Buruh ditindas oleh pemilik modal, menuntut hak upah kerja di negeri yang dikendalikan bedil dan penjara,
Setelah mati, aku baru menyadari, kemerdekaan berserikat & menyatakan pendapat hanyalah dongeng pengantar mimpi.
Dari liang lahat keadilan, aku bangkit kembali memberikan kesaksian, ketika peraturan perundang-undangan
Masih ingat dalam ingatan, ketika aku dan buruh lainnya mogok kerja di sebuah zaman yg penuh ketakutan dan penculikan.
Padahal yg kami tuntut bukanlah kemewahan, melainkan secuil hak atas lelehan keringat kaum pekerja.
Dan akhirnya pada suatu waktu, mereka membawaku ke sebuah tempat di mana ajal bertemu.
Mereka bertanya tidak dgn kata2, tetapi dgn pukulan, tendangan & berakhir dgn letusan senjata api.
Siapapun yang menuntut keadilan di negeri ini akan berakhir dengan kematian yang keji.
Namaku Marsinah, seonggok daging yang menolak bertekuk lutut pada ancaman tangan besi kekuasaan.
Mereka keliru dalam berpikir, bahwa dengan membunuhku perlawanan terhadap ketidakadilan akan berakhir.
Tidak, itu salah.
Kematianku menjelma monumen kesadaran bahwa yang ditindas tidak selamanya diam & membungkuk.
Kematianku bukan patung, tetapi api yg membakar keberanian.
Aku bukan sampah yg seharusnya dibuang & dibakar.
Akulah Marsinah, suara paling dalam dari nurani yg selama ini Tuan-Tuan & Nyonya-Nyonya ingkari.
Tangerang, 9 Mei 2020
"Marsinah tidak pernah mati. Marsinah akan tetap hidup dalam pikiran buruh dan rakyat yang merindukan keadilan."
Panjang umur perjuangan! ✊