Hi Jerome, hal ini menarik untuk dibahas. Kisah sukses pada segelintir orang tidak bisa disamaratakan untuk semua kelompok. Dalam studi kami yang diterbitkan di @ADBInstitute, sangat jarang anak yang lahir dari keluarga miskin bisa sukses pada saat dewasa.
Sampel kami adalah anak-anak berusia 8–17 tahun pada tahun 2000. Sebanyak 17% dari sampel tsb merupakan anak dari keluarga miskin. Kami melihat pendapatan mereka pada 2014 (saat mereka berusia 22–31 tahun).
Kami menggunakan berbagai metode untuk memastikan hubungan sebab-akibat antara hidup miskin saat anak-anak dan pendapatan mereka saat dewasa.
Hasilnya? Anak-anak dari keluarga miskin memiliki pendapatan sekitar 87% lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga sejahtera saat mereka dewasa.
Penjelasan selanjutnya bisa dilihat dari utas @dsuryadarma, salah satu peneliti studi tsb.:
Kualitas sistem pendidikan suatu negara ditentukan, antara lain, oleh kualitas guru karena perannya dalam proses pembelajaran. Namun, kinerja guru Indonesia masih dianggap blm maksimal.
Mengapa begitu sulit bagi Indonesia untuk merekrut guru yang berkualitas baik?
(1/12)
Beberapa masalah yang diidentifikasi memengaruhi kualitas guru Indonesia adalah ketidakhadiran guru di kelas, distribusi guru belum merata, dan polemik guru honorer.
#ProgramRISE mengkaji proses perekrutan guru di Indonesia untuk mencari akar masalahnya.
(2/12)
Kajian dilakukan dgn meninjau regulasi terkait perekrutan guru dan wawancara mendalam dgn pemangku kepentingan terkait. Temuan kajian tsb dilaporkan dlm #workingpaperRISE terbaru: The Struggle to Recruit Good Teachers in Indonesia: Institutional and Social Dysfunctions.
Apa dampak pandemi #COVID-19 pada kemiskinan di Indonesia?
SMERU mengestimasi jumlah orang miskin baru pada 2020 sebesar 1,3 juta (dampak terkecil) hingga 8,5 juta orang (dampak terbesar).
Sebuah utas (1/10)
Dalam melakukan estimasi, kami menjadikan guncangan dalam periode 2005–2006 akibat kenaikan harga bahan bakar yang tinggi dan diperburuk oleh kenaikan harga beras sebagai tolok ukur. (2/10)
Guncangan pada periode 2005–2006 digunakan sebagai tolok ukur karena periode tersebut adalah peristiwa terakhir yang menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. (3/10)
Pembangunan tidak bisa secara otomatis mengentaskan masyarakat miskin dan rentan dari kemiskinan.
Studi terbaru SMERU menemukan bahwa sebagian besar indikator pembangunan ekonomi dan sosial justru berkorelasi dengan tingkat ketimpangan yang lebih tinggi.
THREAD (1/8)
Pertumbuhan ekonomi desa, beragamnya sektor pekerjaan, keberadaan kompleks pertokoan, perbaikan akses terhadap air minum layak, pembangunan saluran irigasi, serta aksi kolektif masyarakat merupakan indikator yang signifikan berkorelasi dgn ketimpangan yang lebih tinggi. (2/8)
Hanya 4 dari 23 indikator berkorelasi dgn ketimpangan yang lebih rendah: (i) akses rumah tangga terhadap listrik yg lebih baik, (ii) rasio fasilitas kesehatan terhadap jumlah penduduk yg lebih kecil, (iii) rata2 lama sekolah yang lebih tinggi, dan (iv) keberadaan koperasi. (3/8)