“Di-#Covid_19 -kan!?”
Courtesy of dr Tenriagi Malawat Sp B @AGIQ
- THREAD-
Minggu lalu, sy menerima pasien di UGD. Saat di wawancara dia berkata bhw sakit perutnya dirasakan di slrh bag perut sejak 3 hari lalu.
@blogdokter @drsyuk_InfoKes
Apalagi waktu diwawancara dia lebih banyak menggeleng dan menjawab singkatsingkat. Satu satu kata jawabannya.
Saya berdiri di sisi kanannya waktu itu..
“Ibu demam?”
Menggeleng, melempar pandang ke kiri
“Perut Ibu pernah terbentur apa gitu? Meja, pintu, atau apa?”
Menggeleng, melempar pandang ke kiri.
Dia seakan takut menjawab. Tidak mau bertatapan dengan saya.
Tolong kita bekerja sama agar proses pengobatan Ibu juga berjalan lancar."
Tapi kemudian tetap begitu sikapnya.
"Dokter, dia tidak lancar bahasa Indonesia!!" sergahnya.
Saya pun wawancara dengan menggunakan bahasa daerah dengan bantuan seorang perawat.
"Dokter, dia ini sudah minum obat banyak."
"Dokter, tidak usah terlalu ditanyatanya seperti begitu.
Langsung saja diobati!!"
"Ibu ini siapanya pasien? Tinggal satu rumah dengan dia?"
Yang lantas dijawab dengan : ipar, tidak tinggal 1 rumah.....
Sampai di perut, dia berusaha melindungi perutnya dengan kedua tangannya
"Ibu, saya harus periksa bagian ini, kan ini yang sakit?"
"Tapi saya harus sedikit menekannya, supaya jelas!"
Dia tidak memindahkan lengan dan tangannya dari bagian depan perutnya.
"Panggil ambulans, bawa pulang ini pasien ke rumahnya saja."
Dia bersuara lirih, dan akhirnya saya kembali mendekat supaya bisa memeriksanya lebih teliti.
Teraba massa/benda di perut kanan bawah sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan batasan yang tidak jelas. Nyeri perut level 7 dari skala 10 saat ditekan ringan yang artinya hampir sakit sekali..
Saya berpikir kemungkinan tumor usus besar.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan tanda infeksi sistemik berat dan kekurangan protein albumin. Ada pula gangguan keseimbangan elektrolit.
Test C-19 sebagai skrining operasi negatif..
Maaf saya tidak bersedia menerangkan dengan bahasa Bugis, supaya terdengar lebih gagah
😅😅😅
Pokoknya operasi buka perut.
Di dalam perut saya tidak mendapatkan tumor, alhamdulillah.
Tidak ada pemotongan usus, alhamdulillaah.
Tapi ada genangan nanah dan usus buntu yang sudah membubur.
Membongkar bongkahan nanah dan perlengketan usus yang membuat prosedur ini jadi lama dan mendebarkan.
Takut perlengketan menyebabkan robekan usus yang menimbulkan masalah baru.
Tidak seperti datanya yang selalu ngotot dia kemukakan baru 3 hari saat di wawancara..
Setelah itu... saya segera melenggang ke luar.
saya melihat sekitar 50 orang keluarga pasien memadati koridor di depan lift.
Ada yang makan kacang dan biskuit. Ada yang baring-baring. Ada yang sarungan mungkin kedinginan karena AC 16 derajat di ruang tunggu.Banyak yang main hape.
Saya tekan tombol loft...
Lift terasa lama sekali untuk tiba di hadapan saya.. Saya merasakan semua mata keluarga menatap saya dari arah belakang.
"Ya minne dottoroka..."
"Ooo... dottoro lompoka?"
"Iyo, ya minne."
Terjemahannya:”Ini dokternya.... Oh dokter kepala (yang operasi)? Iya dia ini....
Pelototan mereka menghujam tubuh bagian belakang saya... Seperti ada rasa dingin dingin menakutkan gitu.
Saya meraih telepon dan memanggil Superman eh... tidak. Hanya eksyen supaya kelihatan sibuk dan perhatian saya teralih....
Ah... rusak betul image saya!
Saya tidak menghambur masuk, saya melangkah anggun dengan kepala tegak, memutar badan lalu pose di dalam lift.
Menekan tombol angka 1. Menatap balik tajam mereka yang masih menatap saya.
“”Apelo semua!”
Mengapa bisa sampai lolos sedemikian banyaknya?
Bagaimana nanti ketika pasien sudah di pindah ke ICU. Bisa terbayang di depan ICU bagaimana ramainya mereka.
Itu perintah saya, dan diiyakan oleh anggota grup.
Sejak pandemi, jam berkunjung memang ditiadakan. Penjaga pasien pun hanya boleh 1 orang. Jadi 50 orang adalah jumlah yang sangat berlebih...
Dia --akhirnya-- tersenyum pada saya... lain dgn kemarin...
Saya melotot!!
“Apelo!!” Sambil bercanda...
Bahaya bagi jiwanya.
Dan apa jawabannya??
Jeng jeeeeng......
Itulah kalimat terpanjangnya... sambil tertunduk malu...
Dan menurut keluarga yang menjaganya, ke-50 orang pengunjung sore kemarin sama ketakutannya dengan si pasien ini..
Saya takut diserbu keluarga.
Mereka takut pasien "DiCovidkan"
"Lalu, kalau memang kamu membawa virus Covid, bagaimana? tanya saya sambil memeriksa luka operasi dan selang drainnya.
"Saya minta pulang..."ktnya
Pret lagi.
Pret lagi.
Dia membawa bala bantuan kemarin itu.
Andai Testnya positif, maka kemungkinan akan terjadi kehebohan kemarin?
Mungkin kemarin saya yang akan dilarikan ke RS lain pakai ambulans
Pret!!
Bukalah wawasan kalian.
Tidak ada itu istilah “bukan penderita Covid lantas diCovidkan'.?!!
Untuk apa kami berulah begitu?
Kami akan menyiapkan semuanya dengan seksama, khusus untuk pasien dan keselamatan penolong juga..
Pada saat operasi
Saat pasien selesai dioperasi.
Jangan pernah berpikir kami ada keuntungan finansial dengan menyatakan pasien nonCovid adalah Covid.
Tapi demi keselamatan pasien, tentu kami akan berusaha sekeras mungkin.
Semua jadi rumit serumit-rumitnya rumit....
Makin cepat pasien ditolong, makin besar kemungkinan pulih tanpa komplikasi, seperti layaknya pasien ini..
Hanya kepada Ta'-lah kami memohon ampun, Tuhan
Dan kepada Ta'-lah juga kami meminta pertolongan.
#dokteragiq