Melihat perkembangan hari-hari ini, aku teringat sebuah kisah;
Seorang musafir hendak tidur di masjid. Ia gunakan tasnya sebagai bantal. Matanya dipejamkan walaupun sebetulnya belum tidur. Masuklah dua orang ke dalam masjid dengan tergesa-gesa sambil berbisik. "Kita sembunyikan di mana?", tanya salah satunya pelan. "Di bawah mimbar saja. Setelah keadaan aman kita ambil lagi", jawab satunya lagi dengan berbisik.
"Nanti kalau diambil orang bagaimana?".
"Tidak ada yang tahu".
"Ini ada orang", sambil menunjuk musafir yang berbaring.

Lama-lama aku jadi berpikir kalau uang negara itu memang uang panas. Di tangan pejabat jadi korupsi. Di tangan rakyat jadi ribut. Dibagikan berupa barang jadi saling rebut. Diberikan langsung tunai juga bikin ribut. Sudah berkali-kali kegiatan kemasyarakatan, budaya dan kepedulian lingkungan yang awalnya swadaya, iuran seikhlasnya dari anggota, ketika kemasukan uang negara jadi timbul perselisihan hingga akhirnya bubar.

Lama-lama aku sependapat dengan ungkapan di bangsa Arab yang pernah aku dengar dulu;

"Kalau di dalam kafilah ada seorang nenek, maka kafilah berjalan sesuai dengan kecepatan nenek tersebut".

Ini merupakan perlambangan suatu masyarakat di berbagai segi, terutama kecerdasan. Sesuai ungkapan di atas, walaupun ada orang-orang cerdas di antara suatu masyarakat, yang menjadi 'ciri masyarakat' tersebut adalah yang paling rendah sumber daya manusianya.