Berikut hasil riset Nagara Institute tentang dinasti politik yang ikut memperebutkan jabatan gubernur/bupati/walikota pada pilkada serentak Desember 2020 mendatang.
@KPU_ID @bawaslu_RI @officialMKRI
Masalah klasik dari Pilkada-pilkada sebelumnya --baik sebelum pilkada serentak hingga penyerentakan pada 2015,2017,2018-- masih tertancap kuat dan menjadi problem yang tak terselesaikan berupa pragmatisme partai politik (cont)
dalam rekrutmen calon pemimpin lokal yang amburadul dan akhirnya bermuara pada tumbuh kembangnya dinasti politik di tingkat lokal pada skala yang makin mengkhawatirkan.
Temuan riset kali ini menyatakan bahwa terdapat 124 kandidat yang terafiliasi dinasti politik dan maju sebagai calon kepala daerah dengan rincian sebagai berikut (cont)
57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon walikota dan 8 (delapan) calon wakil walikota, 5 (lima) calon gubernur dan 4 (empat) calon wakil gubernur. Image
Jumlah tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan gender, terdapat 67 laki-laki dan 57 perempuan. Dari 57 perempuan tersebut terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari Kepala Daerah sebelumnya. Image
124 kandidat dinasti politik tersebar merata di 270 daerah yang akan melangsungkan pemilihan. Provinsi Sulawesi Selatan adalah daerah dengan jumlah kandidat dinasti terbanyak dengan jumlah 12 orang (satu kota pemilihan dan empat kabupaten pemilihan). (cont)
Disusul Sulawesi Utara yakni 11 (sebelas) orang yang tersebar di satu provinsi pemilihan, 4 (empat) kabupaten pemilihan dan 3 (tiga) kota pemilihan. Image
Daerah rawan dinasti terbesar ketiga dan keempat ada di Pulau Jawa, yakni Jawa Tengah sebanyak 10 (sepuluh) orang kandidat dinasti yang tersebar di 7 (tujuh) kabupaten pemilihan dan 2 (dua) kota pemilihan. (cont)
Selanjutnya, di Jawa Timur yakni sebanyak 9 (sembilan) orang yang tersebar di 7 (tujuh) kabupaten pemilihan dan 2 (dua) kota pemilihan. Selain daerah tersebut, dinasti politik pada dasarnya tersebar merata di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Temuan Nagara Institute selanjutnya adalah kenaikan jumlah dinasti politik ini disebabkan, salah satunya oleh Putusan MK 33/PUU -XIII/2015. Sebelum putusan tersebut, jumlah dinasti politik pada rentang waktu tahun 2005-2014 hanya berjumlah 59 orang kandidat dinasti. (Cont)
Namun dalam pilkada serentak pada tahun 2015, 2017 dan 2018 terjadi kenaikan drastis yakni 86 orang kandidat. Image
Pada Pilkada serentak Desember 2020 mendatang, jumlah kandidat calon pemimpin daerah terpapar dinasti membengkak menjadi 124 orang kandidat. Putusan MK tersebut secara nyata dan meyakinkan telah menjadi justifikasi terhadap kenaikan angka dinasti politik di Indonesia.
Selain sebaran yang merata, perkembangan dinasti politik memiliki pola/model yang sama dan terus dipertahankan dari tahun-tahun sebelumnya. Pertama, Presiden @jokowi yang mengusung keluarganya. Hal ini terlihat dengan majunya Gibran @Chilli_Pari dan Bobby Nasution.
Kedua, suami memajukan istri sendiri m'jadi Cakada u/ dgn dalih mempertahankan keberhasilan sang suami yang sudah dibangun periode sebelumnya. Misalnya, Abdullah Azwar Anas yang memajukan istrinya sebagai calon bupati Banyuwangi. Dan, 29 istri-istri bupati lainnya.
Ketiga, dalam pilkada 2020 juga mempertarungkan antar dinasti politik. Di Tangerang Selatan, misalnya, bertarung antara dinasti Prabowo, Ma’ruf Amin, dan Ratu Atut. (cont)
Pertarungan tdk hanya antar dinasti tetapi jg terjadi dlm ‘internal’ dinasti itu sendiri. Seperti yang terjadi Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan (Pangkep) yakni dalam dinasti Syamsuddin A. Hamid, bupati incumbent. Image
Riset ini menemukan Partai Golkar menempati urutan pertama yang mengusung dinasti politik sebanyak 12,9 %. Disusul @PDI_Perjuangan (12,4 %) dan Partai @NasDem @ (10,1%). (cont) Image
Dalam hal partai yang mengusung calon kepala daerah non-kader, Partai @NasDem menempati posisi teratas yakni 13,1%, disusul @PDI_Perjuangan (11,7%) dan Partai Hanura (9,7%). Image
Akhir simpulan dari riset Nagara Institute, Pilkada 2020 masih berkutat dengan pola masalah yang sama dari pilkada sebelumnya. Fungsi rekrutmen partai politik masih jauh dari harapan. (cont)
Partai politik belum berhasil untuk menjadi laboratorium yang menyiapkan calon pimpinan daerah yang berbasis pada nilai-nilai demokrasi yang agung.
Pragmatisme partai politik masih ditunjukkan dengan merekrut orang-orang yang bukan kader partai. Fungsi rekrutmen yang tidak berjalan baik akhirnya kian menyuburkan dinasti politik yang masih menjadi masalah dalam demokratisasi di tingkat lokal.
Untuk menyelamatkan alam demokrasi di Indonesia dan mencegah terjadinya perilaku koruptif di masa mendatang, Nagara Institute merekomendasikan untuk menutup pilihan secara permanen dan tanpa kompromi terhadap kandidat kepala daerah yang terpapar dinasti politik.
Selanjutnya, dalam rangka perbaikan sistem partai politik di masa mendatang Nagara Institute memberikan rekomendasi kepada para pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) untuk segera merevisi Undang-Undang Partai Politik (cont)
khususnya mengenai kaderisasi partai politik yang mengharuskan seorang calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik telah berproses menjadi kader partai sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.
Tren dinasti politik pada tiap gelaran pemilihan kepala daerah terus meningkat. Melihat dampak negatifnya, perlu ada pengetatan aturan maju bagi kandidat calon kepala daerah demi memangkas budaya dinasti politik.
Dalam Webinar Nasional Rilis Nagara Institute tentang Dinasti Politik Pilkada 2020, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) @djoherman mengatakan, perlu ada perbaikan undang-undang untuk mencegah lahirnya dinasti politik di pemilu. (cont)
Salah satu ketentuan yang perlu diatur ialah kewajiban calon kandidat kepala daerah menjadi kader partai setidaknya lima tahun dan memiliki pengalaman kerja publik.
Selain itu, Djohermansyah mengusulkan agar usia minimal calon bupati dan wakil bupati dan wali kota dan wakil wali kota serta gubernur dan wakil gubernur dinaikkan. Menurutnya, mengurus suatu daerah perlu kepemimpinan yang matang.
Ketentuan lainnya yang menurut Djohermansyah perlu diatur, yaitu cuti selama masa kampanye bagi pimpinan pemerintah daerah atau kepala pemerintahan atasan yang kerabatnya maju pilkada.
Pakar Hukum Tata Negara @ReflyHZ menambah terdapat dua cara untuk menghambat kesuburan politik dinasti di Indonesia. Pertama, itu dengan melakukan judicial review seperti yang direncanakan Nagara Institute (cont)
dan kedua memasukan syarat-syarat baru yang tidak bertentangan dengan hak konstitusional ke dalam UU Pilkada.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (@indikatorcoid) @BurhanMuhtadi menjelaskan, besarnya syarat pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen berimplikasi kepada partai politik yang lebih banyak berkutat kepada komunikasi dan biaya politik. (cont)
Hingga akhirnya, partai lebih memilih calon kepala daerah yang sudah memiliki elektabilitas, dukungan, dan modal yang tinggi. Ia menyarankan agar ambang batas ini diturunkan, agar partai tidak perlu harus mencari koalisi lain dalam mengusung calon kepala daerah.
Burhanuddin mencontohkan, tingginya ambang batas pencalonan yang berakhir pada dinasti politik terjadi di pemilihan wali kota Solo. Saat putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang notabenenya bukan kader diusung oleh PDIP.
Hal ini berujung kepada partai lain yang tak berani mendukung sosok selain Gibran. Karena ia telah memiliki nama yang telah dikenal oleh masyarakat dan didukung oleh PDIP yang merupakan partai pemenang di Solo.
Partai Keadilan Sejahtera (@PKSejahtera) yang berusaha menghadirkan penantang bagi Gibran juga tak bisa berbuat banyak. Karena tingginya ambang batas persyaratan kepala daerah sebesar 20 persen.
@yennywahid menyampaikan bahwa, dinasti politik harus dilihat secara objektif, hal yg terpentin adalah seorang kandidat harus mengikuti proses pengabdian untuk mansyarakat, atau dalam ajaran jawa disebut dengan “melakoni”.
@yoeskenawas memberikan gagasan bahwa masalah Dinasti Politik hendaknya sudah tidak relevan untuk kita kaitkan dengan etika politik, (cont)
menurutnya harus ada hukum yang tegas mengatur larangan dan pembatasan. Karena menurutnya penjeraan politik melalui etika sudah tidak memberikan efek jera bagi pelaku dinasti politik.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Nagara Institute

Nagara Institute Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nagara_inst

20 Jul
Tweeps, berikut ini thread NAGARA INSTITUTE tentang Dinasti Politik yang merusak sendi kebangsaan kita sekaligus tanpa sadar merontokkan pilar kekuatan partai politik:

@sociotalker @akbarfaizal68 @zuhairimisrawi @BurhanMuhtadi @bambangsoesatyo @mohmahfudmd @Fahrihamzah @fadjroeL
1. Ruang publik kembali terguncang isu dominasi dinasti politik pd pilkada serentak Desember mendatang. NAGARA INSTITUTE pada riset dinasti politik di Februari 2020 lalu menemukan fakta kerusakan maksimal pada kehidupan perpolitikan kita akibat dinasti politik.
2. Pemicunya adalah pencalonan @Chilli_Pari Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden @jokowi sbg calon Walikota Solo. Awalnya, pengurus dan kader @PDI_Perjuangan Solo mengusung Achmad Purnomo, wakil walikota saat ini, sbg cawalkot. (cont)
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!