, 41 tweets, 6 min read
My Authors
Read all threads
"VRIEND (Teman)"
.
.
Sebuah cerita pendek fiksi bergenre horor yang terinspirasi dari kisah nyata.
.
.
#bacahoror
#threadhorror
#cerpenhoror
(Cerpen ini dimuat di Buku Kumpulan Cerpen "Elang yang Terbang di Hari Senin" karya Devy Gita)
VRIEND (TEMAN)

Doooor… doooor… doooor…
Peluru–peluru berdesing memecah malam hening. Teriakan–teriakan panik terdengar bergema memenuhi seisi ruangan. Terdengar pula suara–suara berat laki- laki meneriakkan, ”SCHIETEN !!!- tembak !!!”
keriuhan seperti medan pertempuran berpindah ke dalam rumah, Nippon tidak hanya sudah menguasai Batavia namun juga telah menduduki kediamanku. Aku merasakan kakiku berlari dengan cepat. Menyeret gaun tidur panjang tipis putih diatas jalan setapak menuju gerbang rumahku.
Terengah–engah, dari kejauhan terlihat orang–orang berlarian di dalam rumah. Gerbang yang terbuka memudahkanku keluar, tidak ada orang.
Aku melesat, menuju remang cahaya penerangan jalan yang terbuat dari obor. Mengabaikan lecet di telapak kaki, aku tak ingin berhenti. Aku menginjak rel dingin, kemudian cahaya benderang membentur tubuhku.
Aku melonjak dan menitipkan punggung yang tetiba nyeri pada sandaran ranjang, menggerak–gerakkan jari kaki yang menggigil dibawah selimut. Keringat dingin menetes dari pori–pori keningku, meluncur turun membasahi wajah dan leher.
Lemas, jantungku memompa darah lebih cepat dengan ritme yang tidak teratur. Aku baru sadar, betapa sulitnya mengembalikan tempo napas yang terlanjur bersepah.
Usaha itu sia–sia saat telingaku terkesiap menangkap dentang jam besar di ruang tamu. 03.00 dini hari. Ini malam ketiga dengan mimpi yang tak berubah, juga di waktu yang sama.
Aku menyapukan pandangan ke seluruh sudut kamar yang baru tiga hari ini menjadi tempat untukku rebah disaat mata terasa berat. Tidak ada yang aneh, lemari pakaian masih tetap mendengkur pelan di sudut ruangan, tepat di depan ranjang yang menghadap kearah timur.
Meja belajar tenang berjongkok didepan jendela. Sesekali tirai membelainya lembut. “Tidak ada yang aneh.” Aku menepuk pelan bantalku. Berniat membaringkan lagi badan yang masih terasa lelah.
Seketika dingin menyergap tengkuk dan punggungku. Seperti terjerat, tubuhku mengejang, pundakku berat ketika ingin menghadap ke arah sebaliknya. Udara serasa memeluk tubuh ini erat, terlampau erat.
Udara di kamar ini semakin membuatku membeku. Koude… dingin… koude.. dingin…Sayup kudengar lirih suara seorang wanita berbisik di sela detak jam yang menempel lekat di dinding. Rambut di tengkukku berdiri.
Hanya halusinasi, pikirku menenangkan diri. sekali lagi aku mencoba memutar tubuhku ke arah berlawanan. Belum lagi berbalik sepenuhnya, sekelebat bayangan bergegas melintas dari arah jendela.
Udara menolak keluar dari kedua lubang hidungku, dia menyuruk ciut saat bayangan itu berhenti tepat di sudut ruangan. Tubuhku terkunci, kaku, bahkan jari–jari tangan tak mampu ku perintah untuk bergerak.
Samar dengan penerangan lampu tidur temaram kulihat sesuatu berkibar diterpa angin dari jendela yang tiba–tiba terbuka.
Meringkuk di bawah selimut, aku melihat sangat lamban, lamat–lamat bayangan tersebut bergerak mendekatiku.
. “Vriend… vriend…” kali ini suara perempuan itu bergema memenuhi kamar. Desir darah dalam tubuhku menjawab suara yang begitu lirih. Mungkinkah suara itu milik bayangan yang melayang menyeberangi kamar dan menuju kearahku.saat ini? “Vriend.. Vriend..” bisiknya.
Semakin dekat, semakin jelas kulihat sesosok perempuan dengan gaun tidur tipis dan rambut panjang tergerai, mengawang dengan senyum yang lebih menyerupai seringai di bibirnya. Kedua lubang di matanya menyala.
BANGUN!! LARI!! Otakku terus menerus meneriaki. Lacur, tubuhku tak kuasa menurut perintah.
Harusnya kutolak saja ajakan ayah untuk pindah ke rumah ini 3 hari yang lalu. Rumah peninggalan Belanda yang dibeli ayah dari seorang temannya.
Dia memang sangat menyukai gaya arsitektur Belanda, penawaran dengan harga miring untuk rumah idamannya, sangat menggiurkan untuk dilewatkan. Mestinya dia menaruh sedikit curiga, rumah seluas dan semegah ini dibandrol dengan harga yang begitu rendah.
Halaman rumah ini sangat luas, ditanami rumput pendek. Pohon–pohon cemara berjejer ramah menyambut sepanjang jalan setapak yang membelah taman menuju bangunan rumah yang angkuh dan kokoh. Aku tak bisa menerka berapa usia tembok tembok–tembok putih yang telah berubah coklat.
“Kau akan betah tinggal disini, Kemuning” bujuk ayah meyakinkanku. Aku mengerutkan kening. Dimanapun akan sama saja, ayah tidak akan pernah bisa menemaniku. Entah sibuk bekerja atau menguapkan rindu pada sosok ibu.
Dimanapun aku tinggal, tak akan ada teman untukku sekedar berbincang. Dulu, ibu senantiasa menjadi seorang teman mengobrol yang mampu meneduhkan di saat aku mengeluh. Namun, setelah Tuhan membawanya pergi, kesepian merangkul dan menimangku dalam pangkuannya.
Usiaku menginjak 17 tahun, tidak seperti gadis seumurku yang bisa bersekolah dan bepergian bersama teman–teman mereka, aku harus tinggal dirumah, bersekolah dirumah.
Menjadi anak tunggal dan sedari bayi memiliki tubuh lemah, ayah dan ibu tidak membiarkanku keluar rumah tanpa mereka. Saat ayah bekerja, hanya ibu, dan Bi Imah pengasuhku yang bisa kusebut teman.
Kali pertama menginjakkan kaki dirumah besar ini, bersama ayah dan Bi Imah, yang aku inginkan hanya ada teman untukku menghabiskan masa. Namun, segera kulalap angan–anganku, saat aku tahu, rumah ini jauh dari rumah–rumah lainnya.
Memutus sepi, yang bisa kau perbuat hanya duduk membaca di bawah salah satu pohon cemara. Teman hanya sebuah imaji. Kesendirian kian menelanku.
“Vriend.. Vriend…”
Kini terlihat jelas dalam jarak 30 cm, wajah perempuan berambut panjang pirang dengan mata menyala, melayang dihadapanku. Kulit pucat, dan wajah yang dulu pasti sungguh rupawan namun kini menakutkan menatapku lekat.
“Vriend…” bisiknya dengan seringai menyeramkan. Aku menggigil, tangan dan kaki masih membantah, mereka berkeberatan untuk bergerak dan berlari. Kuperintahkan mata untuk menutup kelopaknya, mereka melawan. Hanya isak yang memberanikan diri menyembul dari bibirku.
Tangan bagai es menyentuh pipiku, mengelusnya. “Kau butuh teman, bukan?” tanyanya dengan logat Belanda yang kental. Bola–bola mataku membulat, airmata mengalir.
Memang benar aku perlu seseorang yang bisa berbagi cerita, namun aku tidak siap jika harus berteman dengan gadis Belanda yang sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Aku menggeleng, dia lebih mendekatkan wajahnya.
Gaun penuh bercak darah melayang–layang. Aroma anyir merebak, tanpa ijin menelusup ke dalam hidung.
“Ayo bermain, hihihihihihihihihihihihihihi…” dia terkekeh, terbang dan melayang tepat diatasku. Tangannya terbentang, rambut bergelebar ke segala penjuru.
Masih tetap terkekeh, dia menggeleng–gelengkan kepalanya kemudian memutarnya 180 derajat.
Lemari pakaianku terbuka, baju–baju beterbangan ke arahku. Buku–buku di meja berjatuhan. Lampu hias diatasku berayun tak tentu.
Aku telah menolaknya, dia menggeram, darah menetes dari mulut dan matanya. Aku ingin berteriak, dimana ayah? Bi Imah? Mulut yang tidak patuh ini ingin sekali kuganti. Namun, aku tidak mau lagi berharap.
Aku sangat mengidamkan seorang teman, tetapi aku malah terjebak dalam harapanku sendiri.
Masih dalam geramannya, dia bergerak turun dan menindihku. Tulang–tulangku seperti dipaksa melebar. Sesak, tersengal, aku menendang, tanganku menggapai udara yang kosong.
Meronta, masih mencoba mengeluarkan teriakan namun gagal. Keriuhan berakhir, senyap.
Tubuhku seperti kapas, mengawang. Aku menuruni tangga lingkar menuju ruang tamu kemudian meluncur halus ke bawah tangga. Kain hitam yang menutupi sebuah lukisan tersingkap.
Lukisan sebuah keluarga Belanda, seorang pria tegap berkumis tebal mengenakan setelan komandan dan memakai topi bulat sedang berdiri di sebelah wanita berwajah lembut dengan rambut panjang ikalnya yang ditata anggun.
Di depan mereka, seorang gadis belia duduk menyatukan tangannya diatas paha. Wajahnya mengguratkan kesan yang sangat aku pahami. Gurat sedih dan kesepian. Perasaan rindu menelisik menyelimutiku perlahan.
Berat hati, tubuhku kembali bergerak ringan ke arah pintu utama. Bukan aku yang mengarahkan badanku. Aku tak punya kuasa akan tubuh ini.
Angin malam menyapaku saat melewati jalan setapak menuju pintu gerbang.
Dari kejauhan aku mendengar suara bi Imah memanggil–manggil histeris. Namun aku bergeming, tubuhku melesat cepat. Airmata tak hentinya mengalir. “ Ayah… “ panggilku pelan. Aku ingin berbalik, namun tangan–tangan halus dan dingin menyergahku.
“Ayo bermain, vriend..” Suzie tersenyum menggandeng tanganku. Rambut pirangnya melambai indah dibawah sinar rembulan. (selesai)
Baca juga thread yang ini ya kawan. Karena cerpen ini terisnpirasi dari gadis cantik ini.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with devygita

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!