebenarnya Kadif tidak melihat kearah ibunya, namun ia melihat kearah sesuatu,
sesuatu yg berada jauh di belakang ibunya, tempat sebuah kamar dengan pintu terbuka, di sana, Kadif melihat sosok yg mengintip dari pohon rambutan sekarang ada di ruangan itu, mengintip, muncul dan bersembunyi, muncul dan bersembunyi, seperti itu terus menerus.
di kamar paling belakang, Kadif baru saja menaruh tas punggung miliknya, koper-koper kepunyaannya sudah tersusun rapi di depan lemari kayu cokelat, anak bungsu itu mendapat kamar paling belakang karena kedua kakaknya sudah mengklaim kamar-kamar lain, membuat Kadif harus mengalah,
pukul 11 malam, Kadif duduk di atas ranjang sembari melihat jarum jam yg terus berdetak, setiap detak ketika jarum bergerak terdengar sangat jelas karena lingkungan di rumah ini benar-benar sepi, nyaris jauh dari mana-mana.
Kadif duduk, gelisah, khawatir, namun ia memilih diam,
bocah itu sesekali melihat kesana kemari, mencoba mengenali kamar baru miliknya. tembok-tembok tebal itu di cat dengan warna cream pucat sehingga menimbulkan perasaan yg tidak menyenangkan ketika memandanginya, namun dari semua yg ada di sini, Kadif paling takut melihat ke-langit
langit-langitnya putih dengan hiasan kusam disepanjang sisi, ada satu bercak cokelat bekas rembesan hujan yg membuat Kadif merasa gelisah saat memandanginya, kadang ia merasa mendengar suara berdetak melewati atas tempat tidurnya dengan bisikan senduh layaknya gadis yg menangis,
dari luar rumah, terdengar jauh suara anjing tetangga yg sedang menggongong, samar-samar namun Kadif tahu kalau anjing itu menyalak karena panik, masalahnya bocah malang itu tidak tahu apa yg membuat binatang itu terlihat panik seperti itu. sebelum..
"DORRR!! DORRR!! DORR!!"
dari arah pintu terdengar suara gedoran yg sangat keras diikuti suara Bintang, kakak laki-lakinya, ia kemudian berkata kepada Kadif, "dek, udah malam. matiin lampunya, tidur, jangan begadang kamu"
Kadif menjawab iya, detak suara langkah kakaknya menjauh
Kadif berdiri mematikan saklar lampu, membuat seluruh ruangan ini menjadi gelap gulita, dengan langkah kaki perlahan, bocah itu melangkah keatas ranjang saat tiba-tiba dari lemari kayu tua di kamarnya, terdengar suara derit pintu lemari yg tengah terbuka..
Kadif sontak duduk, masih di atas ranjang, memandang sesuatu dari kegelapan yg samar menunjukkan pintu lemarinya, tidak ada apa pun, tidak ada siapa pun, hanya dirinya seorang diri, Kadif lantas mulai menarik selimut,
saat kain selimut sudah menutupi sebagian besar tubuhnya, Kadif bisa melihat lagi-lagi warna putih langit-langit kamar membuatnya terus tertuju pada objek itu, Kadif yg mencoba memejamkan mata kemudian dikejutkan dengan aroma yg selintas muncul dan membuat bocah itu membuka mata,
tanpa bocah itu sadari jarum jam sudah menunjuk pukul 12 kurang beberapa menit lagi saat dari balik jendela kamar terdengar suara manusia, suara perempuan, bergumam mengucap sesuatu, ditelinga Kadif suara itu seperti menyebut tentang "sisasisasisasisasi" ada desis pada kalimatnya
Kadif pun beranjak, menempelkan telinganya, dia yakin kalau memang mendengar suara, lantas dia membuka slot jendela, kemudian mengesampingkan tirai putih transparan agar pandangan matanya bisa menangkap pemandangan di luar kamar yg langsung menuju ke halaman terbuka,
Kadif melihat sekeliling, tak ada siapa pun di halaman rumah kecuali pohon-pohon buah yg tumbuh rindang dengan kabut tebal disekeliling, samar-samar suara itu masih terdengar jelas, saat diekor matanya Kadif menangkap pemandangan seseorang berjalan menyusuri tanah rumput,
Kadif sempat menarik daun jendela, membiarkannya terbuka sedikit hanya untuk sekedar melihat siapa yg waktu itu tengah berjalan tengah malam begini di halaman rumahnya.
gestur serta postur tubuhnya mulai terlihat jelas, Kadif masih mengamati, jantungnya berdegup kencang,
ia melihat kalau sosok itu terlihat familiar, tapi siapa, untuk apa dia melakukan ini, tangannya lentik menabur sesuatu keatas tanah seperti butiran pasir, dengan kepala mendongak keatas, membiarkan rambut keriting hitam panjangnya menyeluruh,
dia terus dan terus berjalan aneh
cara dia berjalan pun terlihat ganjil, sesekali dia berjinjit layaknya orang yg gemetaran, setiap kalimat yg keluar pun masih terdengar sama, desis, Kadif masih mengamati, ia menyembunyikan dirinya dibalik tirai transparan,
pakaian yg dia kenakan berwarna hitam pekat,
gaunnya memanjang hingga bagian belakangnya menyeret di atas tanah, dan dia masih menabur, menabur, Kadif kemudian melihat siapa pun itu sengaja menjatuhkan dirinya sembari mengusap-usap tangannya di atas tanah rumput, lalu menunduk, diam, diam, diam, Kadif menarik sedikit tirai
bocah itu menarik sedikit tirai untuk bisa melihat bagian wajahnya dengan jelas yg kini dia sadari menyerupai rupa ibunya sendiri, saat dia menarik sedikit tirai itu, Kadif mencondongkan kepalanya, melihat keluar sementara sosok itu masih diam di atas tanah,
detak jantung bocah itu berdetak semakin keras, mengikuti bisik suara yg terdengar jelas, sebelum, tiba-tiba dia menoleh melihat ketempat Kadif yg tengah mengintip, dengan gelagapan Kadif menutup daun jendela, mengunci slot pengait lalu melompat mundur saat siapa pun itu berlari
dengan nafas memburu Kadif menatap jendela kamarnya, hening, hening, Kadif terdiam di tempatnya, dia yakin melihat wajah ibunya, tapi untuk apa ibunya tengah malam begini ada di sana sendirian, Kadif mencoba menenangkan diri, menunggu, menunggu sosok itu didaun jendelanya
namun tak ada yg terjadi, tempat itu mendadak menjadi sunyi senyap, Kadif yg gemetaran sempat menoleh melihat kearah pintu kamarnya, sebelum ia mengurungkan niat untuk pergi, lalu kembali ke atas ranjang,
Kadif menutup tirai putih pada daun jendelanya, menarik selimut tidurnya, berusaha melupakan apa yg baru dia lihat, dan saat bocah itu mencoba memejamkan mata, aroma tulang babi yg dikukus kembali tercium, Kadif menoleh mendapati ada yg berbaring tepat disampingnya,
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
dari kemarin saya mendapat banyak sekali DM mengenai siapa saja sih sosok-sosok yang ada di film PABRIK GULA.
Guna merayakan 1 JUTA penonton, Malam ini, saya akan menulis rincian dari sosok-sosok yang ada di film pabrik gula?
seperti apa yang pernah saya tulis di thread saya bertahun-tahun yang lalu,sosok-sosok itu merupakan entitas yang menjaga titik-titik tertentu di bawah komando langsung sosok yang kami kenal dengan nama “MAHARATU”, mereka dikenal dengan nama dan julukan berbeda-beda namun familiar ditelinga kami, bisa dibilang mereka merupakan penghuni tua, para panglima nya yang menjaga titik-titik tertentu yang ada di Pabrik Gula tempat desa saya berada dulu.
Sosok pertama dan merupakan sosok paling mencolok, wujudnya besar, tinggi dan saat berdiri, orang-orang biasanya dapat melihat pusar makhluk ini, suaranya besar dan berat dengan manifesti wujud menyerupai seorang pria jangkung dengan mata sak lepek (alas piring) sosok ini biasa menunggu di sebelah lapangan sepak bola pabrik gula dengan sebutan Dalboh. Dalboh muncul paling sering untuk menakut-nakuti anak-anak yang belum pulang ketika malam menjelang, konon kegemarannya melahap batang sapi (jasad sapi busuk). dan saat malam sosok ini seringkali berjalan menyusuri gudang barat.
Ada yang punya pengalaman atau pernah denger cerita horror tentang Pabrik gula?
Malam ini, setelah lama sekali saya tidak bersua di akun saya ini. Untuk menyambut film Pabrik gula yang nanti akan tayang kurang lebih 2 bulan lagi, saya mau flashback awal-awal bagaimana mulanya saya menceritakan kisah perihal pabrik gula ini di akun twitter saya, sebuah cerita yang terdiri dari beberapa bagian sebelumnya.
Untuk malam ini, kita akan kupas tuntas perihal salah satu tragedi kebakaran yang pernah dan seirngkali terjadi dibeberapa titik-titik tertentu di pabrik gula sebelah rumah saya yang meninggalkan kisah pilu dan menyedihkan.
kata orang jaman dulu. kalau ada perempuan yg tengah mengandung, banyak yg harus dijaga dari segala tutur prilakunya. lisan, sifat, semuanya untuk menghindari hal buruk pada si ibu dan jabang mayit, karena setiap perbuatan selalu memiliki sebab akibat.
cerita ini dimulai dari seorang perempuan. sebut beliau dengan nama Tina.
mbak Tina baru 2 tahun menikah. ia mendapat seorang laki-laki dari luar pulau jawa. awal pernikahan mereka tinggal di salah satu kota S, hidup damai, hidup rukun, sebelum si suami, mas Agung, undur diri.
Rumah bekas pembunuhan itu rumah paling aman, karena sekalipun penghuninya nampakkan diri cuma sebatas maen petak umpet, tapi. kalau rumah itu bekas sekte atau perkumpulan yg gak bener, apalagi kalau pelakunya udah bukan sebatas nyari harta, mending lupain rumah itu!!
karena yg begini gak cuma ngebahayain 1 orang. satu keluarga pun bakal dijabanin. Gak cuma nyiksa secara mental psikis tapi bisa berujung sampe maut. serius!!
Cerita ini diambil dari cerita tentang tetangga saya yg menempati rumah baru bekas menir belanda, siapa yg menduga kalau rumah ini ternyata menyimpan sesuatu yg mengerikan lintas generasi.
Cerita ini ditulis berdasarkan kisah saya sendiri yg teledor ketika saya masih kecil. saya tidak pernah menduga saat itu kalau binatang kecil yg saya tunjuk justru membuat saya nyaris celaka.
lama sekali saya gk menulis utas di sini, jadi maaf kalau tangan saya agak kaku, so langsung aja, dari serangkaian cerita yg saat ini tersimpan dalam memorry laptop saya, cerita ini memiliki bagian paling menarik, jadi nikmati saja ini sebagai bentuk rehat dari riuhnya tahun ini.
Juli, tahun 1998
Rumah itu masih terlihat bagus, meski pun desainnya terlihat seperti rumah tahun 60’an tapi temboknya terlihat masih kokoh, halamannya juga luas dengan banyak pohon besar tumbuh disekelilingnya termasuk satu pohon yg paling mencolok saat melihat rumah itu.