My Authors
Read all threads
1/ MEMAHAMI PERBEDAAN JAWADĪPA, JAWABUDA (ŚIWA BUDDHA)
DAN KÊJAWEN

Oleh : Damar Shashangka.

Postingan ini cukup panjang, tapi sangat berguna bagi teman-teman semua yang ingin mengetahui perbedan Jawadīpa, Jawa Buda dan Kêjawen.

Sudah beberapa tahun ini saya berusaha untuk
2/ mengumpulkan sekaligus mempelajari naskah-naskah klasik Jawa dari berbagai latar belakang ajaran yang pernah berkembang di Jawa untuk kemudian saya klasifikasikan dengan cermat demi untuk mengurai kerancuan informasi yang ada. Hasil dari mengumpulkan dan mempelajari
3/ berbagai naskah tersebut, pada akhirnya saya menemukan gambaran jelas tentang apa saja ajaran yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa. Setidaknya ajaran yang pernah tumbuh di Jawa bisa dibagi ke dalam tiga kategori besar:

1. Jawadīpa
2. Jawa Buda
3. Kêjawen

1.
4/ Jawadīpa

Merupakan ajaran asli Jawa yang jejak-jejak ajarannya bisa dijumpai pada bentuk peranti upacara berupa nasi tumpêng; kepercayaan terhadap danghyang-danghyang di tempat-tempat tertentu; pemujaan terhadap roh-roh leluhur yang berpusat pada bangunan bernama pundhen
5/ atau candi; perhitungan wuku, windu, lambang, uriping dina (nêptu dina); dan beberapa hal lainnya. Jawadīpa sendiri berarti Pelita Jawa (dīpa: pelita). Sebutan Jawadīpa sering terkacaukan dengan istilah Jawadwīpa, yang berarti Pulau Jawa. Jawadīpa adalah istilah yang
6/ dikenal oleh masyarakat Jawa pada dekade 1960-an sebelum tergeser oleh istilah Kebatinan (diambil dari kata bathin yang berasal dari bahasa Arab), Kapitayan (pitaya berarti percaya; kecurigaan saya, Kapitayan adalah terjemahan dari kata Kepercayaan, istilah yang populer
7/ pada dekade 1980-an dan merujuk kepada Penghayat Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa), serta berbagai istilah lain yang akhir-akhir ini baru muncul. Bisa dikatakan, nama ajaran asli Jawa belumlah diketahui secara pasti atau mungkin memang tidak memiliki nama
8/ khusus.

Ajaran Jawadīpa tercecer pada naskah-naskah klasik Jawa yang muncul pada periode selanjutnya, baik masa ketika agama Śiwa Buddha menjadi mayoritas di Jawa maupun masa ketika agama Islam menjadi mayoritas di Jawa, yaitu masa Kêjawen. Menemukan jejak-jejak ajaran
9/ Jawadīpa ini memang tidak mudah. Selain harus memahami ajaran Islam, Śiwa dan Buddha serta beberapa ajaran agama lain yang dimungkinkan pernah berkembang di Jawa, obyektifitas dalam menerima informasi baru yang datang dari naskah-naskah klasik menjadi penentu mengendus
10/ jejak-jejak ajaran tersebut. Sehingga mereka yang sangat fanatik dalam agama Islam, Kristen, Śiwa atau Buddha sendiri, saya pastikan akan mudah tergelincir ke dalam perangkap subyektifitas religius.

Salah satu jejak dari ajaran Jawadīpa bisa didapatkan pada rontal-rontal
11/ yang ditemukan di sekitar lereng Merapi Merbabu. Koleksi naskah Merapi Merbabu ditemukan sekitar tahun 1820 di lereng barat Gunung Merbabu, lalu pada sekitar tahun 1852 dibeli oleh Bataviaasch Genootschap dan sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI (Van der
12/ Molen, 2011:135). Khasanah naskah Merapi Merbabu dahulu merupakan milik Ki Ajar Windusana, seorang pendeta Hindu yang tinggal di lereng Gunung Merbabu, Keresidenan Kedu, dan diperkirakan meninggal sebelum tahun 1759 M (ibid.hal.139). Naskah-naskah milik Ki Ajar Windusana
13/ ditulis di wilayah pegunungan di Jawa Tengah sekitar Merapi dan Merbabu, termasuk Gunung Tilamaya, Ungaran dan Sumbing. Pada tahun 1852 Friederich melaporkan bahwa naskah Merapi Merbabu di Bataviaasch Genootschap berjumlah 357 naskah, 27 naskah ditulis dalam tulisan Jawa,
14/ 330 lainnya ditulis dalam tulisan kuno (aksara Buda) (Bleeker, 1852:6). Menurut katalog naskah Merapi Merbabu (Setyawati dkk.,2002), jumlah koleksi naskah Merapi Merbabu di Perpustakaan Nasional RI saat ini berjumlah sekitar 390 buah. Sebagian besar aksara dalam naskah
15/ Merapi Merbabu yang menurut Friederich adalah tulisan kuno disebut aksara Buda atau aksara Gunung (Pigeaud, 1970:53-54). Menurut Ranggawarsita dalam naskah KGB 208 halaman 8 aksara tersebut digunakan oleh para ajar di gunung-gunung.

Bentuk teks naskah Merapi Merbabu
16/ beragam : parwa, kakawin, kidung, dan lain-lain. Beberapa teks yang pernah diterbitkan menggunakan koleksi Merapi Merbabu antara lain : Nitisastra oleh Poerbatjaraka (1933), Arjunawijaya oleh Soepomo (1977), Kunjarakarna oleh Willem van der Molen (1983) diterjemahka dalam
17/ bahasa Indonesia tahun 2011 dan Arjunawiwaha oleh I. Kuntara Wiryamartana (1990).

Saya banyak menemukan jejak-jejak ajaran Manunggaling Kawula Gusti yang selama ini dianggap berasal dari Tassawuf Islam dan masuk ke dalam kepercayaan Jawa ternyata keberadaannya sudah
18/ bisa didapatkan pada rontal-rontal kuno termasuk salah satunya dari rontal Merapi Merbabu, sebut saja Rontal Kidung Ragadarma.

Rontal Kidung Ragadarma disalin oleh seorang Ajar bernama Ki Sunyata. Disalin di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Pashraman Kawisora, disalin
19/ dari naskah yang lebih tua pada Syaka Warsa 1453 (1531 Masehi). Rontal bertulis aksara Buda, menuturkan tentang dua orang sahabat yang tengah mencari Kalêpasan (Pembebasan), mereka berdua bernama Ki Sandirasa dan Ki Sinangsaya. Ki Sinangsaya memilih mencari Kalêpasan
20/ (Pembebasan) di Gunung Wilis (masuk dalam wilayah enam kabupaten, Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek, Jawa Timur), sedangkan Ki Sandirasa memilih mencari Kalêpasan (Pembebasan) di Gunung Kampud (Gunung Kelud sekarang, masuk dalam wilayah tiga
21/ kabupaten, Kediri, Blitar, dan Malang Jawa Timur). Isi kidung secara keseluruhan membahas tentang ajaran Kalêpasan (Pembebasan) atau ajaran Manunggaling Kawula Gusti dan sama sekali tidak berbau Tassawuf Islam. Secara keseluruhan kidung dirangkai dalam Tembang Artati atau
22/ Dhandhanggula. Perlu diketahui Tembang Artati atau Dhandhanggula bukan ciptaan Sunan Kalijaga. Tembang Artati atau Dhandhanggula sudah ada jauh hari sebelum Walisanga hadir di Jawa.

Satu bait Tembang Artati atau Dhandhanggula berbahasa Jawa Kawi (Jawa Kuno) di bawah ini
23/ menggambarkan kesadaran jernih dari manusia yang sudah menyadari sepenuhnya akan penyatuannya dengan Gusti. Gambarannya sebagai berikut:

Jagra mapadhang tan kêneng wêngi,
Pamutusira kang sampun himan,
Hani mawas padengakeh,
Tan kêna pangan turu,
Tan kasongan ring awa
24/ sandhi,
Sumilir anarawang
Saka têmpuh i ru,
Raditya wulan kasongan,
Ya narawang tan ana mangkwa ngungkuli,
Kakalih sida tunggal.

Terjemahan :

"(Kesadarannya senantiasa) terjaga terang tiada terkena malam (kegelapan),
Terputus sudah dari segala perkara tidak penting
25/ (keduniawian),
Penglihatannya tak lagi sama seperti manusia kebanyakan,
Tiada tergoda oleh kenikmatan lapar dan kantuk,
Tiada terliputi oleh segala rahasia,
(Batinnya ) mengalir jernih menerawang,
Terluput dari lesatan panah (duniawi),
Matahari dan rembulan pun terungguli,
26/ Bersinar-sinar tiada lagi yang menyamai,
Semua karena keduanya (kawula dan Gusti) telah menyatu padu.”

(Kidung Ragadarma : 95)

Jejak-jejak ajaran Manunggaling Kawula Gusti seperti ini banyak didapatkan dari rontal yang lebih tua. Yang memuat pengajaran kuno sebelum Jawa
27/ tersentuh Islam. Yang menjadi masalah jejak-jejak ajaran kuno seperti ini tercecer dan tercampur dengan ajaran Śiwa Buddha. Dan saat ini ceceran-ceceran tersebut tengah berusaha saya kumpulkan dalam buku khusus yang saya beri judul : NALURI JAWADĪPA

Kidung Ragadarma ini
28/ disinyalir mengadopsi kidung yang lebih tua. Jika Kidung Ragadarma disalin pada tahun 1531 Masehi ~ itu sejaman dengan pemerintahan Sultan Trênggana di Dêmak (1521-1546) ~ artinya ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini sudah menjadi pegangan masyarakat Jawa pedalaman, bukan
29/ pegangan masyarakat Jawa pesisir yang baru memeluk Islam. Dan artinya lagi, ajaran ini memang tidak berasal dari Tassawuf Islam. Sebab tahun 1531 adalah masa-masa awal pengislaman Jawa. Bagi seorang pertapa pedalaman di Gunung Wilis tentu dinamika pengislaman ini belum
30/ sepenuhnya mereka sadari. Lantas dari mana ajaran kuno tersebut berasal? Jawaban yang pasti adalah berasal dari ajaran Jawa asli yang saya sebut Jawadīpa.

Jawadīpa sendiri tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama. Manusia Jawa sejatinya tidak punya agama resmi yang
31/ memberikan ruang doktriner bagi pemeluknya. Manusia Jawa hanya percaya kepada Sanghyang Urip yang bersemayam dalam diri setiap makhluk. Sanghyang Urip ini bisa dikategorikan sebagai Tuhan atau bukan, terserah masing-masing individu memahaminya. Hanya saja sosok Sanghyang
32/ Urip ini tidak butuh disembah dan tidak memerintahkan satu ritual penyembahan apapun. Bagaimana Dia bisa aktif memerintah penyembahan jika Dia bukan sosok person tertentu? Segala ritual larung sesaji di lautan maupun di gunung-gunung merupakan inisiatif manusia Jawa
33/ sendiri demi berucap syukur kepada Sanghyang Urip, bukan merupakan perintah Tuhan dan karenanya sejatinya tidak memiliki sanksi tertentu. Karena tidak ada doktrin tertentu, maka bentuk upacara dan pelaksanaannya akan bervariasi di setiap daerah. Semua sah karena intinya
34/ adalah mengucap terima kasih kepada semesta.

Jika demikian bukankah itu bentuk dari agama Jawa? Sebenarnya tidak ada agama. Yang ada adalah keyakinan mendalam tentang Sanghyang Urip yang tidak bisa disembah dengan cara apapun. Dan bentuk penyembahan kepada-Nya adalah
35/ melakukan mamayu hayuning bawana alias menebarkan keselamatan dan kasih kepada sesama dan alam raya.

Bagi ajaran Jawadīpa ada dua hal yang harus menjadi pegangan bagi sesiapa saja yang ingin ada di jalan kebenaran :

1. Aywa hagawe tatu tyasing sapadha-padha. (Jangan
36/ membuat sakit hati sesama)
2. Aywa hagawe pêpati samining dumadi. (Jangan melakukan pembunuhan kepada sesama makhluk.)

Dua hal ini yang disebut Pêpalining Hyang (Larangan Tuhan). Karena bagi ajaran Jawadīpa, hanya dua hal tersebut yang menjadi larangan Hyang Agung.
37/ Pertama, menyakiti hati sesama. Kedua, menumpahkan darah, merenggut kehidupan dari tubuh makhluk fana. Kedua larangan ini sudah mencakup banyak hal. Dengan menghindari berlaku menyakiti hati sesama dan menumpahkan darah makhluk hidup, maka jalan kebenaran telah terbentang
38/ lebar.

Pêpalining Hyang ini disebut pula sebagai Panêmbah Agung (Penyembahan Agung). Karena lagi-lagi bagi ajaran Jawadīpa menyembah Hyang Agung berarti mengasihi sesama. Hyang Agung tidak pernah meminta untuk disembah, tidak pernah menurunkan perintah penyembahan, tidak
39/ butuh pengakuan agar diakui oleh semua makhluk bahwa diri-Nya adalah Hyang Agung, diakui sebagai Hyang Agung satu-satunya tiada yang lain, diakui sebagai yang paling dahsyat dan ajaib. Dia sempurna. Tidak membutuhkan apapun juga. Ketika diri-Nya masih butuh pengakuan,
40/ berarti tercerabut sudah kesempurnaan dari-Nya. Bagaimana bisa sosok yang mengaku sempurna namun masih kebingungan untuk minta diakui sebagai Hyang Agung, Tuhan sarwa sekalian loka? Dan lantas marah-marah jika Dia tidak diindahkan? Sungguh, terlalu sulit bagi manusia untuk
41/ melakukan penyembahan kepada Hyang Agung yang tidak bisa diserupakan dengan apapun juga dan tidak bisa digambarkan sedikitpun walau dalam pikiran yang paling rumit. Menghadapi hakikat Tuhan semacam ini, bagaimana bisa manusia melakukan lelaku penyembahan kepada-Nya?
42/ Puja-puji, gerakan tertentu, sesajian dan sebagainya, tidak akan mampu menyentuh diri-Nya yang tak tergambarkan. Namun demikian, walaupun tak tergambarkan, hakikat Hyang Agung nyata-nyata menyatu dengan semesta dan makhluk yang hidup di dalamnya. Hyang Agung adalah hidup
43/ itu sendiri, Sanghyang Urip. Tanpa kehadiran Hyang Agung semesta dan makhluk hidup ini akan terlempar kepada maut, tidak akan ada kehidupan. Oleh karenanya, alih-alih melakukan lelaku penyembahan dengan puja-puji atau sesajian, ajaran Jawadīpa lebih memilih mengasihi
44/ sesama makhluk hidup karena di sana, di dalam diri sejati semua makhluk hidup tersebut, Hyang Agung, Sanghyang Urip bersemayam. Bersemayam secara rahasia.

Demikian sekilas ajaran Jawadīpa yang bisa saya ulik dari naskah-naskah kuno.
Rehat dulu bro, ngantukkkk!!!!
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with ᬳᬶᬤᬩᬕᬸᬲ᭄ᬪᬬᬸ

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!