Diosetta Profile picture
Jun 13 31 tweets 27 min read Read on X
PUSAKAYANA
Part 5 - Pusaka Para Raja

"Lambang mandala itu terhubung dengan hatimu, Cahyo. Bukan kepada tempat. Bukan kepada waktu. Tapi pada tujuan terdalam dalam dirimu..."

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 :
x.com/diosetta/statu…
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.

Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.

Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.

“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.

“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.

Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.

“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”

Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.

Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.

“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Kerta menimpali.
“Kalau aku… tujuan lambangku adalah memutus ikatan desa ini dengan Reksomayit. Selamanya.”
Cahyo menunduk. Ia menatap telapak tangannya—simbol mandala itu mulai memudar. Seolah waktu dan takdirnya sendiri mulai menipis.

“Tapi… lambang mandalaku… aku rasa tidak ada hubungannya dengan desa ini…” Cahyo mencoba mencerna semua kejadian di tempat itu. “Apa mungkin… aku seharusnya nggak ada di sini?”

Hening. Angin hutan bergesekan pelan dengan dedaunan. Namun dua pasang mata langsung menatap Cahyo.

Kerta melangkah mendekat, dan meletakkan tangan di bahu Cahyo.

“Orang yang mengirimmu ke sini… tidak mungkin salah.”

Mbah Wongso mengangguk lembut.

“Lambang mandala itu terhubung dengan hatimu, Cahyo. Bukan kepada tempat. Bukan kepada waktu. Tapi pada tujuan terdalam dalam dirimu.”

“Ikuti kata hatimu… dan kau akan tahu kenapa kau di sini.”

Cahyo menatap mereka satu per satu. Dalam diam, ia merasa hangat. Ia bertemu dua orang yang bukan hanya sekutu—tapi pengingat akan tujuan dan keyakinan.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan masuk ke hutan, membiarkan kata-kata tadi tetap menggema dalam hati.
“Di zamanku,” Cahyo mulai bercerita, “ada makhluk bernama Triyamuka Kala. Ia belum bangkit… tapi jika itu terjadi, ratusan—mungkin ribuan nyawa akan hilang.”

“Aku dan sahabatku dikirim ke berbagai zaman untuk mencari sesuatu… kekuatan, petunjuk, apa pun yang bisa membantu kami mengalahkan salah satu wajahnya.”

Mbah Wongso tercengang.

“Zamanmu… seperti dunia para dewa ya, Nak?”
Cahyo tersenyum getir.

“Bukan, Mbah. Dunia kami… sama rusaknya. Sama gelapnya. Triyamuka lahir dari dosa-dosa besar masa lalu, sama seperti Reksomayit di sini.”

Kerta hanya mengangguk. Ada pemahaman dalam sorot matanya.

Cahyo lalu menoleh ke arah Kerta, lalu menatap samar ke arah sosok yang berdiam di balik tubuhnya.
“Aku juga punya sahabat sepertimu. Roh kera... dua bersaudara. Seperti Rangkara, mereka berasal dari tempat yang sama.”

Mata Kerta membelalak.

“Tunggu. Kau juga… ngerawat demit ketek di badanmu?!”

“Grrr!!” suara dalam tubuh Kerta menggema—Rangkara menampakkan reaksi.

“Hahaha!” Cahyo tertawa. “Hati-hati. Rangkara nggak terima dibilang demit ketek!”

“Lha emangnya bukan?” Kerta ikut tertawa. Bahkan Rangkara mengeluarkan suara tawa berat dari dalam dirinya. Untuk sesaat, mereka bertiga tertawa lepas.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Cahyo tiba-tiba terdiam. Matanya menunduk.

“Tapi… waktu di zamanku berhenti. Dan kalau aku terlambat…”

“Wanasura bisa tidak selamat.”

Deg. Suasana berubah drastis.
“Grrrrrrr!!!”

Rangkara menggeram keras—bukan karena marah, tapi karena gelisah.

“Siapa? Nama yang kau sebut tadi…?” Kerta berseru. “Rangkara gelisah waktu dengar itu.”

Mbah Wongso merapatkan duduknya. Ia bisa merasakan getaran gaib dari tubuh Kerta yang terguncang.

“Jadi… benar dia mengenalnya.” Cahyo menatap tajam. “Mereka berdua—Wanasura dan Wanasudra—adalah sahabatku.”

Mendadak, cahaya kehitaman keluar dari tubuh Kerta. Sosok besar itu akhirnya muncul secara utuh di hadapan Cahyo.

Rangkara.

Seekor kera raksasa dengan kulit legam, tubuh penuh bekas luka, dan hiasan emas di leher serta lengannya. Gagah. Kuno. Dan tampak seperti makhluk yang telah menyaksikan ribuan tahun perang.
Kerta mendekat pelan.
“Cahyo... kau tahu siapa mereka? Wanasura dan Wanasudra bukan sekadar roh…”

“Mereka adalah Panglima Kera dari Alas Wanamarta. Pahlawan agung dari masa perang Sukmaloka. Waktu bahkan tak bisa melupakan nama mereka.”

Cahyo terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Ia tak pernah tahu… bahwa mereka—sahabat-sahabatnya—adalah pahlawan bagi kaumnya.

“Pahlawan?” Cahyo tak menyangka tentang seberapa besarnya nama Wanasura dan Wanasudra diantara kaumnya. Namun reaksi Rangkara memastikan itu hal itu bukan omong kosong belaka.

“Ingatlah nama Rangkara, Cahyo.” Kerta memberikan beberapa lima helai bulu yang ia ambil dari tubuh Rangkara.

“Jika kalian dalam bahaya, bakarlah sehelai bulu ini dan panggil namanya. Sebuah kehormatan bagi Rangkara untuk bisa membantu Panglima kera Alas Wanamarta dan sahabatnya..”

Cahyo menerima bulu Rangkara dan menatap sosok yang tersenyum ramah walau dengan tubuhnya yang terlihat begitu gagah dan cukup mengerikan.

“Terima kasih, Rangkara. Sepertinya aku harus mendengar banyak cerita tentang Wanasura dan Wanasudra darimu..” Ucapnya pada sosok perkasa itu.

***
Pagi itu, Kembang Getih tampak berbeda.
Embun masih menggantung di ujung-ujung daunnya, dan sinar matahari pagi menyelinap di antara celah pepohonan, memantulkan kilau kemerahan dari kelopak tanaman terkutuk itu. Keindahan yang semu—karena di atasnya, roh-roh gentayangan melayang-layang dengan wajah hampa, bagai layang-layang tanpa benang.

Cahyo menghentikan langkahnya. Napasnya tercekat.
"Itu... roh Warni…" ucapnya lirih. Suaranya terdengar lebih seperti gumaman yang tertelan udara.

Mata Cahyo tak lepas dari sosok samar seorang anak perempuan—terombang-ambing di antara dimensi, tertambat oleh kutukan.

Kerta melirik sejenak ke arah Cahyo.

“Kalau begitu… kita jadikan Warni korban terakhir dari kutukan ini,” ucapnya pelan namun tegas.

Tak ada jawaban. Hanya anggukan dan sorot mata Cahyo yang mengeras.

Mereka mencoba mendekat, tapi seperti malam-malam sebelumnya, roh-roh itu bergerak agresif—melayang rendah, berputar, dan menggertak, seperti pasukan penjaga yang tidak ingin wilayahnya diganggu.

Namun kali ini berbeda.
Kerta maju ke depan, dan dari dalam tubuhnya terdengar geraman berat. Rangkara.

Roh kera raksasa itu memperlihatkan sebagian wujudnya—hanya mata merah dan bayang-bayang kabut hitam besar yang memancar dari tubuh Kerta, namun cukup untuk membuat para roh gentayangan menggigil dan menjauh.
“Lakukan apa yang perlu kalian lakukan. Aku dan Rangkara akan menahan mereka,” ucap Kerta dengan mata terpejam, seperti sedang menyalurkan seluruh kesadarannya ke dalam makhluk di dalam tubuhnya.

Cahyo dan Mbah Wongso segera mendekat ke arah Kembang Getih.

Mereka memerhatikan setiap kelopak, batang, hingga tanah di bawahnya. Cahyo jongkok, lalu mulai menggali tanah dengan tangan kosong.

Tanah liat, akar rumput, dan batu kerikil terlempar ke samping.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Mbah Wongso, bingung.

“Aku cari akarnya,” jawab Cahyo tanpa berhenti menggali.

“Tanaman ini... bisa tumbuh di batu, di retakan. Tak punya akar seperti tanaman biasa.”
“Aku tahu,” ucap Cahyo. “Tapi tanaman gaib pasti punya akar—kalau bukan di dunia ini, ya di dunia lain.”
Tangannya kotor. Kukunya penuh lumpur dan tanah.

Tapi dia terus menggali. Mbah Wongso hendak menghentikannya—namun tiba-tiba, Cahyo mengganti pendekatannya. Ia duduk bersila. Matanya terpejam.

Ia mulai membaca doa ruwatan. Suara lirihnya membawa hawa aneh ke sekeliling mereka. Angin berdesir pelan. Udara di sekitar kembang terasa lebih berat… dan tanah mulai bergetar.

Lalu… muncul guratan samar. Simbol-simbol kuno dan aliran garis seperti akar yang bersinar redup—muncul di sekitar kembang, lalu memanjang menjalar di tanah seperti peta rahasia yang baru saja dibuka.

“Ketemu!” seru Cahyo. Matanya terbuka. Wajahnya penuh harap.

Mbah Wongso dan Kerta berlari menghampiri.

“Itu… bukan akar biasa,” gumam Mbah Wongso.

“Cepat! Sebelum garis ini hilang lagi!” teriak Cahyo. Ia sudah mulai mengikuti arah guratan yang merambat seperti akar roh.

Tanpa buang waktu, mereka bertiga menelusuri jalur gaib itu. Menebas semak belukar, melompati akar pohon besar, dan menahan napas saat hawa di sekitar berubah makin dingin. Suara-suara samar terdengar di telinga mereka—tangisan, bisikan, dan kadang jeritan—namun semuanya mereka abaikan.

Kerta menenangkan Rangakara kembali ke tubuhnya dan mengikuti Cahyo. Tapi ia sempat berhenti dan menoleh pada roh-roh gentayangan yang mungkin malam nanti akan menjadi musuh mereka.

“Bersabarlah, aku janji setelah ini kalian bisa pergi dengan tenang…”

Sesekali, Cahyo menoleh ke belakang dan melihat bahwa guratan di tanah perlahan memudar. Mereka tak bisa mundur. Tidak bisa berhenti.

Sampai akhirnya—di tengah hutan yang kian rimbun dan gelap—mereka tiba di sebuah tempat… yang tak mereka duga.

Langkah mereka terhenti. Di hadapan mereka terbentang sebuah makam kuno yang terselubung waktu. Lumut tebal menutupi batu-batu besar yang berdiri melingkar seperti penjaga yang bisu.

Akar-akar pohon tua merambat, melingkari pusara-pusara tak bernama. Tanah di sana terasa lembab, tapi bukan oleh hujan—melainkan oleh kenangan lama yang membusuk dalam diam.

Cahyo melangkah pelan. Setiap napasnya terasa berat, seakan udara di tempat itu tidak hanya mengandung oksigen, tapi juga bisikan-bisikan masa silam. Ia menyentuh satu menhir yang dingin dan bergetar lembut di tangannya.
“Ini…” Cahyo nyaris tak bisa berkata-kata. Suaranya tenggelam dalam keheningan yang terlalu padat.
Mbah Wongso menatap ke sekeliling dengan mata yang mulai berkaca. “Makam kuno…” gumamnya perlahan, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada yang lain.

Kerta bertanya pelan, “Mbah Wongso tahu tempat ini?”

“Tidak sepenuhnya… Tapi aku pernah mendengar kisah dari warga desa.” Ia menatap ke tanah, seolah mencoba membangkitkan kembali cerita yang telah lama terkubur.

“Makam ini… pernah menjadi tempat yang dihormati. Dulu, warga pernah didatangi seorang tokoh sakti.

Bukan orang biasa. Ia dihormati, dicintai, dan membawa ajaran yang membuat warga damai…”
Cahyo dan Kerta menyimak dalam diam.

“Sampai akhirnya orang itu meninggal. Warga berbondong-bondong memakamkannya di sini. Tapi saat jasadnya dikuburkan, langit menghitam, hujan turun deras tanpa jeda, dan satu per satu… warga yang hadir mengalami kerasukan. Bukan kerasukan biasa. Mereka seperti ditarik oleh sesuatu… dan tak pernah kembali dari makam ini.”

“Seluruh warga yang hadir?” Cahyo bertanya, nyaris tak percaya.

“Ya. Dan sejak itu, siapa pun warga desa yang masuk ke sini, mereka akan mengalami nasib serupa—kerasukan, dan… tragis.”

Cahyo dan Kerta saling bertatapan. Di desa yang penuh rahasia ini, ternyata masih ada lapisan cerita yang belum mereka gali. Ini bukan hanya tentang kutukan Kembang Getih… tapi tentang luka spiritual yang belum sembuh.

“Tapi kita ada di sini… dan tak terjadi apa-apa,” kata Cahyo perlahan. “Berarti… hanya warga desa yang bisa mengalami itu?”

Mbah Wongso mengangguk. “Tampaknya begitu. Tapi alasannya… masih misteri.”

Tiba-tiba, angin bertiup pelan, tapi terasa seperti menyusup ke tulang. Daun-daun bergoyang tanpa arah. Dan dari arah makam, suara muncul, bukan bergaung, melainkan menyatu dengan desir angin.

“Itu karena mereka… telah membunuh Kanjeng Datu. Manusia berhati mulia… yang datang untuk menyelamatkan mereka…”

Mereka bertiga terdiam. Perlahan, sebuah sosok roh muncul di antara pusara—seorang pria tua dengan pakaian lusuh seperti petani. Tangannya membawa sabit kecil, seolah sedang berkebun. Namun sebelum mereka bisa mendekat, sosok itu memudar, menghilang seperti asap.

Cahyo melangkah maju, tapi suara lain muncul lagi—kali ini suara perempuan, lembut, tenang, namun mengandung kesedihan mendalam.

“Kanjeng Datu… memilih tinggal bersama mereka. Ia ingin menunjukkan bahwa cahaya bisa tumbuh dari kegelapan…”

Tiba-tiba, sosok perempuan muncul di sudut makam. Ia menebar benih ke tanah, gerakannya lambat dan anggun. Rambutnya panjang, wajahnya samar. Tapi sebelum Cahyo sempat memanggilnya, ia pun lenyap, seolah hanya fatamorgana.

Lalu, suara lain muncul dari berbagai arah—tidak berasal dari satu roh, tapi dari banyak.

“Ia telah tenang… namun kami… kami tidak akan membiarkan mereka mengotori makamnya. Atau makam leluhur kami yang tetap berjalan di jalan yang lurus…”
Bayangan-bayangan roh mulai bermunculan di sekeliling mereka. Ada yang terlihat seperti ibu menggendong anak, seorang petapa duduk bersila, bahkan anak kecil dengan mata kosong.

Mereka semua hanya muncul dalam sekejap, satu per satu, memberi potongan-potongan informasi, seperti mozaik dari masa lalu.

“Mereka tidak pantas kembali ke sini…”

“Kami menjaga, bukan karena dendam… tapi karena luka yang belum sempat diobati…”

“Yang harus kau cari… bukan hanya akar kembang itu… tapi akar pengkhianatan…”

Dan seketika itu… semua roh menghilang. Angin berhenti. Suara sunyi kembali merayap, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Ketiganya berdiri diam. Hanya napas mereka yang terdengar. Namun mereka tahu, bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar kutukan. Tempat ini adalah simpul dari semua benang misteri yang belum terurai.

***
Kanjeng Datu… Nama itu terukir sederhana di sebuah makam yang nyaris tersembunyi. Nisannya terbuat dari kayu lapuk, ditumbuhi lumut, dan tak pernah diganti dengan batu. Seolah waktu pun enggan menyentuhnya karena tragedi yang pernah tertinggal di tanah itu.

Cahyo menunduk. Ia menyadari akar Kembang Getih berakhir tepat di makam ini. Di sekeliling mereka, makam-makam kuno yang tak terurus seakan menjadi saksi bisu, usianya mungkin telah mencapai ratusan tahun.

“Kutukan itu… bangkit dari sini?” bisik Cahyo. “Apa artinya Kembang Getih adalah tulah dari perbuatan keji warga desa?”

Kerta menggeleng pelan, ragu.
“Aku tidak yakin kalau harus membungkar makam ini... Ini makam keramat. Dan Kanjeng Datu... dia orang baik.”

Tiba-tiba, tubuh Mbah Wongso limbung. Ia terjatuh, wajahnya tampak kosong dan matanya menerawang jauh, seolah jiwanya terseret ke masa silam.
“Mbah!” seru Cahyo, buru-buru menghampiri dan membantunya berdiri.

Namun Mbah Wongso mengabaikannya. Ia melangkah perlahan ke arah makam Kanjeng Datu, kemudian berlutut dan mulai menggali tanah dengan tangan kosong. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

“Mbah? Mbah, panjenengan ngapain?” tanya Kerta, bingung.

Mbah Wongso tetap diam. Tangannya terus mengais tanah dan tanaman liar di atas makam itu, semakin dalam.

“Ini… sudah kelewatan,” ujar Kerta resah.
“Sstt… kita lihat dulu,” potong Cahyo, memperhatikan dengan seksama.

Tak tahan melihat Mbah Wongso menggali sendirian, Cahyo akhirnya membantu. Dan meski awalnya menolak, Kerta pun akhirnya ikut menggali bersama mereka.
“Dosanya ditanggung bareng, lho…” gumamnya, pasrah.

Menjelang siang, mereka berhenti. Tanah sudah tergali cukup dalam, dan seperti yang mereka duga, hanya tersisa tulang belulang yang hampir terurai habis. Namun tiba-tiba, Mbah Wongso menggali sedikit lebih dalam di bawah bagian kepala… dan menemukan sebuah kotak batu.

“Itu apa, Mbah?” tanya Cahyo.

Tak ada jawaban. Mbah Wongso tampak tenggelam dalam kesadaran yang lain. Ia menanggalkan bajunya, membersihkan tubuh dengan kain itu, lalu membuka kotak batu tersebut. Di dalamnya, terdapat beberapa helai kain putih. Ia mengenakannya sebagai pakaian baru, bahkan melilitkannya di kepala.

Setelah semuanya selesai, barulah ia menatap Cahyo dan Kerta satu per satu.

“Malam itu…” katanya lirih. “Aku dan sepuluh warga desa membulatkan tekad untuk menghancurkan tempat pemujaan Raden Reksomayit. Usahaku berhasil mencerahkan sebagian warga hingga Raden Reksomayit tak lagi menguasai desa..”

Warga desa sudah terlalu jauh… perbuatan mereka bukan hanya sesat, tapi bisa melahirkan kegelapan yang lebih pekat. Kami harus membersihkan semuanya..”

Cahyo dan Kerta terdiam, mendengarkan.
“Tapi saat kami sampai di tempat pemujaan, sebuah batu besar menghantam kepalaku. Warga yang tadinya sepakat ternyata menjebakku. Mereka membunuhku.”

“Mbah… ini tentang Kanjeng Datu?” tanya Cahyo hati-hati.

Mbah Wongso tersenyum tipis dan mengangguk.
“Apa… apa sekarang Kanjeng Datu tengah merasuki Mbah?” tanya Kerta, sedikit takut.
Ia menggeleng.

Perlahan, ia melangkah melewati mereka berdua, lalu berhenti. Dengan suara tenang namun penuh makna, ia berkata:

“Akulah Kanjeng Datu.”

Cahyo terpaku. Ia menoleh ke tulang belulang yang baru saja mereka gali.

“Tapi… bukankah itu jasad Kanjeng Datu?”
Mbah Wongso menatap langit yang tertutup pepohonan. Cahaya tipis matahari menyelinap di antaranya, menyoroti wajahnya yang kini terlihat lebih muda, lebih damai.

“Entah bagaimana menyebutnya. Titisan? Reinkarnasi? Aku tidak tahu. Tapi… akulah dia.”
“Jadi begitu…” gumam Cahyo pelan.

“Kamu ngerti maksud Mbah Wongso?” tanya Kerta, bingung.
“Nggak,” jawab Cahyo tanpa rasa bersalah.
“Asem… gayamu kayak udah paham aja!” protes Kerta.

“Yang penting sekarang kita tahu, Mbah Wongso adalah Kanjeng Datu. Dan Kanjeng Datu adalah Mbah Wongso.”

Mereka tertawa kecil dalam kebingungan dan ketegangan yang belum sepenuhnya reda. Mbah Wongso hanya tersenyum… senyum seseorang yang akhirnya kembali menemukan dirinya yang hilang sejak lama.

“Tugasku sebagai Mbah Wongso… sudah selesai.”

Suara itu terdengar tenang, namun mengandung kelegaan yang dalam. Mbah Wongso berdiri tegak di tengah makam kuno, sinar mentari sore menyusup lewat sela-sela pohon, seolah memberinya restu dari langit.

“Ternyata, aku harus menuntaskan kutukan Kembang Getih… agar bisa menemukan makam ini dan mengembalikan ingatanku sebagai Kanjeng Datu.”
Cahyo melangkah mendekat, masih terpana.

“Artinya… kutukannya sudah berakhir?” tanyanya hati-hati.

Mbah Wongso tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengangkat satu tangannya, menunjuk ke arah semak belukar di mana bunga berdarah itu pernah tumbuh.
Angin berhembus. Selembar kelopak merah muncul dari kegelapan, lalu melayang perlahan ke udara. Cahyo dan Kerta menyaksikan, tak berkedip, saat bunga itu—Kembang Getih—menari di udara, lalu mendarat tenang di telapak tangan Mbah Wongso.

Saat itu juga, warna merah darahnya memudar. Kelopak yang tadinya bernadi pekat berubah menjadi putih bersih, seolah dicuci oleh cahaya langit.

“Sekarang… sudah berakhir,” ucap Mbah Wongso lirih.
Namun, ketenangan itu belum sepenuhnya turun.

Cahyo dan Kerta menoleh ke belakang Mbah Wongso. Di sana, samar-samar, tampak barisan roh—jiwa-jiwa warga desa yang dahulu meregang nyawa karena kutukan bunga itu. Mereka berdiri diam di antara pepohonan dan batu menhir, seperti menunggu sesuatu.

“Namanya bukan Kembang Getih,” ucap Mbah Wongso. “Asalnya… Kembang Sukma.”

Cahyo dan Kerta menoleh.

“Ia tercipta dari. Untuk masuk ke dalam mimpi warga desa dan membimbing mereka kembali ke jalan yang benar. Tapi…”

Mbah Wongso menunduk, tatapannya sendu.

“Tapi setiap warga yang menerima pencerahan dari Kembang Sukma… justru dibunuh. Dianggap berkhianat oleh mereka yang masih menyembah Raden Reksomayit. Dan Kembang Sukma… mulai menyimpan dendam.”

Ia memandang bunga putih di tangannya.

“Ia menyerap darah. Kebencian. Rasa kehilangan. Hingga akhirnya, ia berubah… menjadi penjemput nyawa. Ia percaya, hanya dengan kematian, dosa mereka bisa dihentikan.”

Kini, bunga itu yang dahulu membawa maut, menari lembut di tangan Mbah Wongso seperti anak yang telah tenang dari amukan.

“Nak Cahyo…” panggil Mbah Wongso lembut.
“Iya, Mbah?” Cahyo mendekat.

“Mungkin jawaban dari tujuanmu… ada di sini. Ini bukan sekadar makam. Ini tanah persemayaman para resi, raja, dan orang-orang sakti dari zaman dahulu. Pusaka-pusaka mereka pun dikuburkan bersama mereka.”

Mbah Wongso menyentuh kening Cahyo dengan satu jari.
Mata Cahyo membelalak.
Dunia di sekelilingnya berubah. Ia kini berada di suatu dimensi lain: hamparan cahaya lembut membanjiri pemakaman, dan dari dalam tanah melayanglah benda-benda pusaka—tombak emas, keris berpijar, anak panah bercahaya—menari seperti roh bebas.

Beberapa dari mereka bahkan berubah wujud menjadi manusia bercahaya, lalu kembali ke bentuk asalnya.
“Apa ini, Mbah?” tanya Cahyo, kagum.

“Inilah… Alam Pusaka,” jawab Mbah Wongso. “Tempat roh-roh pusaka berinteraksi tanpa gangguan manusia atau jin. Carilah… yang kau butuhkan. Dan aku akan meminta mereka untuk membantumu.”

Cahyo tersenyum lebar, seolah seorang anak kecil memasuki dunia penuh keajaiban. Tubuhnya bergetar oleh energi yang mengalir dari pusaka-pusaka itu.

“Terima kasih, Mbah…”

Mbah Wongso menoleh pada Kerta, kini dengan langkah lebih tenang dan tatapan lebih dalam.

“Dan kamu, Kerta…”

“Ya, Mbah?”

“Tujuanmu adalah memutus ikatan warga desa dengan Raden Reksomayit, bukan?”
“Benar, Mbah…”

Mbah Wongso menatapnya, penuh makna.
“Inilah saatnya…”

Kerta mengangguk, seolah kata-kata itu telah menyalakan nyala api baru di dadanya.

Kini, dengan ingatan dan kesaktian Kanjeng Datu yang telah kembali, serta kembalinya wujud asli Kembang Sukma, mereka tahu ini adalah saatnya menghadapi sosok gelap yang sudah berkuasa begitu lama di desa itu.

Dan mereka… tidak akan sendiri.
***
PUSAKA PARA RAJA

Langit memerah. Cahaya merah merambat di atas desa seperti luka terbuka di langit. Kesunyian menggantung pekat, bahkan desir angin pun enggan lewat. Desa seperti mati sebelum akhirnya meledak oleh jerit panik.

“API!! API!!”

Teriakan pecah dari mulut seorang anak kecil yang melihat kobaran api menjilat langit dari tengah sawah. Warga berhamburan keluar dari rumah. Mata mereka membelalak ngeri saat melihat api itu berasal dari orang-orangan sawah—benda-benda yang seharusnya diam, kini menyala seolah memiliki nyawa.

Salah satu orang-orangan bahkan terlihat bergerak. Lehernya terputar pelan, seperti mengamati desa.
“MBAH WONGSO!!”

Suara seorang warga yang melihat sosok renta dengan jubah kelabu dan seorang pemuda di belakangnya. Kehadiran mereka seperti mengusik sesuatu yang telah lama dikubur.

Ki Tunjung, tetua desa, melangkah cepat ke tengah warga. Raut wajahnya tidak sekadar marah, ia terlihat takut. Pandangannya terpaku pada sorot mata Mbah Wongso yang kini tampak berbeda. Terlalu tajam.
Terlalu dalam. Terlalu... bijak.

“Itu bukan lagi Mbah Wongso...” bisiknya pada Nyai Gendari.

Dengan suara bergetar, Ki Tunjung memerintahkan warga, “Bangkitkan benda itu! Siapkan ritualnya sekarang!”

“Kau kembali…” Suara Nyai Gendari serak dan dipenuhi amarah, “Berarti kau siap untuk mati.”

Mbah Wongso melangkah perlahan. Matanya menyapu warga satu per satu, seolah mengingat wajah-wajah lama dari masa yang jauh.

“Leluhur kalian sudah melakukannya. Mereka mengikatku. Membunuhku. Menguburku. Tapi… aku tidak akan menyerah untuk menyelamatkan kalian.”

Desis Mbah Wongso disambut tatapan bingung Ki Tunjung. “Mati? Di tangan leluhur kami? Menyelamatkan?”
Lalu terdengar suara lain—pelan tapi menghunjam seperti pisau.

“Ikat kepala itu… Kanjeng Datu… rupanya itu kau...”
Semua kepala menoleh. Mbok Marpiyah, wanita sepuh itu, tiba-tiba berdiri di tengah kerumunan.

“Kanjeng Datu?” Wajah Ki Tunjung dan Nyai Gendari berubah pucat. Bibir mereka gemetar.

“Sudah! Kita habisi saja mereka berdua! Jangan beri mereka kesempatan membawa kutuk ke desa ini lagi!!” teriak seorang pemuda. Ia maju sambil mengangkat parang.

Tapi sebelum dia menyentuh Mbah Wongso, Kerta berdiri di depannya. Matanya berubah menjadi hitam sepenuhnya. Dari tenggorokannya keluar suara yang bukan miliknya:
“GRRRRRAAAAAAAHHHHH!!”

Suara Rangkara, makhluk gaib yang bersarang dalam tubuh Kerta, menggema seperti gemuruh gua. Para warga mundur seketika.

“Tak ada yang boleh menyentuh Mbah Wongso!” bentak Kerta. Suaranya seperti campuran manusia dan binatang.

Namun warga tidak gentar. Mereka telah menyiapkan sesuatu jauh lebih jahat.

Di tengah lapangan desa, orang-orangan sawah terbesar dibawa. Sosoknya menjulang tiga meter. Tubuhnya terbuat dari jerami hitam, tulang-tulang binatang, dan topeng dari kulit manusia yang mengering.
Dengan komando Ki Tunjung, warga menggores telapak tangan mereka. Darah segar menetes ke jerami, menyatu dengan tubuh boneka itu.

Nyai Gendari melantunkan mantra dalam bahasa kuno. Udara terasa lebih berat, bau besi dan daging busuk memenuhi udara.

“Kyai Samparangin, pengikut sejati Raden Reksomayit...” gumamnya dengan mata putih dan tangan gemetar. “Terima darah kami. Bangkitlah. Musnahkan yang menentang tuanmu...”
Mbah Wongso tersenyum tipis. Sinis.

“Sampai sekarang pun sesembahan kalian masih takut menampakkan wujudnya?”

“DIAM!!” teriak Ki Tunjung. “Kau tak pantas menghadapi Raden Reksomayit! Kyai Samparangin cukup untuk memenggal lehermu!”

Jerami itu mulai bergerak. Jeritan terdengar dari dalam tubuhnya. Mata di topengnya menyala merah darah.
Lalu... ia terangkat. Melayang.

Wajahnya menatap lurus ke arah Mbah Wongso dan Kerta.

Aura kehadirannya membuat tanah retak, pohon-pohon merunduk, dan langit yang merah kini seperti terbakar.

“Habisi mereka!!” teriak Ki Tunjung, menunjuk penuh kebencian.

Kyai Samparangin menggeram. Suaranya seperti banyak orang berbicara serentak dari dalam sumur maut. Warga, dengan parang dan obor di tangan, mengikutinya dari belakang.

“Aku bisa menghadapi Kyai Samparangin, tapi warga desa..” Kerta sedikit khawatir, ia tak ingin melukai warga desa jika tidak terpaksa.

“Tenang saja, Kerta..”

Mbah Wongso memunculkan sesuatu dari tangannya. Kembang Sukma kembali mekar dan saat itu juga muncul roh-roh warga desa yang telah dimurnikan.

Mereka tak lagi menjemput warga desa yang masih hidup sebagai tumbal kutukan, tapi kali ini mereka muncul untuk menghentikan mereka yang mereka kenal.

“Warni?” Mbah Marpiyah menatap sosok roh anaknya yang muncul saat itu.

“Mbok.. sudah. Hentikan! Kita salah…” ucapnya.

Warga desa yang lain terhenti saat melihat roh warga desa yang mereka kenal. Dan saat warga desa terhenti, Kerta menancapkan obor di belakangnya, dan menunjukkan bayangan sosok roh kera raksasa disana.

“Rangkara.. bantu aku..”
“GRAAAROOORRR!!!” Suara menggeram terdengar bersama kemunculan Rangkara dari bayangan Kerta.

Kyai Samparangin membuka mulutnya. Dari sana keluar suara jeritan ribuan jiwa yang dikutuk. Jeritan itu membentuk gelombang hitam yang menyapu pohon-pohon, membusukkan dedaunan seketika.

Rangkara meraung dan memukulkan kedua tangannya ke tanah. Gempa kecil merambat dari titik pukulan itu, memecahkan serangan suara Kyai Samparangin.

Lalu Rangkara melompat—lompatan besar yang menghancurkan tanah di tempat ia berpijak—dan menghantam Kyai Samparangin dengan pukulan telak di dada.

Tubuh Kyai Samparangin terpental, namun tak hancur. Dari dadanya menyembur belatung api hitam yang melayang ke arah Rangkara.

Belatung api itu menggigit tubuh Rangkara, melubangi bulu-bulunya dan membakar sedikit demi sedikit. Rangkara menggeram, tapi tak gentar. Ia mencabut sebatang pohon besar lalu menyulapnya menjadi tongkat dan menyabet Kyai Samparangin.

Sabetan itu memecahkan bagian bahu jerami Kyai Samparangin, membuat sebagian tubuhnya hancur dan terurai.

Namun Kyai Samparangin merapal mantra, lidahnya menyentuh tanah lalu melukis simbol di udara dengan darah warga yang ia serap. Dari simbol itu muncul tangan-tangan roh terkutuk yang menjulur dari dalam tanah, mencoba menarik kaki Rangkara masuk ke dalam tanah.

Rangkara meraung, menjejakkan kaki kuat-kuat, lalu memanggil kekuatan alam yang dekat dengannya.

Dari langit, cahaya putih keperakan jatuh menimpa tubuh Rangkara. Tangan-tangan roh terkutuk menghilang seketika. Tubuh Rangkara membesar dua kali lipat, matanya memancarkan cahaya biru suci. Ia mengangkat lengannya, lalu menghantam tanah.

Dari dalam tanah, akar-akar misterius muncur, membelit tubuh Kyai Samparangin, melilitnya dari kaki sampai ke tenggorokan.
Kyai Samparangin berusaha untuk melawan, kekuatan hitamnya perlahan mulai kembali terhimpun.

Tapi Kerta maju, membawa obor yang menyala. Api pada obor itu sudah disucikan oleh Mbah Wongso, api yang pernah hampir menyelamat kan desa ini dari raden reksomayit.

Ia pun melesat dan berteriak lantang, “Kau bukan makhluk hebat, hanya sisa kebencian yang dipelihara. Hari ini, kau lenyap.”

Obor itu dilempar tepat ke dada Kyai Samparangin. Api menyala. Api itu tak biasa—api dari roh-roh yang telah sadar, dari luka yang telah dimaafkan. Dan perlahan, tubuh Kyai Samparangin terbakar… dari dalam.

Ia menjerit, Tubuhnya runtuh. Jerami gosong berserakan, tanah memulihkan warna. Dari langit, hujan ringan turun. Api padam. Aroma tanah basah menggantikan bau kematian.

Alih-alih menyerah, Ki Tunjung dan Nyai Gendari justru berlutut berhadapan di tengah lingkaran jerami yang dibentuk menyerupai tubuh manusia. Mata mereka memancarkan niat yang nyaris gila.

Di tangan Nyai Gendari, api kecil menyala dari dupa, lalu ia menyalakan jerami-jerami itu satu per satu. Asap mengepul, pekat dan menyengat, menari naik ke langit malam. Jerami itu tidak terbakar biasa—api yang menjilatinya menghitam dan menggumpal seperti asap darah.

Mereka mulai melantunkan mantra kuno, bahasa yang terdengar seperti gumaman orang mati yang dicabut dari liang lahat. Angin di sekitar mereka mulai berputar pelan, lalu semakin kencang. Warga desa, yang tadi ragu dan ketakutan, kini berdiri di sekitar mereka dengan obor dan pandangan penuh keyakinan tak berdasar.

Ki Tunjung menengadah ke langit gelap, suaranya menggema bersama kabut.

“Raden... kini saatnya kembali. Kyai Samparangin tak mampu lagi menjaga kami. Tunjukkan kekuatanmu, lindungi kami seperti dahulu.”

Sementara Nyai Gendari merapal mantra dengan suara tinggi, tubuhnya berguncang seperti kerasukan.
Kerta melangkah maju, wajahnya tegang.

“Kalian?! Apa yang kalian lakukan?!” bentaknya, penuh amarah. “Raden Reksomayit bukan pelindung! Ia hanya memperalat kalian demi kekuatan gaibnya!”
Seorang warga maju, wajahnya merah oleh emosi.
“Kau tahu apa?! Ia menyuburkan tanah kami, memberikan kelahiran yang sehat, melindungi kami dari bencana dan orang asing seperti kalian! Jangan sok tahu!”

“Benar!” teriak warga lain. “Raden Reksomayit menjaga kami dari bahaya luar! Desa ini damai karenanya!”

Kerta menggertakkan giginya. “Damai?! Dengan menumbalkan nyawa sesama kalian sendiri?!”
Namun mereka tak menggubrisnya. Salah satu warga malah berkata dengan mata kosong...

“Mereka tak mati… Mereka hidup bersama Raden... abadi di pelukannya...”

Tiba-tiba, suara menggema memotong percakapan mereka.

“Tidak… Kami ini tumbal!” teriak roh Warni, muncul bersama kabut putih dari balik pohon. Suaranya pecah, tapi penuh dendam. “Jika bukan karena tertarik oleh kembang Getih, kami sudah dilahap setan itu!”

Tapi warga desa seakan tuli. Mata mereka terpatri ke langit, ke pusaran asap hitam yang kini mengembang seperti topan.

Petir menyambar sekali, menyinari sosok yang mulai turun dari asap—tinggi, mengenakan pakaian bangsawan kuno, tubuhnya terselubung kabut kelam. Hanya mata merah menyala yang tampak jelas dari wajah yang terselimuti bayangan.

Raden Reksomayit telah bangkit.
Warga desa berlutut serentak. Suara isakan campur kekaguman terdengar. Obor-obor ditundukkan. Hanya dua sosok yang masih berdiri di tengah kerumunan itu: Kerta dan Mbah Wongso.
“Akhirnya... harus aku sendiri yang menghabisimu, Kanjeng Datu!” seru Mbah Wongso, menatap makhluk itu penuh amarah. “Kali ini jiwamu akan musnah. Tak akan menitis lagi!”

Raden Reksomayit berbicara. Suaranya dalam dan menggema seolah datang dari balik peti mati dalam gua batu.

“Kalian menantangku… dalam tanah yang kusemakmurkan? Di desa yang kubentuk dari daging dan jiwa? Aku bukan dewa. Aku akar... Aku darah…”

Seketika, aura tekanan mengerikan menyelimuti desa. Angin mati. Suara burung hening. Langit seolah mengerut. Kerta gemetar, keringat dingin menetes dari pelipisnya.

“Mbah… kekuatannya… di luar kemampuanku…” bisiknya ketakutan. Rangkara, sosok roh kera raksasa, muncul dari balik bayangannya, bersiap siaga, giginya menyeringai ganas.

Mbah Wongso tetap tenang. “Tak pantas kita takut pada setan terkutuk seperti dia. Ia bukan raja, hanya mayat yang lupa mati.”

Tapi sebelum mereka bergerak…

“KUAMBIL PENGLIHATAN KALIAN...” ucap Raden Reksomayit.

Deg—
Gelap.

Mata Kerta dan Mbah Wongso tak lagi bisa melihat cahaya. Dunia mereka berubah hitam total. Tidak ada bentuk, tidak ada gerak. Hanya suara napas dan detak jantung sendiri yang terdengar.

“Sial! SETAN SIALAN!! RANGKARA, SERANG!”
Rangkara meraung, melompat dengan kekuatan penuh melayangkan tinjunya yang mampu merobohkan pepohonan.

Tapi sebelum tinjunya menyentuh Reksomayit, tubuh besar itu terhempas ke tanah. Rangkara tiarap—mendesis, tubuhnya lumpuh seketika, seperti ditindih gunung gaib.

“RANGKARA!!!” Kerta menjerit.

Namun berbeda dari Kerta, Mbah Wongso tidak panik. Tangannya tetap menggenggam sesuatu.. Kembang Sukma.
Dengan suara tenang, penuh kekuatan batin, ia berucap, “Mekarlah…”

Kembang Sukma menyala, lalu terlepas dari tangannya. Bunga itu melayang dan jatuh di dekat kaki Raden Reksomayit. Seketika, akar-akar halus menjalar dari kelopaknya, menggenggam tanah dan bercahaya emas lembut.

Dari bunga itu memancar aura ketenangan dan penjernihan jiwa.

Aura mencekam dari Raden Reksomayit mulai mengendur. Tekanan yang menekan jiwa Kerta perlahan menghilang. Penglihatan mereka kembali. Cahaya samar menyusup dari balik kegelapan batin.
Kerta terengah, memegang dadanya. “Dia... melemah...”

Tapi… Langit kembali menggelap. Setelah sejenak cahaya dari Kembang Sukma memberi harapan, Raden Reksomayit mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

“Kalian pikir bisa mengekangku dengan bunga para arwah?! Aku telah mengikat roh-roh dalam akar tanah ini sebelum kalian lahir!”

Tanah di sekitar mereka mulai retak dan berdenyut seperti nadi. Dari balik celah-celah tanah, muncul tangan-tangan hitam, kaku seperti arang, menarik tubuh-tubuh busuk dari dalam bumi—para tumbal yang dijadikan prajurit roh. Mata mereka kosong, tubuh mereka seperti boneka terlahir dari lumpur dan asap kematian.

“Prajuritku… bangkitlah. Habisi pengkhianat dan pendusta!”

Kerta langsung mengambil posisi bertahan. Rangkara meraung dan menerjang prajurit-prajurit roh itu, menghantam dua sekaligus hingga tubuh mereka terlempar dan hancur. Tapi setiap kali satu roboh, dua lainnya bangkit menggantikannya.

“Mereka tak habis-habis!” teriak Kerta, tubuhnya telah bercampur darah dan tanah. Ia menebas satu tangan mayat yang mencoba mencengkeram kakinya.

Di sisi lain, Mbah Wongso membentuk lingkar pelindung dari asap putih yang ditiupkannya melalui mantra. Kembang Sukma berputar di sekelilingnya, tapi bahkan cahaya spiritual itu mulai meredup.

“Kekuatanku terkuras… terlalu banyak roh yang dirantai padanya…” gumam Mbah Wongso.

Tiba-tiba tanah di bawah mereka retak hebat, dan dari celah itu muncul bayangan besar dengan bentuk seperti akar dan tubuh manusia yang menggeliat—aspek sejati dari Raden Reksomayit.

Wujud ini lebih besar dari sebelumnya. Dari tubuhnya menjulur ribuan benang asap yang menyambung ke dada warga desa yang berlutut—ia menarik kekuatan dari keyakinan mereka.

“Selama mereka menyembahku... aku abadi!”
Satu benang asap menyentak tubuh Rangkara dan menarik roh itu mundur. Rangkara meraung—bahunya berlubang oleh energi hitam.

“RANGKARA!!” Kerta berteriak, mencoba menarik roh itu dengan bayangannya kembali, tapi ia terpental.

Raden Reksomayit berjalan mendekat perlahan. Tiap langkahnya membuat tanah mendesis. Suara teriakan dari roh-roh tumbal seperti menggema dari dalam tubuhnya.

“Tamat riwayatmu, Wongso... murid yang mengingkari ikrar leluhurmu!”

“Aku tidak mengingkari leluhur, tapi aku melawan kutukan yang menjadikan manusia dikorbankan untuk keserakahan roh seperti kau!” Mbah Wongso berdiri tegak, walau lututnya gemetar.
Namun, tak ada waktu. Cahaya Kembang Sukma akhirnya padam. Suara mantra Mbah Wongso terhenti. Dan tiba-tiba, benang asap mencambuk tubuh Mbah Wongso dan melemparkannya ke tanah. Ia terguling, darah keluar dari sudut mulutnya.

“MBAH!!” Kerta lari, tapi sudah terlambat. Raden Reksomayit melompat—satu tangan hitamnya menancap ke tanah, membuat pusaran energi menyedot udara di sekitar.

Kerta terpental, menabrak batang pohon. Dunia berputar. Ia batuk darah. Tubuhnya lemas. Di sampingnya, Rangkara mencoba bangkit lagi, tapi seluruh tubuh roh itu kini diselimuti luka terbakar oleh asap hitam.

Semua sepi. Bahkan roh-roh pun tak bersuara. Hanya langkah berat Raden Reksomayit mendekati Kerta, matanya membara.

“Kau pewaris darah para pemutus perjanjian… Tapi tidak akan terjadi hari ini. Ini hanya akhir.”

Raden Reksomayit mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekitarnya berputar cepat, lalu memadat membentuk sebuah tombak dari asap dan darah—tajam dan berdenyut seperti makhluk hidup. Ujung tombak itu mengarah ke dada Kerta.

Kerta memejamkan mata.

Namun tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Pelan, mantap, diiringi gelombang kekuatan besar yang menekan udara. Suara itu menggema, memecah kesunyian, menghentikan Raden Reksomayit sejenak.

Dari balik kabut, sebuah tombak melayang dengan kecepatan luar biasa.
SRAATTT!!

Tombak itu menembus udara dan menggores wajah Reksomayit, menembus kabut hitam yang menyelubungi sosoknya. Darah hitam menetes, mengepul seperti asap.

Mbah Wongso dan Kerta menoleh.

Sosok Cahyo melangkah keluar dari balik kabut, dengan benda-benda pusaka melayang di sekitarnya. Ada keris, tombak, cakra, tameng, bahkan kitab tua yang terbuka dan menyala dari dalam.

“Cahyo?! Tidak mungkin… pusaka-pusaka itu…,” gumam Mbah Wongso. Ia tak percaya—pusaka suci yang terkunci dalam dimensi gaib bisa muncul ke dunia.
Raden Reksomayit mendesis, wajahnya terkejut.
“Sesembahan? Dewa? Takhayul! Tidak lucu!!”
Tiba-tiba sebuah cakra berputar kencang dan melesat ke arahnya. Reksomayit menghindar, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa takut yang mulai muncul.

“Raden Reksomayit... gentar...” bisik Kerta.

“Tentu saja,” jawab Cahyo tenang. “Pusaka-pusaka inilah yang dulu menyegel dan menghabisinya saat ia masih manusia. Ia belum pernah lupa pada rasa sakit itu.”

Cahyo terus melangkah, dan pusaka-pusaka di sekitarnya bergetar seakan mengenali medan perang lama.

“Dulu, Reksomayit memanfaatkan warga desa ini untuk mengisolasi tanah ini, menyembunyikan makam kuno, dan diam-diam mencari pusaka-pusaka ini untuk dihancurkan.”

“Jadi... dia dulunya manusia?” tanya Mbah Wongso, masih tak percaya.

“Manusia yang membuang Tuhannya, dan mengemis kesaktian dari pemuja iblis. Ia menebar teror di kerajaan-kerajaan, hingga akhirnya para raja, resi, dan leluhur sakti menggunakan pusaka-pusaka ini untuk menghabisinya.

Ketika mereka wafat, pusaka-pusaka ini dikubur di makam kuno untuk bangkit kembali di saat seperti ini”

Raden Reksomayit menatap Cahyo tajam. Matanya menyala merah menyala.

“Siapa kau?! Kenapa pusaka-pusaka itu patuh padamu?!” raungnya.

Cahyo berhenti. Tatapannya tenang.

“Aku? Cuma manusia biasa... yang dilindungi oleh Penciptanya.”

Namun jauh di dalam dirinya, Cahyo tahu kebenarannya.
Pusaka-pusaka para raja itu tidak tunduk karena kekuatannya, melainkan karena Pusaka Ratu Ular yang tersembunyi di kedalaman tubuhnya—sebuah warisan kutukan dan anugerah yang tak dapat ia jelaskan.

Dan itu… tidak akan ia ceritakan pada siapa pun.
Saat itu, Raden Reksomayit memusatkan kekuatannya. Aura gelap meledak-ledak dari tubuhnya. Ia mulai menyadari bahwa Cahyo bukan ancaman biasa.

“Jangan kira kau mampu untuk mengha—”
TRANG! TRANG!!

Suara besi sakral menggema. Beberapa tombak pusaka tiba-tiba melayang dan menancap mengelilingi Reksomayit, membentuk lingkaran penjaga yang bersinar menyala. Reksomayit terhuyung, terkejut dan marah.

“Kau?!” desisnya, penuh amarah.

Ia bersiap melayang pergi, namun pusaka-pusaka lain menghadangnya. Lingkaran pusaka semakin rapat, membatasi geraknya. Wajahnya berubah cemas.

“Raden!!” teriak Ki Tunjung. Ia mencoba mencabut salah satu pusaka yang menancap di tanah, tapi tubuhnya terpental mundur oleh kekuatan tak terlihat.

“Bodoh!” bentak Cahyo. “Reksomayit hanyalah makhluk terkutuk yang telah ditetapkan sebagai penghuni neraka. Ia tak bisa melakukan apa pun selain menyesatkan manusia, agar ikut terbakar bersamanya di akhir zaman.”

“Tidak! Tidak mungkin! Dia memberi kami segalanya!!” jerit Nyai Gendari, suaranya pecah antara fanatik dan ketakutan.

“MANUSIA-MANUSIA BRENGSEK!!” teriak Raden Reksomayit. Namun kali ini suaranya bukan kutukan, tapi kepanikan. Ia mulai tak bisa lepas dari kejaran pusaka-pusaka itu.
Dari kejauhan, Mbah Wongso dan Kerta berdiri di sisi Cahyo, menyaksikan bagaimana pusaka-pusaka suci itu bergerak sendiri, memburu Reksomayit seperti predator yang menemukan mangsanya.

“Bagaimana kau bisa mengendalikan pusaka-pusaka itu?” tanya Mbah Wongso, masih tak percaya.

“Aku tidak mengendalikannya, Mbah,” jawab Cahyo perlahan. “Seperti yang Mbah bilang—ini adalah pusaka jiwa. Dan jiwa-jiwa yang tertinggal di dalamnya... mengenali musuh lamanya.”

Ia menatap pusaka-pusaka yang melesat ke langit, mengejar Reksomayit yang kini melarikan diri dalam kegilaan.

“Mereka tidak akan berhenti sampai Reksomayit benar-benar musnah.”

Pusaka-pusaka para raja itu kini melayang di udara, berputar membentuk formasi mematikan. Masing-masing memancarkan cahaya berbeda—kuning emas, merah darah, biru keunguan, dan cahaya hijau yang menyerupai nyala roh.

Suara dengungan pusaka semakin nyaring, seolah-olah jiwa-jiwa di dalamnya bangkit dan bersatu dalam satu kehendak: memusnahkan Raden Reksomayit.
Reksomayit melesat ke udara, tubuhnya dikelilingi kabut hitam yang berputar liar.
Ia berteriak dalam bahasa kuno, memanggil kuasa dari jurang kegelapan yang tak diketahui asalnya.

“Aku adalah kehancuran! Aku darah para pengkhianat! Akulah yang akan mencapai keabadian!!”

Namun tombak pusaka pertama menembus kabut itu. Disusul keris, cakra, dan panah sakti. Reksomayit menderita, suara jeritannya menggetarkan tanah dan langit.

Dalam keputusasaan, ia meraih dua sosok yang paling setia padanya—Ki Tunjung dan Nyai Gendari. Dengan satu isyarat, mereka terseret ke udara, tubuh mereka terselimuti asap hitam, menjadi perisai hidup untuk Reksomayit.

“LINDUNGI AKU!!!” teriaknya dengan suara membelah langit.

Ki Tunjung dan Nyai Gendari menjerit ngeri, namun kutukan telah menancap dalam di jiwa mereka. Mereka tak bisa melawan. Tubuh mereka dijadikan tameng berdaging, dipaksa berdiri di hadapan pusaka-pusaka yang sedang meluncur dengan kecepatan mengerikan.

“Tidak!!” Kerta berteriak, berusaha menghentikan pusaka-pusaka itu. Tapi pusaka-pusaka itu tak bisa dikendalikan.

SRRRAATT!!

Satu demi satu pusaka itu menembus tubuh Ki Tunjung dan Nyai Gendari. Darah mereka membentuk pola merah di udara sebelum tubuh mereka terbakar dari dalam. Suara jeritannya menggema seperti duka para leluhur yang terlambat disadarkan dari kegelapan.

Namun pengorbanan mereka tidak cukup. Pusaka-pusaka itu tak berhenti.

Tubuh Reksomayit kini tak bisa lagi menyembunyikan kelemahannya. Ia menjerit dan mulai terbakar, pusaka-pusaka itu menancap pada seluruh tubuhnya.

Asap hitam yang selama ini menyelubunginya terurai, memperlihatkan wajah aslinya—manusia tua yang berubah jadi iblis, penuh luka, keserakahan, dan ketakutan.

Tubuh Raden Reksomayit terpental setelah tubuh-tubuh Ki Tunjung dan Nyai Gendari hancur menjadi abu—mereka bukan lagi pelindung, hanya daging yang ia korbankan demi menunda kemusnahan.

Namun pusaka-pusaka para raja tak berhenti. Mereka seperti jiwa-jiwa masa lalu yang sudah lama menunggu saat ini, menyambar kembali, mengepungnya dari segala arah.

Raden Reksomayit berteriak. Tapi kali ini bukan teriakan amarah atau kutukan.

“Tunggu… tunggu!!! Hentikan!!”
Ia berusaha bangkit, berjalan mundur dengan tangan terangkat, seperti penjahat rendahan memohon pada algojo.Tidak ada lagi aura seorang pemimpin atau raja—hanya bangkai yang masih bisa bicara.

“Jangan! Jangan! Aku tak mau ke tempat itu!” Suaranya mulai menangis, suara yang memuakkan.
Namun langit dan bumi tidak menjawab.

Yang terdengar hanyalah dengungan pusaka-pusaka yang semakin rapat, seperti suara kematian yang ditulis ulang oleh masa lalu.

“Kau… KAU TIDAK MENGERTI!! AKU... AKU PERNAH DIPUJA!! AKU DISEMBAH!!! AKU TUHAN DI BAGI MEREKA!!!”

Dan untuk pertama kalinya… ia menangis. Air mata bukan dari belas kasihan—tapi dari ketakutan mutlak.

“Jangan... jangan bawa aku ke sana…” Suaranya mengerang pelan, nyaris seperti anak kecil yang meminta perlindungan. “Bukan ke sana... bukan ke tempat itu… tempat yang gelap... aku tak mau berada di siksaan itu selamanya…”

Seketika langit menjadi merah darah. Dari bawah tanah, muncul tangan-tangan arang, tak kasatmata, namun jelas terasa. Mereka meraih kaki Reksomayit, menarik perlahan.
Pusaka-pusaka terakhir melesat, menancap ke tanah, membentuk segitiga api purba, yang memutus setiap celah pelarian. Dalam sekejap, tanah terbelah, dan Raden Reksomayit ditarik ke bawah, tubuhnya mencair seperti lilin dalam kobaran kutukan. Suaranya memudar… lalu…

“Tidaaaaakkkkkkk—!!!”

Dan setelah itu, hening.

Langit kembali sunyi. Angin malam berembus pelan, menyapu padang desa yang hangus dan sepi. Bau darah, tanah, dan asap menyatu dalam udara yang berat.

Satu per satu, pusaka-pusaka yang melayang itu jatuh ke tanah, kehilangan cahayanya. Mereka bergetar pelan, lalu retak… dan berubah menjadi batu. Besi tua. Tak bernyawa.

Kerta menatap benda-benda itu. “Pusaka-pusaka itu… musnah?”

Cahyo mengangguk pelan. Ia mengambil satu lingkaran cakra yang masih hangat dan mencoba menggenggamnya—namun logam itu retak dan patah dalam genggamannya.

“Mereka telah menghabiskan seluruh jiwa yang tersisa… untuk memusnahkan iblis itu selamanya.”
Mbah Wongso memandang langit. “Nak Cahyo… jika semua pusaka ini musnah, bagaimana kau akan menolong zamanmu nanti?”

Cahyo menarik napas dalam, menggaruk kepalanya dengan canggung.
“Entahlah, Mbah. Saat ini, yang kupikirkan cuma menyelesaikan ini sampai tuntas.” Ia menatap jauh ke arah cakrawala, tempat di mana langit mulai memutih.

“Lagipula… pusaka-pusaka ini pun sepertinya tak cukup kuat untuk mengalahkan… Triyamuka Kala.”
Kerta terbelalak. “Tak cukup kuat…?!”

Mbah Wongso tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Cahyo dalam-dalam, lalu perlahan menyentuh dahinya. Seketika, seberkas cahaya kecil menyala di titik pusat dahi Cahyo. Hangat.

Tenang. Cahyo memejamkan mata dan mengenali rasa itu… rasa yang pernah ia alami di makam kuno.
“Apa ini, Mbah?”
“Hadiah kecil… Bukan pusaka seperti milik para raja, tapi mungkin ini akan membantumu,” ujar Mbah Wongso lembut. “Jika di zamanmu kelak kau menemukan alam pusaka seperti di sini… mereka takkan bisa bersembunyi darimu.”

Cahyo tersenyum. Tapi senyumnya tak bertahan lama. Ia menoleh ke tangannya—dan matanya membesar.
Tubuhnya memudar.

“Mbah?! Kerta?! Kenapa tubuhku—?!”
Mbah Wongso mengangguk pelan. “Sudah waktumu kembali.”

“Serahkan warga desa padaku,” lanjutnya. “Aku akan membimbing mereka… menuntun mereka kembali ke cahaya.”

Kerta melambai. “Sampaikan salamku dan Rangkara pada kedua sahabatmu, Wanasura dan Wanasudra!”

Cahyo ingin membalas, ingin berbicara lebih banyak, tapi waktunya habis. Ia hanya bisa mengangguk—dan dalam kedipan mata terakhir…

ia menghilang.

Langit memutih. Kabut mengangkat perlahan dari permukaan desa. Mbah Wongso berdiri sendiri di tengah padang.

Di hadapannya, para warga—lelah, luka, dan ketakutan. Tak lagi tahu siapa yang harus dipercaya. Mereka memandang satu sama lain dengan wajah bingung, kosong… seperti anak-anak yang tersesat di dunia orang dewasa.

Mbah Wongso menghela napas, menatap mereka satu per satu.
“Kita telah melewati malam tergelap…”
Kerta menoleh padanya, suaranya pelan. “Sepertinya… tugasku juga sudah selesai.”

Mbah Wongso tak menahan. Ia mengangguk, tersenyum penuh terima kasih.

“Terima kasih, Kerta. Aku… telah banyak merepotkanmu.”

Kerta tertawa kecil. “Sejak dulu.” Lalu tubuhnya memudar seperti Cahyo.

“Rangkara! Saat kembali kau harus berlatih dengan keras! Saat Cahyo memanggilmu kelak, kau harus seperkasa Wanasura dan Wanasudra!” Ucap Kerta pada sosok yang mendiami raganya itu.

“Grrr…” Geraman penuh ambisi terdengar saat kepergiannya.

Malam itu pun berakhir. Dan bersama fajar yang menyingsing, desa tua itu perlahan dibersihkan oleh cahaya.

Tapi mereka yang menyaksikan malam itu—takkan pernah melupakan. Tentang malam ketika iblis dilenyapkan. Tentang para pusaka yang berkorban. Tentang seorang pemuda dari masa depan yang datang untuk menyelamatkan mereka.

Tapi pertempuran waktu untuk Danan dan Cahyo sudah habis. Segala sesuatu yang mereka dapatkan dari zaman itu mempertaruhkan ratusan nyawa.
Triyamuka Kala sudah menanti mereka.

***
(Bersambung Part 6)
Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Buat temen-temen yang mau baca part 6nya duluan bisa mampir ke @karyakarsa_id ya :

karyakarsa.com/diosetta69/pus…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

May 31
SABDA PANGIWA II
- Warisan Jenazah -
TAMAT

Malam ini arak-arakan keranda jenazah akan muncul, jalur sudah dipersiapkan, dan kematian sudah dipastikan...

@bacahorror
#bacahorror Image
“Ini Mbah Setyo, sesepuh desa. Waktu kejadian kesurupan, beliau yang bantuin warga,” jelas Gigih pada Tegar.

Tegar menunduk sopan. “Saya Tegar, Mbah. Cuma numpang lewat.”

“Numpang lewat kok bikin keluarga Wisesa kalang kabut,” sahut Mbah Setyo sambil tersenyum.
Tegar hanya garuk-garuk kepala, malu.

“Mampir ke rumah, yuk. Ngobrol di rumah lebih enak.,” tawar Mbah Setyo ramah.

“Wah, ngga usah, Mbah. Nanti merepotkan…”

“Yakin? Singkong Mbah Setyo enak lho. Panenan sendiri,” goda Gigih.

“Eh, kalau gitu… kayaknya saya harus mampir deh, Mbah,” kata Tegar cepat berubah pikiran. “Nggak sopan nolak rezeki.”


Benar saja, di rumah Mbah Setyo, singkong rebus hangat disajikan dengan teh gula batu. Istri Mbah Setyo yang berambut perak tersenyum ramah.

“Makan yang banyak. Kalau kurang, tinggal panen lagi di kebun,” ujar beliau.

Tanpa ditawari dua kali, Tegar dan Gigih langsung makan lahap. Suasana hangat dan santai, seolah tak ada ancaman apa pun di luar sana.

Sampai Tegar melihat memar biru pekat di lengan istri Mbah Setyo. Seperti luka lama yang enggan sembuh.

“Mbah, ngapunten…” ucap Tegar. Ia mengambil segelas air putih, membisikkan doa, lalu menyiramkannya perlahan ke lengan sang istri.

“Ssshhh…”
Istri Mbah Setyo meringis, tapi tak lama kemudian memarnya memudar perlahan. Rasa nyeri di wajahnya pun sirna, berganti kelegaan.
Read 28 tweets
May 22
SABDA PANGIWA II
- Warisan Jenazah -

"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."

@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor @bagihorrorImage
PROLOG

"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."

Suara itu terdengar lirih namun berat, seolah menyatu dengan malam yang mencekam. Di tengah remang cahaya obor yang berkedip, seorang pria melangkah berat menuju sebuah jasad. Jenazah itu dibungkus kain kafan kusam bertuliskan aksara merah—seperti coretan darah yang tak mengering.

Di samping jasad, berdiri seorang lelaki tua berpakaian hitam. Wajahnya dipenuhi kerutan, sorot matanya tak menunjukkan belas kasihan—ia hanya menunggu.

"Jadi… ini jawabannya?" suara pria itu pecah, goyah. Ia menahan napas, bau busuk dari jenazah membuat perutnya mual. Ia bahkan tak tahu siapa mayat itu.

Tapi ia bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang jauh dari kematian biasa.

"Bawalah pulang," ujar lelaki tua itu, "Minta apa pun padanya. Perlakukan ia seperti Tuhan. Kau tak akan menyesal."

Pria itu diam, lalu mendengarkan tata caranya:
Jenazah harus digendong, tak boleh menyentuh tanah. Harus dibaringkan di atas keranda bambu dan dimandikan setiap tengah malam, menggunakan bunga-bunga tertentu.Dan yang terpenting... setiap seribu hari, seorang gadis perawan harus tidur di sampingnya.

Putus asa. Dendam. Rasa malu yang telah dipendam bertahun-tahun. Semua itu menutup mata pria itu dari logika dan nurani.

BRAK!!
Pintu rumah terbuka dengan keras, disusul deru petir dan hujan deras yang mengguyur. Di ambang pintu, pria itu berdiri dengan pakaian basah kuyup, menggendong sesuatu yang mengeluarkan bau amis menusuk. Di belakangnya, kegelapan menggantung seperti ancaman.

Istri dan anak perempuannya terkejut, bingung sekaligus takut.

“Cepat! Siapkan bambu! Buatkan keranda!” teriak sang suami, matanya merah, napasnya berat.

“Pak… itu… apa?” istrinya bertanya dengan suara gemetar.

“Ini... adalah jalan keluar kita. Tuhan kita yang baru! CEPAT!!”

Di tengah hujan dan malam yang pekat, mereka membuat keranda dari bambu. Tak satu pun dari mereka berani menolak. Menjelang tengah malam, jenazah itu dibaringkan di atas keranda, dimandikan, lalu diselimuti kain kafan bertuliskan aksara darah.
Pria itu berlutut di depan jenazah.

“Aku ingin... seluruh keluarga Prawiryo mati!”
Istri dan anaknya ikut berlutut. Mata sang anak berkaca-kaca.

“Anak laki-laki tertua mereka… dia memperkosaku di lumbung padi. Dia membuangku seperti sampah... kematiannya harus paling menyakitkan.”

Petir menyambar lagi. Kilat menerangi ruangan, dan bayangan hitam muncul dari jasad itu. Tingginya nyaris mencapai langit-langit. Wujudnya kabur, hanya tampak senyum bengis dari mulut berlumuran darah.
Mereka bertiga gemetar.

Tapi makhluk itu hanya lewat... dan keluar rumah tanpa suara.

Malam itu, keluarga Prawiryo ditemukan tewas di rumah mereka. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulut mereka.

Namun yang paling mengerikan adalah kematian sang anak sulung...
Tubuhnya terpotong menjadi tujuh bagian, dan kepalanya tertancap di atap rumah—menghadap ke langit.

Kematian keluarga Prawiryo, sebagai keluarga paling terpandang dan kaya di desa, mengguncang semua orang. Namun suatu hal yang tak diduga terjadi. Tak lama kemudian, satu keluarga yang dulu dihina, dipermalukan, dan ditindas... bangkit.

Mereka membangun rumah besar, menguasai tanah dan harta keluarga Prawiryo.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan hormat, juga dengan takut:... Trah Wisesa.

***
Read 21 tweets
May 15
PUSAKAYANA
Part 3 - Untuk Aku di Masa Lalu

Masa lalu tak bisa diubah, tapi kenangan tentangnya bisa menjadi penuntun arah hidup manusia..

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor Image
Link Part Sebelumnya :
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
“Ada yang hidup dalam darah kita, lebih tua dari ingatan, lebih kuat dari waktu…

Warisan yang tak hanya diwariskan lewat nama, tapi lewat keberanian untuk memperbaiki luka yang tak terlihat oleh dunia....”
Read 33 tweets
May 8
PUSAKAYANA
Part 2 - Setelah Kematian

“Di sini, mereka yang mati tidak pergi ke alam baka…”

#bacahorror @bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bagihorrorImage
Part Sebelumnya :
Part 1 : Mimpi dari Sang Dewa
Tidak bisa kupungkiri, perasaan yang menelusup dalam dadaku saat ini bukan hanya takut. Ini lebih dari itu. Ini adalah firasat kematian. Firasat yang hanya pernah kurasakan ketika aku menjejak Setra Gandamayit dan bertarung melawan entitas dari tanah Danyang.

Saat aku menoleh ke belakang, napasku langsung tertahan. Tiga kepala ogoh-ogoh itu kini menatap tajam ke arah kami. Dan matanya…

Mereka hidup. Mereka menghakimi.

“Cahyo!” seruku, lebih karena naluri daripada logika.
Seolah menjawab, tubuh Cahyo tiba-tiba menegang dan bersiap. Suaranya melenguh, dan dari matanya menyala cahaya merah membara.

Roh Wanasura telah merasukinya. Saat ini pun keris Ragasukma telah kugenggam di tanganku, ia muncul dengan sendirinya.
Keris Ragasukma bergetar hebat…

Brugghh!!

Sebuah suara keras mengagetkan dari arah Bli Waja. Kami menoleh, dan jantungku seperti diremas.
Bli Waja… tiba-tiba saja sudah berubah menjadi Rangda. Wujud ratu ilmu hitam itu terpampang jelas, anehnya ia terkapar di tanah.

Tubuhnya gemetar, wajahnya yang biasanya kuat dan tenang sekarang terlihat seperti disayat ketakutan.

Apa pun yang dilakukan kepala bermata tiga dari ogoh-ogoh itu telah menjatuhkannya dalam sekejap. Benar-benar dalam satu kedipan mata seolah mereka bertarung di waktu yang berbeda.

“Apa… yang… terjadi?” gumamku lirih, tapi tak ada waktu untuk jawaban.

Salah satu kepala—yang menyerupai kakek dengan rambut putih panjang dan lidah menjulur—menatap langsung ke arahku. Rambutnya melayang seperti hidup. Udara di sekitarnya mendadak lebih dingin, lebih padat—aku merasa paru-paruku tak mampu menghirup napas.
Read 26 tweets
May 1
PUSAKAYANA
Part 1 - Mimpi dari Sang Dewa

..Sebatang tombak tua, berkarat & berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu memanjang penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar ..

@bagihorror #bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
"Apa yang menjadikan sebuah benda memiliki gelar pusaka?”
PROLOG

malam itu, langit seperti bersumpah untuk tidak memberi ampun. Hujan mengguyur deras, namun ada yang jauh lebih ganjil dari sekadar badai petir. Ratusan burung gagak hitam berkerumun di satu titik, beterbangan dan bertengger di sekitar sebuah rumah tua di tengah lereng.

Mereka tidak bergerak, tidak bersuara—hanya menatap satu arah. Mata-mata mereka menyorot rumah itu dengan intensitas yang menyeramkan, seolah menanti sesuatu.

Di dalam rumah, cahaya lampu menyala remang. Asap dupa mengepul dari pojok-pojok ruangan, bercampur dengan aroma tanah basah dan darah yang belum kering.

“Tak usah berpura-pura! Manjing Marcapada hanya bisa dipanggil olehmu, bukan? Lakukan ritual itu sekarang juga!” Suara keras penuh ancaman itu memecah suasana.

Sekelompok orang berpakaian hitam pekat, jubah mereka basah oleh hujan, berdiri membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik topeng, namun aura permusuhan memancar tajam.

Mereka mengepung seorang lelaki tua yang berlutut di tengah ruangan. Tubuhnya gemetar, bajunya lusuh dan basah oleh air serta air mata—Ki Satmo, sang penjaga rahasia yang telah lama memutuskan untuk tidak pernah membuka kembali pintu kegelapan itu.

Di seberangnya berdiri tiga orang yang lebih menyayat hati: dua anak kecil dan seorang wanita—istri dan anak-anaknya. Mereka berdiri tegak, tapi sorot mata mereka kosong, seperti telah direnggut jiwanya.

Masing-masing menggenggam pisau kecil, dan—dengan gerakan serentak yang menyakitkan—menancapkan pisau itu dangkal ke dada mereka sendiri.

“Lepaskan mereka! Manjing Marcapada adalah pusaka Para Danyang! Aku tak punya kekuatan untuk memanggilnya!” jerit Ki Satmo, suaranya nyaris putus oleh ketakutan.
Read 25 tweets
Apr 18
SABDA PENGIWA - Keranda Tulah
Part 1

Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat berpakaian hitam.

Di dalamnya, terbaring Jasad Keramat yang diarak dan mendatangkan kematian bagi warga desa

@IDN_Horor @bagihorror #bacahorrorImage
"Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu..."

Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah.

Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.

"Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!"

BRAKK!!

Suara tubuh terhempas keras ke lantai
bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan
melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya
kejang-kejang.

Dari telinga dan sudut matanya
mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.

Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.

"Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu..."

"Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!"

Sang ayah tersenyum tipis—senyum
seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.

"Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi..."

Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Tegar nggak akan ninggalin Bapak!"

"Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup..."

Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.
Suara obor.

Langkah-langkah berat.
Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.

Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.
Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berpakaian hitam. Di dalamnya, seonggok mayat keramat yang sudah membusuk dibungkus kain kafan dengan simbol- simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah momok yang menjadi penyebab kutukan di desa.

Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.

Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.

"Tolong, Tegar... pergi..." bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.

Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan— memaksanya untuk memilih.

Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. "Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji..."

Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.

"Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak..."

Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.
Tanpa menoleh. Tanpa ragu.

Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.

Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam.

***
Read 17 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(