-THREAD HOROR-

LELEMBUT GUNUNG CIKURAY [BERTEMU ARWAH PENDAKI]

PART 2 [END]
[BASED ON TRUE STORY]
@Bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID
#lelembutgunungcikuray Image
Kuputuskan melanjutkan perjalanan menuju Pos 4. Di tengah-tengah perjalanan, suasana kembali tidak beres. Aku merasa diikuti oleh seseorang dari belakang.
Langkahku beberapa kali sempat terhenti, melihat sekitar dan memastikan. Namun tak kutemui siapapun. Di jalur pendakian itu, hanya ada aku dan Agus.
Sempat terlintas juga dalam pikiranku, bahwa lelembut-lelembut itu mengincarku.
Gesekan antara energiku dengan energi mereka berpengaruh besar. Aku menjadi cepat lelah. Aku ingin beristirahat dulu di Pos 4. Tenagaku terkuras.
Sampailah kami di Pos 4. Agus menyetujui usulanku untuk sejenak beristirahat di sana. Sebentar, hanya beberapa menit. Setelah itu, kami melanjutkan kembali perjalanan.
Agus kembali berulah. Dia berceletuk, “Is, ini hutan makin serem aja ya, kayanya banyak setannya, nih. Terus itu, tuh, disana. Bayangin kalo kita jatuh gimana, jalurnya persis kaya jurang.”
“Gus, Mulut lo itu jaga, dong. Kita ini lagi di atas gunung. Di tengah hutan. Jangan ngomong yang aneh-aneh bisa gak, sih?”. Ucapku dengan kesal. Kebiasaan asal bunyinya itu harus kuredam di sini.
“Iya, Maaf,” Begitu kata Agus. Nada bicaranya ketus.
Dampak dari kemarahanku berimbas pada sikap Agus. Dia menjauhiku. Sampai-sampai langkah kami berjarak hingga mencapai 20 sampai 30 meter. Kabut sudah turun.
Aku khawatir ia segera menebal, dan pandanganku menjadi terbatas dibuatnya. Maka dari itu, aku meneriaki Agus untuk segera mendekat. Tanpa sahutan, Agus pun mendekat.
Di perjalanan dari Pos 4 hingga Pos 5, kami berdua selalu berpapasan dengan pendaki lain. Aku sendiri merasa senang bisa bertegur sapa dengan mereka. Darahku yang semula bergejolak karena dibakar api kecemasan, kini mulai mereda.
Hingga 2 pendaki yang tak kukenal, dapat menyusul kami. Langkah kami memang sengaja dibuat perlahan. Sehingga sangat memungkinkan jika ada pendaki yang berhasil menyusul.
“A, mau ngambil trek malem, apa gimana?” tanyaku pada salah satu pendaki, sebut saja namanya Tejo.
“Gak tahu, Teh. Kayaknya, mau ngecamp di Pos 5,” ucapnya sedikit terengah.
Dari pertemuan itu, anggota pendakianku bertambah satu orang. Kami mendaki bersama menuju Pos 5. Aku sendiri memutuskan mengikuti pendapatnya, membuat tenda di Pos 5. Karena, hari sudah mulai senja.
Melihat kondisi Pos 5, kami sempat dibuat kebingungan. Suasana Pos 5 sudah penuh terisi oleh tenda-tenda pendaki lain.
Tejo bertanya kepadaku, “Gimana, Teh?”
“Kalo gak hujan, kayaknya saya sama temen saya ambil trek malem. Tapi kalau hujan, ya, kita nyari lahan buat diriin tenda, A,” Jelasku.
Melihat kemungkinan kecil berkemah di Pos 5, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sembari mencari lahan untuk mendirikan tenda. Salah satu lainnya menjadi seorang leader, sebut saja namanya Nanang. Sedangkan Tejo, menjadi seorang sweeper.
Sementara aku dan Agus berada di antara mereka. Kami beruntung. Ada Nanang yang berada bersama kami. Menurut pengakuannya, ia sudah pernah ke Cikuray. Sehingga, ia lebih mengetahui trek yang harus diambil.
Tak terasa jauh kami berjalan, sampailah kami di Pos 6. Langit nampaknya sudah tak bersahabat. Ia menumpahkan rintikan air hujan.
Mataku menangkap sebuah bangunan. Itu warung. Bagus juga, di area seperti ini, ada orang yang berbaik hati yang membangun warung. Sehingga pendaki sepertiku tak perlu khawatir kehabisan perbekalan.
Melihat area strategis di dekat warung, aku mengusulkan untuk membangun tenda kepada kawan-kawanku. Tanpa sanggahan, mereka menyetujuinya.
***
Tenda selesai didirikan....

Segera kuseduh wedang jahe dan mie instan favoritku, sekadar untuk menghangatkan badan.
Angin gunung menembus bajuku, merangsek masuk ke dalam pori-pori. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami. Hanya suara benturan antara sendok dan nesting; dan rintikan air hujan yang terdengar senggema.
Pikiranku tiba-tiba saja berkelana. Aku jadi memikirkan hal mistis yang terjadi padaku di jalur pendakian tadi. Berusaha kupalingkan, namun tak bisa. Aku hanya bisa mengikisnya sedikit-sedikit.
Posisi tendaku sendiri berada di paling pojok area itu. sedikit saja kecerobohan dan gerakan berlebihan, tendaku dapat terperosot ke dalam jurang.
Mentari semakin tenggelam. Langit berganti hitam. Pandangan menjadi semakin remang. Sepi, sunyi tetap menemani. Tak ada aktifitas dari pendaki lain. Mungkin mereka sama sepertiku, meneduh di dalam tenda.
Semakin larut, hawa dingin yang ikut masuk ke dalam tenda, membuatku seketika terlelap. Di dalam lelap tidurku, aku bermimpi dihampiri sosok wanita yang tak asing.
Berusaha kuingat, ternyata itu adalah wanita yang tadi siang kulihat duduk di sebuah ranting ketika aku dan Agus beristirahat di Pos 3.
Wanita itu mengenakan baju berwarna putih. Sedikit kusam. Wajahnya tak bisa kulihat, karena terhalang oleh rambutnya yang panjang terurai, menjuntai ke bawah.
Sosok wanita itu dalam keadaan basah kuyup.
Wanta itu menggigil. Ia berkata, “Teh ... minjem selimut, Teh, saya kedinginan,”
Aku sendiri bingung. Aku hanya membawa satu sarung saja. Kalau aku memberikan sarungku kepadanya, bagaimana dengan nasibku?
Dengan berat hati, aku menjawab, “Teh, saya cuma bawa satu sarung, jaket juga satu. Itu juga udah kebasahan. Soalnya ... air hujan dari luar masuk ke dalem tenda”
Sosok wanita itu tak mengeluarkan sepatah dua patah kata. Ia hanya menggigil, lalu membalikkan badannya, meninggalkanku begitu saja. Jujur, aku sebenarnya sangat kasihan.
Tapi mau bagaimana lagi, meski aku berkorban memberikan sarung dan jaketku yang basah, ia tetap akan kedinginan.
Beberapa saat kemudian, aku terbangun. Kulihat jam tangan, jarum pendeknya sudah bergeser sedikit ke arah angka 1, dan jarum panjangnya di angka 8. 12.40. aku terbangun di tengah malam.
Aku melihat sekitar. Ada yang aneh. Sarung yang semula kukenakan untuk tidur, kini sudah berada di dekat pintu tenda. Sarung itu menjauh dariku. Padahal, aku berada di bagian tenda paling jauh dengan mulut tenda.
Tak cukup di situ, pendengaranku menangkap sesuatu. Aku mendengar suara langkah diseret menjauh dari tenda.
Dalam takutku, aku malah menjadi penasaran. Aku pun sedikit “melompati” Agus untuk bisa mencapai mulut tenda. Dari celahnya, aku mengintip. Aku ingin memastikan siapa yang berjalan begitu pelan menjauh dari tendaku.
Dari celah itu, aku melihat sosok yang sama dengan apa yang kulihat di dalam mimpi. Sosok wanita berbaju putih sedikit kusam dengan rambut panjang menjuntai.
Sosok itu berjalan menjauh sembari memeluk dirinya sendiri. Ia menggigil, lalu tiba-tiba menghilang ditelan gelapnya malam.
Teriakanku harus kutahan dengan tanganku sendiri. Aku tidak ingin sosok itu berbalik dan melihatku. Aku takut jika ia berbalik, ia akan menghampiriku lagi dan membawaku ke alamnya.
Aku tidak mau ceroboh. Sedikit saja kesalahan, sukmaku perlahan dapat menghilang. Sebelum akhirnya aku bisa saja benar-benar kehilangan nyawa.
Kejadian itu harus membuatku terjaga hingga menjelang pukul 5.30 pagi. Sementara hujan masih mengguyur tanah Cikuray.
***
Sekiranya pukul 8, aku membangunkan teman-temanku untuk bersiap naik ke puncak. Perlengkapan lain seperti tenda dan perbekalan, kami bereskan, lalu kami simpan ditempat aman. Kami takut ada babi hutan yang merusak semuanya.
Tanpa cerrier, kami berjalan menuju Pos 7 dan Pos 8. Perjalanan penuh dengan perjuangan. Trek licin dan udara yang pengap karena oksigen bercampur dengan air. Hingga akhirnya, pukul setengah 11 siang, kaki lelahku dapat berpijak di titik tertinggi Gunung Cikuray.
Semua lelah terbayarkan. Semua harapan terkabulkan. Kejadian-kejadian di luar nalar yang kualami sebelumnya, sejenak terlupakan oleh indahnya pesona puncak Cikuray.
Pukul 12 lewat, kami memutuskan untuk turun. Sampai tenda pukul 2 siang. Perjalanan turun dari puncak cukup lama, karena selain jalanan yang licin, Agus juga sering berhenti untuk mengabadikan momen.
Aku sendiri melepaskan sepatu. Itu bukan tanpa alasan. Sepatuku selalu tersangkut hingga terlepas. Hingga langkahku tersendat-sendat. Pendaki lain yang melihat itu sempat memperingatkan.
Tapi, aku abaikan, karena ini adalah keputusan terbaik menurutku. Itu akan memangkas waktuku untuk cepat sampai ke kaki gunung.
Di jalur antara Pos 5 dan 4, aku dan Agus sempat beristirahat sejenak. O, ya, di sini, kami sudah terpisah dari Tejo dan Nanang. Kami kembali berdua.
Di jalur pendakian, aku melihat 2 pendaki yang sedang turun. Setelah saling menyapa, mereka mengaku berasal dari Bekasi. Tak jauh dari kedua pendaki asal Bekasi itu, aku melihat seorang pendaki lain.
Ia memakai jaket kuning, topi, dan sarung tangan. Perawakannya tinggi, wajahnya tampan—menurutku. Namun ada yang aneh. Pendaki berjaket kuning itu berkulit pucat.
Semula, aku menyangka kalau pendaki berjaket kuning itu adalah teman dari 2 pendaki asal Bekasi. Sehingga, aku tidak merasakan merinding sama sekali. Bahkan, aku sempat menawarkan ia minum. Namun ia menolaknya.
***
Di perjalanan antara Pos 4 dan Pos 3, musibah menghampiriku. Kakiku seperti ada yang memegang, lalu mendorongnya hingga aku terjatuh. Bukan hanya lecet biasa, kakiku terkilir.
Aku berteriak kesakitan, lalu meminta Agus untuk membantu. Aku merasakan jelas ada sebuah tangan yang memegangi kakiku dengan kuat, dan mendorongnya.
Alhamdulillah, proses pertolonganku berjalan lancar, walaupun langkahku jadi sedikit terpincang.
Singkatnya, tibalah kami di Pos 3. Ada yang mengalihkan fokusku setibanya di sana.
Aku kembali melihat pendaki berjaket kuning, sedang duduk bersandar di bawah pohon. Kami melewatinya.
“Punten, A, saya duluan,” ucapku permisi.
Pendaki berjaket kuning itu hanya menjawabku dengan senyuman. Tak ada hal aneh yang kuterima dari Pos 3 hingga Pos 1. Semua aman-aman saja. Meski, langkahku masih terpincang.
Di Pos 1, aku beristirahat sekaligus menyantap makanan favoritku, Cuanki. Aku lahap memakannya untuk menghilangkan rasa lapar.
Sedang lahap-lahapnya, dari kejauhan aku kembali melihat pendaki berjaket kuning. Ia memperhatikanku. Kami saling bertatapan.
Dan ketika pendaki itu melewatiku, aku sempat menawarkan makanan kepadanya. Namun lagi-lagi ia menolak. Aku yang terkesima, tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa membiarkannya lewat didepanku.
Tak berselang lama setelah cuanki habis, aku dan Agus melanjutkan perjalanan menuju pos pendaftaran. Dalam benakku, aku berharap bisa menyusul pendaki berjaket kuning tadi.
Kuperkirakan sebelumnya, jaraknya tidak akan terlalu jauh. Tapi semakin berjalan jauh, aku tidak melihatnya.
“Masa iya, sih udah ilang lagi, cepet banget jalannya,” benakku terpatik dalam kebingungan.
Sampailah kami di area yang semula menjadi tempat hilangnya Agus kemarin. Di tempat itu, aku bertemu dengan beberapa petugas dan satu orang relawan yang sedang turun. Mereka menyusul kami.
Para petugas yang menyusul memilih mendahului kami. Tidak dengan 1 orang relawan yang datangnya bersamaan. Ia memilih berjalan beriringan dengan kami.
Aku menyapa relawan itu, dan tanpa sungkan menceritakan semua kejadian mistis yang aku alami selama berada di jalur pendakian.
Mendengar ceritaku, relawan itu sedikit menjelaskan sesuatu.

“Neng, mungkin cewek yang kamu maksud itu cewek yang hilang beberapa tahun yang lalu,” Lalu, relawan itu menjelaskan kronologi kejadiannya.
“Karena neng pendatang baru, jadi ada perkenalan sedikit, lah. Terus soal wewangian ... sebenernya di pos itu udah banyak yang ngalamin hal serupa. Masih syukur kamu bisa turun dengan selamat,” lanjutnya.
Dengan selamat? Beruntung?
“Si cewek itu emang ga disempurnain arwahnya Pak?” Tanyaku. Aku masih dihinggapi rasa penasaran.

“Mau disempurnain gimana, orang dia udah ngikut sama penghuni sana. Sampe sekarang juga jasadnya belum ketemu”. Jelas relawan.
Mendengar penjelasannya, membuat bulu kudukku merinding hebat. Tapi setidaknya, itu membuat seribu pertanyaan dalam benakku sedikit terjawab.
Tak terasa, sehabis maghrib, sampailah kami di pos pendaftaran. Kami langsung laporan ke petugas, lalu menerima sertifikat pendaki.
Dan aku ... sebenarnya aku masih penasaran dengan pendaki berjaket kuning yang kulihat di jalur pendakian tadi. Sosoknya masih terngiang dalam ingatan.
Kebetulan, aku tak sengaja bertemu dengan pendaki asal Bekasi yang di jalur pendakian, mereka berjalan di depan pendaki berjaket kuning. Aku bertemu dengan mereka ketika kami mengantri di sebuah kamar mandi.
“A, maaf ... tadi mendaki bukannya bertiga, ya, yang satunya kemana?” tanyaku.
Mereka saling pandang satu sama lain. Dahi keduanya terlihat mengerenyit.
Salah satu dari mereka berkata, “Gak, kok, kita dari kemaren mendaki Cuma berdua aja”.
Aku masih dilanda kebingungan. Secara tak sengaja, seorang petugas menghampiriku.
Tak pikir panjang, aku bertanya, “Pak, maaf, tadi ada pendaki yang turun pake jaket kuning yang ciri-cirinya pake jaket kuning, topi, sama sarung tangan. Itu kira-kira, dia solo hiking atau ada rombongannya, Pak?”
Petugas itu menjawab.
Jawabannya membuat semua hormon ketakutanku bangkit.
Ia berkata, “Neng, saya tugas jaga disini dari siang sampe sekarang, sama sekali gak ngelihat orang yang ciri-cirinya Neng sebutin tadi,”
“Terus, dari kemaren juga emang gak ada yang solo hiking, Neng.” imbuhnya.

Bibirku tak bisa berkata apa-apa. Ia membisu. Ingatanku masih jelas menangkap raut wajah dan senyumnya.

“Apa ... apa itu hantu pendaki?” pikirku.

***
Setelah menyelesaikan semua urusanku, aku dan Agus memutuskan untuk mengemas kembali barang bawaan, untuk kemudian pulang ke Subang.
Di perjalanan, ternyata kejadian mistis masih setia mengikuti. Dari mulai serrier yang terasa berat dan ringan seketika padahal isinya tetap sama, sampai teror kuntilanak yang melempar batu di toilet sebuah musholla yang menjadi transit kami sebelum melanjutkan perjalanan.
Bukan hanya sampai di situ. Sampai rumah pun, hal mistis masih belum pergi juga. Kejadian ini sangat, sangat tak masuk akal. Kejadiannya yaitu, ketika aku terbangun dari tidurku, aku menemukan kakiku sangat kotor dibaluri tanah gunung.
Padahal, Aku yakin betul, kalau sebelum tidur, aku sudah mencuci kaku dengan sangat bersih.
Tapi apa yang kulihat, sangat tak masuk akal.
Aku merenung dan tersadar. Apa yang terlah terjadi kepadaku mungkin adalah ulah temanku yang tidak menjaga perkataannya ketika berada di gunung. Lebih ke arah sompral menurutku. Sangat sompral. Alhasil, aku terkena imbasnya.
Tapi, di balik itu semua, aku masih bersyukur bisa selamat hingga kini. Dan dari kisah ini aku belajar sebuah kesopanan ketika berada di sebuah tempat. Dimanapun. Tak terkecuali, di gunung.
TAMAT.
--------------------------------------------------
Pengen cerita apa lagi, nih, selain pendakian?

Komen dongs!!!

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Didit Galaraka

Didit Galaraka Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diditgalaraka

16 Feb
-THREAD HOROR-

LELEMBUT GUNUNG CIKURAY [BERTEMU ARWAH PENDAKI]

[BASED ON TRUE STORY]
@Bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID Image
Oke, sambil nunggu kekosongan gue diskusi sama narasumber di cerita pendakian yang gue maksud sebelumnya, gue post dulu cerita pendakian yang lain. semoga asupan horor kalian terpenuhi
Gue disclaimer dulu.
Cerita ini adalah pure cerita yang gue tulis dan gue kembangin, yang gue dapet dari salah seorang narasumber di facebook beberapa bulan lalu.
Read 57 tweets
4 Feb
-THREAD HOROR-

KUALAT GUNUNG MERAPI BAB 10

TAMAT ....

[BASED ON TRUE STORY]
@bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID
“Maksud, Mbok?” aku mengerutkan dahi. Pelukanku kulepas.

“Yoyo yang menyelamatkan kamu dan yang lainnya.” tuturnya begitu lembut.

“Yoyo juga sudah berusaha menyelamatkan dua orang kekasih itu. tapi kesalahan mereka terlalu berat.” Lanjutnya.
Jujur, misteri di dalam kepalaku bertambah. Belum sempat kupecahkan misteri yang diutarakan Mbah Wongso, aku sudah diberi isyarat lain oleh Mbok Irah malam itu.
Read 91 tweets
4 Feb
-THREAD HOROR-

KUALAT GUNUNG MERAPI BAB 9

[BASED ON TRUE STORY]
@bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID
Begitu melihat mobil Mas Irwan memasuki kawasan basecamp, Gundil bergegas berlari menghampiri mobil. Tanpa parkir, Gundil memberi isyarat dari jauh untuk segera masuk ke dalam mobil.
Tanpa pikir panjang, aku mengangkat tubuh Yoyo untuk dapat segera didudukkan di dalam mobil. Begitupun dengan Ibang dan Kucay. Mereka mengangkat tubuh Mulki dan Desti, lalu mendudukkannya secara bersilangan di dalam mobil.
Read 96 tweets
4 Feb
-THREAD HOROR-

KUALAT GUNUNG MERAPI BAB 8

[BASED ON TRUE STORY]
@bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID
Cerita ini bakal gue lanjut. Semoga saja bisa dipost sampe tamat hari ini.
Retweet dulu guys.
Suara ayam berkokok membangunkan tidur lelapku.

........

Ah, suara alarm HP-ku ternyata. Aku kira, seekor ayam bisa mendaki begitu jauhnya hingga mencapai Pasar Bubrah. Memang sengaja aku pasang nada kokok ayam supaya terdengar klasik.
Read 110 tweets
1 Feb
-THREAD HOROR-

KUALAT GUNUNG MERAPI BAB 7

[BASED ON TRUE STORY]
@Bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID Image
Kehadiran lelaki itu menghadirkan rasa penasaran bagiku. Lebih tepatnya, aku sangat penasaran dengan penampilannya yang tak umum.
“Maaf, Pak. Darimana mau kemana ya?” aku membuka obrolan.
“Saya warga sini. Saya mau pulang, tapi sudah kemalaman. Rumah saya di belakang puncak sana.” Lelaki itu menjawab dengan santainya, menunjuk ke arah siluet besar puncak Merapi.
Hah? Emang ada desa di belakang puncak ini? satu pertanyaan besar menghujam di kepalaku.
Read 106 tweets
1 Feb
-THREAD HOROR-

KUALAT GUNUNG MERAPI BAB 6

[BASED ON TRUE STORY]
@Bagihoror
@bacahoror
@IDN_Horor
@HorrorBaca
@horrornesia
@HorrorTweetID Image
Lanjut yaa... siapin camilan dulu. gue mau post marathon beberapa bab hari ini.
“Bangsat, mana anak itu?” Ibang berbalik. Dengan kepalan tangan hampir sebesar buah naga, langkahnya tergesa diiringi nafas yang memburu.
Read 109 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!