Thread by @mwv_mystic

Kebobrokan Jurnalis Media dan Laman Publik Demi Mendulang Atensi Memanfaatkan Peristiwa Bencana

Sc screenshot foto : @mazzini_gsp

Hal mistis dan air mata merupakan 2 komoditi besar yang mampu mengambil perhatian banyak mata penduduk Indonesia. Menjual suatu hal klenik dan membuat tayangan yang mengundang haru menjadi salah satu hal yang sering dilakukan media, entah itu televisi, media online,--

--atau akun publik sekalipun. Sayang, cara, tampilan dan waktu untuk share info tersebut tidaklah tepat dan cenderung menjijikan.

Media selalu menjadi yang terdepan dalam mengabarkan sebuah bencana alam atau insiden tertentu.

Bahkan bukan tidak mungkin, dalam 1 hari seluruh air mata dan video video amatir itu diputar berulang ulang di layar kaca. Tidak lupa ditambahkan backsound lagu lagu sedih guna mengambil hati para penontonnya. Kita dibuat terus terpuruk, kita dibuat terus berada dirasa takut.

Kita seperti kalah dan harus terus seperti itu tanpa adanya secercah semangat dan harapan yg coba dibagikan media agar orang orang bangkit. Kenapa? Karena yang orang cari adalah rasa iba dan air mata, bukan hal hal lain yg mereka rasa tidak menjual dan tidak memiliki daya tarik.

Tampilan yang salah. Ya, apa yg media sajikan, gelimpangan jenazah dengan sensor seadanya, lokasi bencana, dan video amatir evakuasi yang bisa diakses secara bebas bahkan menambahkan watermark "ekslusif" bukanlah tampilan yg tepat untuk semua orang.

Kedua adalah cara mendapatkannya. Wawancara keluarga korban selalu jadi hal yang paling gw benci dari sebuah liputan berita bencana. Pertanyaan pertanyaan bodoh tapi berulang selalu keluar dari mulut sang pewawancara..

"Apa ada firasat sebelum kejadian?"

"Apa pesan terakhir korban sebelum pergi?"

"Apa kenangan terakhir yang paling membekas antara korban dengan anda?"

dan yang paling parah adalah "jika diluar sana korban masih hidup, kira kira apa yang mau anda sampaikan?"
Tolol.

Semua pertanyaan tersebut sama sekali tidak baik untuk mental sang keluarga. Apa yang media cari? Berharap sang narasumber keluarga korban akan menangis nangis meraung raung di acara live sehingga mendulang rasa iba (baca: penonton) bagi televisi tersebut??

Apa gunanya bertanya firasat? Apa semua hal harus dihubung2an dengan firasat, ramalan, tanda dan sebagainya untuk kemudian dari wawancara itu timbul highlight "sebelum kejadian, keluarga korban sempat bermimpi.... Bla bla bla".

Bukan itu yang mereka butuhkan. Bukan itu cara kalian mendapatkan berita. Dan bukan itu yang harusnya kalian jual!. Pertanyaan2 seperti itu akan terus dilontarkan sang pewawancara sampai narasumber makin terpuruk dalam kenangan2nya hingga kembali mentalnya tertekan.

Apakah ini yang namanya pendampingan bagi keluarga korban? Bukankah mereka lebih buttuh support moril ketimbang tekanan untuk berpikiran seolah2 semuanya memang sudah terlambat???

Selanjutnya adalah waktu.. Kapan waktu postingan2 dan segala bentuk tampilan itu disebarkan? Iya. Saat masih dalam proses pencarian korban. Saat para keluarga korban masih berharap akan hadirnya keajaiban yang membuat keluarganya pulang dengan selamat.

Berkaca pada Jepang ketika musibah tsunami melanda. Medianya sangat jauh sekali dari mengabarkan segala bentuk air mata dan postingan korban bencana. Mereka tidak mencari views untuk mendulang penonton yang tertarik untuk melihat karena ingin menengok sebuah bencana.

Lalu apa yang media Jepang saat itu lakukan? Mereka menjadikan diri mereka sebagai sumber informasi dan sebagai dongkrak moril yang dibutuhkan oleh warga Jepang saat itu. Yang mereka kabarkan adalah kemajuan pencarian korban, memutarkan video2 pembangkit semangat,

mengabarkan jumlah bantuan dan lokasi evakuasi. Mengabarkan dobrakan pemerintah untuk kemudian menghindari kasus yang sama...tidak ada menjual air mata, tidak ada menjual kesedihan. Dukungan moril dan semangat untuk terus hidup adalah hal pertama yang media bangun saat itu.