Mitos dari Gunungkidul ini konon telah bertahan dari abad ke abad. Bola api berekor bercahaya terang, melesat bagai komet melintasi langit dusun di malam hari. Mereka yang percaya mengatakan, tak lama lagi akan ada yang mati gantung diri.
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta secara istiqomah menunjukkan angka bunuh diri yang stabil. Dengan rata-rata 30 korban jiwa per tahun setidaknya sejak 15 tahun terakhir, Gunungkidul menjadi salah satu daerah dengan persentase bunuh diri tertinggi se-Indonesia.
Tingginya bunuh diri di Gunungkidul tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan kultural terhadap pulung gantung. Secara harfiah, pulung dapat diartikan ilham, tanda, bisikan, yang secara turun temurun disikapi sebagai takdir Yang Mahakuasa.
Dalam arti kata, pulung gantung merupakan fenomena gantung diri karena pelakunya percaya ia telah ditakdirkan meninggal dengan cara demikian.
Cukup banyak cerita yang membenarkan eksistensi pulung gantung. Bola api atau clorot dalam bahasa setempat, terkadang menampakkan wujudnya kepada satu orang, namun terkadang juga terlihat masyarakat satu dusun. Bola api muncul hanya pada malam hari, sebab kalau siang mungkin susah kelihatan.
Terdapat kepercayaan, rumah yang dilintasi clorot menjadi pertanda bahwa salah seorang di dalamnya akan mati. Namun ada kepercayaan lain yang lebih menegangkan, bola api baru disebut pulung apabila ia mendarat dekat di rumah seseorang.
Seorang teman lama yang berasal dari daerah Tepus bercerita bahwa ia pernah berjaga sepanjang malam karena clorot membuat onar di dusunnya. Benda aneh itu melesat-lesat di langit, mengitari dusun seperti tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.
Yang dimaksud berjaga ialah semua orang membunyikan kentongan, centong, tiang listrik, atau apa saja yang bunyinya gaduh. Cara itu bertujuan untuk mengusir bola api dari langit, dan orang-orang tidak berhenti menggaduh sampai bola api itu lenyap dari pandangan mata.
Kendati begitu, ia mengaku malam itu beruntung, karena akhirnya bola api itu menjauh dan tak pernah kembali. Sebab katanya, pengusiran clorot secara gotong royong tidak mesti berhasil. Kadang ada saja bola api yang bandel.
Sebagai fenomena kultural, pulung gantung senyatanya ada. Saksi matanya masih bertebaran, dari yang tua maupun muda, bukan yang katanya dan katanya. Meski demikian, apakah kepercayaan terhadap pulung gantung menjadi satu-satunya penyebab bunuh diri?
Darmaningtyas (2002) berpendapat bahwa fenomena bunuh diri di Gunungkidul lekat sekali dengan masalah sosial-ekonomi. Maka kalau pun pulung gantung ada sebagai produk budaya, itu hanya bersifat trigger yang digunakan seseorang untuk membenarkan keputusannya.
Faktanya, Gunung Kidul merupakan salah satu daerah termiskin di Indonesia. Tingkat kemiskinan berkisar 15-17 persen atau hampir dua kali lipat dibanding persentase penduduk miskin secara nasional yang kini berkutat di angka 9 persen.
Dalam lima tahun terakhir, persentase kemiskinan tertinggi di Gunungkidul terjadi pada tahun 2021 ketika pandemi, yakni 17,68 persen. Hal ini rupanya sejalan dengan tingginya angka bunuh diri, yaitu 39 jiwa atau menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu yang sama.
Memang, penyebab bunuh diri di Gunungkidul yang dikaitkan pulung gantung tidak mesti kemiskinan, karena banyak juga korbannya adalah orang tua yang memilih mengakhiri hidup lantaran sakit menahun atau kesepian. Namun tetap saja keduanya berhulu kepada kemiskinan.
Sakit menahun menandakan ketidakberdayaan ekonomi menjangkau fasilitas kesehatan yang layak, kesepian berarti banyak generasi produktif yang meninggalkan daerahnya demi mendapatkan peluang ekonomi yang lebih baik.
Selain kemiskinan, amat boleh jadi pulung gantung merupakan sebuah kasus efek werther. Pada tahun 1774, sastrawan agung Jerman Johann Wolfgang Goethe menerbitkan sebuah roman berjudul Nestapa Pemuda Werther (The Sorrows of Young Werther).
Mengisahkan kerumitan batiniah akibat cinta segitiga yang dialami pemuda Werther sehingga pada ujungnya ia bertindak radikal dengan menembak tewas dirinya. Pada saat kematiannya, Werther mengenakan jaket biru dan celana panjang kuning, dan kemudian dikuburkan di antara dua pohon linde.
Lalu secara ajaib, di tahun-tahun berikutnya ribuan pemuda Eropa meniru adegan bunuh diri tersebut dengan memakai pakaian dan juga di dekat pohon yang sama. Maka kemudian, fenomena ini dalam dunia psikiatri disebut efek werther atau bunuh diri tiruan.
Apapun itu, pulung gantung masih mendapat ruang kepercayaan sampai dengan hari ini, dan Gunungkidul tetap menduduki tempat teratas sebagai salah satu daerah paling rawan kasus bunuh diri. Sepertinya dibutuhkan langkah radikal untuk menangani fenomena radikal ini.(**)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
–Tujuh bulan dicari keluarga, ternyata dibunuh suami–
Dibantu tiga orang temannya, Asep Saepulah (23) menggorok istrinya, Irma Nurmayanti atau Irma Novitasari di dalam rumahnya. Kasus ini kemudian terungkap setelah kakak korban menerima pesan anonim di Instagram.
Asep dan Irma menikah baru setahun. Perkawinan keduanya tidak harmonis. Asep kerap mengobral talak, berakal pendek, dan temperamen. Ada kabar menyebutkan bahwa Asep beberapa kali terjerat kasus narkoba namun selalu berakhir dengan tebusan.
Irma seorang penyanyi. Cantik, bisa cari uang. Ketika situasi rumah tangganya makin memburuk, ia tak ragu memutuskan pergi dari rumah yang ditinggalinya bersama Asep di Pacet, Kabupaten Bandung menuju Cimahi.
Itu yang diucapkan Muhamad Qo'dad Af'alul Kirom alias Affan (29) setelah ia membunuh AZ (9). Ia yakin perbuatan itu dilakukannya untuk menyelamatkan korban dari kehidupan dunia yang kacau supaya mati syahid.
📷 detik.com
Affan menikah dengan Devi Sulastri, perempuan yang dikenalnya di sebuah tempat hiburan di Surabaya. Devi bekerja sebagai pemandu lagu, sampingannya pemadat. Kemudian ia ketemu Affan yang sama-sama pemadat. Cocok.
Dari pernikahan tersebut lahir AZ, putri semata wayang. Anak ini segera tidak terurus. Affan dan Devi dilanda masalah ekonomi, selain perilaku mereka juga memang soak. Untuk menghidupi keluarga, Affan menjadi bakul narkoba. Akhirnya ia ditangkap dalam sebuah pesta madat.
–Jadian baru dua minggu, Kayla diperkosa dan dibunuh pacarnya–
Pada awal Januari 2024 Argyan Abhirama dilaporkan atas tuduhan perkosaan, tetapi Polres Depok tak kunjung menangkapnya. Dua pekan berselang, pemuda 20 tahun itu memerkosa dan membunuh Kayla, mahasiswi yang baru dipacarinya.
Argyan dan Kayla berkenalan September 2023 di aplikasi Line. Karena sering chat, singkat cerita, keduanya berpacaran di awal Januari. Sebenarnya hubungan mereka tidak begitu baik. Kayla pernah memblokir nomor handphone Argyan, tapi pemuda itu mendekatinya lagi dengan nomor baru.
Kayla dan Argyan belum pernah bertemu sekalipun. Dari pdkt sampai jadian dilakukan secara online. Kayla tentu tidak pernah tahu, saat ia jadian, pacar barunya baru dilaporkan ke Polres Depok atas tuduhan perkosaan.
Sutikno Miji (59) mengepruk anaknya, Guntur Surono (22) dengan kayu dan hebel hingga terkapar tewas. Ia mengaku terpaksa melakukan itu demi menyelamatkan istri dan anaknya yang lain. Meski begitu Sutikno terancam 15 tahun penjara.
Peristiwa ini terjadi pada Senin (1/1/2024) pukul 15.00. Waktu itu, Sutikno sedang asyik ngulek sambal bawang di dapur rumahnya di Mijen, Kota Semarang. Bersamaan itu, Guntur pulang dan segera membuat keributan dengan adiknya, Jario. Pada awalnya Sutikno tidak menyadari hal itu.
Lalu Sutikno dengar istrinya, Darsih tiba-tiba melengking, "Pak, iki lho piye, anakmu pada tukaran. Adike arep dipateni."
Diberitahu begitu, Sutikno buru-buru meninggalkan cobeknya. Dan ternyata istrinya benar. Ia lihat sendiri Guntur sedang menantang Jario dengan pentungan.
Pada tahun 2001, terjadi pembunuhan sadis disertai mutilasi di Jakarta yang menewaskan tiga orang, yakni Abdullah (36), Julian (7), dan Farida (4). Kuat dugaan, pelakunya tidak lain Novinda (32), istri Abdullah sekaligus ibu dari anak korban Julian dan Farida.
Pembunuhan itu diketahui pada hari Senin sore bulan November. Bermula dari seorang wanita datang ke rumah korban hendak mengantarkan pesanan kue ulang tahun. Hari itu Farida berulang tahun yang ke-5.
Lantaran panggilannya tidak ditanggapi, pengantar kue mencari tahu ke rumah tetangga sebelah lalu bertemu Lumban, pemilik rumah tersebut. Lumban mengira Abdullah sekeluarga sepertinya sedang pergi. Ia terakhir kali berjumpa dengan mereka pada hari Jumat atau tiga hari yang lalu.
–Fenomena bunbun diri di Air Panas Semurup, Kerinci–
Salah satu kisah paling tragis terjadi 13 tahun silam; Seorang perempuan menceburkan diri ke kolam air panas bersama putrinya yang berumur 8 tahun. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak orang yang mengakhiri hidupnya di tempat ini. Sebagian dapat diselamatkan, yang lain tewas mengenaskan.
Air Panas atau Gao Semurup merupakan sebuah tempat wisata. Terletak di Kecamatan Air Hangat, Kabupaten Kerinci, Jambi. Dari Kota Sungai Penuh jaraknya tidak lebih 15 km. Namun, di samping sebagai tujuan pelesiran, ia menyimpan sisi lain, yaitu sebagai lokasi orang-orang putus asa yang hendak mengeksekusi dirinya sendiri.
Situs ini terbagi menjadi dua kawasan, yang dikelola pemerintah dan yang masih berstatus milik warga. Yang milik pemerintah sudah dipasangi pagar di sekelilingnya, yang dikelola warga masih dibiarkan seadanya. Apa pun statusnya, kedua kawasan itu sama-sama menyimpan cerita yang menyeramkan.