“Lo tunggu sini ya, gw mau kejar mereka sebelum menghilang.”
Itu yang Rai bilang sebelum dia lari mengejar dua obor itu, dua obor yang sepertinya di pengang oleh dua orang.
Obor semakin menjauh, Rai terus saja mencoba mengejarnya. Gelapnya malam gak mengurangi tekad Rai untuk terus mengejar, terus berlari.
Sementara itu, gw sudah jauh berada dibelakangnya, Rai sudah gak melihat gw lagi, tertutup oleh pekatnya gelap hutan raya.
Rai menyusuri jalan aspal yang jadi jalur kendaraan melintas.
Hingga beberapa puluh detik kemudian dia berhenti..
Kenapa berhenti? Padahal obor-obor itu jaraknya sudah semakin dekat.
Ternyata, Rai melihat kalau obor itu berbelok arah, ke kanan jalan, turun dari jalan aspal berpindah ke jalan setapak, masuk ke dalam hutan.
Muncul keraguan di dalam benak, apakah akan terus lanjut mengejar atau kembali ke tempat gw menunggunya.
Sementara hutan di hadapannya sangat belantara, gelap pekat dan sunyi.
Pepohonan besar di kanan kiri jalan setapak membentuk terowongan yang memanjang ke dalam, seperti pintu gerbang menuju suatu tempat. Lapang walaupun tampak sempit, ada hiruk pikuk dalam sunyi.
Aneh..
Sementara dua obor itu masih saja terlihat dari tempat Rai berdiri. Tapi sepertinya “Mereka” berhenti, gak bergerak lagi, seperti menunggu Rai untuk mendatangi.
“Ah baguslah kalau mereka berhenti, berarti lihat gw ngejar.”
Begitu gumam Rai dalam hati.
Kemudian dia mulai melangkahkan kaki ke jalan setapak, melangkah dengan sedikit karaguan, memasuki hutan belantara yang gelap pekat.
Gesekan kaki ketika melangkah dengan jalan tanah yang bercampur dengan dedaunan kering, menjadi satu-satunya suara yang terdengar, gak ada suara angin, gak ada suara binatang hutan, gak ada.
Keringat mengucur membasahi tubuh, hela napas yang mulai ngos-ngosan mengiringi perjalanan Rai ke obor-obor itu.
Tapi ternyata mereka kembali bergerak, bergeraknya menjauh, semakin masuk ke dalam hutan.
“Pak..!! tunggu..!”
Rai berteriak coba memanggil, namun gak ada jawaban, malah sepertinya terus bergerak semakin menjauh.
Rai seperti tertantang untuk terus mengejar, terus berlari, sampai akhirnya napas tersengal-sengal kelelahan, dan dia pun berhenti.
Menunduk memegang lutut, Rai coba untuk mengatur napasnya.
“Ah sialan, orang-orang itu kenapa susah sekali dikejar.”
Tapi sekali lagi, obor-obor itu berhenti bergerak ketika Rai berhenti. Aneh, ada sesuatu yang gak beres, Rai mulai menyadari ini.
Lalu terduduk di bawah pohon yang besar, lemas tubuhnya membuat dia bersandar gak berdaya. Pikirannya berkecamuk bingung bercampur khawatir, ketika dia menyadari akan sesuatu..
Ternyata, ketika melihat ke belakang, Rai gak melihat lagi jalan setapak yang baru saja dia lalui, hanya ada pepohonan hutan belantara, gak ada lagi jalan setapak, apa lagi jalan aspal tempat gw menunggunya, gak kelihatan lagi.
Lemas, karena sadar kalau sudah tersesat, gak tau sedang berada di mana, gak tau harus berjalan ke mana untuk kembali.
Sementara dua obor itu tetap terlihat diam di kejauhan, seperti menunggu..
***
Setelah sedikit terkumpul tenaga, Rai berdiri dari duduknya, lalu kembali berjalan mengejar obor-obor itu.
“Pak, tunggu..”
Setengah berteriak, Rai mencoba memanggil.
Namun kali ini ada yang berbeda, mereka tetap diam di tempat ketika Rai berjalan semakin dekat. Melihat itu semua Rai mulai sedikit lega.
Iya, dua obor itu tetap diam di tempatnya.
Sampai akhirnya jarak Rai dengan mereka sudah cukup dekat, cukup dekat untuk melihat jelas penampakan sang pemegang obor.
Ternyata benar dugaan Rai dari awal, yang memegang obor adalah dua orang laki-laki.
Yang satu berpakaian hitam-hitam dengan celana yang longgar, seperti baju silat, menggunakan topi di kepalanya, yang lebih mirip ikatan berbahan hitam.
Sedangkan yang satu lagi menggunakan baju bergaris vertikal coklat hitam, bercelana pendek longgar, rambut agak gondrong gak beraturan, berkumis tebal.
Keduanya bertubuh tinggi besar, gak menggunakan alas kaki.
“Maaf Pak, saya dari tadi mengejar bapak berdua, mau minta tolong.”
Kalimat pembuka keluar dari mulut Rai, dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Awalnya mereka hanya terdiam dengan raut wajah yang agak menyeramkan, sampai akhirnya mereka tersenyum.
“Maaf, kami gak melihat. Memang Mas dari mana mau ke mana?”
Lelaki yang menggunakan hitam-hitam akhirnya memberikan jawaban dengan pertanyaan.
“Saya dari jalan besar di depan tadi Pak, bapak lewat sana kan tadi,”
“Gak ada jalan besar di hutan ini Mas, semuanya jalan kecil setapak ini.” Begitu kata Bapak itu lagi.
Gak ambil pusing, Rai tetap meminta bantuan untuk menunjukkan jalan kembali ke jalan besar tadi.
“Tolong saya Pak, saya tersesat, gak tau jalan kembali.”
Dengan sedikit memelas, Rai memohon kebaikan bapak berdua itu.
“Mas lebih baik ikut saja dulu, nanti kalau urusan kami sudah selesai baru kami akan antar ke mana mas mau. Ayo ikut saja.”
Begitu kata Bapak itu lagi. Sementara Bapak yang berkumis tetap diam sejak awal tadi.
Gak ada pilihan lain, Rai terpaksa harus mengikuti mereka.
Berbalik badan, lalu mereka mulai berjalan menembus gelapnya hutan, sementara Rai mengikuti dari belakang.
Jalan setapak tetap menjadi landas pijakan kaki untuk berjalan, dengan pemandangan gelap total di sekeliling.
Beberapa kali Rai menoleh ke belakang, bermaksud untuk melihat keadaan, tapi pandangannya gak sanggup menembus pekatnya gelap, hanya hitam yang tertangkap, cahaya obor sedikit pun gak mampu membantu.
Ada satu lagi keanehan, setelah diperhatikan benar-benar, ternyata dari tiga orang yang sedang berjalan, hanya Rai yang terdengar suara langkah kakinya, sementara yang lain gak ada suaranya.
"Ah mungkin karena mereka gak menggunakan alas kaki."
Begitu pikir Rai dalam hati.
***
Seperti tanpa lelah, Rai melihat mereka terus berjalan konstan, gak melambat gak pula bertambah cepat.
Gak pernah juga melihat ke belakang, walau untuk sekadar melihat keadaan Rai yang mulai kerepotan mengikuti irama pergerakan mereka.
Gak ada perbincangan, keduanya terus menatap ke depan tanpa pernah menolehkan wajah ke kiri ataupun ke kanan.
Hutan belantara ini juga diam membisu gak mengeluarkan suara layaknya alam luar, sepinya banyak menimbulkan pertanyaan, heningnya mulai menggurat garis ketakutan dalam lubuk hati Rai yang paling dalam.
“Pak, bisa berhenti sebentar?, saya butuh istirahat.”
Entah sudah berapa jam mereka berjalan ketika Rai memberanikan diri untuk membuka suara.
Namun mereka tetap diam, terus saja melangkah seperti gak memperdulikan Rai yang baru saja mengajak berhenti.
“Mau ke mana sih mereka ini?”
Di tengah ketakutan yang mulai semakin membuncah, Rai bergelut dengan banyak pertanyaan di kepalanya, tapi sejauh ini belum ada jawaban.
Sampai akhirnya mereka sampai pada daerah yang jalannya menanjak, tanjakan yang cukup tinggi, hal ini membuat napas Rai semakin tersengal, langkahnya semakin tertinggal.
“Pak, tunggu Pak.”
Sekali lagi Rai memanggil, tapi tetap saja gak ada jawaban, mereka terus berjalan dengan langkah yang konstan, padahal jalanan benar-benar menanjak dan agak terjal, tanah bercampur bebatuan menjadi pijakan langkah.
Sampai suatu ketika, mereka akhirnya berhenti sekitar beberapa puluh meter di depan Rai, berhenti di satu daerah yang tinggi, seperti puncak dari jalan panjang menanjak yang baru saja dilewati.
Mereka tetap menghadap ke depan, gak sedikit pun menoleh ke tempat Rai yang masih cukup jauh tertinggal.
Dengan sedikit tenaga yang masih tersisa, Rai berusaha sekuatnya untuk mengejar.
Berhasil, dengan peluh yang bercucuran akhirnya Rai sudah berdiri di belakang mereka berdua yang tetap saja memandang lurus ke depan, lalu Rai ikut melempar pandangan ke depan.
Dari tempat yang cukup tinggi itu kelihatan ada pemandangan menarik..
Gak jauh di depan, ada jalan yang menurun tajam. Agak jauh lagi, sekitar beberapa ratus meter setelahnya, terlihat ada keramaian, ditandai dengan banyaknya lampu dan obor yang menyala.
Rai bingung, tempat apa itu?
Lebih bingung lagi, setelah tempat keramaian itu, terlihat ada seperti dermaga, dan memang di kejauhan kelihatan ada hamparan laut luas, banyak kapal dan perahu yang bersandar dan akan bersandar.
“Kok ada kota di sini? Itu kota apa Pak?”
Sekali lagi Rai melontarkan pertanyaan, dan lagi-lagi mereka gak juga memberi jawaban, malah tiba-tiba mulai melangkahkan kaki menuju jalan turun ke keramaian itu.
Gak ada pilihan lain, Rai tetap mengikuti langkah kaki mereka.
Situasi yang sama Rai temui ketika mulai berjalan lagi, kegelapan hutan dan keheningan sepi yang kelam.
Pikiran Rai semakin mengerucut, semakin yakin ada yang aneh dengan kedua orang ini. Tapi Rai gak bisa berbuat apa-apa, selain terus saja mengikuti.
***
Rasa penasaran sepertinya akan terjawab beberapa puluh meter lagi, ketika melihat ada dua pohon besar yang berdiri sejajar membentuk laksana pintu gerbang, Rai berpikir sepertinya mereka akan melewati tengah-tengah dua pohon besar itu.
Ternyata benar, mereka berjalan melintasi jalan di tengah dua pohon besar.
Seperti masuk melewati gerbang yang besar, Rai semakin kebingungan setelah benar-benar melewatinya, setelah sudah berada di sisi keramaian.
Iya, keramaian..
Setelah melewati jalan berliku membelah hutan belantara, tiba-tiba Rai masuk ke tempat yang sangat berbeda, tempat yang ramai, tetapi masih dalam keadaan gelapnya malam.
Penerangan lebih banyak bersumber dari api obor yang nyaris ada di setiap sudut, ada juga beberapa lampu templok besar yang berdiri di atas meja. Sama sekali gak ada penerangan yang bersumber dari listrik.
Orang lalu lalang, ada yang duduk di belakang meja menjajakan sepertinya barang jualan, ada yang duduk di dalam bangunan kecil yang tampak seperti warung,
ada yang hanya sekadar duduk dan berbincang satu dengan lainnya sambil mengepulkan asap rokok, ada orang yang sepertinya sedang menawar barang yang hendak dibeli.
Pasar, Rai melihatnya sebagai pasar, pasar tradisional yang sebagian besar penjualnya menjajakan sayur mayur dan buah-buahan, tapi ada juga barang-barang jualan lainnya, seperti kayu bakar dan anyam-anyaman bambu.
Takjub dan penuh keheranan, banyak pertanyaaan yang timbul di dalam kepala.
“Pasar apa ini?”
“Ini kota apa?”
“Kenapa tengah malam masih ramai seperti ini?”
Rai terus saja memperhatikan sekelilingnya, sampai dia lupa dengan dua orang yang membawanya sampai ke tempat itu.
Ternyata mereka sudah menghilang di tengah keramaian pasar, detik itu Rai sudah gak melihat mereka lagi.
Beberapa puluh menit lamanya Rai berjalan perlahan membelah keramaian pasar sambil terus memperhatikan dengan takjub.
Dia semakin bingung, ketika menyadari kalau orang-orang yang ada di pasar itu semuanya mengenakan pakaian yang sepertinya pakaian jaman dulu, sebagian besar laki-lakinya mengenakan celana hitam longgar sebatas betis, ada yang berbaju hitam,
dan banyak juga yang hanya bercelana pendek tanpa baju alias bertelanjang dada.
Sedangkan perempuannya mengenakan kemben dan kain panjang, bersanggul juga.
Rai semakin bingung ketika melihat ada beberapa orang bule yang ikut wara wiri, yang laki-laki berpakaian putih-putih dengan topi bulatnya, sedangkan yang perempuan mengenakan baju panjang putih dengan bawahan yang mengembang besar.
“Ini pasar apa sih?”
Kebingungan semakin memuncak.
Lalu tiba-tiba perhatian Rai berpindah ke keramaian berikutnya, dermaga kapal.
Iya, Rai melihat seperti ada pelabuhan kecil yang menjadi tempat bersandar kapal-kapal kayu dengan berbagai macam ukuran.
Kemudian dia berjalan mendekat ke pelabuhan, menuju dermaganya.
Benar, banyak kesibukan bongkar muat kapal di tempat itu, banyak orang yang mengangkut manaikkan atau menurunkan barang dari dan ke kapal, ada satu dua orang yang sepertinya mandor yang memerintahkan para pekerjanya.
Kapal yang bersandar sebagian besar kapal kayu, lagi-lagi desainnya adalah desain kapal jaman dahulu kala, lengkap dengan tiang-tiang layar penangkap angin sebagai alat penggerak.
Rai masih bingung, tetapi sedikit demi sedikit dia mulai sadar kalau pasar dan pelabuhan ini bukan tempat biasa.
Rai mulai merasakan ketakutan, mulai membaca doa di dalam hati, meminta keselamatan dari-Nya, ketika dia akhirnya menyadari sesuatu..
Ternyata, sejak mulai masuk ke keramaian ini, Rai gak mendengar suara dari orang yang sedang berada di situ, walaupun kelihatan mereka seperti berbicara satu dengan lainnya.
Rai tetap merasakan sepi dan hening, padahal sedang berada di tempat ramai.
Dan juga, sepertinya mereka gak menyadari akan kehadiran Rai, lalu lalang tanpa melihat kalau Rai ada di antara mereka.
Aneh yang menakutkan..
Lalu Rai membalikkan badan, melihat kembali ke arah pasar, pasar di mana banyak orang berlalu lalang.
Rai langsung terduduk lemas, lututnya gak mampu lagi menahan beban tubuh, ingin menangis sambil terus membaca doa, ketika ada satu lagi keanehan yang Rai baru sadari..
Ternyata, orang-orang di tempat itu bergerak hilir mudik tanpa menginjak tanah, berjalan seperti melayang namun kaki tetap bergerak seperti melangkah..
Sungguh sangat mengerikan. Seperti layaknya kumpulan arwah gentayangan..
“Tempat apa ini..?”
Rai menangis dalam kesendirian.
Duduk tertunduk tanpa tahu akan ke mana harus pergi dan melangkah, tanpa tahu jalan pulang.
Sampai akhirnya, Rai menengadahkan wajah ketika sadar kalau di hadapannya sudah ada orang yang sedang berdiri memperhatikan.
Sorang lelaki bule bercelana panjang putih, berkemeja safari putih, lengkap dengan topi bundar di kepalanya. Wajahnya putih pucat berkumis tebal, matanya tajam menatap Rai yang semakin ketakutan.
Sambil tersenyum lelaki itu mengucap sesuatu..
“Selamat datang, kamu akan betah di sini.. "
Rai gak tau lagi harus berbuat apa, kecuali terus mengucap doa di dalam hati..
Sampai akhirnya dia merasakan kalau kepalanya pusing, seperti berputar sangat cepat, berujung pada perut yang terasa mual seperti ingin muntah.
Gak tahan lagi, Rai memejamkan mata berharap semua yang dirasakan akan menghilang.
Tetapi, itulah saat terakhir Rai dapat mengingat semuanya, setelah itu dia gak sadarkan diri.
***
Rai merasakan kalau tubuhnya seperti bergoyang-goyang, ketika sudah mulai sadar.
Membuka mata, ternyata dirinya tengah terbaring lemas, yang pada detik itu belum tahu sedang berada di mana, tapi dia melihat ada dua orang yang berada dekatnya.
Yang satu di dekat kaki, yang satu lagi berada dekat kepala. Lalu Rai memperhatikan gerakan keduanya, yang terlihat seperti sedang mendayung.
Berikutnya, Rai memaksa diri untuk bangun dari tidurnya, berusaha untuk duduk.
Laki-laki yang tadi duduk dekat kakinya menegur dan menyodorkan botol air mineral.
Masih kebingungan, tapi akhirnya Rai sadar kalau ternyata dia sedang berada di atas perahu dayung kecil. Perahu ini berisi tiga orang, termasuk dirinya.
Perahu berjalan gak jauh dari pantai, hanya sekitar seratus meter dari garisnya.
Melirik ke jam tangan, ternyata sudah nyaris jam lima pagi.
"Saya di mana Pak? Kok bisa ada di perahu bareng bapak?"
Akhirnya Rai membuka pertanyaan.
Lalu mereka mulai menjelaskan..
Jadi, beberapa jam sebelumnya, ketika kedua Bapak berperahu ini baru saja pulang dari melaut, mereka melihat Rai tengah duduk sendirian di Pantai.
Dalam gelapnya malam itu, di depan Rai tertancap sebatang obor yang menyala, makanya mereka dapat melihat Rai dari kejauhan.
Lalu mereka menepi bermaksud untuk menolong, yang ternyata Rai sedang gak sadarkan diri.
Lalu mereka menggotong dan membawa serta Rai ke dalam perahu.
Begitulah ceritanya.
Setelah itu Rai menceritakan kepada mereka, semua yang dia alami di sepanjang malam itu, semuanya..
"Oh gitu mas, berarti mas beruntung masih bisa keluar dari tempat itu."
"Itu pelabuhan dan pasar Ghoib, penduduk sekitar sini banyak yang tahu tentang cerita itu, cerita turun temurun."
"Katanya, banyak orang yang sudah masuk ke situ dan gak pernah kembali lagi.."
Rai diam memperhatikan ketika salah satu dari bapak itu panjang lebar menjelaskan.
Intinya ya seperti itu, Rai diajak oleh dua orang pembawa obor untuk mengunjungi pasar dan pelabuhan ghoib yang ada di salah satu sudut kecil Ujung Kulon.
Singkatnya, mereka akhirnya mengantar Rai ke tempat gw menunggunya di mobil.
Sekitar jam tujuh pagi kami akhirnya berkumpul lagi.
Oh iya, ada yang aneh lagi, ternyata mobil dapat dinyalakan dengan normal, gak kehabisan bensin, masih ada sisa seperempat tangki. Padahal gw yakin kalau malam tadi garis indikatornya berada di bawah batas "empty".
Tapi ya sudahlah, yang paling penting kami baik-baik aja, gak kurang satu apa pun setelah mengalami hal-hal aneh itu.
Akhirnya kami meninggalkan Ujung Kulon, pulang..
***
Sekian cerita malam ini, semoga minggu depan ketemu lagi, insyaAllah.
Terima kasih untuk yang masih setia membaca, masih setia menjadi teman Brii.. 🙂
Met bobo, semoga mimpi indah..
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seperti suara, ada tapi gak terlihat. Susuran ruang dan waktu sering kali gak sesuai capaian akal, atau mungkin kita belum sampai ke tahapan itu.
Raka akan bercerita tentang perjalanannya ke Jogja yang berbelok entah ke mana.
Simak semuanya di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti biasa, beberapa belas menit sebelum stasiun Lempuyangan aku terbangun, menghela nafas sebentar berusaha memaksimalkan kesadaran setelah tidur cukup lama.
Di luar gerimis, jendela kereta basah tapi gak terlalu. Atap rumah-rumah yang terlewati kelihatan basah, begitu juga jalanan. Lampu kota gak seterang malam awal, apa lagi ini bukan Jakarta, penerangan seadanya, rumah-rumah hanya menyalakan lampu kecil, banyak juga yang malah nggak ada penerangan, tapi semuanya akan sedikit berubah ketika kereta mulai memasuki Jogjakarta.
(Katanya) Ada banyak lapisan dimensi di alam ini, tapi gak banyak orang yang bisa masuk dan merasakan berada di dalam dimensi lain.
Menurut kamu, apakah Niko sedang menembus antar dimensi ketika tersesat di kaki Gunung Kerinci seperti ceritanya di bawah ini?
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Tersesat, aku benar-benar tersesat..
Jarak pandang jadi sangat pendek karena tertutup kabut tebal, jalan setapak yang tidak rata serta licin jadi medan berat yang harus dilalui. Tas ransel besar di punggung makin terasa berat. Udara sangat dingin.
Aku tidak tahu harus melangkah ke mana..
Jalan setapak ini kadang menanjak, kadang menurun, tapi sepertinya lebih banyak menurun jadi sepertinya ini sudah ke arah yang benar, yaitu ke kaki gunung. Syukur-syukur kalau bisa menemui sungai, aku bisa menyusuri arusnya menuju hilir yang sudah pasti ada pemukiman di sana. Tapi, entah sudah berapa jam berjalan tanpa arah seperti ini, aku belum juga menemukan aliran sungai, suara air mengalir pun tidak terdengar, apa lagi pemukiman penduduk, tidak ada sama sekali.
Mungkin penghuni lama hanya ingin berkenalan, menunjukkan eksistensi kepada kita yang baru datang. Tapi sering kali, caranya sangat menguji nyali.
Indra, ingin berbagi pengalaman seram ketika bekerja di pergudangan tua di Cianjur.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
“Emang begini keadaannya, tinggal dibersihin dikit aja udah enak deh, hehe,” kata Kang Ijal, sambil cengengesan.
Buset, ini si udah kayak gudang gak keurus, berantakan banget, akan kerja keras aku membereskannya.
“Nanti, Mas tinggal di sini bareng Pak Rony, dia di kamar depan, sekarang orangnya lagi mudik, biasanya nanti malam atau besok pagi udah balik lagi ke sini,” kata Kang Ijal lagi.
Aku masih terus memperhatikan ruangan yang nantinya akan aku gunakan sebagai kamar tempat tinggal.
Kadang kita disuguhi kejadian seram ketika berkendara melintas malam, tertuang dalam fragmen gelap berbalut kengerian.
Salah satu teman akan berbagi cerita klasik seram ketika melintas di Jalur Purwakarta Bandung pada tahun 1996.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Normalnya, Purwakarta Bandung bisa ditempuh dalam kisaran satu sampai dua jam saja, tapi kalau aku biasanya santai, jadi seringnya sampai dua atau malah tiga jam lebih kalau harus beristirahat makan dulu di satu rumah makan.
Belum terlalu lama aku rutin berkendara sendiri rute Jakarta Bandung, semua berawal dari dua bulan lalu ketika harus berkantor di Jakarta, sementara Istri dan anak-anak tetap tinggal di Bandung.
Pedalaman Sumatera menyimpan banyak cerita, jejak seram tergelar nyaris di setiap sudutnya.
Salah satu teman akan menceritakan pengalamannya ketika mengalami kejadian mengerikan di perkebunan bambu di dalam hutan Sumatera, simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Satu batang lagi, ah”
Aku bergumam sendiri, sambil memandang jalanan di depan yang kosong, gak ada kendaraan sama sekali, hanya gelap tanpa penerangan.
Aku duduk sendirian di depan gubuk kecil pinggir jalan yang letaknya di tengah-tengah antah berantah di belantara Sumatera.
Gak tahu pasti di daerah mana aku berada saat ini, hampir jam dua belas tengah malam, ponselku mati kehabisan baterai, sempurna.
Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apa pun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari.