Pernah gak kamu curhat sedihmu, insecuremu, cemasmu, takutmu… tapi tanggapan orang yg dengerin, malah gak membantumu?

Di posisi sebaliknya, gimana kita bisa membantu orang yg sedih, insecure, cemas, takut ya?

Ini perlu dibikin utas/threadnya 🧶 gak ya? Ada banyak hal agar kita bisa membantu orang yang batinnya sedang enggak nyaman.

Salah satunya yang jadi pondasi, kita mesti berlatih trampil dulu membantu diri sendiri. Maksudnya, kita mesti tau & terlatih gimana menyikapi saat kita sendiri mengalami batin yang enggak nyaman.

Toxic relationship bisa bikin batin terluka & trauma.

Apa aja ya yang sebaiknya dilakukan setelah keluar dari toxic relationship?

Eh bentar… ini perlu dibikin utas/threadnya 🧶 gak ya? 1. Kamu perlu waktu untuk memproses, mencerna yang telah kamu alami, dan untuk memulihkannya.

Tiap orang cara mencernanya beda-beda ya. Pilih yang selaras untuk memulihkan perasaanmu. Bisa dengan expressive/free writing, meditasi, ke profesional, dsb.

Cukup sering saya ditanya tentang manifest & attraction.

Jawaban ringkas saya: “Pikiran tidak menciptakan kenyataan.”

Selengkapnya saya bahas pelan-pelan di thread ini 🧶 Kemarin tiba-tiba muncul di IG saya, reels Rupert Spira membahas soal ini. Nah selaras.

Sebatas yang saya pahami, akan saya tuliskan di sini…

Mendung. Mau masukin jemuran… Eh enaknya dimasukin atau biarin dulu aja ya? 🤔 Bener juga ya. Akan kulatih jemuranku biar jemuranku enggak manja.

https://twitter.com/fidzma/status/1602188742814580738

Mengurai perasaan insecure.

Karir, keuangan, relasi & hidup serba enggak jelas. Tapi orang-orang di sekitar udah pada meraih ini & itu. Kamu juga merasa begitu? Apa yang kamu lakukan?

Thread 🧵 Dulu saya kerja dgn jam kerja yg jelas. Banyak yg mesti dikerjakan. Sibuk. Saya insecure, kapan ya bisa kerja tapi punya waktu luang.

Sekarang, lebih luang & mapan, jam kerja gak jelas. Ternyata tetap insecure, cuma penyebabnya beda: “Kok aku gak sesibuk temen2ku ya?”

2 orang teman ngobrol:

A: “Kalau kamu yakin sukses, pasti sukses. Kamu ngomong: “Aku sukses”, maka hidupmu sukses.”

B: “Kamu penggemar MU. Sebelum tanding, kamu yakin MU sukses, bilang MU sukses?”

A: “Iya.”

Aliran hidup gak sesimple nurut dgn yg kita yakini & dgn ucapan kita. Apakah kalau kita yakin sukses, pasti bakal sukses?

Apakah kenyataan hidup ini sesimple pasti nurut gitu aja dengan yang kita yakini? 🤔

https://twitter.com/dajrunk2211/status/1559448050602373123

Waktu & energi kita terbatas.

Misal 100%, dibagi 4 aspek hidup (karir, kesehatan, sosial, keluarga). Tiap aspek 25%.

Kalau 1 aspek jauh lbh unggul, misal karir 70%, bisa jadi 3 aspek lain masing2 cuma 10%.

Gagasan kita bisa sukses luar biasa di semua aspek itu mitos. Iya. Di kehidupan modern sekarang ini, pilihan & peluang bertambah banyak sekaligus pesat eksponensial. Misal: Olahraga bisa sambil meeting kerjaan, dsb.

Mitos tsb makin bikin kita stres, krn kita berusaha ngerjain makin banyak lagi hal padahal kita udah kebanyakan kegiatan.

https://twitter.com/nyonyahsyuper/status/1559358132287340544

Kemarin, saya sowan & bertemu Gusti Sura. Kakak dari KGPAA Mangkunegara X: Kanjeng Gusti Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo 🙏 Saya sering bingung menjelaskan gimana hubungan silsilah hubungan keluarga kami. Biasanya saya sebatas: “Iya, masih saudara, masih keluarga.”

Nah biar enggak lagi bingung, ternyata…

Cerita tentang rahasia orang tua yang memilih enggak memaksakan kehendak ke anaknya.

Iya, ada anak yang nakal. Tapi ada juga orang tua yang sadar atau tidak, melukai batin anaknya.

Semoga ini bermanfaat buat yang belum jadi orang tua & yang udah jadi orang tua.

Thread 🧵 Bapak ibu itu keduanya adalah temanku. Usia mereka cukup jauh dari usiaku. Anaknya 3, udah pada berumah tangga. Aku juga mengenal ketiganya.

Dan dari cerita2 ke 3 anaknya, orang tuanya enggak pernah memaksakan kehendak. Kalau ada keinginan, selalu dibicarakan baik2 dgn anak2nya.

1) “Temen udah pada nikah. Aku? Pacar aja gak punya.
Pendapatannya udah pada 20 jutaan lebih. Aku mau ke 10 juta aja beratnya minta ampun.
Udah pada punya rumah, punya anak. Kalau aku kok rasanya masih jauh.”

Gimana menyikapi pikiran yg membandingkan diri dgn orang lain? 2) Sadari dulu, barangkali pikiran kita emang gemar membandingkan. Cenderung berpikir 'what should be' bukan 'what it is'.

Karena pikiran kita terlatih begitu. Berbagai hal yg kita alami di masa lalu, masa kecil-remaja, mengkondisikan pikiran kita untuk membandingkan.

“What I am - I should be.”

Ini perlu disadari untuk mengurangi perasaan hampa yg mungkin kita alami.

Pernah enggak kamu merasa, “Seharusnya aku tu gini gitu...”?

Misal yg jomblo: Seharusnya aku punya pasangan.
Terkait karir: Seharusnya pendapatanku per bulan tu 25jt.

Thread. Menyadari & menerima “What I am” - kondisi diri kita seapadanya sekarang - kalau menurut saya sih lebih penting ya dibanding tergesa-gesa melompat ke “What I should be” - kondisi seharusnya yang kita inginkan.

Kalau kamu sikat gigi, kepalamu ikut geleng-geleng atau tanganmu aja yang gerak? Sebagian yang baca pertanyaan itu bakal praktekkin pura-pura sikat gigi 🙂

“Kangen sama orang tua yang udah meninggal, apa yang mesti aku lakuin selain kirim doa?” Tanya seorang murid kepada gurunya.

Ini cerita pendek yang mungkin perlu kamu baca hari ini. Sebuah utas...

(Untuk diperhatikan: cerita ini mungkin membangkitkan rasa kangen.) Jawab guru:
“Barangkali udah banyak orang ya yang menyarankanmu untuk mendoakan orang tuamu.”

Murid itu pun mengangguk.

Guru:
“Lanjutkan ...

Di situasi serius, ketika seseorang cerita berkeluh kesah tentang hubungannnya,

sebisa mungkin kita sebagai pendengar tidak terjebak dalam 2 kondisi:

1. Terbawa emosi: “Pisah aja. Yakin masih mau sama dia?!”

2. Mementahkan perasaannya: “Gak usah drama deh!” Iya. Atau di bagian “Pasti nggak enak ya?” itu mungkin asumsi kita ya bahwa dia merasa nggak enak.

Jadi barangkali bisa diganti dengan pertanyaan yang lebih terbuka, misal: “Perasaanmu gimana?”

https://twitter.com/ifazulfa_/status/1449907610946211841

Belajar tentang kehilangan.

Kita tidak mau kehilangan, apalagi kehilangan orang yang kita sayang. Segala cara kita kerahkan agar kita terhindar dari kehilangan. Tapi sepertinya kehidupan ini tak bisa dipisahkan dari kehilangan.

Gimana caranya menerima kehilangan? Thread. Momen kehilangan itu momen yg tak mudah kita lalui. Begitu pula buat orang lain.

Karenanya, sebisa mungkin gak meremehkan kehilangan yg dialami orang lain. Dan gak perlu pula berkata: Kamu harus kuat & semacamnya.

Udah kehilangan, kok ya masih ditambah dituntut harus gini gitu.

Usia segini, harus udah begitu? Usia segitu, harus udah begini?

Barangkali kita punya standar2 tertentu. Baik untuk diri sendiri maupun orang lain (anak, pasangan, dsb). Kalau standar tercapai maka hidup ini barulah sempurna.

Apa iya kesempurnaan hidup syaratnya begitu?

Thread Untuk mencapai standar itu, kita berusaha mengendalikan sepenuhnya hidup ini agar selalu sesuai dgn yg kita mau.

Kita tata serapi mungkin segala sesuatunya, harus di tempat & waktu yg semestinya. Sangat cermat & teliti.

Dan kita berusaha yg kita inginkan berlangsung selamanya.

Orang yang usianya lebih tua belum tentu lebih dewasa. Karena bertambah usia belum tentu bertambah dewasa.

Orang bertambah dewasa malah biasanya lebih karena patah hati, kecewa dan luka. Mungkin karena tidak menerima lukanya.

Mungkin karena terus menyangkal lukanya atau terlalu menikmati lukanya.

https://twitter.com/snffldk_/status/1391917648590434305

Mengapa sebagian orang lebih percaya soal pesugihan,

daripada mikir adanya kemungkinan perkembangan teknologi & gig economy, di rumah aja bisa tetap berkarya, online bisa ketemu pembeli, menjual karyanya, adsense, dsb?

Salah satunya karena Occam's razor principle. Ada yg tau? Occam's razor principle:

Saat mengalami satu peristiwa & ada bbrp kemungkinan untuk menjelaskan peristiwa itu,

maka kita akan cenderung milih percaya pada kemungkinan yg menurut kita paling simple.

Kenapa? Ya mungkin drpd kita mikir kan? Mending males mikir 🙂

Contoh lain...

“Toxic relationship”, kita udah tau. Kalau “Toxic Success”?

Sadarkah kita bahwa mengejar sukses & jadi orang sukses itu beresiko terpeleset di kondisi yang gak baik buat kesehatan mental kita?

Pelan-pelan saya mau berbagi insight yang saya dapatkan dari baca buku ini. Thread. Insight 1.
Saya tau istilah “Toxic Success” dari judul buku ini.

Penulisnya Paul Pearsall, PhD meneliti 100 orang sukses, jabatannya tinggi, punya banyak uang, di berbagai bidang. Selama 10 tahun.

Hasilnya? 90% mengalami yang disebut Toxic Success. Apa itu Toxic Success?

“Tujuan hidupmu apa?”

Finding purpose of life? Bukankah begitu indah ya kalau kita tidak punya tujuan yang perlu kita kejar dalam hidup ini? Jadi ya hidup hanya untuk hidup aja.

Belajar menjalani hidup tanpa tujuan. Thread.

Foto: Unsplash - Alex Ronsdorf Catatan: Buat yg lbh nyaman menjalani hidup dgn merasa punya tujuan, misi jiwa, purpose of life & mesti berusaha meraihnya, ya tak apa2. Lakukan aja.

Saya hanya berbagi sudut pandang sebatas yg saya tau. Gak memaksa orang sama dgn saya yg belajar ngurangi jeratan tujuan hidup.

“Jelas-jelas terluka, tapi masih aja denial”.

Selama masih denial, tidak akan ada niat dan upaya untuk memulihkan lukanya. Karenanya, langkah awal nan penting dalam memulihkan adalah:

Kurangi denial, berani lihat kenyataan, dan terima kenyataan. Iya. Kayak jemur pakaian, hujan. Terus menutup mata ... berpikir dengan menutup mata, pakaian enggak kehujanan atau hujannya akan berhenti.

https://twitter.com/elisabethregita/status/1376353539690098691