“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” [al-Furqân/ 25:68-69]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa jalla menyebutkan perbuatan zina setelah perbuatan syirik dan setelah pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan Allah Azza wa jalla. Ini menunjukkan betapa perbuatan zina itu sangatlah buruk.
Dalam ayat lain, Allah Azza wa jallamenyebutkan sanksi bagi pelaku perbuatan nista ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” [an-Nûr/24:2]
Para ulama mengatakan : “ini sanksi bagi perempuan dan lelaki yang berzina apabila keduanya belum menikah. Sedangkan bila telah bersuami atau pernah menikah maka keduanya dirajam (dilempari) dengan batu hingga mati.
Apr 14 • 4 tweets • 3 min read
Sejarah Kerajaan Langkasuka Sebelum Majapahit
—Utas—
Kerajaan Langkasuka adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha tertua di Asia Tenggara, diperkirakan berdiri sejak abad ke-2 Masehi di wilayah yang kini mencakup Pattani (Thailand Selatan), Kelantan, dan Terengganu (Malaysia Utara). Nama "Langkasuka" muncul dalam berbagai sumber kuno, seperti catatan Tiongkok (Liangshu dan Sui Shu), teks Tamil (Pattinappalai), dan kemungkinan dalam tradisi lokal Melayu.
Asal-Usul dan Periode Awal (Abad ke-2–7 Masehi)
Langkasuka didirikan sebagai pelabuhan perdagangan penting di jalur maritim antara India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Nama "Langkasuka" diyakini berasal dari bahasa Sanskerta, merujuk pada "kemegahan yang bersinar" atau nama geografis lokal.
Catatan Tiongkok menyebut Langkasuka sebagai Lang-ya-hsiu atau Lang-ya-suka, menggambarkannya sebagai kerajaan dengan kota berdinding, istana, dan sistem irigasi maju.
Agama Hindu dan Buddha berkembang, dengan pengaruh budaya India terlihat dalam seni, arsitektur, dan sistem pemerintahan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan rempah, kayu gaharu, dan barang mewah lainnya.
Langkasuka juga memiliki hubungan diplomatik dengan Dinasti Liang dan Sui di Tiongkok, mengirimkan utusan pada abad ke-5 dan ke-6.
Hubungan dengan Kekuatan Regional (Abad ke-7–13 Masehi)
Pada abad ke-7, Langkasuka kemungkinan berada di bawah pengaruh Kerajaan Srivijaya, yang menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka. Hubungan ini lebih bersifat hegemoni ekonomi daripada penaklukan langsung.
Catatan Arab dan Persia menyebutkan kerajaan ini sebagai pusat perdagangan yang strategis, menghubungkan Asia Timur dengan dunia Islam yang sedang berkembang.
Langkasuka juga bersaing atau berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Tambralinga (Nakhon Si Thammarat) dan Kedah Tua, yang sama-sama dipengaruhi budaya India.
Pada periode ini, pengaruh Buddha Mahayana tampak dominan, meskipun elemen Hindu tetap ada dalam tradisi kerajaan
Kondisi Menjelang Era Majapahit (Abad ke-13)
Menjelang abad ke-13, Langkasuka mulai melemah akibat perubahan jalur perdagangan dan munculnya kekuatan baru seperti Kerajaan Thai Ayutthaya dan Kesultanan Malaka yang bercorak Islam.
Meskipun masih bertahan sebagai entitas politik, Langkasuka kehilangan sebagian pengaruhnya di kawasan Semenanjung Malaya karena tekanan dari tetangga dan islamisasi bertahap di wilayah tersebut.
Tidak ada catatan yang jelas tentang konflik besar atau penaklukan langsung terhadap Langkasuka pada periode ini, tetapi kerajaan ini tetap menjadi pelabuhan yang relevan.
Cikal Bakal Kesultanan Pattani Darussalam
Langkasuka dianggap sebagai pendahulu historis Kesultanan Pattani Darussalam, yang muncul sekitar abad ke-14 atau ke-15. Transisi ini terjadi seiring masuknya Islam ke wilayah Semenanjung Malaya.
Apr 12 • 4 tweets • 7 min read
TW//MISTERI SEJARAH
Soeharyo dan Perburuan Harta Istana Kutai
Jejak Tanpa Suara
Istana Mulawarman berdiri bisu di bawah langit Kalimantan yang murung. Bangunan tua itu seperti enggan menua, meski waktu terus menggerogoti cat tembok dan ukiran kayu di setiap sudut. Tak ada suara burung, hanya angin yang menyusup di antara tiang-tiang megah, membawa aroma kayu cendana dan debu berusia ratusan tahun.
Soeharyo berdiri diam di ambang pintu utama. Jas safari krem-nya masih bersih, nyaris terlalu bersih untuk pria yang katanya datang dari lapangan. Matanya menelusuri lorong demi lorong, seperti membaca buku terbuka. Ia tahu apa yang dicari. Bukan catatan sejarah, bukan napak tilas kejayaan raja-raja—tapi yang lebih berharga dari itu: yang tak tercatat, yang disembunyikan karena terlalu sakral untuk disentuh manusia biasa.
Di tangannya, surat bertanda stempel resmi. Tertulis jelas: izin untuk “dokumentasi dan pelestarian artefak kerajaan Kutai.” Tapi Soeharyo tak butuh surat itu. Yang ia andalkan adalah kemampuannya membaca situasi dan membungkus niat dengan bahasa yang lembut. Ia telah melakukannya di tempat lain. Kini, giliran Kutai.
Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan berpintu ukir. Tak terkunci. Dalamnya gelap, tapi ia tahu: di sanalah disimpan guci-guci dari abad ke-14, emas yang dulu hanya disentuh oleh tangan raja, dan naskah tua dengan aksara yang tak lagi dipelajari. Tapi bukan itu yang membuatnya menahan napas.
Di dinding belakang ruangan, terpajang sebuah piring keramik besar. Pudar, tapi wajahnya masih jelas—Sultan Aji Muhammad Soelaiman, dengan sorot mata tajam menembus zaman. Benda itu bukan hanya hiasan. Dari cerita-cerita yang sempat ia dengar, itu semacam penjaga.
Soeharyo tersenyum tipis. Bukan karena takut—tapi karena tertantang.
Penjaga Tanpa Nama
“Tidak semua yang tua boleh disentuh, Pak Haryo.”
Suara itu datang dari sudut ruangan, pelan tapi tajam, seperti bisikan dari balik dinding batu.
Soeharyo menoleh. Seorang pria tua berdiri di sana, mengenakan baju lengan panjang warna tanah dan sarung yang sudah pudar warnanya. Wajahnya keriput, matanya cekung tapi hidup—jenis pandangan yang pernah melihat terlalu banyak hal, tapi memilih diam.
“Maaf, saya tidak dengar Anda masuk,” ujar Soeharyo, menyimpan senyumnya. “Saya pikir ruangan ini kosong.”
“Ruangan ini memang tidak pernah kosong,” kata si tua, menatap lurus ke arah piring keramik Sultan Soelaiman. “Selalu ada yang menjaga. Bahkan saat tidak ada manusia.”
Soeharyo melipat surat izinnya dan memasukkannya kembali ke saku. “Saya hanya ingin memastikan artefak-artefak ini terdokumentasi dengan baik. Banyak yang bisa dipelajari dari masa lalu.”
“Banyak juga yang lebih baik dibiarkan tinggal di masa lalu,” balas si tua. “Beberapa pintu ditutup bukan untuk dilupakan. Tapi untuk menjaga agar yang di dalam tidak keluar.”
Ucapan itu menggantung di udara. Soeharyo tidak membalas. Ia hanya mengangguk sopan dan melangkah ke arah etalase kayu yang memajang gelang emas, kalung berukir naga, dan sebuah tombak kecil dari logam hitam mengilat.
Si tua berjalan mendekat perlahan. “Kalau Pak Haryo benar-benar mau menyentuh semuanya, saya sarankan satu hal.”
“Apa itu?” tanya Soeharyo, masih meneliti artefak dengan mata dingin.
“Jangan ganggu yang di dinding belakang,” ujarnya pelan. “Banyak yang datang, banyak yang pergi. Tapi hanya satu yang mencoba mencungkil wajah itu. Dan ia tak pernah keluar lagi dengan utuh.”
Soeharyo tidak menjawab. Tapi di dalam hatinya, sebuah rasa yang selama ini tertidur mulai bergerak. Bukan takut. Bukan ragu. Tapi rasa penasaran yang berbahaya.
Yang Diam, Tapi Melihat
Tiga hari setelah kunjungan pertamanya, Soeharyo kembali. Kali ini ia datang lebih pagi, sebelum penjaga tua muncul. Ia membawa kamera analog tua, buku catatan kulit, dan satu koper logam berlapis busa hitam di dalamnya—alat-alat standar, jika dilihat sepintas.
Ia tak mencatat apapun secara serius. Ia tahu apa yang penting, dan ia tahu apa yang bisa dijual.
Gelang emas pertama ia ambil dengan hati-hati, dibungkus kain putih, lalu masuk ke koper. Guci kecil dari masa Dinasti Ming menyusul. Semuanya ia dokumentasikan dengan dua foto: satu untuk laporan, satu untuk “katalog pribadi”. Tak ada suara. Tak ada yang tahu. Bahkan penjaga keamanan istana yang dibayar oleh proyek konservasi itu tak curiga.
Tapi saat ia menoleh ke dinding—ke arah piring keramik Sultan Soelaiman—ia merasa sesuatu telah berubah.
Sorot mata di piring itu... lebih tajam dari sebelumnya.
Ia mengedip. Mungkin hanya cahaya. Mungkin hanya bayang pikirannya sendiri. Ia kembali bekerja.
Namun kamera mendadak macet. Ia mencoba mengganti roll film—tapi penutup belakang tak bisa dibuka, seperti dilem dari dalam. Buku catatannya basah di bagian tengah, padahal koper tertutup rapat. Bahkan jam tangannya, jam militer otomatis buatan Swiss, mendadak berhenti tepat pukul 10:14 pagi.
Soeharyo menghela napas. “Permainan kecil,” gumamnya. “Trik tua dari orang yang takut perubahan.”
Ia menutup koper dan bersiap keluar. Tapi saat melangkah melewati dinding belakang, telinganya menangkap suara lirih.
Samar. Seperti desahan.
“…bukan milikmu…”
Ia menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi suhu ruangan terasa berubah—dingin, menekan, seperti berada di dasar sumur batu.
Soeharyo berdiri kaku selama beberapa detik. Lalu melanjutkan langkahnya, lebih cepat dari sebelumnya.
Di luar, matahari bersinar seperti biasa. Tapi di dalam koper, salah satu artefak—guci kecil dari Dinasti Ming—retak sendiri, tanpa pernah dijatuhkan.
Retakan yang Tak Terlihat
Namanya Reza. Lulusan arkeologi, mantan asisten museum, dan sudah dua tahun bekerja “proyek lepas” dengan Soeharyo. Ia bukan orang yang mudah goyah, apalagi percaya hal mistis. Buat Reza, semua bisa dijelaskan—baik lewat sejarah, logika, atau fakta lapangan.
Namun malam itu berbeda.
Ia tengah membersihkan artefak yang baru saja dikirim ke tempat penyimpanan sementara. Guci, naskah lontar, ukiran perunggu. Semuanya biasa—hingga ia membuka satu kotak kecil berbalut kain hitam. Di dalamnya, ada fragmen pecahan piring keramik. Tidak seluruhnya, hanya seukuran telapak tangan. Tapi jelas: itu bagian dari wajah Sultan Soelaiman.
“Pak Haryo nyuruh simpan ini, atau telat dibungkus waktu di istana?” gumam Reza. Ia mengangkat pecahan itu, meneliti pola glasirnya.
Detik berikutnya, lampu ruangan berkedip.
Lalu padam.
Bukan hal aneh, pikir Reza. Ia nyalakan senter dari ponselnya. Tapi di layar—yang semula hanya tampak pantulan cahaya keramik—ia melihat sesuatu di belakangnya. Bayangan... tinggi, diam, tak berkedip.
Reza memutar badan cepat. Kosong.
Ia tertawa kecil, gugup. “Udahlah, capek kali gue.”
Tapi malam itu, ia tak bisa tidur. Dan saat akhirnya tertidur, ia bermimpi.
Ia berada di ruangan gelap, hanya diterangi cahaya bulan pucat. Di depannya, sosok duduk di atas singgasana tua. Wajahnya pudar, tapi mata—mata itu menatap langsung ke jantungnya.
“Yang bukan milikmu… akan kembali dengan cara yang tak kau pilih,” suara itu bergema, berat dan dalam. “Satu demi satu.”
Reza terbangun dengan peluh dingin. Dadanya sesak. Dan saat ia menoleh ke meja samping tempat tidur, pecahan keramik yang semula ia taruh di kotak... kini ada di sana.
Retakannya lebih besar.
Apr 9 • 5 tweets • 5 min read
Tragedi pembantaian Kesultanan Bulungan 1964
Kesultanan ini dituduh berafiliasi dengan Malaysia yang saat itu didukung oleh Inggris. Tuduhan tersebut berujung tragis, karena sebagian besar anggota kerajaan dieksekusi.
Brigadir Jenderal Suharyo, yang memimpin tentara di Kalimantan, memerintahkan pasukannya untuk membantai anggota Kesultanan Bulungan tanpa alasan yang jelas. Harta benda kesultanan, termasuk ratusan benda antik buatan Tiongkok dan Eropa, dijarah. Istana yang sudah berdiri ratusan tahun pun dibakar habis tanpa sisa.Datuk Abdul Hamid, salah satu anggota keluarga Kesultanan Bulungan yang tersisa, terus berjuang mempertahankan warisan sejarah kesultanan ini. Ia berharap pemerintah menjaga tapak sejarah Kesultanan Bulungan, seperti halnya kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya, dan membangun kembali istana yang telah hancur.
Bulungan adalah sebuah negeri yang makmur dan dikarunia wilayah dengan hasil alam yang melimpah. Riwayat kesultanan ini diwarnai banyak entitas asing, seperti Belanda dan Jepang yang saat itu menjajah Indonesia sebelum merdeka.
Saat itu, Kesultanan Bulungan memiliki kekuasaan wilayah administratif meliputi Bulungan, Tana Tidung, Malinau, Nunukan, Tarakan, bahkan hingga Jawi (kini Sabah) Malaysia. Di awal berdirinya, Datuk Mencang didapuk untuk memimpin Kesultanan Bulungan. Masa kepemimpinannya itu berlangsung dari tahun 1555 hingga 1594.
Hingga, Kesultanan Bulungan dikelola dengan sistematis pada abad 18 masehi. Sebab, pemimpin Kesultanan Bulungan telah menyandang predikat resmi yaitu Sultan seperti lazimnya di aturan kerajaan.
Saat Jepang mundur dari Indonesia akibat perang dunia membuat Bulungan dan seluruh kesultanan di bagian timur Kalimantan berada dalam kekuasaan tentara sekutu dan NICA.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958.
Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.
Adapun, tragedi runtuhnya Kesultanan Bulungan ini dinamai Tragedi Bultiken. Tragedi pembantaian itu dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Letnan B.Simatupang, atas perintah Pangdam IX Mulawarman saat itu yaitu Brigadir Jenderal Suhario terhadap para petinggi dan keluarga kerajaan Kesultanan Bulungan, serta aksi pembakaran istana Bulungan dan penjarahan serta perampasan harta benda milik Kesultanan Bulungan yang juga dilakukan oleh para tentara tersebut.
Apr 7 • 5 tweets • 4 min read
X // SEJARAH
KH. Abdul Kahar Muzakkir, Sosok dibalik Persahabatan Palestina dan Indonesia.
Pada tahun 2019, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menganugerahi Abdul Kahar Muzakkir sebagai Pahlawan Nasional. Penganugerahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.
Kahar Muzakkir yang dikenal sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK), Panitia 9 yang merumuskan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 45 serta Piagam Jakarta, adalah diplomat ulung dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Palestina sejak muda.
Ketika terjadi pemberontakan besar di Palestina tahun 1936 di bawah pimpinan Abdurrazik, ada beberapa pemuda Indonesia yang gugur. Di antaranya Jaka (Zakaria) yang gugur dalam pertempuran El-Ked. Ada juga Ahmad asal Lampung yang juga gugur di tempat yang sama sebagai anggota palang merah. Sedangkan nama lain, Thahir bin ALi dari Serumbung, gugur di sekitar Jafa sebagai kurir. Adapun Ahmad asal Bima gugur di daerah Karak. Sementara Abdul Wahab dan Abdullah Abu Yabis hilang di daerah Karak. Sedangkan Abdullah kecil dari Sumatera Selatan juga gugur di Tulkarem sebagai sopir mobil. Ada tiga lagi orang asal Indonesia yang tidak diketahui nama dan kelahirannya yang hilang di sekitar Khalilurrahman (Hebron), Gaza.
Tahun 1944, setelah keperkasaan militernya mulai menurun di berbagai belahan dunia, Jepang kemudian memberikan janji-janji kemerdekaan kepada sejumlah negara jajahannya. Termasuk kepada Indonesia. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan janji kemerdekaan kepada Indonesia. Umat Islam menyambut gembira janji PM Jepang itu.
Beberapa hari kemudian, pada tanggal 13-14 September 1944, umat Islam menggelarapel akbar di Taman Amir Hamzah Jakarta, yang dihadiri sejumlah tokoh Islam, seperti KH A. Wachid Hasjim, KH Mukti, dan KH A. Kahar Muzakkir.
Tokoh Muhammadiyah KH Abdul Kahar Muzakkir menyampaikan pidato dalam apel akbar umat Islam: “Pada saat-saat ini terbayang-bayanglah di muka kita sejarah Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, Muhajirin dan Anshar di Madinah, ketika mereka menyelenggarakan Negara Islam dengan bekerja bersama-sama pihak-pihak luar Islam disana. Pada tahun kemudiannya, tibalah saat kemenangan mereka dalam pertempuran Badar Besar. Saya bertanya dalam hati saya, apakah sejarah yang gilang gemilang itu akan terulang di Tanah Air kita yang tercinta ini? Mudah-mudahanlah hendaknya.”
Jadi, seperti disampaikan oleh KH Abdul Kahar Muzakir, begitulah harapan umat Islam Indonesia ketika itu terhadap kemerdekaan Indonesia. Harapan mereka begitu tinggi. Bahwa, Indonesia merdeka nantinya akan menjadi satu negara hebat, seperti Negara Nabi di Madinah, yang dalam waktu singkat tampil menjadi sebuah peradaban besar.
Rasulullah saw berhasil mendirikan satu negara terbaik, yang memiliki konstitusi negara tertulis pertama di dunia (Piagam Madinah). Negara Nabi di Madinah itu merupakan model negara ideal yang digambarkan dalam QS al-A’raf ayat 96. Yakni, negara yang masyarakatnya beriman dan bertaqwa, sehingga Allah kucurkan berkah dari langit dan bumi.
Apr 5 • 14 tweets • 2 min read
Seorang Kolonel TNI Menolak Kenaikan Pangkat Jadi Brigjen yang Ditawarkan Presiden
— Sebuah Utas Keteladanan —
Dalam bukunya, Sewindu Dekat Bung Karno, Kolonel Bambang Widjanarko mengisahkan, saat ia jadi ajudan Presiden Soekarno, beberapa kali mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Sesko TNI.
Sep 6, 2024 • 9 tweets • 3 min read
Prestasi Gemilang Mantan Menteri Pertanaian (2004-2009) dari PKS
Serta beberapa tuduhan terhadap DR. Ir. Anton Apriyantono, M. S.
Republik Indonesia kembali mencatatkan diri sebagai Negara yang berhasil menjadi Negara pengekspor beras pada tahun 2008.
Jan 3, 2024 • 13 tweets • 2 min read
MENGAPA HARUS MENGUSIR ROHINGYA?
Oleh:
Prof. Hamid Awaludin
-Former Menteri Hukum & HAM RI
-Former DUBES RI Untuk Russia
— Sebuah Utas
NESTAPA yang dialami oleh sejumlah warga negara Myanmar beretnis Rohingya, memang sangat mendera.
Di tanah leluhur mereka ditampik. Di tanah yang diinjak, mereka diusir dengan kekerasan.
Di tanah tempat persinggahan guna menarik napas untuk sementara, mereka ditolak dengan cara-cara di luar batas perikemanusiaan.
Sep 25, 2023 • 5 tweets • 1 min read
Konsep usang wihdatul wujud (bersatu dengan tuhan) kembali menyeruak ke permukaan, para penggeloranya jg beragam, ada yg diam², pura², nyaru biar samar, dibalut syariat buat pembenaran dan ada jg yg terang²an.
Knapa disebut usang/kuno?
Krn sdh sgt lama dipakek ma org² aliran —
Kepercayaan seperti kejawen, sunda wiwitan dan lainnya. Menyebutnya sebage 'Manunggal kawula gusti' jd pada manusia ini ada ke-ilahian difalqmnya yg jika 'diasah' maka akan kembali pada fitrah sebenar yaitu MAHA (sifat keilahian)
Akhir² ini metode kuno tersebut kembali terlihat
Sep 17, 2023 • 12 tweets • 2 min read
3 Fitnah yang mengepung Ummat Islam saat ini
🎯 Utas 🎯
Ketiga fitnah itu, adalah Fitnah Ahlas, Fitnah Sarra dan Fitnah Duhaimah. Semua itu terjadi antara sesama muslim.
“Ingat, titik tekan fitnah peperangan dan pembantaian ini adalah terjadi sesama muslim, bukan dengan orang kafir. Sebab, kalau perang melawan orang kafir itu disebut ibadah bukan fitnah,” demikian disampaikan penulis buku “Fitnah dan Petaka Akhir Zaman”, Abu Fatiah Al-Adnani.
Feb 11, 2023 • 4 tweets • 3 min read
10 Titik Pijatan sederhana yang berkhasiat.
— sebuah utas —
Feb 10, 2023 • 4 tweets • 1 min read
Seabad ?
Pen cepet tuwir? 😀
Oct 21, 2022 • 46 tweets • 7 min read
INILAH SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN OLEH KITA SEMUA ANAK CUCU HARUS TAHU.
- utas -
Tgl 31 Oktober 1948 :
Muso dieksekusi di Desa Niten Kecamatan Sumorejo Kabupaten Ponorogo. Sedang MH. Lukman dan Nyoto pergi ke Pengasingan di Republik Rakyat China (RRC).
Akhir November 1948 :
Seluruh Pimpinan PKI Muso berhasil dibunuh atau ditangkap, dan Seluruh Daerah yang semula dikuasai PKI berhasil direbut, antara lain : 1. Ponorogo, 2. Magetan, 3. Pacitan, 4. Purwodadi, 5. Cepu, 6. Blora, 7. Pati, 8. Kudus, dan lainnya.
Oct 19, 2022 • 4 tweets • 1 min read
Ga kalah aja udah bagus 😵💫
Minggu yang berat
Sabtu dikandang chelsea
Sep 30, 2022 • 38 tweets • 6 min read
PEMBERONTAKAN DIAWALI DI SILUNGKANG. MASSA BERGERAK SAAT TENGAH MALAM TAHUN BARU 1927. NAMUN PERSIAPAN YANG TAK MATANG MEMBUAT PEMBERONTAKAN ITU DAPAT DIPATAHKAN.
- a thread -
(2)
Sebelum Silungkang, pemanasan menuju pemberontakan bukan terjadi di Sumatera Barat saja. Tetapi sampai ke Aceh. Di Aceh propaganda komunisme, juga menempuh kisah yang sama. Marxisme tak banyak diminati masyarakat aceh kecuali bagi sejumlah orang non aceh atau yang tak sepenuhnya
Sep 29, 2022 • 4 tweets • 2 min read
Parenting
— utas —
Sep 28, 2022 • 9 tweets • 3 min read
— a thread
Google begitu kuat sehingga menyembunyikan sistem peramban lain dari kita.
Sebagian besar kita tak tahu keberadaannya.
Sementara itu, masih terdapat sebagian besar peramban unggulan di dunia ini yang mengkhususkan diri dalam buku², sains, informasi cerdas lainnya.
Simpan daftar situs yang belum kamu dengar ;
Feb 20, 2022 • 7 tweets • 2 min read
Sumedang, 6 November 1908
HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap
berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.