My Authors
Read all threads
"Joyodro Maling Rogo"

====A THREAD====

@bacahorror #bacahorror #horror
Sebuah kejadian nyata yang sangat kelam dialami keluarga ini, sebut saja keluarga Bakhir, dimana kejadian ini terjadi disaat sebuah kebahagiaan tengah menghampiri keluarga kecil ini.
“Nduk, mas tak niliki tegal disik yo, kowe orasah kakehan polah, orasah metu-metu soko omah wes wancine anake dewe lahiran” (Nduk, mas mau ke kebun dulu ya, kamu nggak usah banyak tingkah, nggak usah keluar-keluar rumah udah saatnya anak kita lahir)
(Nduk, mas mau ke kebun dulu ya, kamu nggak usah banyak tingkah, nggak usah keluar-keluar rumah udah saatnya anak kita lahir)
Nduk/Genduk adalah sebutan bagi anak perempuan jawa, namun biasanya para suami memanggil istri mereka dengan sebutan demikian.
Saat itu diketahui Lastri istri dari Bakhir tengah mengandung anak pertama mereka, dan memang sudah menjelang waktu persalinan. Ketika berada dirumah sendirian saat ditinggal sang suami untuk ke kebun,
Lastri tidak merasakan akan adanya tanda-tanda ia melahirkan dihari itu, namun ada perasaan aneh ketika sang suami hingga menjelang manghrib belum juga pulang dari kebun.
“Mas, la kok sampeyan ki jarene mung sedelo tilik tegal, kok malah sak uwen-uwen ora bali-bali malah iki tekan maghrib lagi mulih”
(Mas, la kok kamu ini katanya cuma sebentar melihat kebun, kok malah lama sekali nggak pulang-pulang malah ini sampai maghrib baru pulang)
“Loh nduk, aku mau yo mung sedelo rumangsaku metu soko omah njur niliki tegal”
(Loh nduk, aku tadi ya Cuma sebentar perasaanku keluar dari rumah untuk melihat kebun)
“Sedelok opo to mas, wong sampeyan ki metu omah soko jam setengah 1, njur saiki surup wayah maghrib, aku ki yo wedi mbok tinggal ngene iki, nek pas wayahe lahiran malah sampeyan ora enek omah”
(Sebentar apanya mas, orang kamu itu keluar rumah dari jam setengah 1, dan sekarang sudah maghrib, aku itu ya takut ditinggal kaya gini, kalau pas waktunya lahiran tetapi kamu malah nggak ada dirumah)
Diketahui memang saat itu Bakhir pergi keluar rumah untuk melihat-lihat kebun miliknya karena memang sudah mendekati panen. Namun ketika ditengah-tengah melihat kondisi kebunnya saat itu,
iya heran kenapa ada bunga dahlia yang tumbuh di tengah kebun cabai miliknya. Ia pun saat itu membabat dan menghilangkan bunga dahlia tersebut di kebunnya.
“Mas, kembang dahliane sik mbok tandur sisih lor kae urip opo mati mas” (mas, bunga dahlianya yang kamu tanam bagian utara itu masih hidup apa sudah mati mas) tanya Lastri malam itu didalam kamar.
“Kembang dahlia sik endi to nduk, aku ki ora tau nandur kembang enek tegal, kabeh tanduran ki Lombok rawit kabeh kae” (bunga dahlia yang mana sih nduk. Aku itu tidak pernah menanam bunga di kebun, semua tanaman itu cabai rawit semua)
“Loh mas, kae lo sisih lor sik terakhir tak tiliki sampeyan lagi nandur lombok mosok dudu sampeyan sik nandur, kan lak yo wes enek sek gede to mas”
(Loh mas, itu lo sisi selatan terakhir aku lihat sampeyan lagi nandur cabai masa bukan kamu yang tanam, kan juga udah ada yang besarkan mas)
Mendapati pertanyaan Lastri pada malam itu Bakhir pun merasa aneh, karena dia sama sekali tidak pernah melihat ada bunga dahlia di kebun sebelumnya, kecuali pada hari ini.
“Iyo aku mau weruh siji kembang dahlia ning tengah tegal, tapi ora ning sisih lor nduk” (Iya aku tadi lihat lihat satu bunga dahlia di tengah kebun, tapi bukan di sisi utara nduk)
Lanjuttt besok yaaaaa 😊😊😊
Setelah diingat-ingat oleh Bakhir, Lastri selama hamil memang jarang untuk menemaninya dikebun, karena ia meminta istrinya untuk beristirahat di rumah.
Namun pada saat kehamilan menjelang bulan kedelapan Lastri pernah ikut suaminya untuk menemani di kebun karena merasa bosan dirumah, dan saat itu adalah terakhir kali Lastri pergi untuk ikut ke kebun dengan suaminya.
Keesokan harinya Bakhir pergi keluar rumah untuk menemui Gunadi yang mana meminta bantuan untuk sementara mengerjakan lahan kebun miliknya.
“Di, aku njaluk tulung yo, iki Lastri wes wayahe lahiran aku raiso garap tegal maneh soko saiki, iki wes wayahe panen tulung urusno tegale yo di”
(Di, aku minta tolong, ini istriku sudah waktunya lahiran, aku tidak bisa mengerjakan kebun lagi, ini sudah waktunya panen tolong di urus kebunnya.)
Diketahui Gunadi ini adalah adik dari Lastri yang pekerjaannya juga menggarap mengolah kebun milik orang lain.
“Iyo mas, sesuk tak garape tegale, sampeyan ning omah wae ngancani mbak Lastri, mesakne nak mbok tinggal garap tegal terus. Terus iku kembang-kembang dahlia sisih lor kae arep mbok kapakne mas,
koe ki yo lucumen, nandur kembang koyo ngono ning tegal, nandur ki yo ning ngarep omah, nak ning tegal sopo sik arep weruh ?”
(Iya mas, besok aku kerjakan kebunnya, kamu dirumah saja nunggu mbak Lastri, kasihan kalau kamu tinggal mengerjakan kebun terus. Terus itu bunga-bunga dahlia di sisi utara mau diapakan mas,
kamu itu ya lucu sekali, tanam bunga kaya gitu kok di kebun, tanam itu ya didepan rumah, kalau di kebun siapa yang mau melihat ?”
Mendengar pernyataan Gunadi, Bakhir pun merasa heran karena ia sama sekali tidak pernah menanam atau bahkan melihat bunga dahlia di sisi utara kebunnya, dan hanya sekali meliah satu bunga dahlia, itupun dibagian tengah kebun.
“Loh di, akui sakwene garap tegal ki ora tau nandur sek jenenge kembang-kembang koyo ngono kui ning tegal, arep tak nggo opo yoan nandur ning tegal. Mbakmu barang, ngomong nak aku sik nandur kembang kui. Wes ayo ditiliki kembange enek ora saiki”
(Loh di, aku itu selama mengerjakan kebun tidak pernah menanam yang namanya bunga-bunga kaya gitu di kebun, mau buat apa juga tanam di kebun. Kakakmu juga, bilang kalau aku yang tanam bunga itu. Udah ayo dilihat bunganya masih ada atau enggak)
Melihat kondisi tersebut Bakhir ingin segera melihat kebunnya dengan mengajak Gunadi agar memberi tahu letak dimana sebenarnya bunga dahlia tersebut.
Namun bersamaan dengan itu, Gunadi sudah ada janji dengan Bani untuk memanen tembakau milik lahan Pak Harto. Akhirnya Bakhir pun pergi sendirian untuk memastikan bunga dahlia yang berada disisi utara kebunnya.
Disaat itu Lastri yang berada dirumah hanya melakukan aktivitas bersih-bersih dan menyiapkan makan untuk suaminya ketika nanti pulang. Di saat tengah memasak, Lastri mendengar suara batuk dari samping rumahnya dan ia sangat yakin itu adalah suara batuk suaminya.
Ia tidak sadar suara tersebut sebenarnya bukan suara suaminya, Lastri pun tetap melanjutkan kegiatan memasaknya. Setelah masakan semuanya selesai,
ia kemudian keluar rumah untuk memanggil suaminya agar segera makan siang, namun saat keluar rumah ia tidak menemukan Bakhir di samping rumah.
Dan kebetulan saat itu ia menemukan satu tangkai bunga dahlia di sebelah rumahnya dan ada sebuah bekas galian yang seukuran piring. Ia mengira mungkin suaminya mengambil sebagian bunga dahlia dari kebun untuk dipindahkan ke samping rumah.
Pada saat itu Lastri masih menunggu kedatangan suaminya untuk melakukan makan siang bersama, ia menunggu didepan rumah dan melihat Mbok Mini sedang lewat depan rumahnya.
“Mbok, ajeng tindak pundi?” (Mbok, mau pergi ke mana?)
“Iki lo nduk, Mantune Pak Tirto wes wayahe lahiran, iki aku kudu nulungi mrono”
(Ini lo nduk, Menantunya Pak Tirto sudah waktunya melahirkan, ini aku harus membantunya kesana”
Pekerjaan Mbok Mini sendiri adalah pembuat jamu tradisional, dan berkeliling menjajakan jamunya, namun ketika ada orang yang akan melahirkan didaerah tersebut Mbok Mini juga bisa membantu sebagai dukun bayi.
“Loh mbok, griyone Pak Tirto kan ngelewati tegale mas Bakhir, mangkih menawi ningali mas Bakhir ken kundur nggeh mbok” (Loh mbok, rumahnya Pak Tirto kan melewati kebunnya mas Bakhir, nanti kalau melihat mas Bakhir suruh pulang ya mbok”
“Yo nduk mengko tak golekane tegale Bakhir, koe ki wes rasah metu-metu opo maneh melu ning tegal, koe ki yo ora suwe wayahe lahiran bayimu, paling sue patang dino”
(Ya nduk nanti aku cari di kebunnya Bakhir, kamu itu udah tidak usah keluar-keluar apalagi ikut pergi ke kebun, kamu itu juga udah tidak lama waktunya melahirkan bayimu, paling lama empat hari)
Mendengar ucapan mbok Mini, Lastri pun menuruti perintah dari Mbok Mini. Dan pada saat Mbok Mini melewati kebun si Bakhir untuk menuju rumah Pak Tirto, ia berhenti di depan lahan milik Bakhir dan mencari-cari Bakhir di sekitar kebun.
Melihat kondisi kebun yang tidak ada orang Mbok Mini pun berteriak, “Kir, Bakhirrr, kae dikon mulih bojomu dhisik” (Kir, Bakhirr, kamu disuruh pulang istrimu dulu)
Sebelum ia pergi meninggalkan kebun milik Bakhir,
Mbok Mini sempat melihat satu tangkai bunga dahlia yang berada di tengah-tengah tanaman cabai milik Bakhir,
yang sangat jelas ia lihat dari jalan setapak menuju rumah Pak Tirto. Ia pun sedikit merasa aneh kenapa ada bunga dahlia ditengah-tengah kebun cabai milik Bakhir.
Menjelang sore hari sekitar pukul 4, Bakhir pun pulang kerumah setelah tidak menemukan bunga dahlia yang Gunadi dan Lastri lihat di sisi utara kebunnya.
Ia melihat Lastri sedang tertidur pulas di kamarnya. Kemudian Bakhir membangunkan Lastri untuk menanyakan apakan dia sudah makan atau belum.
“Nduk, tangi nduk, koe mau wes mangan opo durung sak wene tak tinggal metu sedelo?” (Nduk, bangun nduk, kamu tadi udah makan atau belum selama aku tinggal keluar sebentar?)
Mendengar suara Bakhir, akhirnya Lastri pun terbangun dari tidurnya dan kemudian menanyakan apa yang suaminya lakukan seharian ini hingga tidak pulang makan siang.
“Mas, sampeyan ki sedino utuh ki neng ngendi to, wes dikandani ojo lungo suwe-suwe, aku ki wedi nek teko-teko anakmu iki lahir sampeyan ora enek omah mas”
(Mas, kamu itu seharian pergi kemana sih, sudah dibilangin jangan pergi lama-lama, aku itu takut kalau tiba-tiba anakmu lahir kamu tidak ada dirumah mas)
“Iyo, aku mau lungo goleki adimu Gunadi, arep masrahne tegal kae ben digarap Gunadi” (Iya, aku tadi pergi mencari adikmu Gunadi, mau menyerahkan kebun itu agar dikerjakan Gunadi)
“Laiyo to mas, goleki Gunadi kok soko esuk tekane sore ora bali maneh, sampeyan mau lak yo ning samping omah to gawe luangan nggo kembang dahlia, ngerti bali ngomah ki yo mbok mangan sik wes dimasakne barang kok”
(Laiya kan mas, mencari Gunadi kok dari pagi sampai sore tidak pulang lagi, kamu tadi kan yang di samping rumah bikin galian buat bunga dahlia, tau pulang ke rumah itu ya makan dulu udah dimasakin juga kok)
Merasa curiga dengan perkataan istrinya, Bakhir pun langsung keluar rumah tanpa menjawab pernyataan istrinya dan melihat kondisi samping rumah tersebut. Dan benar dia melihat ada tiga galian lubang selebar piring di samping rumahnya.
“Loh nduk, iki mau sopo sik gawe luangan ning samping omah?” (Loh nduk, ini tadi siapa yang bikin lubang di samping rumah?)
Itu adalah kata-kata Bakhir yang berada di samping rumah yang didengar Lastri dari dalam kamarnya, kemudian Lastri pun mengikuti suaminya ke samping rumah untuk menjelaskan kondisi tersebut.
“Mas, sampeyan to sik mau awan gawe luangan kui, wong aku krungu suara watuk e sampeyan kok pas lagi masak ning pawon” (Mas, kamukan yang tadi bikin galian itu, orang aku dengar suara batuknya mas kok pas lagi masak di dapur)
Bakhir merasa terheran-heran dengan perkataan Lastri yang menyebutkan dialah yang membuat galian tersebut. Bakhir pun memberi tahu kepada Lastri bahwa semenjak keluar rumah mencari Gunadi, dia tidak pernah kembali kerumah lagi, dan hanya pulang ketika sore itu.
“Mas, la terus sopo kae sing mau gowo kembang dahlia ning samping omah iki?” (Mas, laterus siapa yang bawa bunga dahlia di samping rumah ini?)
“Saiki kembange ono ngendi nduk, wes bener iki ono sek ora beres” (Sekarang bunganya ada dimana nduk, udah benar ini ada yang tidak beres)
Lastri pun memberitahu letak bunga dahlia itu diatas meja, dan kemudian Bakhir mengambil dan mengamati bunga tersebut dengan sangat jelas. Dan satu tangkai bunga tersebut terlihat sama dengan yang pernah ia temukan di tengah kebun miliknya,
ia masih ingat bunga dahlia yang ia temukan ada satu mahkota berwarna hitam pekat dari warna lainnya yaitu merah muda. Dengan berbagai peristiwa yang ia alami akhir-akhir ini dengan ditemukannya bunga dahlia di tengah kebun miliknya,
dan pernyataan Lastri serta Gunadi yang melihat ada banyak bunga dahlia di sisi utara kebun miliknya, sedangkan Bakhir sendiri tidak pernah menanam dan melihat bunga dahlia di sebelah utara kebun miliknya.
Ia pun memutuskan membawa satu tangkai bunga dahlia yang ditemukan Lastri disebelah rumah untuk dibawa ke kediaman Mbah Cipto.
Lanjut besok jam 20.00.
see you.
Di kelanjutan cerita ini, akan ada beberapa gambar, namun bukan gambar keadaan asli, cuma sebagai pemanis.
Mbah Cipto sendiri diketahui adalah sesepuh desa dan menurut keyakinan warga setempat, Mbah Cipto bisa melihat hal-hal mistis yang tidak bisa ditangkap dengan logika manusia biasa.
“Nduk, aku arep gowo kembang iki ning omahe Mbah Cipto, wes koe ning omahe Ratih disik yo, mugo-mugo aku ora suwe leh ku lungo, wes pokoke koe ojo ning omah dewe nek aku durung mulih soko omahe Mbah Cipto”
(Nduk, aku mau membawa bunga ini kerumah Mbah Cipto, kamu dirumahnya Ratih dulu ya, semoga aku tidak lama perginya, pokoknya kamu jangan dirumah sendiri kalau aku belum pulang dari rumah Mbah Cipto)
Bakhir pun segera pergi ke kediaman Mbah Cipto bersamaan dengan Lastri yang menuju kerumah Ratih yang berada di depan rumah mereka. Ditengah perjalanan melewati jalan setapak, Bakhir bertemu dengan Mbok Mini yang hari itu sudah selesai membantu persalinan menantu Pak Tirto.
Sebelum mereka berpapasan, Mbok Mini melihat Bakhir dari jauh dan berjalan tergesa-gesa dengan membawa satu tangkai bunga dahlia.
“Kir, koe ki ngopo kok kesusumen, arep ning ngendi koe?” (Kir, kamu itu kenapa kok terburu-buru, mau kemana kamu?)
“Iki lo Mbok, aku arep ning omahe Mbah Cipto, kok koyone ono sik ora beres” (Ini lo Mbok, akum au kerumah Mbah Cipto, kok sepertinya ada yang tidak beres)
Bakhir pun menceritakan peristiwa aneh yang ia alami kepada Mbok Mini, mulai dari menemukan bunga dahlia ditengah kebun, hingga menemukan galian disamping rumah miliknya beserta dengan satu tangkai bunga dahlia yang ia bawa saat itu juga.
“Kir, aku mau pas mangkat ning omahe Pak Tirto kuwi yo lewat omahmu yo lewat tegalmu, mau Lastri ngomong nek ketemu kowe ning tegal kon mulih disik kon mangan, yo aku weruh kembang dahlia ning tengah tegalmu kir,
aku goleki kowe ning tegal ngasi tak bengoki nyeluki kowe ora enek sik nyaut” (Kir, aku tadi pas berangkat ke rumah Pak Tirto itu ya lewat rumahmu ya lewat kebunmu, tadi Lastri bilang kalau ketemu kamu di kebun disuruh pulang dulu untuk makan,
ya aku lihat bunga dahlia di tengah kebunmu kir, aku mencarimu di kebun sampai aku berteriak memanggilmu tapi tidak ada jawaban)
Hal aneh kembali dihampiri Bakhir ketika mendengar pernyataan Mbok Mini, setelah ia membabat bunga dahlia yang ada di tengah kebunnya seharusnya bunga itu sudah tidak ada lagi, tapi entah kenapa Mbok Mini masih melihat ada bunga dahlia di tengah kebunnya.
Dan juga pada saat itu entah kenapa dia tidak mendengar suara teriakan dari Mbok Mini yang memanggilnya, padahal pada saat itu setelah menemui Gunadi ia langsung menuju kebun miliknya.
Pada saat perjalanan menuju rumah Mbah Cipto, Bakhir memang melewati jalan yang juga menuju ke arah kebun miliknya, namun ia sama sekali tidak melihat kondisi kebunnya saat itu dan terburu-buru menuju rumah Mbah Cipto.
“Wes kir, pokoke ceritakno kabeh ning Mbah Cipto, mengko tak tiliki tegalmu maneh iseh enek ora kembang dahliane” (Sudah kir, pokoknya ceritakan semua kepada Mbah Cipto, nanti aku lihat lagi kebunmu masih ada atau tidak bunga dahlianya)
Bakhir pun melanjutkan perjalanannya ke rumah Mbah Cipto yang terletak didekat perbatasan desa. Namun diketahui saat itu Mbah Cipto tidak ada dirumah, dan akhirnya Bakhir menunggu sampai kepulangan Mbah Cipto didepan rumah.
Menjelang maghrib akhirnya Mbah Cipto pulang kerumah, dan melihat Bakhir tertidur bersandar di samping pintu rumah milik Mbah Cipto.
“Le, koe ki ngopo kok turu ning omahku surup surup ngene?” (Le, kamu itu kenapa kok tidur dirumahku sore-sore begini?)
Le/Thole adalah panggilan untuk anak laki-laki di jawa.
“Niki Mbah, kulo meniko wonten perlu kalih Mbah Cipto, kulo wau mriki bibar ashar, nanging Mbah Cipto mboten wonten griyo, nggeh kulo ngentosi njenengan wangsul mawon Mbah ting mriki” (Begini mbah, saya itu ada perlu dengan mbah Cipto,
saya tadi kesini setelah ashar, tapi mbah Cipto tidak ada dirumah, ya saya menunggu Mbah Cipto pulang disini)
Akhirnya Bakhir dipersilahkan masuk kerumah Mbah Cipto, setelah ia masuk kedalam rumah, Bakhir merasakan bau dupa dan kemenyan yang sangat menyengat di rumah Mbah Cipto.
Sebenarnya itu adalah kali pertama Bakhir meminta pertolongan kepada Mbah Cipto, dan sebenarnya Bakhir adalah orang yang tidak begitu percaya dengan hal-hal mistis,
namun kejadian di beberapa hari terakhir membuat ia penasaran dan membuat menanyakan hal ini kepada Mbah Cipto.
“Nopo, kowe enek perlu opo karo aku le, koe lak mantune Pak Yatno to, koe bojone Lastri to?”
(Kenapa, kamu ada perlu apa dengan aku le, kamu kan menantunya Pak Yatno, kamu suaminya Lastri kan)
“Nggih mbah, leres, kulo bojone Lastri mantune Pak Yatno” (Iya mbah, benar, saya suamiya Lastri menantunya Pak Yatno)
Akhirnya Bakhir pun menceritakan semua kejadian-kejadian aneh yang ia alami akhir-akhir ini, dan memperlihatkan satu tangkai bunga dahlia yang ia bawa dari rumah. Bakhir melihat Mbah Cipto memandangi bunga dahlia dengan gelagat aneh,
seakan tidak percaya dengan bunga dahlia tersebut dengan adanya satu warna mahkkota berwana hitam pekat.
“Le, kowe muliho saiki, tinggalen kembang iki lan jogonen keluargamu, moco donga sak isomu nggo jogo keluargamu yo le, aku tak goleki iki kahanan opo sik lagi ono ning keluargamu, wes ora suwe aku bakale moro ning omahmu”
(Le, kamu pulang sekarang, tinggalkan bunga ini dan jaga keluargamu, baca doa sebisamu buat jaga keluargamu, aku cari tahu dulu kejadian apa yang ada di keluargamu, tidak lama aku bakal dating kerumahmu)
Setelah medengar apa yang dikatakan Mbah Cipto, Bakhir pun akhirnya berpamitan pulang. Namun baru saja beberapa langkah keluar dari rumah Mbah Cipto, ia mengatakan sesuatu hal kepada Bakhir.
“Kowe mulih soko kene, orasah mandek ning tegalmu, orasah goleki maneh kembang koyo ngene iki, wes tak urusane kabeh” (Kamu pulang dari sini, tidak usah berhenti di kebunmu, tidak usah mencari lagi bunga seperti ini, biar aku urus semuanya)
Akhirnya Bakhir pun melanjutkan perjalanan pulang, dan ditengah perjalanan malam itu melewati jalan setapak yang berada di depan kebun miliknya, dia merasakan ada seseorang dari jauh tengah mengamatinya yang sedang berjalan.
Entah kenapa dia tiba tiba merasakan gerah pada tubunya ketika berada di depan lahan milik kebunnya. Kemudian setelah melewati kebun miliknya hal aneh pun terjadi,
seketika angin kencang yang datang menghembuskan pohon-pohon bambu yang berada disekitar jalan dan membuat suara berdenyit gesekan antar bambu. Merasakan ada hal yang tidak beres akhirnya membuat Bakhir mempercepat langkahnya untuk menjemput Lastri dirumah Ratih.
Pada sore itu saat Lastri berada dirumah Ratih, diapun juga menceritakan apa yang terjadi pada siang itu saat menemukan galian lubang disebelah rumah beserta bunga dahlia.
“Tih, mau awan ki pas aku lagi masak krungu suara watuke mas Bakhir, bar masak terus tak tiliki ning samping omah kok wes ora enek, malah enek luwangan karo kembang dahlia”
(Tih, tadi siang pas aku lagi masak dengar suara batuk mas Bakhir, setelah masak aku lihat disamping rumah kok udah nggak ada, justru ada galian sama bunga dahlia)
Ratih yang saat itu tengah mengelus-elus perut buncit Lastri pun kaget, karena pada siang itu ia dengan jelas melihat Bakhir lah yang sedang membuat lubang di samping rumah mereka.
“Loh mbak, aku mau awan ki weruh mas Bakhir sik gawe luwangan kui, aku pas lagi resik-resik ngarep omah, tak takoni gawe luangan opo meneng wae terus lungo ora ngerti neng ngendi”
(Loh mbak, aku tadi siang itu melihat mas Bakhir yang bikin galian itu, aku pas lagi bersih-bersih depan rumah, aku tanya buat apa galiannya dia cuma diam saja dan pergi tidak tau kemana)
Mendengar pernyataan Ratih, Lastri pun kaget dan dia juga masih ingat dengan perkataan suaminya yang tidak pernah kembali pulang lagi setelah saat itu keluar mencari adiknya Gunadi.
“Tenane tih, mau ki mas Bakhir ngomong pas metu nggoleki Gunadi, Mas Bakhir durung bali maneh, opo maneh gawe luangan kui, la saiki mas Bakhir lagi ning gone mbah Cipto gowo kembang dahlia sik tak temokne ning samping omah”
(Beneran tih, tadi itu mas Bakhir bilang pas keluar mencari Gunadi, mas Bakhir belum pulang lagi, apalagi bikin galian itu, sekarang mas Bakhir baru kerumah mbah Cipto bawa bunga dahlia yang aku temuin di samping rumah)
Setelah mendengar pernyataan Lastri, sekarang giliran Ratih yang merasa heran dan terkejut, karena pada siang itu dengan jelas ia benar-benar melihat Bakhir yang tengah membuat galian. Lantas jika bukan Bakhir siapa orang yang mirip sekali dengan Bakhir saat itu.
Tok, tok, tok ….. Suara ketukan dari pintu rumah Ratih, akhirnya Dwi adik dari Ratih membukakan pintu pada malam itu, dan didapati Bakhir yang berada di balik pintu dengan keadaan keringat yang banyak di sekujur tubuhnya.
Lastri yang tengah duduk saat itu melihat suaminya yang ada di depan pintu.
“Mas, sampeyan ki bar di oyak opo, kok kabeh sak awak teles keringetan kabeh?” (Mas, kamu itu habis dikejar apa, kok badan basah keringat semua?)
“Ora, ora enek opo opo, wis ayo lak mulih” (Tidak, tidak ada apa apa, sudah ayo pulang)
Belum sempat Lastri beranjak dari kursinya, tiba-tiba Ratih datang menghampiri Bakhir dan mengatakan sesuatu hal.
“Mas, bener dudu sampeyan sik ndik mau awan ning samping omahmu, mbok koe ki ojo malah meden-medeni ngono kui, mbak Lastri ki lagi meteng gede lo mas, mung kari pirang dino maneh coba”
(Mas, benar bukan kamu yang tadi siang di samping rumahmu, kamu itu jangan nakut-nakutin kaya gitu, mbak Lastri itu baru hamil besar lo mas, cuma tinggal berapa hari lagi coba)
“Lah emang sik ndik mau awan ki opo, maksude opo to tih, aku kok malah yo melu wedi iki” (Lah memang tadi siang itu apa, maksudnya apa sih tih, aku kok juga malah takut)
Akhirnya Ratih menjelaskan apa yang dia lihat pada siang itu, serta keterangan Lastri yang menambah Bakhir semakin yakin ada yang sedang tidak beres didalam keluarga kecilnya menjelang kelahiran anak pertamanya itu.
Ketika sudah sampai rumah, akhirnya Lastri bertanya kepada suaminya apa yang telah ia dapat sepulang dari rumah mbah Cipto.
“Mas, la mau mbah Cipto ngomong opo mas ning sampeyan?”(Mas, terus tadi mbah Cipto bilang apa ke kamu mas?)
“Mbah Cipto ngakon aku donga tok nduk, kabeh jare arep digoleki asal usule, karo jare nak wes ketemu, mbah Cipto sika rep moro ning omah” (Mbah Cipto minta aku berdoa saja nduk, semua mau dicari asal usulnya, dan nanti jika sudah ketemu, mbah Cipto yang akan datang kerumah)
Setelah kepulangan Bakhir dari rumah mbah Cipto yang membuat badannya basah akan keringat, ia pun memutuskan mandi pada malam itu.
Orang-orang jawa jaman dulu kebanyakan membuat kamar mandi yang terpisah dengan rumah utama. Dan pada saat itu letak kamar mandi dirumah Bakhir terpisah sekitar 25 meter dari rumah utama.
Kamar mandi dengan tembok kayu dan atap genting yang sudah banyak sekali lumutnya, serta penerangan yang hanya menggunakan lampu sentir, menambah kesan mistis setiap malam jika orang-orang jaman dulu melakukan aktivitas malam hari di kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Bakhir pun masuk kedalam kamarnya dan melihat istrinya tengah mengelus-elus perut buncitnya yang sebentar lagi akan segera lahir buah cinta mereka.
Sesaat setelah masuk ke kamar, Bakhir tiba-tiba mencium bau harum wangi yang sangat menyengat, namun ia tidak tau bau wangi bunga pada malam itu.
“Nduk, iki mambu wangi kembang opo to, kok wangi tenan, koe nyimpen kembang ning kamar?”
(Nduk, ini bau wangi bunga apa, kok harum sekali, kamu menyimpang bunga di kamar?)
Lastri pun merasa aneh karena dia sama sekali tidak mencium bau wangi bunga apapun di dalam kamar mereka. Karena sudah terlalu kelelahan, Bakhir pun akhirnya mengajak istrinya untuk segera tidur pada malam itu.
Akhirnya Lastri sudah tertidur dengan pulas, dan Bakhir belum bisa tidur dengan nyenyak karena masih memikirkan apa yang mungkin akan terjadi pada keluarganya setelah kerjadian aneh yang menimpanya saat itu.
Hingga pukul 2 pagi dini hari, Bakhir masih terjaga dan sama sekali belum bisa untuk tidur, hingga pada malam hari itu di dalam pikiran Bakhir ada sesuatu yang mengganjal, yaitu seperti sebuah ajakan untuk pergi ke kebun pada malam itu.
Dan Bakhri pun merasa tak tahan dengan pikiran yang mengganjalnya, dan tiba-tiba saja dia segera meninggalkan rumah pada malam itu untuk menuju kebun miliknya. Ditemani dengan lampu obor kecil yang ia bawa,
ia jalan melawati jalan setapak menuju kebun miliknya. Suara sunyi dan desiran angin pada malam itu menambah kesan mistis ketika ia berjalan menuju kebun. Dan tiba-tiba saja dia melihat ada sebuah lampu obor yang entah miliki siapa pada saat itu yang berada di sisi lain kebunnya
“Mbah, mbah Cipto, wonten nopo mbah kok enten tegal tengah wengi ngeten?” (Mbah, mbah Cipto, ada apa mbah kok berada di kebun tengah malam bengini?)
Dan pertanyaan Bakhir dijawab oleh mbah Cipto, yang membuat Bakhir tidak tau sama sekali maksud dari mbah Cipto.
“Joyodro teko maneh” (Joyodro datang lagi)
Lanjut hari rabu jam 20.00.
See you.....
“Joyodro niku sinten mbah?” (Joyodro itu siapa mbah)
Namun mbah Cipto pada saat itu tidak menjelaskan siapa sebenarnya Joyodro. Dia meminta kepada Bakhir untuk terus berdoa demi kebaikan keluarga mereka. Akhirnya mbah Cipto meminta untuk Bakhir segera pulang dan memberikan sesuatu yang menurut Bakhir itu adalah hal yang sangat aneh
“Pring cilik papat iki, pasangen ning njobo pojok pojok omahmu, Joyodro ora bakal iso mlebu omahmu” (Bambu kecil empat ini, pasang di luar pojok pojok rumahmu, Joyodro tidak akan bisa masuk kerumahmu)
Akhirnya Bakhir menuruti perkatan mbah Cipto dengan membawa empat buah bambu kecil yang akan ia pasang di setiap sudut rumahnya. Belum sempat Bakhir berpamitan pulang kepada mbah Cipto, ia kembali mendengar perkataan aneh yang diucapkan mbah Cipto.
“Le, tak kandani, pokoke opo wae sik enek pikiranmu ngajak kowe tengah wengi ning tegal, ojo mbok turuti, aku pokoke bakale bantu opo sik iso tak tulungi. Jogonen anak bojomu 40 dino 40 wengi ojo ngasi metu soko omah sak bare maghrib bar lahire anakmu sesok yo”
(Le, saya kasih tahu, pokoknya apapun yang ada di pikiranmu mengajakmu ke kebun tengah malam, jangan kamu turuti, saya sebisanya membantu apa yang bisa saya tolong. Jaga anak dan istrimu 40 hari 40 malam jangan sampai keluar rumah setelah maghrib setelah anakmu lahir besok)
Bakhir pun sebenarnya ingin mengetahui apa maksud yang diucapkan mbah Cipto, namun ia mengurungkan niatnya karena ingin segera memasang bambu yang diberikan mbah Cipto dan mengingat ia tengah meninggalkan istrinya sendiri dirumah tengah malam.
Akhirnya Bakhir sudah sampai dirumah dan segera memasang bambu yang diberikan mbah Cipto di pojok rumahnya. Dan ia saat itu melihat lubang disamping rumahnya yang entah siapa yang membuatnya pada siang hari itu,
kemudian Bakhir pun menutup lubang-lubang galian tersebut. Suara pintu terbuka dan langkah kaki Bakhir ketika masuk kedalam rumah membuat Lastri pada saat itu terbangun dari tidurnya.
“Sampeyan ki soko ngendi mas, tengah wengi koyo ngene?” (Kamu itu dari mana mas, malam hari kaya gini). Bakhir pun tidak menjelaskan kepada istrinya apa yang telah ia lakukan pada malam itu agar Lastri tidak merasa ketakutan,
, dan hanya mengatakan mencari angin keluar rumah karena merasa gerah. Malam itu Bakhir tetap saja tidak bisa tenang dalam tidurnya,
ia masih memikirnya perkataan mbah Cipto malam itu, masih menjadi pertanyaan besar dalam pikirannya, siapa sebenarnya Joyodro itu.
Pagi hari setelah kejadian itu, mbok Mini yang tengah berjualan jamu tradisional sengaja berhenti didepan rumah Bakhir untuk memberikan jamu kepada Lastri, yang beberapa hari lagi akan melahirkan.
“Nduk, nduk Lastri, iki nduk ngombe jamune simbok sik” (Nduk, nduk Lastri, ini minum jamunya simbok dulu) teriak mbok Mini dari depan rumah Bakhir. Akhirnya Lastri pun berjalan keluar rumah untuk mendekati mbok Mini.
“Nduk, iki di ombe sek jamune, ben sesok lancar le lahiran yo nduk. Terus saiki bojomu enek ngendi?” (Nduk, ini diminum dulu jamunya, supaya besok lancar saat melahirkan ya nduk. Terus sekarang mana suamimu?)
“Wonten perlu nopo to mbok, niku mas Bakhir tasih ting kamar, sewengi turene mboten saget tilem” (Ada perlu apa sih mbok, itu mas Bakhir masih di kamar, semalam katanya tidak bisa tidur)
Akhirnya mbok Mini meminta Lastri untuk membangunkan Bakhir, karena memang ada yang akan di sampaikan langsung kepada Bakhir.
“Pripun to mbok, wonten perlu nopo”? (Kenapa sih mbok, ada perlu apa?)
Mbok Mini pun menjelaskan apa yang ia lihat setelah bertemu Bakhir pada perjalanan pulang setelah membantu persalinan menantu Pak Tirto. Dan alangkah terkejutnya Bakhir mendengar pernyataan mbok Mini saat itu.
“Kir, Joyodro wes teko, kowe kudu ngati-ati, opo sing di karepne mbah Cipto lakonono” (Kir, Joyodro sudah datang, kamu harus berhati-hati, apa yang di minta mbah Cipto lakukanlah)
“Mbok, Joyodro niku sinten to mbok, ndek wau dalu kulo ketemu mbah Cipto wonten tegal, mbah Cipto nggeh ngendiko Joyodro wes teko. Joyodro niku sinten mbok?”
(Mbok, Joyodro itu siapa sih mbok, semalam saya ketemu mbah Cipto dikebun, mbah Cipto juga bilang Joyodro sudah datang. Joyodro itu siapa mbok?)
Mbok mini mengatakan tentang Joyodro yang sudah datang kepada Bakhir, karena saat itu diperjalanan pulang dan berada di depan kebun milik Bakhir, mbok Mini melihat sosok yang mirip sekali dengan diri Bakhir tengah memandangi bunga dahlia yang berada di tengah kebun.
Dan menurut keterangan mbok Mini sosok itu sempat melihat mbok Mini yang tengah berjalan, lalu dia hanya melirik dengan sinis dan pergi menjauh dari tempat mbok Mini saat melihatnya.
“Mbok, kulo wingi niku bar saking tegal mpun mboten enten kembang dahlia ning tengah tegal kalih sisih lor lo mbok. Kulo sakwene ning tegal nggih lagi weruh kembang dahlia siji tok ning tengah njur wes tak babati. Mosok tasih wonten kembange malih?”
(Mbok, saya kemarin itu setelah dari kebun sudah tidak melihat bunga dahlia di tengah kebun dan di bagian utara. Saya selama di kebun hanya melihat satu bunga dahlia di tengah kebun dan sudah saya babat habis. Masa masih ada bunganya lagi?)
Lastri yang saat itu mendengar apa yang dibicarakan suaminya dengan mbok Mini merasa heran dan takut, memikirkan apa yang tengah terjadi sebenarnya saat ini.
“Loh mas, sampeyan ki ndek bengi lungo ning tegal, la kok jare mung golek howo. Njur ketemu mbah Cipto ning tegal enek opo mas?” (Loh mas, kamu itu semalam pergi ke kebun, kok katanya cuma keluar mencari hawa. Terus ketemu mbah Cipto di kebun ada apa mas?)
Mendapati pertanyaan Lastri, akhirnya Bakhir pun menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi, namun Bakhir meminta Lastri untuk tidak panik dan takut, karena mbah Cipto akan membantu untuk menyelesaikan masalah ini.
Kemudian saat bersamaan, Gunadi dan Bani melewati depan rumah Bakhir yang mana masih ada mbok Mini saat itu.
“Gun, koe arep lungo ning tegal?” (Gun, kamu mau pergi ke kebun?) Tanya Bakhir kepada adik iparnya saat itu.
“Iyo mas, wes sampeyan ning omah wae, saiki ben aku sik garap tegalmu” (Iyo mas, sudah kamu dirumah saja, sekarang biar aku yang mengolah kebunmu)
“Gun, koe nak arep garap tegale Bakhir, nak nemu kembang dahlia ning tengah tegal, ojo pisan pisane mbok babati, wes ora usah digagas kembang kui”
(Gun, kamu kalau mengolah kebun milik Bakhir, kalau menemukan bunga dahlia di kebun, jangan sekali-kali kamu bersihkan, sudah tidak usah dipikirkan bunga itu)
Itu adalah perkataan mbok Mini kepada Gunadi yang saat itu akan menuju kebun. Namun Gunadi sendiri juga heran dengan permintaan mbok Mini saat itu yang meminta membiarkan bunga dahlia yang berada di tengah kebun.
“Nggih mbok, nanging kulo mboten ngerti enten kembang dahlia ning tengah tegale mas Bakhir, kulo ngertine wonten sisih lor niku mbok” (Iya mbok, tapi saya tidak tahu ada bunga dahlia di tengah kebun mas Bakhir, saya tahunya ada di sisi utara itu mbok)
Itu adalah pernyataan Gunadi kepada mbok Mini saat itu, yang berbeda dengan apa yang dilihat oleh Bakhir. Akhirnya mbok Mini meminta kepada Gunadi dan Bani jika menemukan bunga dahlia dikebun milik Bakhir untuk membiarkannya saja, dan biar semuanya diurus oleh mbah Cipto.
“Mbok, sak benere Joyodro niku sinten to” (Mbok, sebenarnya Joyodro itu siapa) Tanya Bakhir pada mbok Mini yang saat itu sudah bersiap melanjutkan keliling berjualan jamu.
“Ojo sekali kali koe ndue urusan karo Joyodro, aku ora ndue hak jelasne sopo kui Joyodro. Kabeh sek reti mbah Cipto, ben mbah Cipto sik jelasne ning kowe”
(Jangan sekali-kali kamu berurusan dengan Joyodro, aku tidak punya hak menjelaskan siapa itu Joyodro. Semua yang tahu mbah Cipto, biar mbah Cipto yang menjelaskan kepadamu)
see you soon..
*mau dilanjut dibulan puasa apa setelah lebaran?*
Mbok Mini akhirnya meninggalkan rumah Bakhir disertai dengan Gunadi dan Bani yang akan menuju kebun milik Bakhir. Pernyataan mbok Mini tentang siapa sebenarnya Joyodro itu semakin membuat penasaran Bakhir, dan ingin mencari tahu siapa sebenarnya Joyodro.
Namun ia masih ingat ucapan dari Mbah Cipto yang akan menyelesaikan semuanya dan akan segera mengunjungi rumahnya.
Beberapa hari kemudian, akhirnya Lastri merasakan gejala akan melahirkan dihari itu, pada siang itu Lastri mengalami sakit perut yang luar biasa dan Bakhir hanya bisa menemani serta mendoakan agar istrinya bisa segera melahirkan dengan selamat.
Ratih yang saat itu juga menemani Lastri yang berada di dalam kamar, meminta kepada Bakhir untuk memanggil mbok Mini secepatnya. Akhirnya Bakhir dengan segera menuju rumah dari mbok Mini,
namun saat baru keluar rumah ternyata Bakhir melihat mbah Cipto yang saat itu tengah mengamati rumah Bakhir dengan serius.
“Mbah, wonten nopo? “ (Mbah, ada apa?) Tanya Bakhir pada saat itu yang kaget dengan kedatangan mbah Cipto.
“Wes, koe lungo ning omahe mbok Mini wae, mesakne bojomu, iki sik eneng kene tak urusane” (Sudah, kamu pergi ke rumah mbok Mini saja, kasihan istrimu, ini yang disini biar urusanku)
Bakhir sempat bingung dengan ucapan mbah Cipto, kenapa ia bisa mengetahui bahwa istrinya saat itu akan melahirkan. Tanpa pikir panjang akhirnya Bakhir segera meninggalkan rumah dan segera menuju rumah dari mbok Mini. Kebetulan saat itu mbok Mini tidak berjualan jamu,
karena saat itu ia sudah merasakan bahwa Lastri akan melahirkan di hari itu.
“Kulo nuwun, mbok, mbok Mini, niki Bakhir mbok” (Permisi, mbok, mbok, mbok Mini, ini Bakhir mbok)
Mbok Mini saat itu juga membukakan pintu dan melihat raut muka Bakhir yang panik saat itu.
“Pie, enek opo? Wes wayahe bojomu lahiran yo?” (Kenapa, ada apa? Sudah waktunya istrimu melahirkan ya?)
“Nggih mbok, Lastri mpun wayahe lahiran niki” (Iya mbok, Lastri sudah waktunya lahiran ini)
Akhirnya mbok Mini mempersiapkan segala keperluannya untuk membantu kelahiran Lastri, dan mereka segera menuju kerumah.
Disaat Bakhir pergi menuju kerumah mbok Mini, Ratih yang saat itu menemani Lastri berada didalam kamar merasakan bau bunga yang sangat harum sekali, namun iya tidak menanyakan hal itu kepada Lastri dan mencari sumber bau wangi tersebut di dalam kamar.
Mbah Cipto yang saat itu juga berada di sekitar rumah Bakhir melihat ada bunga dahlia yang tumbuh di dekat kamar mandi milik Bakhir. Lastri yang saat itu meminta Ratih untuk mengambilkan air minum dan pergi ke dapur, ia melihat mbah Cipto yang sedang berada di dekat kamar mandi.
“Loh mbah, mbah Cipto kok wonten mriki?” (Loh mbah, mbah Cipto kok ada disini?)
“Iyo nduk, kowe wes tunggunen Lastri wae, karo aku tulung jupukno uyah sitik nduk” (Iya nduk, udah kamu nunggu Lastri saja, sama aku minta tolong ambilkan garam)
Akhirnya Ratih saat itu juga mengambilkan garam yang ada di dapur rumah Bakhir dan memberikan kepada mbah Cipto. Dia mengamati sekilas apa yang tengah dilakukan mbah Cipto,
sebelum menaburkan garam di dekat bunga dahlia itu, mbah Cipto terlihat membacakan sesuatu yang entah Ratih tidak ketahui saat itu.
Mbok Mini dan Bakhir akhirnya sampai dirumah, dan mbok Mini segera menuju kamar Lastri. Bakhir yang saat itu melihat mbah Cipto berada di sebelah kamar mandi akhirnya menghampiri mbah Cipto.
“Pripun mbah, keluarga kulo lak mboten enten masalah nopo nopo to mbah, kok kulo dados wedi” (Gimana mbah, keluarga saya tidak ada masalah apa-apakan mbah, kok saya jadi takut)
Mbah Cipto saat itu tidak menjawab pertanyaan Bakhir, dan justru menjelaskan sesuatu kepada Bakhir.
“Joyodro wes teko, iki mesti arep culik rogone manungso, iki goro-goro masalah mbien sik durung rampung” (Joyodro sudah datang, ini pasti mau menculik raganya manusia, ini pasti gara-gara masalah yang dulu belum selesai)
Raut muka Bakhir yang saat itu seketika panik, dilain sisi sedang memikirkan istrinya yang akan melahirkan dan ditambah dengan keterangan dari mbah Cipto.
“Mbah, nopo Joyodro niki mangkih mendet anak kulo?” (Mbah, apa Joyodro ini nanti akan mengambil anakku?)
“Aku ora ngerti bakale sopo sik dijupuk ning deso iki, aku yo usaha ben ora enek sopo wae sik digowo Joyodro, iki awal cerito soko keluargane Harto”
(Aku tidak mengerti siapa yang akan diambil di desa ini, aku juga berusaha agar tidak ada siapapun yang dibawa Joyodro, ini awal ceritanya dari keluarga Harto)
“Harto mbah? Pak Harto Juragan mbako niku? Wonten masalah nopo Joyodro kaliyan Pak Harto?” (Pak Harto mbah? Juragan tembakau itu? Ada masalah apa Joyodro dengan Pak Harto?)
“Wong tuone Harto sik mbien ngopeni Joyodro, nanging sakwene wong tuone Harto yo iku Pak Kustino mati, Joyodro ngamuk ora enek sik ngurusi njur pernah di usir karo Mbah Sastro”
(Orang tuanya Harto yang dulu merawat Joyodro, tapi setelah orang tuanya Harto yaitu Pak Kustino mati, Joyodro marah karena tidak ada yang merawat lagi terus pernah diusir oleh mbah Sastro)
“Mbah Satro niku sinten mbah? Kok saget ngusir Joyodro” (Mbah Sastro itu siapa mbah? Kok bisa mengusir Joyodro)
“Mbah Sastro kui sesepuh deso iki mbien, sak wise Pak Kustino mati, saben malem selasa kliwon karo jumat kliwon, mesti enek wae cah cilik lan prawan sik di gondol Joyodro. Ning mbah Sastro iso ngatasi kui kabeh njur ngusir Joyodro”
(Mbah Sastro itu sesepuh desa ini dulu, setelah Pak Kustino mati, setiap malam selasa kliwon dan jumat kliwon, pasti ada anak kecil dan perawan yang dibawa Joyodro. Tapi mbah Sastro bisa mengatasi itu semua dan mengusir Joyodro)
Joyodro adalah peliharaan milik Pak Kustino yang berwujud genderuwo, dengan badan setinggi pohon kelapa, bulu-bulu yang memenuhi seluruh tubuhnya dan memiliki mata merah yang sangat menakutkan.
Pernah beberapa orang melihat sosok Joyodro di dekat kebun milik Pak Kustino kala itu, dan lari terbirit-birit atau pingsan ditempat.
Joyodro adalah peliharaan yang membantu Pak Kustino dalam usahanya, disaat hampir semua warga yang memilki kebun tembakau gagal panen, lahan milik Pak Kustino sendiri lah yang dapat panen pada saat itu,
kejadian ini sangat sering terjadi dan beberapa warga sempat meminta benih tembakau milik Pak Kustino, namun hasilnya tetap sama saja, kebun tembakau mereka sering gagal panen.
Pernah ditemukan seseorang yang mati mengenaskan di dekat kebun milik Pak Kustino, warga tersebut ternyata adalah warga desa sebelah. Kondisi mayat dengan muka lebam hitam, kedua bola mata yang hampir keluar dan badan penuh dengan cakaran yang dalam,
serta dengan keadaan badan yang digantung di pohon kelapa menggunakan sehelai daun kelapa dengan posisi kaki berada di atas dan pada saat ini masih meneteskan darah. Manusia normalpun saat itu tidak akan bisa melakukan hal serupa, sudah jelas, itu adalah perbuatan Joyodro
“Ojo pisan pisan maling ning tegalku, nek ora gelem mati koyo ngene iki” (Jangan sekali kali mencuri di kebunku, jika tidak ingin mati seperti ini). Itu adalah kata-kata yang di ingat Mbah Cipto sewaktu masih muda dan melihat keadaan pada saat itu.
Mbah Cipto menceritakan kepada Bakhir, pernah pada masa setelah kematian Pak Kustino, Joyodro mengamuk karena tidak ada yang mengurusinya lagi dan akhirnya menculik beberapa warga yang melewati kebun milik Pak Kustino pada malam selasa kliwon dan jumat kliwon.
Namun dengan adanya mbah Sastro saat itu semua bisa teratasi dan warga yang pernah diculik oleh Joyodro bisa kembali dengan selamat.
“Mbah, la terus nopo Joyodro niku sak niki manggon ting tegale kulo?” (Mbah, sekarang apa Joyodro itu menempati kebunku?) Tanya Bakhir kepada mbah Cipto.
“Yo, tegalmu kui mbien awal mulane tegale Pak Kustino, Harto ngedol tegal kui mergone wegah urusan karo Joyodro. Joyodro bali maneh amergo mbah Sastro saiki wes mati, wes ngeroso ora enek sik iso ngelawan maneh”
(Ya, kebunmu itu dulu awal mula kebunnya Pak Kustino, Harto menjual kebun itu karena tidak mau berurusan dengan Joyodro. Joyordo kembali lagi karena mbah Sastro sekarang sudah mati, sudah merasa tidak ada yang bisa melawan dia lagi)
Dikamar itu, Lastri tengah berjuang melahirkan dengan segala kemampuan yang ia miliki, mbok Mini dan Ratih yang saat itu membantu persalinan Lastri pun dibuat merinding dengan keadaan kamar Lastri yang sangat wangi dengan bau bunga.
“Mbok, njenengan nggih kroso mambu wangi kembang niki mbok?” (Mbok, kamu merasakan wangi bunga ini mbok?)
“Wes nduk, ora sah digagas mambu opo iki, kowe ngewangi aku wae saiki, karo dongane Lastri ben cepet lahir bayine” (Sudah nduk, tidak usah dipikirkan bau apa ini, kamu bantuin aku sekarang, dan doakan Lastri biar cepat lahir bayinya)
Itu adalah pertanyaan Ratih dengan suara lirih berbisik di telinga mbok Mini. Setelah berjuang kurang lebih selama 4 jam, akhirnya Lastri berhasil melahirkan bayi perempuan cantik. Mbok Mini dengan seksama membersihkan bayi kecil ini, dan kejadian aneh terjadi.
*mohon maaf kalo ada penulisan yang typo*
Bayi mungil yang baru lahir ini, membawa satu helai mahkota bunga berwarna putih yang berada di genggaman tangan sebelah kanan, yang diketahui itu adalah mahkota bunga dahlia. Mbok Mini yang saat itu mengetahuinya tidak langsung memberitahu Lastri dan Ratih yang berada dikamar.
Ketika semuanya selesai akhirnya mbok Mini keluar dari kamar dan memberikan bunga yang ditemukan kepada mbah Cipto yang saat itu menunggu kelahiran anak Lastri di dalam rumah.
“Kir, wes kae ditungguni sik bojomu, aku tak ngomong dhisik karo mbah Cipto” (Kir, sudah itu ditunggu dulu istrimu, aku mau berbicara dengan mbah Cipto dulu)
Akhirnya Bakhir segera menemui Lastri dan bayi kecilnya yang berada di dalam kamar, dan kemudian memberikan nama Gandini kepada putri kecilnya itu.
“Mbah, iki mau aku bar ngeresiki anake Lastri, aku nemu kembang putih ning tangan tengene, opo iki enek hubungane karo Joyodro”
(Mbah, ini tadi aku habis membersihkan anaknya Lastri, aku menemukan bunga putih di tangan kanannya, apa ini ada hubungannya dengan Joyodro”)
Saat itu mbok Mini juga menjelaskan keadaan kamar ketika tengah membantu persalinan Lastri, yang mana tercium bau bunga yang sangat menyengat.
“Wes mbok, kene kembange tak gowone, mengko bengi tak temonane Joyodro ning tegale Bakhir. Karo iki tulung pasangno ning tangan tengen anake Bakhir, ojo dicopot sedurunge 40 dino 40 wengi”
(Sudah mbok, sini bunganya aku bawa, nanti malam biar saya temui Joyodro di kebunnya Bakhir. Dan ini tolong pasangkan di tangan kanan anaknya Bakhir, jangan dilepas sebelum 40 hari 40 malam)
Saat itu mbah Cipto memberikan sebuah benda kecil berwarna hitam yang dibalut dengan kain kafan kepada mbok Mini, kemudian mbok Mini segera kembali masuk kedalam kamar Lastri dan memasang benda kecil itu di tangan kanan bayi tersebut.
“Mbok, niki nopo, kok dipasangne ning tangane anakku” (Mbok, ini apa, kok dipasangkan di tangan anakku) Tanya Lastri yang heran saat itu, serta Bakhir yang tidak tahu sama sekali benda apa itu.
“Iki soko mbah Cipto nduk, ojo dicopot sedurunge 40 dino 40 wengi” (Ini dari mbah Cipto nduk, jangan dilepas sebelum 40 hari 40 malam) Lastri dan Bakhir menuruti apa kata dari mbah Cipto yang disampaikan lewat mbok Mini.
Setelah kejadian itu mbah Cipto berpamitan pulang kepada semua yang ada dirumah Bakhir, dan memberikan pantangan-pantangan kepada keluarga Bakhir, terutama kepada Lastri.
“Nduk Lastri, dijogo bayine, ojo metu surup surup wayah maghrib. Wes pokoke kowe karo bayimu ojo digowo metu ngomah sak bar e maghrib” (Nduk Lastri, dijaga bayinya, jangan keluar sore sore saat maghrib. Sudah pokoknya kamu dan bayimu jangan dibawa keluar rumah setelah maghrib)
Itu adalah kata kata mbah Cipto sebelum pergi meninggalkan kediaman Bakhir. Beberapa langkah setelah mbah Cipto keluar rumah, Bakhir kemudian mengejar mbah Cipto dan menanyakan sesuatu hal.
“Mbah, niki Lastri mpun lahiran, kulo bakale jogo Lastri kalih anak kulo koyo nopo sik dikarepne mbah Cipto, nanging Joyodro niku mangkih pripun mbah nak tasih wonten tegale kulo?”
(Mbah, ini Lastri sudah melahirkan, saya bakal menjaga Lastri dan anakku seperti apa yang diinginkan mbah Cipto, tapi Joyodro itu nanti bagaimana mbah jika masih di kebunku?”
“Yo le, mengko tengah wengi aku arep moro ning tegalmu, tak temonane Joyodro, opo penjaluke saiki, nek iseh ora gelem manut, mugo mugo wae ilmuku iso ngusir Joyodro soko deso iki”
(Ya le, nanti tengah malam aku akan datang ke kebunmu, aku akan menemui Joyodro, apa permintaannya saat ini, jika masih tidak ingin menurut, semoga ilmuku bisa mengusir Joyodro dari desa ini)
“Mbah, nopo mangkih perlu kersane dikancani Gunadi mbah?” (Mbah, apa nanti perlu ditemani Gunadi mbah?)
“Nek Gunadi wani ngancani yo rapopo mengko jam 2 bengi, ning nak ora wani ojo mbok pekso, aku dewe wis cukup” (Kalau Gunadi berani menemani ya tidak apa-apa, tapi jika tidak berani jangan dipaksa, aku sendiri sudah cukup)
“Nggih mbah, mangkih kulo ngomong rumiyen kalih Gunadi” (Ya mbah, nanti saya ngomong dulu dengan Gunadi)
Setelah mbah Cipto pergi meninggalkan rumah Bakhir, Gunadi dan kedua orang tuanya datang kerumah Bakhir yang telah mengetahui kabar bahwa Lastri telah melahirkan pada hari itu. Saat semua sedang berada didalam kamar,
Bakhir kemudian mengajak Gunadi untuk keluar dari kamar dan membicarakan suatu hal.
“Di, opo bener kowe ora weruh kembang dahlia sik ning tengah tegal, ning weruhmu ning sisih lor?” (Di, apa benar kamu tidak melihat bunga dahlia di tengah kebun, tapi lihatmu di sebelah utara?)
“Iyo mas, mosok sampeyan gak ngerti kembang sak akehe semono to mas, dilebokne karung wae pie njur di dol ning pasar?” (iya mas, masa kamu nggak tau bunga sebanyak itu mas, dimasukin karung aja gimana, terus dijual dipasar)
“Ojo pisan pisane kowe babati kembang kuwi, wes rausah di gagas kembang kuwi. Karo kowe mengko tak jaluki tulung ngancani mbah Cipto ning tegal wani opo ora?”
(Jangan sekali-kali kamu menebang bunga itu, sudah tidak usah dipikirkan bunga itu. Dan kamu nanti aku maintain tolong buat menemani mbah Cipto di kebun berani atau tidak?)
Setelah itu Bakhir menceritakan apa yang telah ia ketahui dari mbah Cipto kepada Gunadi, dan Gunadi bersedia untuk menemani mbah Cipto pada malam itu. Karena pada dasarnya Gunadi sama dengan Bakhir yang tidak teralu percaya dengan hal-hal mistis.
“Iyo mas, aku wani ngancani, aku yo penasaran karo sik jenenge Joyodro iki, sek pernah diceritakne mbah mbah jaman mbien” (Iya mas, aku berani menemani, aku juga penasaran dengan Joyodro ini, yang pernah diceritakan kakek kakek jaman dulu)
“Yowes nek kowe wani, mengko bar bali soko tegal tak tunggu ning ngarep omah, ceritak no opo sik kedadean yo, nyusulo mbah Cipto ning tegal jam 2 bengi”
(Yasudah jika kamu berani, nanti setelah pulang dari kebun aku tunggu di depan rumah, ceritakan apa yang terjadi ya, susul mbah Cipto dikebun jam 2 malam)
Pada malam itu, kurang lebih jam setengah 2 malam, Gunadi menyusuri jalan setapak menuju kebun milik kakak iparnya ditemani dengan satu buah obor. Suara desiran angin malam dan gesekan antar bambu menambah kesan mistis ditengah jalan setapak itu.
Setelah sampai di kebun, Gunadi tidak lantas masuk kedalam kebun milik Bakhir, ia menunggu mbah Cipto di bawah pohon manga didepan jalan masuk kebun milik Bakhir. Gunadi merasakan bahwa ia tidak sendirian ditempat itu, seperti ada yang mengawasi dari tengah kebun.
Gunadi mendengar dengan jelas seperti ada suara jejak kaki kuda yang berasal dari tengah kebun dan sekelebat bayangan hitam yang diceritakan seperti sedang mondar mandir di dekat kebun itu. Gunadi yang awalnya tidak terlalu percaya dengan hal mistis,
seketika merasakan ketakutan dan berharap mbah Cipto segera datang. Ia sebenarnya ingin menjemput mbah Cipto dirumahnya saat itu, namun jalan nyali Gunadi tidak memungkinkan pada saat itu dan memilih berdiam diri ditempat itu.
“Le, kowe wis suwe ning tegal to” (Le, kamu sudah lama di kebun ini ya) seketika Gunadi kaget dengan kedatangan mbah Cipto yang entah dari mana datangnya, yang tiba-tiba memegang kepala Gunadi, padahal saat itu dengan jelas mbah Cipto membawa satu buah obor,
seharusnya Gunadi melihat obor tersebut dari jauh, namun entah apa yang dilakukan mbah Cipto saat itu hingga bisa seketika sampai di kebun. Namun saat itu Gunadi tidak langsung menanyakan apa yang dilakukan mbah Cipto kenapa bisa sampai di kebun tanpa sepengetahuan Gunadi.
“Njih mbah, sampun saking jam setengah kalih mbah” (Iya mbah, sudah dari jam setengah dua mbah)
“Yowes ayo lak mlebu tegal, ning sakdurunge mlebu tegal, iki tali putih nggonen ning tangan tengenmu” (Yasudah ayo segera masuk kebun, tapi sebelum masuk kebun, ini tali putih pasang di tangan kananmu)
Mbah Cipto memberikan seutas tali kecil dari kain kafan yang hampir sama dengan yang dipakai anak Lastri. Gunadi lantas menuruti perkataan mbah Cipto saat itu dan segera memasang tali tersebut di tangan kanannya.
Setelah masuk kedalam kebun, mbah Cipto memberikan sedikit petuah atau pantangan kepada Gunadi, salah satunya, Gunadi dilarang membuka mata saat mbah Cipto tengah berbicara dengan Joyodro.
“Le, sak wene aku rembukkan karo Joyodro, ojo pisan pisan kowe melek opo nginjen wujude Joyodro, ilmu mu durung cukup, kowe wes cukup ngerungokne opo sik tak rembuk karo Joyodro”
(Le, selama aku berbicara dengan Joyodro, jangan sekali-kali kamu membuka mata atau mengintip wujudnya Joyodro, ilmu mu belum cukup, kamu cukup mendengarkan apa yang aku bicarakan dengan Joyodro)
Gunadi menuruti semua perkataan mbah Cipto, dan segera mbah Cipto memulai sebuah ritual dengan duduk bersila dan membacakan sebuah kata-kata yang membuat Gunadi bingung, Gunadi duduk di belakang mbah Cipto dan segera memejamkan mata.
Pada saat itu kembali suara jejak kaki kuda seperti mendekat ke arah mereka berdua, kemudian mbah Cipto mengatakan sesuatu.
“Aku ora nduwe urusan karo kowe Minah, ngopo kowe teko mrene, aku nduwe urusan karo Joyodro, minggiro nek kowe ora gelem awakmu tak bakar ning kene”
(Aku tidak punya urusan denganmu Minah, kenapa kamu datang kesini, aku punya urusan dengan Joyodro, minggirlah jika kamu tidak mau tubuhmu aku bakar disini)
Seketika saat itu Gunadi merasa bingung, siapa yang datang dengan suara jejak kaki kuda tersebut dan mbah Cipto menyebut sosok itu dengan nama Minah. Dan tiba tiba suara wanita melengking dengan ciri khasnya menjawab perkataan mbah Cipto.
“Cipto, Cipto, kowe nduwe urusan opo karo Joyodro, umurmu karo aku ki luwih tuo aku luwih duwur aku, luwih duwur ilmuku Cipto” (Cipto, Cipto, kamu punya urusan apa dengan Joyodro, umurmu dengan aku lebih tua aku lebih tinggi aku, lebih tinggi ilmuku Cipto)
“Yowes kowe nek arep nantang aku, ojo nyalahne aku kowe awakmu kobong saiki” (Ya sudah jika kamu mau menantangku, jangan menyalahkanku jika kamu terbakar sekarang)
Saat itu Gunadi hanya bisa mendengarkan percakapan itu dengan rasa ketakutan yang tinggi, karena suara wanita itu jelas berada di depan mereka, kemudian mbah Cipto sekilas membacakan sebuah kata-kaya yang kemudian diikuti suara teriakan wanita tersebut seperti menjerit kesakitan.
“Wes cukup to, Cipto, aku ora ngiro ilmumu iso podo karo Sastro. Wes saiki bakale tak celukne Joyodro, nanging ojo nyalahne aku, Joyodro saiki wes milih tumbale lan rabakal iso kowe ngelawan Joyodro saiki”
(Sudah cukup to, Cipto, aku tidak mengira ilmumu bisa sama dengan Sastro. Sekarang aku akan panggilkan Joyodro, tapi jangan menyalahkanku, Joyodro sudah memilih tumbalnya dan kamu tidak akan bisa melawan Joyodro sekarang)
Suara angin yang begitu kencang secara tiba tiba disertai suara getaran dari jauh yang sangat terasa dan kemudian beberapa buah kelapa yang jatuh dari pohonnya, yang menandai kedatangan Joyodro.
“Le, Joyodro wes arep teko, iling ilingen omonganku mau, lan ojo mlayu nek kowe krungu suorone Joyodro, nek kowe wedi njur malah mlayu, nyowomu iso ilang bengi iki”
(Le, Joyodro sudah akan datang, ingat-ingat kembali omonganku, dan jangan lari jika mendengar suara Joyodor, kalau kamu takut dan lari, nyawamu bisa hilang malam ini)
==MINGGU DEPAN==
''JOYODRO MALING ROGO"
Insyaallah selesai.

see you,,
“Nggih mbah” (Iya mbah) jawab Gunadi dengan nada sedikit ketakutan.
Kemudian didepan mbah Cipto berdiri sesosok makhluk tinggi besar dengan bulu bulu diseluruh tubuh dan mata merah yang sangat terang.
Mbah Cipto yang duduk bersila kemudian menanyakan beberapa buah pertanyaan kepada sosok Joyodro tersebut.
“Kowe nduwe urusan opo manih ning ndeso iki, kowe wes diusir soko deso iki, orasah bali rene manih ning kene” (Kamu punya urusan apa lagi didesa ini, kamu sudah diusir dari desa ini, tidak usah kembali lagi disini)
“Cah cilik koyo kowe kuwi arep nantang aku?” (Anak kecil seperti kamu itu mau menantangku) dengan suara yang cukup berat dan membuat Gunadi merinding mendengar suara Joyodro untuk pertama kali.
“Ilmuku ora seduwur koyo mbah Sastro, nanging mung ngusir kowe soko ndeso iki kuwi wes kwajibanku nik kowe gawe goro-goro manih ning ndeso iki”
(Ilmuku tidak setinggi mbah Sastro, tapi untuk mengusirmu dari desa ini sudah kewajibanku jika kamu membuat masalah didesa ini)
“Aku ora nduwe urusan karo kowe, urusanku karo keluargane Kustino” (Aku tidak punya urusan denganmu, urusanku dengan keluarga Kustino)
Setelah percakapan yang cukup panjang, Joyodro meminta tumbal manusia untuk dijadikan pengikutnya kepada mbah Cipto, namun mbah Cipto dengan tegas menolak permintaan Joyodro.
“Ora iso, kowe ora entuk jupuk salah sijine wargo deso iki, urusono dewe urusanmu karo keluargone Kustino, wong sing nduwe tegal iki dudu keluargane Kustino”
(Tidak bisa, kamu tidak boleh mengambil salah satu warga desa ini, urus saja sendiri urusanmu dengan keluarga Kustino, orang yang punya kebun ini bukan keluarga Kustino)
“Aku wes ora peduli karo omongamu, aku wis iso milih tumbal dewe” (Aku sudah tidak peduli dengan omonganmu, aku sudah bisa memilih tumbalku sendiri)
*Itu adalah sedikit percakapan yang diketahui dari beberapa info*
Akhirnya saat itu Joyodro pergi meninggalkan mbah Cipto dan Gunadi yang berada disitu, dan mbah Cipto memberi peringatan keras kepada Joyodro agar tidak mengambil tumbal dari desa tersebut.
“Wes le, bukaen matamu, Joyodro wis lungo” (Sudah le, buka matamu, Joyodro sudah pergi)
Kemudian Gunadi merasa lega dengan semua yang dilaluinya pada malam itu, namun anehnya bukan Joyodro yang menjadi pertanyaan bagi Gunadi, tetapi ia malah menanyakan siapa itu Minah
Mbah Cipto lalu menceritakan bahwa Minah adalah anak seorang dari bangsawan Belanda, ia sering berkeliling menggunakan kuda putih kesayangannya. Ia dan kudanya mati dikejar orang-orang yang dendam dengan orang tua Minah karena melakukan kekejaman yang tidak bisa dimaafkan.
Perempuan itu bernama asli Mina, namun orang orang sekitar memanggilnya Minah.
“Ngapunten mbah, njur masalah kaliyan Joyodro pripun?” (Maaf mbah, terus masalah dengan Joyodro bagaimana?)
“Kowe lak yo wes krungu Joyodro bakale milih tumbale dewe to, sesuk melu aku ngumpulne wargo deso, aku arep ngomong sesuk” (Kamu kan sudah dengar Joyodro bakal memilih tumbalnya sendirikan, besok ikut aku mengumpulkan warga desa, aku akan berbicara besok)
Kemudian pada malam itu Gunadi dan Mbah Cipto pulang kerumah masing-masing, dan Bakhir saat itu sudah menunggu Gunadi di depan rumahnya.
“Pie di, enek kedadeyan opo?” (Gimana di, ada kejadian apa?) Tanya Bakhir saat itu dengan penasaran.
“Aku wes ketemu Joyodro mas, ning aku ora oleh ngerti wujude Joyodro sing akon Mbah Cipto, mung oleh ngerungokne rembukane mbah Cipto karo Joyodro, njur ning tegalmu kuwi ora mung enek Joyodro, ning yo enek sik jenenge Minah”
(Aku sudah bertemu Joyodro mas, tapi aku tidak boleh melihat wujud Joyodro perintah mbah Cipto, dan dikebunmu itu tidak cuma ada Joyodro, tapi ada juga yang namanya Minah)
Gunadi lantas menjelaskan sosok Minah kepada Bakhir menurut keterangan mbah Cipto, ia juga mengatakan bahwa mbah Cipto nanti akan mengumpulkan warga desa pada siang hari dan akan menjelaskan semuanya.
Pagi itu setelah proses melahirkan bayi, Lastri meminta tolong kepada suaminya untuk membersihkan kamar yang sudah digunakan untuk melahirkan, dan betapa kagetnya kedua sepasang suami istri ini, ditemukan begitu banyak bunga dahlia berwarna putih dibalik kasur tersebut.
“Nduk, kowe nyimpen kembang semene akehe ning ngisor kasur? Pantes wae mambu wangi kembang kamare” (Nduk, kamu menyimpan bunga sebanyak ini dibawah kasur? Pantas saja bau wangi bunga kamarnya)
“Loh, gak tau aku mas nyimpen kembang ning ngisor kasur, arep nggo opo yoan kembang semen akehe” (Loh, tidak pernah aku menyimpan bunga dibawah kasur, mau buat apa juga bunga sebanyak ini)
Dengan kepanikan yang begitu menjadi-jadi, dan takut akan sesuatu yang terjadi dalam keluarganya, Bakhir pun lantas segera berlari menuju kerumah mbah Cipto, ia melewati kebun miliknya dan tidak menoleh atau berhenti sama sekali.
“Mbah, mbah Cipto, kulo nuwun mbah, niki Bakhir mbah” (Mbah, mbah Cipto, permisi mbah, ini Bakhir mbah) dengan suara gemetar dan kepanikan itu, Bakhir mengetuk pintu rumah mbah Cipto. Dan mbah Cipto kemudian membukakan pintu.
“Pie enek opo, esuk esuk ngene wes tekan kene” (Ada apa, pagi-pagi begini sudah sampai sini)
Bakhir yang saat itu dengan kepanikan menjelaskan bahwa menemukan bunga dahlia berwarna putih yang begitu banyak dibalik kasur miliknya.
“Wes kowe balio disik, aku njur iki langsung ning omahmu, wes ora bener iki Joyodro” (Sudah kamu pulang dulu, setelah ini aku langsung kerumahmu, sudah tidak benar ini Joyodro)
Mbah Cipto yang saat itu datang dan sampai di depan rumah Bakhir, meminta kepada Bakhir dan Gunadi untuk mengumpulkan warga desa saat itu juga. Kemudian mbah Cipto menjelaskan beberapa larangan kepada para warga,
salah satunya kepada para perempuan yang masih perawan didesa yang tengah menstruasi dilarang keluar rumah setelah maghrib tiba. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada satupun warga desa yang diculik oleh Joyodro untuk dijadikan pengikutnya.
Setelah saat itu keadaan kembali normal, dan hari ke sebelas setelah Lastri melahirkan petaka terjadi.
Kejadian itu terjadi pada tengah malam, Lastri malam itu ingin sekali menuju kamar mandi. Ia saat itu melihat suami dan bayinya tengah tertidur pulas, kemudian melangkah sendirian menuju kamar mandi yang terpisah dengan rumah hanya ditemani lampu sentir.
Entah kenapa pada malam itu kenapa ia tidak meminta Bakhir untuk menemaninya.
Pada pagi hari Bakhir terbangun dari tidurnya karena mendengar bayinya menangis saat itu, ia kemudian memanggil Lastri, mencari Lastri di setiap sudut rumahnya dan tidak menemuinya. Kemudian ia menggendong anaknya menuju rumah Ratih dan tidak ditemukan Lastri dirumah itu.
Akhirnya bayi tersebut dititipkan kepada Ratih, kemudian Bakhir mencari-cari Lastri sambal berteriak.
Alangkah terkejutnya ketika ia melihat kamar mandi yang berada dibelakang rumahnya, dipenuhi dengan bunga dahlia yang begitu banyak tersebar dilantai kamar mandi tersebut. Kaki Bakhir seketika lemas dan saat itu Bakhir tidak sadarkan diri.
Mbok Mini dan Mbah Cipto yang mendengar kabar tersebut segera menuju rumah Bakhir.
“Le, le tangi le” (Le, le bangun le) suara mbah Cipto yang kemudian membuat Bakhir bangun.
Ia kemudian terbangun dan menjelaskan apa yang terjadi pagi itu, kemudian mbah Cipto menanyakan dimana ia memasang bambu kecil. Saat itulah Bakhir sadar apa yang telah ia lakukan, ia hanya memasang empat bambu tersebut di sekeliling rumahnya,
dan tidak termasuk kamar mandi yang berada di belakang rumah miliknya.
“Sakliyane prawan, Joyodro kuwi yo seneng ambune wong wedok bar ngelahirne, amergo isih amis” (Selain perawan, Joyodro itu juga suka bau perempuan setelah melahirkan, karena masih amis) itu adalah pernyataan dari mbah Cipto.
Menurut beberapa tokoh dari tanah jawa, memang makhluk halus menyukai bau bau wanita yang tengah menstruasi dan bau wanita setelah melahirkan yang belum sampai 40 hari.
“Mbah, terus niki pripun Lastri mbah, saget wangsul mboten?” (Mbah, terus ini bagaimana Lastri mbah, bisa pulang tidak)
“Mengko bengi tak temonane maneh Joyodro” (Nanti malam akan aku temui lagi Joyodro)
Akhirnya saat itu bayi kecil anak Bakhir sementara dititipkan kepada tetangganya. Namun ada keanehan terjadi pada sore itu, Bakhir sekilas melihat Lastri yang tengah menyusui anak mereka, namun Bakhir seperti terpatung dan tidak bisa memanggil ataupun bergerak mendekati Lastri.
Kejadian itupun juga dialami tetangga Bakhir yang tengah mengasuh anak Bakhir malam itu, ia sangat jelas melihat Lastri tengah menyusui anak tersebut, namun ia seperti setengah sadar dan tidak bisa berbicara dan bergerak.
Pada malam itu mbah Cipto berangkat sendirian menuju kebun milik Bakhir, sesaat setelah sampai ditempat itu, ternyata sosok Minah kembali datang menemui mbah Cipto.
“Kowe ngopo teko rene, aku ora nduwe urusan karo kowe Minah, gek ndang kono celukno Joyodro” (Kamu kenapa datang kesini, aku tidak punya urusan dengamu Minah, cepat panggilkan Joyodro)
“Joyodro wes entuk tumbale, Joyodro wes rabakal rene maneh, wes ikhlasno bocah wedok kae” (Joyodro sudah mendapatkan tumbalnya, Joyodro sudah tidak akan kesini lagi, sudah ikhlaskan perempuan itu)
Mbah Cipto melakukan segala ritual untuk memanggil Joyodro, namun hasilnya sia sia, Joyodro tetap tidak menampakkan diri pada malam itu.
“Cah wedok kae iso bali mung arep nyusoni anake, ning rogone wes digowo Joyodro” (Perempuan itu bisa pulang untuk menyusui anaknya, namun raganya sudah dibawa Joyodro) Itu adalah kata-kata Minah sebelum pergi meninggalkan mbah Cipto yang berada didekat kebun.
Pada pagi itu kemudian mbah Cipto memberi tahu Bakhir bahwa apa yang ia lakukan sia sia, karena ilmunya tidak setinggi milik mbah Sastro dan memberi tahu Bakhir, bahwa istirnya hanya pulang untuk menyusui anak mereka, dan tidak bisa pulang dengan keadaan utuh seperti sedia kala.
2 bulan setelah kejadian ini, mbah Cipto ditemukan mati ditengah kebun milik Bakhir, tidak ada yang tahu apa yang dilakukan mbah Cipto saat itu.
Banyak warga beranggapan bahwa mungkin saja mbah Cipto bertarung melawan Joyodro pada malam itu, namun ilmu yang dimiliki mbah Cipto tidak sebanding dengan Joyodro.
Dan kejadian aneh terus berlanjut selama kurang lebih satu tahun,yaitu ketika anak Bakhir menangis pasti sosok Lastri sekilas terlihat oleh Bakhir tengah menyusui anak tersebut, namun Bakhir hanya bisa memandanginya dan tidak bisa melakukan gerakan ataupun berbicara dengan Lastri
Kejadian ini adalah kejadian diluar nalar manusia, namun memang benar benar terjadi secara nyata.
Saat ini Bakhir telah meninggal, namun sebelum meninggal Bakhir menceritakan apa yang terjadi pada Gandini, sosok Joyodro lah yang telah merenggut ibunya. Hingga kini tidak diketahui apakah sosok Lastri benar-benar masih hidup atau sudah mati.
Gandini saat ini sudah memiliki seorang suami dan saat ini sudah berumur sekitar 60 tahun. Ia dan suaminya memiliki tempat tinggal yang jauh dari rumah asal Gandini, kurang lebih sekitar 15 km.
Menurut beberapa sumber yang diyakini, Gandini mendapat informasi dari dukun yang ia percayai bahwa ibunya yaitu Lastri saat ini masih hidup dan bisa melihat raga dari Gandini, namun ia tidak bisa melihat ibunya karena masih terhalang oleh kekuatan Joyodro.
Dukun tersebut memberi petuah kepada Gandini, jika ia ingin melihat ibunya, ia harus berjalan dari rumahnya saat ini, menuju rumah dimana ia lahir saat itu. Namun hal itu sudah beberapa kali ia lakukan dan tidak membuahkan hasil.
Dan saat ini sosok Gandini sering saya lihat mondar-mandir melawati jalan desa didekat rumah saya untuk menuju rumahnya dulu. Dan ia memang benar benar berjalan bersama suaminya dan terlihat seperti orang yang tergesa gesa.
Beberapa warga sempat memberinya tumpangan untuk menuju rumahnya kala itu, namun ia menolak dan berjalan begitu saja meninggalkan ajakan warga tersebut.
Yap, cukup sampai disini cerita yang bisa saya bagikan, dan saya pribadi jika sosok Lastri masih hidup semoga bisa segera bertemu dengan Gandini, dan jikapun sudah meninggal saya mendoakan apapun yang terbaik untuk keluarga Bakhir.
Tetap berdoa dan perbanyak ibadah agar kita terhindar dari sesuatu hal yang bisa terjadi kapan saja.
@bacahorror #bacahorror #horror
See you next thread.

Mohon maaf jika masih ada kesalahan penulisan kata.

Menurut kalian apakah sosok Lastri masih hidup atau sudah meninggal ?
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Yudhatama

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!