Pada hari ke 10 bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan
shalat subuh Al-Hussein keluar dr tenda dan menaiki kuda kesayangannya
Ketika itu sebagian besar musuh telah hadir
Al-Hussein menghampiri sambil menatap pasukan yg tengah mengepungnya
Mulailah Al-husain berpidato yang
begitu indah dan menyentuh hati:
قال:
أما بعد، فانسبوني فانظروا من أنا
ثم ارجعوا إلى أنفسكم وعاتبوها
فانظروا، هل يحل لكم قتلي وانتهاك حرمتي؟
ألست ابن بنت نبيكم ص وابن وصيه وابن عمه،
وأول المؤمنين بالله والمصدق لرسوله
بما جاء به من عند ربه!
او ليس حمزة سيد الشهداء
عم أبي! أوليس جعفر الشهيد الطيار
ذو الجناحين عمى! [او لم يبلغكم قول مستفيض فيكم:
إن رسول الله ص قال لي ولأخي: هذان سيدا شباب أهل الجنة!] فإن صدقتموني بما أقول- وهو الحق- فو الله
ما تعمدت كذبا مذ علمت أن الله يمقت عليه أهله،
ويضر به من اختلقه، وإن
كذبتموني فإن فيكم
من إن سألتموه عن ذلك أخبركم، سلوا جابر بن عبد الله الأنصاري، أو أبا سعيد الخدري، أو سهل بن سعد الساعدي،
أو زيد بن أرقم، أو أنس بن مالك، يخبروكم أنهم سمعوا
هذه المقاله من رسول الله ص لي ولأخي.
أفما في هذا حاجز لكم عن سفك دمي!
“Lihat nasabku.
Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian
Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku
Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu?
Tidakkah kalian mendengar kalimat
yang viral di antara kalian bahwa
Rasulullah berkata tentang saudaraku
dan aku: keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga?
Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta.
Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari,
Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik
yang akan memberitahu kalian bahwa mereka
pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku.
Tidakkah ini cukup menghalangi
kalian untuk menumpahkan darahku?”
Kata-kata yang begitu eloknya itu
direkam oleh Tarikh at-Thabari (5/425)
dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193)
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sepakat (ijma’) menghukumi kafir terhadap orang-orang yang meyakini bahwa Allah menempati suatu arah, dan orang-orang yang meyakini bahwa Allah adalah jism/benda yang tersusun dari bagian-bagian.
📚 Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Minhaj al-Qawim, juz 1, hal 144, as-suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nazha-ir, hal 488, Mulla Ali al-Qari dalam Mirqatul Mafatih, juz 3, hal 924, Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’, juz 4, hal 648
Imam asy-Syafi’i mengkafirkan seseorang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy.
📚Ibn ar-Rif’ah dalam Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih, juz 4, hal 24, Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi, hal 551
Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa dekat dan jauh yang disifatkan kepada Allah tidak boleh difahami dengan makna jarak pendek atau panjang. Imam Abu Hanifah berkata :
وَلَيْسَ قرب الله تَعَالَى وَلَا بعده من طَرِيق طول الْمسَافَة وقصرها وَلَكِن على معنى الْكَرَامَة والهوان والمطيع قريب مِنْهُ بِلَا كَيفَ والعاصي بعيد مِنْهُ بِلَا كَيفَ
Dekatnya Allah dan jauhnya bukan dari makna jarak panjang dan pendek, akan tetapi berdasarkan makna kemuliaan dan kehinaan.