Diosetta Profile picture
Nov 21 15 tweets 20 min read Read on X
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Para patih di dalam tenda tampak terguncang. Terutama Patih Raksawira yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Namun, keterkejutan berubah menjadi ketakutan saat tubuh Patih Renggana mulai menghitam, memunculkan sisik-sisik yang tak wajar.

Tubuh itu berusaha bangkit, namun Prabu Ramawijaya segera menghunus kerisnya dan menancapkannya ke kepala Patih Renggana yang masih digenggam oleh Abimanyu. Tubuh itu tersentak, lalu diam dalam kematian.

Prabu Ramawijaya menoleh kepada Panglima Cakra. “Sekarang, jelaskan maksud tindakanmu.”

Panglima Cakra menundukkan kepalanya. “Ya, Yang Mulia. Kerajaan Tunggul Giri telah musnah, terjerat dalam perebutan tahta yang berakhir tragis. Istana mereka tertutup api, membakar rakyatnya tanpa ampun, hingga tak seorang pun dapat keluar hidup-hidup.”

Prabu Ramawijaya memandangnya tajam. “Apa kau yakin akan hal ini?”

“Bahkan lebih dari itu, Yang Mulia,” Panglima Cakra melanjutkan. “Raja Tunggul Giri hidup dengan menyamar sebagai patih di kerajaan kita. Dia berencana menjadikan rakyatnya sebagai tumbal untuk memenuhi jumlah korbannya demi makhluk dari alam kadewatan.”

Wajah para patih tampak geram mendengar pengkhianatan sebesar ini, tapi mereka tetap menahan diri.

“Untuk siapa tumbal-tumbal itu disiapkan?” Prabu Ramawijaya bertanya, suaranya tajam.

Panglima Cakra terlihat berat menjawab, tetapi ia berkata,

“Maaf, Yang Mulia. Nama itu tak mampu kusebutkan, nama yang begitu sakral hingga menahan kehendak. Dia adalah sosok dari alam kadewatan yang dibuang ke dunia ini. Jika dia bangkit, tiap langkahnya membawa kematian…”

Suasana di dalam tenda semakin mencekam. Para patih yang berkumpul tak lagi hanya menyadari bahaya bagi satu kerajaan, melainkan ancaman yang bisa meluluhlantakkan seluruh negeri.

"Tapi apa tujuan mereka membangkitkan makhluk itu? Apa yang mereka inginkan dari kehancuran ini?" tanya Prabu Ramawijaya, kebingungan mulai merayapi wajahnya.

“Tidak ada yang mereka inginkan, Yang Mulia,” Panglima Cakra menjelaskan dengan suara tegas.

“Para pengikut makhluk itu sudah sejak lama menitis dan menyusup ke istana. Mereka membangun kerajaan ini untuk satu tujuan: menjadikan rakyatnya tumbal bagi kebangkitan makhluk itu.”

Prabu Ramawijaya mengarahkan pandangannya pada Abimanyu. Mereka pernah mendiskusikan hal ini, namun baru kali ini kebenaran menyakitkan itu tampak begitu jelas di hadapan mereka.

“Tak hanya Kerajaan Tunggul Giri,” lanjut Panglima Cakra sambil membuka gulungan yang dibawanya. Di sana tergambar peta Jawa, dengan aksara-aksara yang menunjukkan kerajaan-kerajaan lain yang menjadi tumbal.

Mata Prabu Ramawijaya membelalak saat melihat nama Kerajaan Indrajaya berada di antara daftar tersebut.
“Cakra! Mengapa kau tidak memberitahuku sejak awal?” seru Patih Raksawira dengan wajah penuh penyesalan. “Aku merasa bersalah karena telah hampir membunuhmu!”

Panglima Cakra tersenyum kecil, tanpa sedikit pun dendam. “Aku tahu kau takkan membunuhku begitu saja, Patih. Aku percaya pada kesetiaan kalian yang ada di dalam tenda ini.”

Patih Raksawira tampak frustasi. “Kau bisa saja mengatakannya lebih awal! Aku yang seharusnya membunuh pengkhianat itu!”

“Tidak bisa!” Panglima Cakra membalas tegas. “Jika dia masih hidup, dia pasti akan mendengar segala yang ingin kulaporkan. Aku tak bisa mengambil risiko. Pasukan Cakra Manunggal bahkan telah berhasil mengevakuasi sebagian rakyat dari Kerajaan Tunggul Giri…”

Kata-katanya membuat Prabu Ramawijaya terkejut dan berdiri dari singgasananya. “Kau benar-benar berhasil menyelamatkan mereka?”

“Tidak semuanya, tapi lebih dari separuh wanita dan anak-anak kini berada di tempat yang aman. Jika pengkhianat itu mendengar kabar ini, dia pasti akan mengirim anak buahnya untuk memburu mereka lagi,” jawab Panglima Cakra mantap.

Abimanyu tersenyum sambil menggeleng, penuh kekaguman. Ia tak menyangka bahwa Panglima Cakra tidak hanya mengungkap kebenaran, tetapi juga telah menyelamatkan ratusan nyawa.

“Sudahlah, sepertinya jabatan Patih lebih pantas untukmu, Cakra!” Patih Raksawira akhirnya mengakui kehebatan Panglima Cakra. Ia merangkul pemuda yang baru saja hampir ia bunuh itu dengan bangga.

“Eyangmu, Mardaya, pasti bangga denganmu, Cakra.”
Usai laporan selesai, suasana beralih serius.

Mereka mulai menyusun strategi untuk menyelidiki kerajaan-kerajaan yang disiapkan sebagai tumbal bagi kebangkitan sosok mengerikan bernama Angkarasaka, makhluk yang namanya bahkan tak bisa disebut oleh Panglima Cakra. Mereka memahami betapa berbahayanya ancaman ini.

Abimanyu, yang masih merenung, mengambil lukisan peta Jawa itu dan mulai menandai beberapa titik di sana.

Sambil menulis, ia menggumamkan kata-kata seperti mantra, “Penguasa Selatan, Penguasa Angin Utara, Alas Wetan…” Tanda demi tanda mulai muncul di peta, dan ekspresi wajahnya tampak semakin berat. Hingga akhirnya, pena di tangannya patah tanpa sengaja.

“Trak!” Suara pena yang patah itu menggetarkan hati semua yang ada di tenda. Abimanyu tertegun, menyadari sesuatu yang mengerikan.

“Perang Para Danyang… Semua ini terjadi karena ini,” gumamnya, matanya tajam menatap peta.

Di titik-titik yang ia tandai, tempat-tempat bencana besar pernah terjadi. Abimanyu menyadari bahwa lokasi-lokasi itu adalah medan pertempuran para danyang, penjaga gaib tanah Jawa yang bertarung di alam lain. Meski pertempuran mereka tidak kasatmata, benturan energinya merusak keseimbangan alam fisik.

“Para danyang hitam yang tersesat telah menginginkan kebangkitan Angkarasaka… Mereka ingin melenyapkan manusia dan mengklaim kembali tanah ini sepenuhnya,” ucap Abimanyu, tatapannya tajam.

Prabu Ramawijaya mengangguk, menyadari sepenuhnya apa yang Abimanyu maksudkan. “Dan para Penguasa gaib Jawa lainnya mencoba menghalangi kebangkitan itu. Mereka tetap setia menjaga keseimbangan.”

Suasana dalam tenda berubah. Mereka menyadari bahwa pertempuran ini bukan hanya soal manusia melawan manusia, melainkan pertarungan antara kebaikan dan kegelapan yang bisa mengguncang keseimbangan dunia.

“Kita harus mencari cara untuk memberi tahu ayah dan Baswara mengenai ini,” ucap Prabu Ramajaya.

“Tapi, prajurit yang kembali mengatakan bahwa Yang Mulia Raja Indrajaya dan yang lain telah moksa di puncak Mahameru, Yang Mulia?” Balas Patih Raksawira

Abimanyu tersenyum, begitu juga Prabu Ramawijaya. “Mereka belum meninggalkan kita, Raksawira. Hanya saja, saat ini mereka hidup di aliran waktu yang berbeda,” Ucap Prabu Ramawijaya

***
LUBANG DI PULAU JAWA

(Di Zaman Wirabumi…)

Ombak besar menderu setiap pantai yang berbatasan dengan Pulau Jawa. Angin berhembus dengan kencang seperti mengamuk menyambut kekuatan besar yang mendekat.

“Purbawengi?! Apa yang terjadi?”

Kertasukmo begitu cemas melihat tubuh Purbawengi gemetar dengan keringat dingin yang bercucuran.

“Sudah waktunya, Mas! Sudah waktunya..” Ucap Purbawengi yang masih dalam penerawangan. Ia melihat berbagai kekacauan dan pertanda kemunculan sosok yang begitu kuat.

“Apakah itu dia? Sosok yang dimaksudkan oleh Prabu Ramawijaya dulu?” Wirabumi memastikan.

“Benar.. aku tak menyangka ada sosok segelap ini..”

Zingggg!!

Wirabumi mencabut keris dari sarungnya, memeriksa bilahnya dan mengikatkannya di samping pinggang. Kertasukmo mengambil tombak panglima brasma dan beberapa kali mengayunkannya. Ia memastikan bahwa tombak itu akan menemaninya dalam pertempuran kali ini.

“Anak-anak kita pun mulai bergerak, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Purbawengi.

“Mereka bocah-bocah bodoh!” Umpat Wirabumi, namun Kertasukmo segera menepuk bahu Wirabumi untuk menenangkannya.

“Darah Sambara juga mengalir di tubuh mereka, Aku yakin mereka juga merasakan hal yang sama seperti kita.” Ucapa Kertasukmo.

Purbawengi berdiri meninggalkan penerawanganya. Ia menghampiri kedua saudaranya itu. “Kalaupun harus ada yang mati, semoga itu hanya diantara kita. Jangan biarkan anak-anak kita bertaruh nyawa,”

Kertasukmo dan Wirabumi sepakat. Merekalah yang akan bertarung di garis depan dan tak membiarkan Sambara yang lain terlibat langsung dengan perang para Danyang.

***
“Tolong! Anak saya masih belum kembali!!” Teriak seorang ibu, namun warga lainnya memaksa ibu itu untuk meninggalkan desa yang sudah porak poranda itu.

“Kita harus pergi, Bu! Tidak mungkin ada yang bisa selamat jika kita terlambat untuk pergi!”

Suara raungan yang begitu keras terdengar dari dalam hutan di dekat desa itu. Kabut hitam sudah menyelimuti desa, dan yang lebih pekat akan segera datang.

“Saya tidak mungkin meninggalkan anak saya! Dia pergi ke hutan demi mencari makanan untuk kami!” Ucapnya sambil menangis. Tapi kegelapan mulai menaungi desa, bau busuk pun semakin menyengat.

Di tengah rintihan itu tiba-tiba seseorang berlari melesat menerjang kabut hitam itu dan masuk ke arah desa.

“Dimana anak itu?!” Tanya Wirabumi pada Purbawengi.

“Arah timur, ada tiga pohon besar yang terpisah dari pohon lainnya, anak itu ada di sana!”

Mendengar arahan Purbawengi, Wirabumi melesat ke arah itu dan mendapati seorang anak laki-laki yang tengah ketakutan menanti di atas salah satu pohon.

Ia terus melihat ke bawah, ada seekor ular besar yang menaiki pohon untuk mengincarnya.

“Ratusan nyawa yang kalian habisi masih belum cukup?!!” Wirabumi yang terbakar oleh emosi merobek tubuh ular itu dan mendapati sisa-sisa jasad bayi di dalam tubuhnya.

Ular itu terjatuh dan meronta, tubuhnya pun tiba-tiba terbakar dan berubah menjadi asap hitam.

“U—ular jadi jadian?” anak itu kaget melihat kenyataan itu.

“Turun, Nak!” Ucap Purbawengi menenangkan anak itu.

Anak itu tak mengenali mereka bertiga, namun ia segera tahu bahwa keberadaan ketiga orang itu menyelamatkannya dari situasi itu.

“Bawa dia pergi jauh-jauh!” Teriak Wirabumi.
Kertasukmo menggendong anak itu dengan cepat menuju ke arah ibunya yang begitu cemas.

“Suara raungan itu terdengar semalaman, hampir di setiap rumah ada yang mati. Sebenarnya apa yang terjadi, Tuan?” Tanya anak itu.

“Sosok terkutuk akan bangkit, peperangan besar akan terjadi. “

“Apa kita semua akan mati?

Kertasukmo menurunkan anak itu saat sampai di mulut hutan.

“Siapa namamu?”
“La—Langit, tuan..”

Sesampainya di desa mereka menemukan seluruh bangunan desa sudah dipenuhi oleh ular. Kertasukmo menyadari ibu dari anak itu masih menunggu di ujung desa. Ia pun mengambil sebatang kayu, melilitkan sebuah kain di ujungnya, dan membakarnya.

Sebuah mantra dibacakan di hadapan api itu dan sesuatu yang aneh membuat api yang membara itu menjadi terasa hangat.

“Langit, bawa ini. Ular-ular itu tidak akan menyerangmu selama ada api ini. Pergi dan lindungi ibumu!” perintah Kertasukmo.

“Terima kasih, Tuan!”
Anak kecil bernama Langit itu pun pergi. Ia Meninggalkan Kertasukmo yang juga segera berpaling kembali menemui Wirabumi dan Purbawengi.

Dari dalam hutan itu, mereka menyadari kengerian yang melanda alam manusia.

Manusia tak menyadarinya, yang terlihat hanyalah bencana yang melahap sebuah bukit hingga sebuah lubang besar tercipta di tempat itu, namun di mata mereka, langit sudah dipenuhi makhluk-makhluk penguasa gaib yang tak pernah menampakkan wujudnya.

“Kalian seharusnya tak perlu melibatkan diri dalam pertarungan ini..” Angin berhembus membawa suara dan perlahan membentuk sosok perempuan yang melayang.

“Kami harus nyai! Alam kami yang kami pertaruhkan,” Jawab Purbawengi pada sosok yang menyejukkan itu.
Langkah kaki tanpa wujud menapak di tanah yang mereka lalui. Telapaknya begitu besar hingga menumbangkan pepohonan di sekitar mereka.

“Heu.. heu.. heu… Sambara di setiap zaman memang tak pernah berubah.” Suara berat dari sosok raksasa yang tak kasat mata terdengar bersama langkah kaki itu. “Kekuatan kami bukan kekuatan yang bisa kalian tandingi, cukup lakukan apa yang harus kalian dan jauhi pertarungan di dekat kalian.

Raksasa itu memperingatkan mereka bertiga. Walaupun tak mengenal sosok-sosok itu, sepertinya garis keturunan Sambara tidak asing di ingatan mereka.

Benturan kekuatan yang begitu besar terjadi di sebuah lubang besar di tengah hutan itu. Tanah retak, suhu tak beraturan, angin bertiup tanpa arah.

Kertasukmo sudah menggenggam tombak Panglima Brasma dan mempersiapkan mantra yang berhasil mereka temukan.

“Kita maju sekarang!”

Mantra yang Kertasukmo Bacakan membuat ukiran aksara di kayu tombak itu menyala dan membuat mata tombak berpijar. Kekuatannya yang begitu besar mendorong tombak itu melesat memecah batas ruang hingga sebuah retakan di udara terbentuk.

Tanpa menunggu aba-aba mereka bertiga masuk ke alam terlarang dimana tak sepantasnya manusia berada di sana. Alam yang diciptakan sebagai sisi lain semesta untuk dihuni Para Danyang. Tanah para Danyang.
“Hentikan?! Keluarkan kami dari sini!”
“Panas! Selamatkan kami!!
“Tolong! Tolong! Aku sudah tidak sanggup berlari!”

Tak seperti yang mereka perkirakan, Tanah Para danyang yang sakral menyambut mereka dengan suara rintihan dan teriakan manusia yang ketakutan.

“Me—mereka?” Kertasukmo tak mengerti dengan apa yang ia lihat.

“Mereka terikat dengan danyang yang mereka sembah. Keberadaan mereka hanyalah amunisi bagi sesembahan mereka,” Jelas Purbawengi.

“Manusia-manusia goblok!!” Wirabumi kesal melihat pemandangan itu.

Mereka melihat dengan jelas manusia-manusia dengan tubuh yang tidak utuh namun tetap hidup. Ada yang berlarian di tanah yang hancur, ada yang terikat pada sebuah guci kayu besar, hingga ada yang terekat pada tubuh makhluk berlendir.

“Percuma, mereka tak mungkin selamat.” Purbawengi memastikan.

Langit malam yang gelap mendadak diterangi cahaya menyilaukan. Sebuah batu meteor raksasa menerobos atmosfer, melesat bagaikan kehancuran yang dijatuhkan dari surga, seolah siap melumat tanah di bawahnya.

“Minggir!” teriak Kertasukmo, wajahnya penuh kecemasan.

Wirabumi menatap ngeri. "Tidak… kita tidak akan sempat!” Tangan dan kakinya terasa lumpuh, dan ia tahu bahwa bahkan satu langkah pun takkan bisa menyelamatkan mereka.

Meteor semakin dekat, nyaris menelan tanah tempat mereka berdiri. Tapi, tepat saat batu api itu hendak menghantam, sebuah penghalang tak kasat mata muncul, menyelimuti area tersebut. Batu itu pecah menjadi ribuan serpihan yang menghujani tanah.

Wirabumi dan yang lain tersentak ketika sosok besar menyerupai kura-kura raksasa bangkit dari tanah, tubuhnya yang perkasa jelas menjadi sumber dari penghalang gaib itu.

“Kuil!” seru Purbawengi, menunjuk ke sebuah bangunan tua yang dikelilingi badai. “Pusat pertempuran ada di kuil itu!”

Tanpa ragu, mereka menerobos medan yang semakin kacau menuju kuil. Suara ledakan guntur menyambar di atas mereka. Petir saling bersahutan, hujan deras tiba-tiba turun, hanya untuk disusul udara panas yang membakar. Cuaca berubah liar, seakan alam sendiri berada dalam amarah.

Saat mereka mendekati pusaran yang menyelimuti kuil, dari balik badai muncul sekawanan makhluk bersayap kelelawar, beterbangan dengan sayap berkerisik tajam. Wirabumi dan yang lain bersiap bertarung, namun tiba-tiba mereka menyadari bahwa makhluk-makhluk itu tidak mengincar mereka.

Mereka mengejar sosok lain—sosok hitam dengan rambut panjang yang tengah berlari ketakutan dari kejaran kawanan makhluk tersebut.
“Sembunyi!” bisik Purbawengi tajam, memerintah.
Mereka mencari perlindungan di balik batu besar, diam-diam menyaksikan makhluk bersayap itu mengejar dan mencabik-cabik sosok hitam tersebut.

Wirabumi menahan napas ketika menyadari ada sesuatu yang digenggam erat oleh makhluk hitam itu.

“Sratt! Srattt!” Dengan gerakan cepat, Wirabumi melompat keluar dari persembunyiannya, menghempaskan serangan yang langsung merobek sayap-sayap makhluk itu. Makhluk hitam itu jatuh, tubuhnya penuh luka, darah mengalir deras.

“Wirabumi! Jangan gegabah!” Teriak Purbawengi, memelototi Wirabumi yang tak habis pikir dengan tindakannya sendiri. Entah kenapa, ia tiba-tiba terdorong untuk menolong sosok misterius itu.

Melihat Wirabumi terjun dalam bahaya, Kertasukmo dan Purbawengi pun tak punya pilihan lain. Tombak di tangan Kertasukmo menyala merah, dan dengan ayunan yang mematikan, ia menembus tubuh tiga makhluk bersayap sekaligus, membakar mereka jadi abu.

Purbawengi bergerak lincah bak penari, setiap kali ia menghindar, kepala makhluk-makhluk terbang itu pecah satu per satu tanpa ia sentuh.

Sementara itu, Wirabumi menghancurkan sisa makhluk dengan ganas, mengumpulkan kepala mereka dan menumpuknya dengan dingin.

Saat memastikan tak ada lagi yang tersisa, ia kembali ke sisi makhluk hitam yang sekarat itu. Di tangan sosok tersebut, tersembunyi sebuah benda yang ia lindungi mati-matian. sebuah mahkota, terlihat megah bahkan di tengah darah yang membasahi permata-permatanya.

Namun, sebelum mereka sempat memahami apa yang terjadi, sebuah sosok perempuan melayang turun dari langit dengan anggun. Ia mengenakan kebaya hitam, selendangnya berkibar menambah kesan mistis.

“Berani sekali kau membawa pusaka Ratu Ular!” suaranya menggema, penuh kemarahan. Tatapannya yang tajam menghujam Wirabumi dan yang lainnya, seolah menyampaikan kutukan yang siap membinasakan.

Dihadapan Wirabumi terjadi hal yang begitu luar biasa, pemandangan yang tak pernah ia bayangkan akan dilihatnya dalam hidup ini. Pohon-pohon yang tumbang tiba-tiba melayang, berputar dan dilemparkan dengan kekuatan luar biasa atas kendali sosok Danyang hitam.

Wirabumi tak membuang waktu, segera mengangkat tubuh makhluk hitam yang terluka itu dan mencoba menghindar dari pohon-pohon yang menghujani mereka. Namun, usaha itu tidak cukup. Sosok danyang hitam tetap mengejar mereka dengan kekuatan yang semakin menakutkan.

"Dasar tikus-tikus kurang ajar!" Danyang itu memekik, penuh amarah. Wajahnya yang gelap menghitam, dan dengan satu hentakan energi, tekanan dahsyat muncul, membuat Wirabumi dan yang lain terhempas jatuh, bahkan untuk bangkit pun mereka merasa seperti tertindih oleh beban tak terlihat.

"Kekuatannya... begitu luar biasa? Apakah selisih kekuatan kita sebesar ini?" gumam Kertasukmo, diliputi ketakutan yang menggigit.

Namun tidak dengan Wirabumi. Dalam keadaan genting itu, ia mencabut kerisnya, menggores telapak tangannya sambil melafalkan mantra pelindung.

"Bayu Angkoro…" bisiknya penuh tekad. Ia menancapkan keris ke tanah, dan seketika, badai angin muncul dari tempatnya berdiri, menyerbu ke arah Danyang hitam dengan kekuatan yang cukup untuk mengoyak kulitnya.

Danyang hitam itu terkejut, wajahnya tercabik oleh hembusan angin tajam. "Bagaimana mungkin?" gumamnya dengan wajah marah yang bercampur ngeri. Namun, ia kembali melawan dengan energi gaibnya yang mendorong angin Wirabumi, menghancurkan pepohonan di sekitar mereka, hingga akhirnya Wirabumi terpental jauh.

"Cih! Kekuatanmu hanya pemberian, takkan mampu menandingi kekuatan danyang, pemilik sebenarnya! Jangan sombong dengan kekuatan lemahmu itu!" ejek Danyang hitam, semakin murka.

Wirabumi, dalam kondisi yang semakin melemah, berusaha keras untuk tetap bertahan, namun tak kuasa menghadapi kekuatan yang luar biasa itu.

“Matilah! Pusaka Ratu Ular harus kembali ke tempatnya!” teriak Danyang itu, menyeringai. Seketika langit menjadi gelap, atmosfer di sekeliling mereka berubah mencekam.

Tiba-tiba, mereka merasakan sesuatu yang mengerikan—darah segar mulai menetes dari mata mereka.

“Purbawengi…!” seru Wirabumi, panik.

"Tidak! Aku tidak bisa menahan kutukan ini!" teriak Purbawengi, wajahnya berkerut menahan rasa sakit dan keputusasaan. Danyang hitam itu tersenyum penuh kemenangan, meyakini bahwa ia telah meraih tujuannya.
Namun, tiba-tiba, angin berhembus kencang, jauh lebih kuat dari sebelumnya, menghantam Danyang hitam dan mengusir kutukannya. Danyang itu terkejut, lalu menatap ke arah hutan dengan kemarahan bercampur ketakutan.

"Kau bilang kekuatanku lemah?" Suara tajam dan anggun terdengar di udara. Dari balik bayang-bayang pohon, muncul sosok perempuan yang anggun dengan selendang berkilauan, penuh kekuatan. Angin di sekelilingnya berputar dengan intensitas tak terkendali.

"Puspa Cempaka?" gumam Danyang hitam, suaranya merendah untuk pertama kalinya.

Kanjeng Ratu Puspa Cempaka melangkah maju, menatap Wirabumi. "Aku merasakan anginku di tempat ini, tak kusangka kau yang memanggilnya," ucapnya dengan lembut pada Wirabumi.

“Kanjeng Ratu, kau telah menyelamatkanku dua kali,” balas Wirabumi dengan penuh rasa hormat.

"Tidak ada alasan untuk tidak melindungi mereka yang memilih berjalan di jalan kebenaran,” jawab Kanjeng Ratu Puspa Cempaka. Kemudian ia menatap tajam ke arah Danyang hitam. "Biarkan aku yang menangani Nyai Durgati!"

Nyai Durgati mendengus. "Kau? Melawanku demi manusia? Kau benar-benar bodoh, Puspa Cempaka! Manusia hanya merusak alam yang kita lindungi. Saatnya kita mengambil alih mereka, bukan melindungi!"

Namun, Kanjeng Ratu tidak terpengaruh. Dengan gerakan halus, ia mengayunkan selendangnya, menciptakan badai angin yang menerbangkan Nyai Durgati hingga sosoknya terhempas jauh.

"Bodoh! Kau bodoh!" Nyai Durgati berteriak, penuh kemarahan.

Sementara pertempuran antara dua kekuatan gaib itu memanas, Wirabumi kembali memeriksa kondisi makhluk hitam yang terluka di sampingnya.

Makhluk itu menatapnya dengan pandangan lemah dan berbisik, "Jika dua mahkota bersatu, ia akan bangkit. Alam manusia akan hancur. Aku tidak berkhianat kepada Danyang Hitam, tapi aku tidak akan mengkhianati Sang Pencipta..."

Mendengar kata-kata itu, seketika Purbawengi mendapat penglihatan, penerawangan tentang takdir yang mungkin terjadi jika dua mahkota itu bersatu.
“Wisangkala? Apa itu namamu?”

Wisangkala, dengan napas yang berat dan tubuhnya penuh luka, mengangguk lemah. Purbawengi menjelaskan bahwa Wisangkala, salah satu dari danyang hitam. ia telah berkhianat terhadap kaumnya dengan mencuri Pusaka Ratu Ular.

mahkota penuh energi yang berfungsi sebagai segel alam kadewatan. Energi dalam pusaka itu begitu besar, cukup untuk mencegah kebangkitan Angkarasaka.

“Aku tidak berpihak pada manusia. Tugas kami adalah menjaga keseimbangan bukan menguasainya” bisik Wisangkala sambil berusaha menenangkan dirinya.

Dengan sentuhan tangan Purbawengi, luka-luka Wisangkala perlahan menutup, meskipun kekuatannya masih belum sepenuhnya pulih.
Di tengah pertarungan dahsyat antara Kanjeng Ratu Puspa Cempaka dan Nyai Durgati, Wirabumi berteriak kepada Kanjeng Ratu, “Kanjeng Ratu! Apa yang dikatakan Wisangkala itu benar?”

Kanjeng Ratu melawan kekuatan Nyai Durgati dengan seluruh kekuatan anginnya. "Dia benar, Wirabumi! Kalian harus membawa Pusaka Ratu Ular itu ke sisi lain kuil.

Di sana, para danyang putih akan menyegel pusaka itu mengunci Manjing Marcapada bersama. Dengan begitu, Angkarasaka tidak akan pernah bisa bangkit di dunia ini!"

Mendengar perintah itu, Nyai Durgati berteriak penuh amarah, "Kalian tidak akan berhasil!" Ia menyerang mereka dengan seluruh kekuatannya, namun Kanjeng Ratu Puspa Cempaka, dengan ketangkasan dan kekuatan anginnya, terus menahannya, memastikan Nyai Durgati tak dapat mendekati Wirabumi dan yang lainnya.

Wisangkala, yang kini mengambil wujud manusia untuk mempermudah perjalanan mereka, melangkah dengan Wirabumi dan Purbawengi menuju kuil yang terletak di tengah pusaran badai.

Mereka mengerti bahwa membawa Pusaka Ratu Ular ke sisi lain kuil adalah satu-satunya cara untuk memastikan keseimbangan alam tetap terjaga dan menghalangi kebangkitan Angkarasaka.

Di bawah ancaman kekuatan gelap yang tak henti-hentinya mengincar, mereka bergerak dengan hati-hati, menyadari bahwa setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada takdir yang akan menentukan nasib dunia.

***
Di sisi lain Wirabumi tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Pertarungan para danyang tidak hanya terjadi antara danyang hitam dan putih. Di tengah kekuatan yang begitu besar itu ada sekelompok manusia yang bertarung di sana.

“Akhirnya kalian tiba..”

Seseorang kakek tua bertelanjang dada dengan tubuhnya yang kekar terengah-engah setelah menghalangi sebuah serangan besar menghancurkan kuil.

“Ti–tidak mungkin?” Purbawengi tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sosok di depannya adalah sosok besar yang ia kagumi di masa kecilnya.
“Apa tombakku membantumu?”

Sosok tua lain muncul menghampiri Kertasukmo. Ia masih berjuang dengan sisa-sisa pakaian kerajaan yang sudah hancur. Kertasukmo sangat mengenali sosok itu walau dengan raganya yang sudah tua.

Sementara itu, Wirabumi tak bisa berhenti memandang sosok yang berani maju seorang diri di pertempuran hadapannya.

Jagatbara telah bangkit sepenuhnya, bola api membara melesat dari tubuhnya mengincar sosok di hadapnya. Dewi Agni membalas dengan semburan api hitam, tapi bukan itu yang membuatnya terpaku.

Seorang manusia maju ke titik pertemuan serangan itu bersama seekora kera tua yang melayang. ia melompat menerima serangan itu, kekuatan dari kera itu melapisi tubuhnya hingga dengan sapuan tendangan, benturan kekuatan itu terpental ke langit.

Dharrrr!!!

Langit seolah terbakar ketika kekuatan kedua danyang itu pecah di langit.

“Pangeran Baswara…” Gumam Wirabumi takjub.
“Raja Indrajaya? Panglima Brasma? Bagaimana mungkin kalian masih hidup” Purbawengi tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.

Ketiga sosok yang telah lama menghilang itu terlihat begitu lelah, Purbawengi tidak mengerti bagaimana mereka bisa bertahan hingga dipertemukan di alam ini.

“Hahaha.. Kalian sudah menua ternyata. Selama itukah kita meninggalkan alam manusia?” Tanya Raja Indrajaya.

“Benar, kami baru beberapa tahun di alam ini. Ternyata cukup menyakitkan saat mengetahui cucu-cucu kita sudah menua,” ucap Panglima Brasma.

“Purbawengi, biarkan mereka istirahat. Rawat mereka. Biar kita menggantikan mereka!” Ucap Wirabumi.

Wisangkala menarik pakaian Purbawengi dan menunjukkan Mahkota yang terus ia bawa, saat itu raja Indrajaya menyadari Pusaka Ratu ular yang dibawa oleh Wisangkala.

“I–itu?”

“Benar, Yang Mulia. Wisangkala yang membawa pusaka ini dari perlindungan Danyang hitam,” Jelas Purbawengi sambil mencoba memulihkan luka-luka Panglima Brasma dan Raja Indrajaya.
“Ini benar-benar Pusaka Ratu ular! Dengan benda ini mungkin kita bisa menghentikan peperangan ini!” Wajah Raja Indrajaya berubah bersemangat.

Sementara itu api Jagatbara kembali membara ia mengobarkan api dengan penuh amarah sementara Dewi Agni terus mengamuk. Sayangnya Baswara kewalahan, ia belum siap menangkal serangan itu sekali lagi.

“Sial!” Baswara berusaha menumpulkan kekuatanya secepat mungkin.

“Jagad lelembut boten duwe wujud, surgo loka surga khayangan… langit lan bumi nyawiji… Geni angkoro nyanding sukmo…”

Sebuah keris melesat dan menancap di tanah. Mantra Wirabumi membuat keris itu menyala dan angin kencang menarik kedua api yang saling beradu itu masuk kedalam keris itu.

“Keris itu? Wirabumi?!” Baswara Menyadari keberadaan Wirabumi dan kembali membangun kekuatan.

“Aku benci melihat pangeran yang membuang tahtanya dan bertarung sendiri seperti merasa yang paling kuat!” Ucap Wirabumi berusaha menahan rasa senangnya.

“Sejak kapan kau belajar lancang seperti itu? Wirabumi?”

“Jangan lupa, saat ini umur kita tak jauh berbeda. Aku bukan anak kecil lemah seperti dulu!”

Wirabumi benar-benar tidak bisa menyampaikan rasa khawatirnya. Baswara adalah sahabat Eyangnya Daryana yang ia kagumi.

“Kalau begitu, Buktikan!” Balas Baswara.
Kegilaan terjadi di sana. Wirabumi, dan Baswara menangkal berbagai serangan yang mengarah kepada kuil dan yang membuka celah ke alam manusia.

Wirabumi baru sadar jika bencana yang terjadi di alamnya saat ini mungkin sudah memusnahkan banyak manusia jika Baswara dan yang lain tidak menahannya.

Tapi, beberapa saat kemudian Wirabumi dikagetkan dengan bukit yang tumbuh dengan sendirinya. di langit masih ada gemuruh petir yang berasal dari sosok menyerupai kuda hitam dengan dua tanduk di kepalanya.

Pertarungan Ratu Puspa cempaka dan Nyai Durgati pun sudah sampai di tempat mereka berada. Saat bebatuan berjatuhan, Seekor naga melayang memunculkan dinding ombak menghalau bebatuan dari Kalabuto.

“Bawa pusaka itu kedalam kuil! Segel pusaka itu untuk selamanya!” Teriak Dewi Naganingrum yang menyadari mahkota itu kini berada di tangan Raja Indrajaya.

Menerima perintah itu, Raja Indrajaya pun menyudahi pemulihannya. Ia membawa mahkota itu berlari menembus berbagai kekacauan yang ada di sana.

Dewi Naganingrum merubah wujudnya menjadi manusia dan menahan setiap serangan yang mengarah kepada mereka.

“Jangan berani-berani!!” Teriak Kalabuto yang melemparkan sebuah bukit ke arah kuil itu.
Wirabumi melihat tertegun melihat bukit yang melayang ke arahnya. Baswarapun tercengang. Mereka merasa tak ada jalan untuk selamat dari serangan itu.

Ombak Naganingrum, hingga angin Puspa Cempaka benar-benar dipecundangi saat mencoba menahan bukit yang akan melumat mereka.

Tapi belum sempat bukit itu sampai ke tanah, tiba-tiba bukit itu berhenti di udara. Ada sosok tak kasat mata yang menghentikan bukit itu di udara.

“Heu..heu.. heu… Jangan takut! Buto Cayaloka sudah datang! Heu… heu.. he…” Wirabumi mengingat tawa itu. Itu adalah sosok raksasa besar yang melewatinya saat hendak memasuki celah tanah para danyang.

“Kita selamat…” Baswara terlihat benar-benar cemas.

“Tak ada waktu! Kita harus segera menyegel Pusaka Ratu ular dan Manjing Marcapada bersamaan!” Teriak Baswara.

kedatangan Buto Cayaloka merubah alur pertarungan. Baswara dan Wirabumi pun memilih bertaruh untuk meninggalkan pertarungan itu dan mengawal Raja Indrajaya bersama yang lainnya.

Di dalam kuil batu itu, ratusan ular sudah menanti bersama seekor ular besar bertanduk yang sudah bersiap melahap mereka. Tapi Dewi Naganingrum tak membiarkan sosok itu menyentuh Raja Indrajaya dan yang lain.

Dengan kemampuanya, darah dari tubuh ular itu mengalir keluar dengan kekuatan Dewi Naganingrum.

“Jika kau menyegel pusaka itu, kita tidak akan pernah memiliki tempat di alam manusia!” Suara Kalabuto terdengar menggema hingga kedalam.
“Kita bisa membuktikan bahwa kita para Danyang adalah makhluk yang lebih mulia dari manusia,” Nyai Durgati pun masih mencoba merubah pikiran danyang yang lain.

“Tapi apa artinya jika itu menjadi akhir dari alam ini…” Suara Wisangkala terdengar membalas danyang-danyang itu. ia berdiri di hadapan kuil menyaksikan kejadian yang bisa membinasakan alam ini.

“Pengkhianat!” Ucap Nyai Durgati.

Di tengah pertarungan itu Nyai Durgati melemparkan kutukan pada Wisangkala, namun Ratu puspa cempaka dengan cekatan menghalaunya. Tapi..

Srat!! Srat!!!

Tiba-tiba ular ular besar muncul di sekitar kuil dan menerkam Wisangkala. Ia melilit dan memisahkan kedua tangan makhluk itu dari tubuhnya.

“Wisangkala!!” Purbawengi menyadari keadaan Wisangkala dengan penerawangannya. Ia menahan langkahnya namun Kertasukmo menariknya kembali.

“Ini bukan saatnya, Purbawengi!”

Kanjeng Ratu Puspa Cempaka marah. tanaman tubuh dengan cepat melilit ular itu dan membunuhnya hingga mati. sebuah pohon menangkap tubuh wisangkala yang berada di penghujung nyawa.

“Kau tidak pantas mati seperti ini. Aku pasti akan menyelamatkanmu!” Ucap Puspa Cempaka pada Wisangkala. Tubuh yang hampir kehilangan kesadaran itu pun terlilit oleh akar-akaran dan masuk ke dalam tanah.

Melihat hal itu Purbawengi merasa cukup tenang. Mereka pun tiba di sebuah ruangan yang masih berdinding batu goa dan suara pertarungan pun terdengar di sana.

“Apa yang terjadi di sana?” Tanya Wirabumi cemas.

“Manjing Marcapada disimpan di sana, Danyang hitam lainnya dan Ratu Segrani mencoba merebutnya untuk melepaskan Angkarasaka dengan kekuatan kedua pusaka ini” Jelas Baswara.

“Lalu siapa yang melindungi pusaka itu?” Tanya Kertasukmo.

“Orang bodoh yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri,” Jawab Baswara.

Kerrasukmo tak mengerti. Sampai saat mereka semakin dekat ke ruangan itu dan melihat sosok yang bertarung seorang diri melawan pasukan prajurit kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu.

“Ratu Segrani? Dia sudah sampai di sini,” Geram Indrajaya.

Tapi lebih dari itu, mata Wirabumi dan Kertasukmo berkaca-kacaa. Purbawengi tak mampu menahan air matanya. “Eyang Daryana?” ucapnya dengan gemetar.

***
( Bersambung Part 8)
Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Setelah ini ada spesial part tentang eyang widarpa di @karyakarsa_id buat temen-temen yang mau baca bisa mampir ya :

karyakarsa.com/diosetta69/per…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets
Oct 31
PERANG TANAH DANYANG
Part 5 - Ratusan Tahun Yang Lalu

Widarpa menghilang, Daryana mulai bergerak. Bencana dimulai dari zaman itu...

#bacahorror @bacahorror Image
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.

“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”

Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.

“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.

“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.

“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.

Brakk!! Brakk!! Brakk!!

Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.

“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.

“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana

Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.

Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.

Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.

Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.

Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.

Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.

***
Read 15 tweets
Oct 24
PERANG TANAH DANYANG
Part 4 - Penduduk Masa Lalu

Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...

@bacahorror #bacahorror Image
Part Sebelumnya bisa dibaca di sini ya :
part 1 : x.com/diosetta/statu…
part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…

Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.

Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.

“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.

“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”

Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.

“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”

Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.

“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”

Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.

Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.

Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.

Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.

“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.

“Saya merasa, waktu itu akan tiba…”

***
Read 10 tweets
Oct 17
Di Balik Jejak Melati
- a horror thread –

Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.

Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.

#bacahorror @bacahorror Image
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.

Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Read 66 tweets
Oct 17
PERANG TANAH DANYANG
Part 3 - Jeritan Alam terkutuk

Part 1 : Sendang Mayat
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Ratu
x.com/diosetta/statu…

#bacahorror @bacahorror Image
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.

Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.

Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.

Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.

Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.

Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.

Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..

***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.

Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.

Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.

Eyang Wirabumi Dayu Sambara.

“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.

“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.

Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.

“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.

“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.

“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.

“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.

Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.

“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.

Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.

“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.

“Kami?” Paklek bertanya.

Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.

“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.

“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.

“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”

Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.

“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.

Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.

“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.

Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.

“Pengkhianat?” Tanyaku.

Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.

“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.

“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.

Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.

“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.

“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.

Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.

“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.

Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.

“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.

Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.

“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”

Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.

Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.

“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.

Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.

***
Read 12 tweets
Oct 10
PERANG TANAH DANYANG
Part 2 - Ratu

Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa

@bacahorror #bacahorror Image
Part sebelumnya bisa dibaca disini ya

Part 1 :
(Sudut Pandang Cahyo..)

Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.

“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.

Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.

“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.

“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!

Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”

Krakk!!!

Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.

“Danan…? Paklek…?”
Read 15 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(