“oo abang-abang, ngape perasaan aku ndak enak ye? Jadi ke kite pergi ni?” tanyaku.
“Eh ngape pulak? Jadi lah. Dah lama kite ngatur jadwalnye masa ndak jadi pulak..” Balas Riu 3 menit kemudian.
“Jadi dek, ente kurang bedo’e tu makenye galau.” Sahut Laron -
“Dah lah dek, yang penting udah ijin same Mamak Bapak. InshaAllah aman. Kite kan nak belibor jak, Bukan nak aneh-aneh. Masa iye dah susah payah nyarek libur same-same lalu tak jadi.” Timpal Koteng.
“Aok ye..Bismillah.” Jawabku pada akhirnya.
Pukul 3.45 WIB, meleset dari jam yang ditentukan barulah teman-temanku datang semua.
"Nak, kau beranikah naik kesana? Kebanyakan anak perempuan putar balik pas udah sampai di pondok (Rumah istirahat disetengah perjalanan). Pesan apak, kalian jaga omongan. Kalau cium bau ndak enak jangan sebut.
Koteng sepertinya membaca pikiranku “Udaaah, mampu kok mampu. Cupu kau ni dek.” Katanya sambil tergelak.
Belum sampai setengah jam berjalan, Laron yang belum pernah bertualang sebelumnya tiba-tiba berkata “bauk ape ni teng?? Busuk benar.” Sepertinya ia lupa akan pesan yang disampaikan oleh apak tadi.
“heh bodo bale kau ni. Ndak ingat ke ape kate orang tue tadi tu? Tak usah nyebot kalau ciom bauk!”. Aku melihat wajah Riu sedikit kesal. Kurasa dia mengkhawatirkan hal tersebut.
Sekitar pukul setengah 5 sore kami sampai di pondokan. Ternyata pondokan ini berada tepat dipinggir sungai aliran dari air terjun. Airnya berwarna kemerahan khas tanah gambut.
“Pak tua, nyari apa nuan?” Tanya koteng
“bodoh kau ni nanya nye. Nyarek ikan la die.” Ujar Laron setengah berbisik.
Koteng berjalan menuju tepian sungai mendekati Pak Tua.
“Dah ada dapat kah pak??” Tanya koteng lagi
“Ada ni, bapak dapat 2 ekor. Kalian mau kah?” ujarnya
“maok lah pak hehehe, lumayan untuk malam.” Jawabku cengegesan.
Pak tua tersenyum sambil melepaskan 1 ekor ikan yang ia ikat di tepi sungai kemudian menyerahkannya padaku.
“emangnya ngapa pak?” tanya riu
“Pantang bakar seluang dalam utan nak, kalau kata kami orang kampung. -
“Ohh.. iya pak, siap.” Sahut kami kompak.
Sudah bisa dipastikan perjalanan ini akan memakan waktu lebih lama dan kami akan sampai sangat larut.
“bang, ape barusan tu!? takut aku bang!” ucapku sedikit berteriak.
Koteng yang berada dibelakangku yang melihat aku ketakutan langsung menyambung obrolan.
“Kau ndak dengar ke yu? Ade yang bilang ooiii tadi tu tapi macam bisik-bisik.” Tukas Koteng.
"Ndak usah diliat agik dah." Ujar Riu.
“Dah ndak ape, Bace doa yang banyak.” Jawab Riu.
Setelah dicari tau ternyata Koteng dan Laron sempat buang air dipepohonan tanpa permisi. Mungkin sosok tadi adalah penunggu wilayah hutan tersebut.
#bacahorror #threadhorror @bacahorror
Perlu diketahui bahwa berada di dalam hutan kali ini tentu saja tidak ada sinyal telepon, namun yang terjadi pada kami cukup mengejutkan.
Benar saja, tidak ada sinyal sama sekali dan handphone kami dalam mode pesawat. Lalu suara apa tadi??
“Bang ron, ngape banyak ranting daon same batu dalam tas aku ni? Tak usah macam gitu la. Berat kali..” ujarku sewot menuduh kepada laron.
“Ngape jadi aku pulak ni yang kau tudoh. Ade ndak kau liat aku buka-buka tas kau tu??!!” Jawabnya.
Ia mengambil alih tasku dan memeriksanya. Semakin ia membuka tas, lagi-lagi hal mengejutkan seperti menohok jantung.
Aneh!/ Bagaimana bisa persediaan makanan kami menghilang padahal sudah dicek sebelum berangkat?
“Dah la yook, bikin kopi jak dulu sama mie nye kite bagi biar cukup.”
mungkin karena lelah yang sudah tercampur aduk dengan gelisah juga takut. Hening sudah malam itu.
“Dek kite jalan duluan jak yok. Biar Riu same Laron cek ulang perlengkapan, kite cari jalan. Kayaknye udah ndak jauh, di depan mulai masok kebun bambu. Kalau ndak salah tadi pak tua bilang abis kebun bambu tu air terjunnye.”
“kau tu lagi kesal. Ndak boleh di hutan bawa emosi. Kite duluan biar agak santai. Ndak usah takut, abang bekal parang. Kalau ade antu kite tebas jakunnye hehehe.”
Akupun akhirnya memutuskan untuk berjalan bersama koteng duluan.
Kebun bambu yang teramat rimbun itu menimbulkan suara gesekan yang cukup membuat bulu kuduk berdiri.
Tak lama terdengar
“kikikk..kikiikk..”
Aku menatap sekeliling, begitu pula dengan Koteng. Kami menyenter setiap batang bambu disekitar kami yang bergoyang-goyang.
Kudengar suaranya menjauh. Aku menatap Koteng, ia melihatku dan berbisik
“yok dek, pelan-pelan. Bilang numpang lewat atokk inek, kami ndak ngacau (ganggu).” Ujarnya.
Aku mengikuti langkah koteng sampai melewati sebuah jembatan bambu diatas aliran anak sungai.
Aku menoleh ke asal batu itu terlempar dan
“Bang Tenggg, antuuu merah tu!!!!” jeritku sambil menunjuk sesosok kuntilanak merah yang berada di atas rerimbun bambu sebelah kiriku.
Aku yang penakut ini turut berlari mengejar Koteng yang tetiba terdiam menatap kearah bambu.
“Ndak ade dah dek mahluknye.”
Aku menahan takut dengan meremas rumput yang ntah kapan kucabut
Kosong, tak ada siapa-siapa selain kami berdua namun seperti ada yang janggal.
Sekarang, gantian Koteng yang terdiam, kurasa iapun merasakan keganjilan itu.
Diantara rasa takutku yang entah kemana, --
Koteng hanya mengangguk.
“Bang teng, cobe tengok disana. Itu bukannye bang Riu same laron??”
“Mane??”
“Itu tuu, yang di pinggir jalan agik duduk. Bajunye same.”
Aku mengajak Koteng menyusul sesegera mungkin. Mendekati Riu dan Laron, Koteng yang sedari tadi terlihat bingung langsung menyerbu mereka dengan pertaanyaan
“Hah??? aku sm Laron dah 10 menit duduk disini wak. Kok kau malah muncul dari arah belakang?? Bukannye tadi duluan?” Tanya riu kaget.
Kamipun melanjutkan langkah ditemani hening dan suara angin. tak lama kami mendengar suara deras air.
Timbul perasaan senang dan tenang karena itu pertanda Air terjun sudah didepan mata.
Laron membersihkan area dipinggir aliran sungai kemudian Riu dan Koteng membangun tenda. Sedangkan aku mempersiapkan peralatan --
Rasa lapar membuat tubuh kami gemetar namun apa daya, sepertinya setan sedang ingin banyak tertawa.
Tenda beres masak pun beres. Kami duduk mengelilingi api sambil bercerita dan minum kopi.
Ntah aku apes atau apa, berkali-kali aku mencium aroma yang keluar dari lubang jubur salah satu temanku. Yakin sekali aku mendengar suara hembusannya dari arah Riu. Kucubit lengannya,-
Ketiga temanku saling berpandangan kemudian Riu berkata
“Mati lah kite matiiii.” Sambil menepuk jidatnya.
Burung hutanpun tak lagi terdengar kicaunya. Hanya terdengar suara air, seperti hanya kami berempat yang berada disini. Riu, Koteng dan Laron akhirnya memutuskan untuk --
Cukuplah berfoto-foto beberapa jam dan mandi di air terjun yang indah itu.
Aku terbangun dan melihat layar handphone yang menunjukkan pukul 2 pagi.
“Bangun ke kau dek?” tanya Koteng dari luar.
Bagaimana ia tau aku terbangun? pikirku.
“Abang nak mandi, cobe kau ikot abang sini. Aek sungai nye hangat.” Jawab koteng dengan suara datar.
Tak mendengar jawaban dari Koteng, akupun keluar dari tenda dan kulihat koteng sudah berada ditepi sungai.
“yoook..” Ujarnya lagi sambil melambaikan tangan.
“ano!!” Riu bergegas menuju sungai dan aku ditarik olehnya menuju tepian.
Aku merasa linglung dan kebingungan.
Kulihat riu, kulihat pula tendaku, api unggun yang setengah menyala. Kemudian kubilang
“Bang, tadi bang koteng ngajak aku main ke air. Aku kedinginan, die bilang di sungai angat.--
“Koteng?? Kau tengok tu di tenda sebelah kau, koteng lagi tidok begulung die!”
Kuperhatikan tenda mereka. Benar, ada koteng disana sedang tidur dengan nyenyak. Seketika tubuhku menggigil dan mataku terasa panas, napaspun menjadi sesak tiba-tiba.
Aku mengangguk kemudian masuk ke tenda dan berganti baju. Masih tak habis pikir, aku sangat yakin kalau tadi itu Koteng dan dia sudah ke dalam sungai duluan.
Sedari subuh sebenarnya aku sudah terbangun, tak bisa benar-benar tertidur lelap. Kembali aku mencium aroma yang memenuhi rongga hidung.
Bedanya, kali ini yang tercium adalah wangi asap kayu lukai.
Arang bakarnya dioleskan ke anak bayi yang katanya “dijahilin” mahluk alam lain. Ataupun sekedar dibakar untuk mendapatkan aroma asap yang wangi.
@bacahorror @bagihorror #bacahorror #threadhorror
Kulihat tenda sebelah tempat para bujang merebahkan tubuh, mereka masih terlelap.
Bau asap kayu lukai seperti aromatherapi yang membuat semakin tenggelam dalam tidur.
Mendidihkan sedikit air kemudian menyeduh kopi yang sepertinya menjadi pilihan yang ciamik sebagai teman menikmati keindahan air terjun dan sungai-sungai disekitarnya.
Semoga saja tidurnya cukup untuk mengisi ulang energi yang terkuras kemarin.
Setelahnya kamipun berkemas merapikan tenda, membersihkan sisa sesampahan yang kami bawa dan bersiap-siap pulang.
Tepat pukul 1 siang kami berjalan pulang, meninggalkan cerita dan jejak di Air terjun.
Sepanjang jalan kami bercerita, tertawa, berbincang tentang segala pengalaman, hal lucu juga mistis.
Ah, siang hari. Bukan masalah kan? Takabur??? Tentu saja.
Perjalanan pun kami lanjutkan, sampai tibalah kami pada suatu persimpangan.
“ha?? Kayakny ndak ad sih? Lurus-lurus jak kite bejalan.” Jawab Riu.
“Tapi ini simpang ni bang, ambek arah mane kite??” tanyaku
Dari sinilah cerita menegangkan kembali terjadi.
_________________________________________________
Setelah cukup lama berbincang sambil beristirahat, kami memutuskan untuk mengambil jalan kearah kanan.
Belum jauh perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
Melihat langit yang sangat hitam, kami memutuskan untuk memakai jas hujan dalam kondisi baju yang sudah basah karena tidak ada tempat berteduh terdekat.
Seperti akan ada sesuatu yang tidak beres yang akan terjadi.
Yg kami lakukan hanya berjalan dan terus berjalan membersamai hujan yang semakin deras.
melangkahkan kaki dalam genangan lumpur dengan binatang-binatang air yang mulai menampakkan wujudnya.
sungai meluap dengan cepat. Kami yang berada di jalur pinggir mulai merasa was-was, berharap hujan mereda dan air surut dengan segera.
Sejauh kami berjalan rasanya tidak kunjung sampai pada pondokan tempat kami beristirahat kemarin.
Sementara hari semakin sore, hujan tak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Jam menunjukkan pukul setengah 6 sore, sudah hampir 5 jam kami masih berada didalam hutan yang entah kemana arahnya.
Tersesatkah?? Semoga saja tidak.
Semoga jembatan tersebut adalah jalur yang menjadi titik terang perjalanan kami.
-
Air yang hampir mencapai pinggang sungguh mengganggu langkah.
Baru beberapa langkah, kejadian naas terjadi. Koteng terpeleset di jembatan dan tercebur.
Namun wajahnya memucat, aku hampir menangis saat ia bilang
“kayaknye lengan aku patah ni, pas jatoh tadi bebunyi karne sangkut di pinggir kayu. Sakit wak” ucapnya sendu.
“Bang, macam mane ni bang?” tanyaku sedikit merengek
“Yok pakse jak, ndak mungkin juga betahan disini. Kaki aku udah ndak ade rase ni.”
Gantian riu yang duluan menyeberang jembatan, disusul Koteng, aku lalu Laron.
Tak apalah asal tidak tergenang. Kami sepakat untuk secara terpaksa membangun tenda darurat karena sudah tak kuat lagi menahan dingin oleh hujan yang menghantam tanpa ampun.
Suatu hal yang bisa kami syukuri karena tas kami tertolong raincover dan masih tersisa pakaian kering.
Saling bersandar punggung menghadap ke 4 arah mata angin.
Setidaknya cara ini cukup meredakan lelah dan perasaan yang kacau.
“ano, ndak boleh ngomong gitu. Bedo’e lah, inshaAllah baek-baek jak. Balek kite besok.”
“Dah bedo’e dari tadik ni ndak gak kite keluar dari utan, malah kayak gini.” Aku menangis deras.
Kulihat wajahnya semakin memucat, kulitnya yang mengkerut, pun lengannya mulai membiru, lemas dia.
Semacam malaikat pencabut nyawa sudah berdiri dihadapannya.
Akupun sambil menangis mengajak Riu menampung air dengan jas hujan yang kami bentuk seperti mangkok.
Kulupakan semua rasa takutku atas hantu, setan, atau apapun itu.
Sejahat itu aku berpikir bahwa koteng akan mati. :’D
Tak bisa kubohongi diriku bahwa aku kelaparan. Aku yakin ketiga temanku juga merasa hal yang sama.
Namun belum juga terlelap, terdengar suara beberapa ekor babi hutan dari semak pepohonan di balik tenda.
Emosiku tak lagi terkontrol,
Aneh, suara babinya mendadak hilang.
Aku menarik kesimpulan kalau babi-babi hutan itu takut padaku.
“Ntah la bang, tak bise mikir dah.” sahutku
“Aku nak balek yuuuuu.. aku nak baleeeeekk...” Ucap Koteng dengan mata yang berkaca-kaca.
“Disini saja jang.. disini saja..” Tetiba terdengar suara berat menyahut dari luar tenda disusul suara langkah seperti ranting yang--
Samar kulihat sesosok bayangan mahluk kerdil seukuran kira-kira setengah meter memutari tenda kami.
Sejenak ia menjauh kemudian kembali mendekat disertai napas yang kasar.
Sosok yang entah seperti apa bentuknya itu terus menerus memutari tenda kami seraya menggaruk sisi tenda dengan benda yang dibawanya.
sekian banyak doa gumamkan, mungkin juga terselip doa mau makan karena sudah terlalu panik. Yang kami inginkan hanyalah “pulang dengan selamat sampai rumah".
Riu dan Laron nekat memberanikan diri untuk keluar dari tenda guna mengusir mahluk aneh yang sepertinya masih berada diluar.
Laron melongokkan kepalanya keluar kemudian berkata
“Ndak ade siape-siape yu..” ia segera membuka pintu tenda lebih lebar dan mengajak Riu keluar.
Kemudian mereka berdua kembali masuk ke dalam tenda dan memutuskan untuk pulang esok pagi saja karena sudah terlalu lelah.
Lelah dan kantuk sudah tak bisa lagi tertahan. kamipun tertidur dalam keadaan takut, sedih, dan perut keroncongan yang sungguh teramat sangat menyedihkan.
“waaii, ngapa kau disitu nak?” tanya seorang ibu-ibu yang membawa keranjang dikepalanya sambil memeluk seekor ayam.
Aku yg senang karena melihat orang lain selain kami ber-4 menjawab dengan antusias
“umaaakk.. kami sesat mak semalam, mau terus jalan tapi jalannya udah tergenang. Ndak tau lagi mau gimana.” Jawabku.
“Ya ampun, kalian dibikin sesat tu. Ini bah jalur kampung. Coba kau naik kesini tempat umak.” Ujarnya sambil melambai padaku.
Rontok rasa tulangku, jalur pulang hanya berjarak sekitar 6-8 langkah langkah dari tenda yang kami pasang.
Tepat di tempat si mahluk pendek itu menunggui kami diluar tenda semalam.
“Ituuu, tu ladang kampung. Kalau tadi malam kau di jalan ini ndak sampai 15 menit dah sampai rumah Kepala Desa.”
Lemas, umak menunjuk perkampungan. Terlihat ladang dan atap-atap rumah penduduk.
“Udah biasa kalau orang baru lewat sini dibikin sesat. Waktu itu juga ada sampai 5 hari dia ndak pulang. ya macam kalian gini lah padahal bejalan disebelah jalur, ngikut sungai. --
Bisa kan kalian ke kampung sendiri? Umak mau ke hutan ambil kayu jadi ndak bisa antar.” Lanjut umak
Setelah membereskan segala peralatan, kami melangkahkan kaki menyusuri ladang menuju rumah Kepala Desa.
*******************************************************
“Gimana nak di dalam? Sesat? Apak sih udah tau. hahaha.” Ujarnya dengan enteng sembari tertawa memamerkan giginya yang menghitam.
Koteng yg cidera juga diberikan pengobatan oleh dukun --
begitu juga dengan kaki-kaki kami yang baru terasa nyeri setelah keluar dari “Tanah Tuhan” itu.
“Anakku, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mungkin terdengar tua, namun ini masih berlaku di Tanah Tuhan. --
Demikian perjalanan air terjun di Desa D***E A*I selesai.
TENTU TIDAK. Akan ada cerita seru lain di judul yang baru.
Ingat pesan Apak “YANG MENJAGA AKAN DIJAGA”.
Sampai Bertemu di cerita yang lain. Wassalam.
😍🥰😚