Bang Beben Profile picture
Jun 27, 2021 833 tweets >60 min read Read on X
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 09 : Rumah Dinas Guru

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Wadah bambu itu terus menyala, api menari-nari tertiup angin lalu perlahan padam.

"Monggo mas, mbak, diminum dulu."
Pak Kasno tiba-tiba sudah ada di ruang tamu, membawa tiga gelas teh hangat dan roti kering dalam nampan.
Di cuaca seterik ini, rasanya paling pas kalau minus es. Tapi apa boleh buat, rejeki tidak boleh ditolak.
Sembari menikmati hidangan, aku menyerahkan amplop coklat dari Dinas Pendidikan ke pak Kasno. Pak Kasno membaca isi surat itu sambil mengangguk-angguk.
"Berarti nak Bimo yang lulus tes CPNS tahun kemaren ya. Untuk rumah dinas, bisa pilih yang bagian tengah. Ada kosong dua. Yang paling ujung udah diisi Pak Tingen, guru Agama Hindu Kaharingan."
"Beliau datang satu minggu sekali, sesuai jadwal ngajar. Soalnya beliau juga ngajar beberapa sekolah di kecamatan ini. Tapi, kadang beliau nginap berhari-hari untuk berburu. Kalo beruntung, saya bisa dapat daging kijang gratis. He..he..he "
Aku dan istri memperhatikan penjelasan pak Kasno, sambil menikmati teh kami yang masih panas.
"Di sebelah pak Tingen, ada pak Ancah. Wali kelas lima. Beliau biasanya datang pagi, pulang sore. Di sini cuman istirahat siang. Rumah beliau di kampung sebelah, di hilir desa ini.
Biasanya bawa kelotok sendiri. Sesekali nginap, kalo sekolah ada acara atau keperluan lainnya."

Aku lalu mengambil asbak dari samping pak Kasno, lantas menyalakan rokok yang tersisa tiga batang.
"Amit nggih pak. Kalau ibu sama anak-anak dimana ya? Kok kayaknya sepi?" tanya istriku.

Pak Kasno terdiam sejenak, menyalakan rokok kretek miliknya, lalu lanjut bercerita.
"Dulu pernah ikut, sama anak-anak juga. Tapi cuman bertahan 2 bulan. Katanya gak betah. Maklumlah mbak, di sini terlalu sepi. Yaudah balik lagi ke rumah kami di kota Muara Teweh. Lagian di sana ada mertua. Saya biasanya ke kota satu bulan atau 2 minggu sekali."
" Biasanya kalau saya pulang ke kota, bisa sampai 1 minggu. Di sini muridnya sangat sedikit. Hanya ada dua kelas, yaitu kelas tiga sama kelas lima.
Kalau saya pulang, sekolah saya titipkan sama pak Ancah atau pak Tingen." kata pak Kasno sambil meminun tehnya. Setelah gelas tehnya sudah di nampan, pak Kasno kembali bercerita.
" Kelas lima cuman ada 4 murid. Kelas tiga cuman 3 murid. Sedangkan kelas lainnya kosong.
Itu juga bukan berasal dari desa ini. Tapi murid dari kampung seberang, juga desa di pinggiran sungai lainnya.
Mereka kemari pake kelotok kecil. "ujar pak Kasno sambil menghisap rokoknya.

"Lima tahun lalu, waktu saya pertama kali diangkat jadi kepala sekolah, cuman ada satu kelas. Ya yang sekarang pada duduk di kelas lima."
"Sebenarnya, ada kampung lagi di balik bukit. Tapi mereka menolak sekolah di desa ini. Kudengar, mereka bermusuhan dengan desa ini. Desa ini dan desa di balik bukit, tidak pernah saling berhubungan dalam 10 tahun terakhir."

"Kenapa pak?" tanya istriku.
"Kurang tahu. Paling masalah batas desa."

Pak Kasno menghentikan ceritanya, seperti ada yang disembunyikan. Aku masih penasaran dengan desa dibalik bukit, tapi pak Kasno sepertinya sudah tidak mau melanjutkan kisahnya.
Lalu, tiba-tiba perutku bersuara, menandakan rasa lapar yang cukup parah.

"Kalian sudah makan?" tanya pak Kasno padaku dan istri.

"Belum pak." jawabku sambil tersenyum tanpa rasa malu.
Istriku mendelik dan cemberut padaku. Tapi aku cuek aja, soalnya memang sudah terasa lapar sekali.

"Kalian makan di sini aja. Sebentar saya masak dulu. Tapi seadanya."
Pak Kasno bergegas berdiri, tapi dipotong istriku.
Pak, kalau mau belanja sembako dimana ya? "tanya istriku.

"Mm...kalau mau belanja, di kampung sebelah. 2 jam pake kelotok."
Wah, apes batinku. Aku harus menahan untuk tidak merokok selama bebera hari kedepan.

"Di sana ada pasar mingguan tiap hari rabu dan jumat. 2 hari lagi kita barengan aja kesana, pake kelotok pak Kades." ucap pak Kasno lagi.
"Sementara, pake punya saya aja dulu. Ada beras sama minyak goreng. Nanti balikin kapan-kapan aja, atau setelah kita belanja di desa sebelah.
Saya ambil kunci dulu ya, tunggu sebentar." Pak Kasno bergegas ke dalam kamar, lalu kembali lagi. Aku kemudian menerima dua buah kunci, ada tulisan nomor 2 dan nomor 3 di gantungannya.

***
Hari kian sore, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4.
Aku dan istri sepakat memilih rumah nomor 2 , persis bersebelahan dengan rumah pak Kasno. Biar kalau ada apa-apa, kami bisa cepat menghubungi pak Kasno.
Rumah dinas ini ternyata cukup nyaman walau sederhana. Hanya ada satu kamar tidur layaknya rumah petak mess karyawan.
Beberapa lampu minyak menempel di dinding.
Meskipun berdebu, beberapa peralatan dapur masih ada, seperti piring, gelas dan kompor minyak tanah. Hanya saja tidak ada panci dan penggorengan.
Aku mencoba membuka kran di kamar mandi, ternyata airnya keluar cukup deras dan jernih. Tetesan air segera ditampung pada bak berupa drum plastik ukuran 200 liter. Air tersebut mengalir dari dua tanki air plastik yang berada di depan rumah pak Kasno.
Dengan meminjam sapu dan pel dari tempat pak Kasno, kami berdua mulai membersihkan rumah dinas ini. Beberapa kali kami bersin dan terbatuk, karena harus membersihkan debu dan sarang laba-laba yang ada dimana-mana.
Aku memencet saklar lampu di kamar tidur, ternyata tidak menyala. Tentu saja, rumah ini hanya mengandalkan genset yang hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 10 malam.
Sebuah kasur usang terlihat tergulung rapi di sudut kamar, lengkap dengan kelambu. Aku segera membuka jendela, agar udara segar bisa segera masuk.
Kata beliau, alat dapur itu milik penghuni sebelumnya, dan dititipkan ke dia.

" Pakai aja. Dulu dititipin bu Sinta sama saya. Beliau pindah tugas ke kecamatan. Tapi udah bertahun-tahun gak diambil-ambil. Kayaknya ga bakal balik lagi."
"Inggih pak, makasih banyak." ucapku dan istri hampir bersamaan.

Hampir satu jam kami membersih rumah dinas ini. Aku dan istri mandi secara bergantian. Tidak lama, pak Kasno mengajak kami makan di rumahnya.

***
Setelah mandi, badan terasa segar. Aku dan istri makan dengan lahap di tempat pak Kasno. Menunya sangat sederhana, hanya nasi dingin dengan lauk ikan sarden campur mie serta ikan asin.
Sambil makan, pak Kasno bercerita bahwa dulu sewaktu kecil ia ikut orang tuanya jadi transmigran di Kalimantan.
Mereka berasal dari daerah di Jawa Tengah. Tapi karena saking lamanya, pak Kasno merasa Kalimantan adalah kampung halamannya.
"Keluarga sih ada di Jawa. Tapi sudah lama gak mudik ke Jawa. Terakhir pas meninggalnya pak de, hampir 10 tahun lalu. Apalagi setelah orang tua saya meninggal semua, benar-benar gak pernah pulang ke Jawa.
Soalnya bingung mas, ke Jawa mau ke tempat siapa juga.. sama saudara-saudaranya orang tua udah banyak yang gak kenal."
"Astagfirullah..hampir kelupaan." ujar pak Kasno. Ia lalu berdiri dengan piring di tangannya, kemudian melangkah hingga sampai teras. Pak Kasno kemudian melempar beberapa sendok nasi dan ikan sarden ke tanah, lalu kembali lagi.
"Kenapa pak?" tanya istriku heran. Ia mengkerutkan keningnya sambil memutar-mutar gelang rotan di tangan kirinya.
"Gak apa apa. Cuman kebiasaan masyarakat disini. Bagi-bagi rejeki sama sekitar. Kalian juga, kalau masak jangan lupa sisihkan sebagian makanan kalian."ucap pak Kasno sambil memasukan nasi ke mulutnya.
Aku dan istri saling tatap karena terheran-heran dengan tingkah pak Kasno. Tapi kami juga tidak ingin bertanya lebih lanjut apalagi membantah. Mungkin sudah adat masyarakat sini, tidak salah diikuti.
Pak Kasno kemudian menambah nasinya ke dalam piring, lalu melanjutkan ceritanya.

"Bagi saya, Kalimantan ini ya kampung halaman. Adik-adik saya di sini semua, dengan keluarga masing-masing.
Apalagi, istri saya orang asli Kalimantan mas." ucap pak Kasno sambil menikmati makanannya.

Selesai mendengar cerita pak Kasno, kini gantian giliranku yang bercerita.
Aku menceritakan awal mula perjumpaanku dengan istri di kampus, menikah, lalu ikut tes CPNS hingga akhirnya sampai di desa ini. Sesekali, istriku juga ikut menimpali.
"Kalau begitu, mbak Sri ngajar aja disini. Jadi guru honor. Kebetulan kita gak ada guru bahasa Inggris."

Mendengar tawaran pak Kasno, istriku terlihat senang. Wajahnya berbinar dan senyum merekah di bibirnya.
"Boleh pak...buat isi waktu. Bosan juga di rumah terus." ujar Istriku bersemangat.

"Kalau gitu, siapkan berkasnya. Besok atau lusa udah bisa ngajar. Bulan depan saya usulkan ke Dinas Pendidikan. "
Waktu berlalu, acara makan bersama pun selesai. Sebagai ucapan terimakasih, istriku menawarkan diri untuk mencuci piring. Pak Kasno lantas mengantarkan istriku ke bagian belakang rumahnya, lalu kembali lagi ke ruang tamu.
Melihat rokokku sisa satu batang, pak Kasno lalu membuka laci di samping tv dan menyerahkan dua bungkus rokok murah untukku.
"Seadanya. Yang penting ada asapnya." ujar pak Kasno seraya tertawa. Akupun menerima rokok pemberian pak Kasno sambil tertawa.

Kami lalu duduk bersender di dinding kayu di ruang tamu. Merokok setelah makan memang rasanya sangat nikmat.
Setelah suasana agak santai, rasa penasaranku kembali muncul terkait cerita pak Kasno sebelumnya.

"Pak, tadi bapak cerita kalau murid di sekolah ini sedikit. Terus semua berasal dari kampung sebelah, itu kenapa pak?"
Sambil bersandar, pak Kasno menatap langit-langit rumahnya. Ia menghela nafas pelan lalu menghisap rokoknya dalam-dalam.
Dengan suara tertahan, pak Kasno mulai menjawab pertanyaanku.
"Murid-murid yang dari desa sini, semuanya mati."

"Hah!?" kataku tidak percaya.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 10 : Wabah Misterius
Versi lengkap kask.us/iIrlK
cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
"Yang benar pak?"tanyaku penasaran.

"Kata penduduk sini, dahulu sekolah ini ramai. Bahkan muridnya lebih dari 200an orang." ujar pak Kasno memulai ceritanya.
"Kejadiannya sekitar 10 tahun lalu, sebelum aku bertugas disini. Dahulu ada wabah penyakit yang menyerang anak-anak. Banyak anak kecil yang meninggal mendadak karena sakit misterius. Anak kecil dari bayi hingga awal remaja, meninggal tanpa sebab."
"Dalam satu minggu, bisa ada 2 hingga 4 orang yang meninggal. Bahkan, dalam satu hari pernah ada 3 orang yang meninggal sekaligus. Warga desa geger, tidak tahu kejadian apa yang terjadi di desa mereka.
Petugas puskesmas juga gak tahu penyakitnya apa. Beberapa dirujuk ke rumah sakit di kota, tapi meninggal di dalam perjalanan. Tidak sedikit yang baru beberapa langkah dari gerbang desa, lansung meregang nyawa."
Pak Kasno memandang wajahku dengan tatapan datar. Asap rokok mengepul dari mulut dan hidungnya secara bergantian.

"Terus pak?" tanyaku lagi ingin tahu.
Hanya dalam beberapa bulan, ratusan anak kecil meninggal. Yang ngeri, bayi dalam kandungan juga meninggal. Banyak ibu yang keguguran. Yang melahirkan, usia bayinya hanya bertahan beberapa hari. Tidak sedikit ibu yang hamil atau melahirkan, juga turut jadi korban."
Aku duduk terpaku mendengar cerita pak Kasno. Membayangkan kematian massal di desa ini, membuat aku bergidik. Untung saja istriku sedang di belakang, jadi dia tidak tahu ada kejadian kelam di desa ini.
Pak Kasno bangkit dari duduknya, lalu menoleh ke jendela. Kepalanya celingak celinguk, lalu kembali lagi ke tempat duduknya.

"Kenapa pak?" tanyaku heran.
"Gak apa-apa. Takut ada yang nguping, kan ga enak. Nanti dikira kita menjelek-jelekan desa ini, kan bisa repot." kata pak Kasno tertawa. Aku hanya senyum-senyum saja, mengusir ketegangan.
"Kamu lihat kan, penduduk disini rata-rata udah tua. Tahu kenapa?"

"Gak tahu pak. Memang ada apa pak?" jawabku sambil menggeleng.
"Penduduknya banyak yang ngungsi. Kabur. Yang anaknya masih hidup, pergi terburu-buru meninggalkan kampung ini. Takut jadi korban."

Pak Kasno menghela nafasnya sejenak, menikmati tiap isapan rokoknya lalu kembali melanjutkan cerita.
"Kemudian pada suatu malam, banjir bandang menyapu desa ini. Banjir datang tiba-tiba, menghancurkan rumah-rumah penduduk. Banyak yang tewas seketika, sebagian besar para pemuda yang tengah berkumpul. Yang lainnya, meninggal beberapa hari kemudian."
"Setelah itu, desa ini jadi sepi. Sekolah juga sempat tutup, karena gak ada muridnya. Guru-guru banyak yang pindah. Pegawai puskesmas juga gak mau bertahan, apalagi beberapa orang rekannya turut jadi korban banjir."
"Kemudian, lima tahun lalu sekolah ini kembali dibuka atas permintaan kepala desa. Dan...beginilah nasibku sekarang, terdampar di desa terpencil, jauh dari keluarga."
Suasana hening seketika. Aku dan pak Kasno sama-sama memandang langit-langit rumah, memikirkan entah seperti apa nasib kami di desa ini kedepan.
Istriku telah selesai dengan kerjaannya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan istriku lalu pamit. Masih ada beberapa hal yang harus kami bereskan di rumah dinas kami yang baru.
Senja berganti malam, tidak terdengar kumandang adzan magrib di desa ini.

***
Hari berubah jadi gelap, aku membantu pak Kasno menyalakan mesin genset yang terletak di samping rumah dinas. Karena dibuatkan ruang khusus, suara mesin yang berisik tidak terlalu terdengar.
Dari arah hutan, suara jangkrik dan binatang malam saling bersahutan.
Suara burung hantu yang terus memanggil-manggil dari belakang rumah juga tidak kalah lantang. Andai di kota, suara hutan di malam hari pastilah menenangkan.
Tapi di desa yang sepi seperti ini, suara-suara itu begitu mencekam.

Pak Kasno mengajak kami sholat Magrib dan Isya berjamaah di tempatnya. Ujar pak Kasno, hanya kami bertiga yang muslim, sedangkan lainnya menganut agama Hindu Kaharingan.
Pak Kasno yang jadi imam, sedangkan aku jadi muadzin. Istriku tersenyum melihat aku tidak bisa menolak, soalnya ia tahu aku jarang sholat.
Usai sholat, kami nyantai di ruang tamu pak Kasno. Sambil mengobrol, kami menonton tv yang siarannya dari parabola di depan rumahnya. Tentu saja, juga ada hidangan kopi dan teh serta roti kering.
Pak Kasno sempat menawarkan kami untuk makan malam, namun karena masih kenyang kami tolak dengan halus.

Obrolan kami kesana kemari tentang kegiatan sekolah, tentang masa muda pak Kasno dan sebagainya.
"Pak, apa jenengan gak takut tinggal sendiri?" tanya istriku.

"Seminggu pertama sih takut. Tapi lama-lama jadi biasa. Hanya saja, desa ini terlalu sepi, jadi kadang gak betah." ucap pak Kasno sembari menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
"Semoga saja, gak ada lagi yang mendaftar di sekolah ini. Jadi sekolah ini bisa tutup, dan kita tugas di kota." Kata pak Kasno sambil tertawa.

"Kalian tadi ketemu bue Alang dimana?" tanya pak Kasno.
"Di jalan pak, dekat pemakaman. Bue Alang tiba-tiba aja muncul dari hutan." jawabku.

Pak Kasno terlihat mangut-mangut saja, sambil sesekali menatap layar televisi.
"Pemakaman yang banyak ilalang itu kan? Itu raung anak-anak yang dulu meninggal saat wabah."

Istriku kaget, karena ia tidak mendengar cerita sebelumnya. Kulit dahinya mengkerut dan pupil matanya membesar.
Aku melotot kearahnya, kode agar dia tidak bertanya lebih lanjut. Walau kesal, tapi ia menurut kemauanku.

"Aku prihatin dengan nasib bue Alang dan istrinya, tambi Nyai. Mereka dikucilkan oleh penduduk desa. Bukan dikucilkan, tapi takut."
Pak Kasno menatap kearahku dan istri bergantian,seakan sengaja membiarkan kami penasaran.

"Beredar desas desus, kalau segala hal buruk di desa ini, disebabkan ulah mereka.Bukan,bukan mereka...tapi.."ujar pak Kasno setengah berbisik.
"Tapi apa pak?" tanya istriku penasaran.

"Tapi istrinya, tambi Nyai."

Aku dan istri kembali saling pandang. Istriku menggeser duduknya agar lebih rapat denganku.
Ingatan akan kemampuan tambi Nyai membakar wadah bambu tadi sore masih membekas. Jadi tidak heran kalau warga desa takut dengannya.

"Makanya, mereka lebih sering tinggal di pondok mereka di ladang. Sesekali pulang ke rumah, berharap anak mereka yang pergi akan kembali."
"Sebenarnya mereka juga korban. Tiga orang anaknya tewas terseret banjir 10 tahun lalu. Yang perempuan meninggal setelah melahirkan bersama bayinya. Yang masih hidup pergi entah kemana."
Pak Kasno menghentikan kalimatnya sejenak, menunggu respon kami. Karena tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, pak Kasno melanjutkan cerita.
"Akibat peristiwa itu, tambi Nyai seperti orang depresi. Tingkahnya aneh, dan penduduk desa semakin menjauhi. Padahal mereka orang baik. Bue Alang sering mengantarkan daging rusa hasil buruan. Kadang sayuran atau buah hasil kebun mereka."
"Sebagai ungkapan terima kasih, aku sering ngasih mereka beras, sarden atau mie instan."

Pak Kasno kembali menghisap rokoknya. Asap rokok yang mengepul segera pecah tertiup hembusan kipas angin di samping televisi.
" Aku gak tega melihat mereka. Membayangkan dua orang tua hidup di ladang di tengah hutan. Mencoba bertahan hidup dengan hasil kebun seadanya. Tanpa anak dan cucu."
"Di sisi lain, aku juga tidak bisa menyalahkan warga desa. Sikap tambi Nyai memang aneh. Bahkan kadang aku merasa ngeri. Beberapa kali ia muncul di sudut sekolah, mengamati anak-anak dari kejauhan.
Anak-anak yang ketakutan langsung lari dan sembunyi di ruang guru. Tingkahnya bagai hewan buas yang mengintai mangsa."

Kami bertiga kembali terdiam. Siaran televisi berita yang membahas politik tidak menarik minat kami.
Apapun kebijakan politik di Jakarta tidak akan berpengaruh pada kami, apalagi di daerah pelosok seperti ini.

Hari semakin malam, jam dinding di ruang tamu pak Kasno sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku dan istri kemudian pamit untuk istirahat.
Begitu tiba di rumah, aku dan istri menyalakan lampu minyak yang menempel di dinding papan.
Lampu itu kami nyalakan di ruang tamu, dapur dan juga kamar.
Melihat keadaan ini, wajahku rasanya seperti ditampar. Betapa aku selama ini tidak pernah bersyukur. Ternya di belahan lain negeri ini, masih banyak yang belum bisa menikmati listrik.
Di dalam kamar, aku segera mengaitkan empat sisi kelambu pada paku yang tertancap pada di dinding kayu. Bau obat nyamuk bakar juga langsung menyebar ke segala sudut kamar. .

Tidak berapa lama, mesin genset yang tadi meraung di tempatnya telah mati.
Lampu listrik telah berganti dengan cahaya lampu minyak. Rumah yang tadinya terang, berubah jadi temaram.
Istriku yang kelelahan, sudah terlelap dalam mimpi. Tubuhnya mengkerut bagai udang. Meskipun hanya berbantal tas punggung yang ditutup sarung, ia masih bisa tidur nyenyak.
Ada rasa bersalah, karena sebagai suami aku belum bisa membahagiakannya. Andaikan tidak ada denda ratusan juta, aku pasti sudah menyerah meski belum berjuang.
Malam semakin hening, suara burung hantu di belakang rumah dinas terus memanggil. Jujur saja, bulu kuduk ikut merinding mendengar suaranya yang tidak pernah berhenti.
Ditambah suara jangkrik dan serangga yang ikut menyahut dari hutan, membuat keadaan makin terasa seram.

Aku memaksa memejamkan mata, mencoba menikmati segala kekurangan yang kami jalani saat ini.
Agar cepat terlelap, baju kaos kugunakan untuk menutup mata.

Yang tidak aku sadari, ada sosok yang sedari tadi mengawasi kami dari balik pepohonan.
Sosok itu bersembunyi di pekatnya gelap malam. Sorot matanya penuh amarah dan kebencian, serta rasa lapar yang tidak terpuaskan.
Ditutupi kegelapan, sosok itu telah mengitari rumah kami tiga kali sambil menaburkan beras kuning. Dan, sebentar lagi ia akan datang menghampiri.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 11 : Tambi Nyai

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Rasanya baru saja aku terlelap, lalu tiba-tiba saja aku terbangun tanpa sebab. Mungkin karena suara burung hantu yang terus mengganggu. Bisa juga karena suara jangkrik yang berisik.
Dengan masih dibalut kantuk, tanganku mencari-cari hp di dekat tas punggung yang kujadikan bantal. Setelah ketemu, kuraih benda itu dalam genggaman.
Layarnya menunjukan pukul 22.40, sedangkan sinyal masih kosong. Kulihat istriku sudah terbuai dalam mimpi.
Tubuhnya mengkerut seperti udang karena cuaca yang dingin. Gelang rotan di tangan kirinya rupanya lupa ia lepaskan. Kubenarkan sarung yang menutup tubuhnya, lalu aku kembali menutup mata.
10 menit berlalu, namun usahaku untuk kembali tertidur semakin sia-sia. Kubalikan tubuh kekiri dan kekanan untuk mencari posisi nyaman, tapi tetap tidak membuahkan hasil.
Semakin kucoba, semakin mataku tidak bisa terpejam. Mungkin belum baca doa mau tidur, ujarku dalam hati. Aku kemudian membaca doa yang sudah kuhafalkan sejak SD. Kupeluk istri yang membelakangiku dan kuatur tarikan nafas agar kantuk segera menyerang.
Lalu kemudian, suara burung hantu dan serangga malam berhenti seketika. Hanya ada sunyi dan hening malam. Aneh, kenapa suara ribut binatang tiba-tiba hilang? Aku tidak mau risau, kembali kupejamkan mata.
Baru saja kantuk menyerang, samar-samar terdengar suara di teras rumah. Seperti suara papan yang kena injak sesuatu.

..tap...tap..tap...

Aku kaget dan segera duduk agar bisa mendengar lebih jelas.
Suara langkah itu kadang menjauh, kadang mendekat. Kupasang telinga baik-baik untuk memastikan. Nafas kuatur sepelan mungkin agar tidak terdengar dari luar.

...tap...tap..tap...
Jantungku rasanya mau copot. Benar saja, itu suara langkah kaki. Suara langkah itu seperti orang atau sesuatu berjalan mondar mandir. Kadang berhenti, kadang berjalan.
Suara itu mendekat dan terus mendekat, lalu menjauh lagi. Bulu kudukku mulai merinding dan tanganku berkeringat. Suara tapak kaki kembali terdengar lalu berhenti di depan pintu rumah dinas paling ujung, rumah pak Tingen.

Hening...
Siapa yang malam-malam begini mondar mandi di depan rumah kami? Apakah pencuri atau orang yang berniat jahat? Apakah pak Kasno? Tapi untuk apa dia mondar mandir di tengah malam buta?
tap...tap..tap

Suara langkah itu kembali terdengar. Dan kini suaranya semakin mendekat. Setiap satu langkah, disitulah aku menahan nafas. Darahku terasa mengalir lebih cepat, dan degub jantung semakin kencang.

Kemudian...
..tok...tok..tok..

Ada ketukan di pintu. Suaranya berulang-ulang. Namun aku takut kalau yang mengetuk itu hantu. Aku tidak menghiraukan dan pura-pura tidur.

..tok...tok..tok...
Ternyata dia tidak pergi, malah suara ketukan semakin kencang. Suara ketukannya semakin cepat dan tidak beraturan. Kaca jendela di dalam kamar ikut bergetar.

Dan entah kenapa, pak Kasno di sebelah tidak terbangun. Atau, ia juga pura-pura tidur?
..tok...tok..tok

Suara ketukan terakhir teramat keras, seperti dipukul dengan benda tumpul. Saking kerasnya, istriku terbangun dari tidur.
...sstt...

Aku memberi kode dengan jari telunjuk di mulut, agar ia tidak bersuara. Istriku memandang wajahku dengan heran. Suara ketukan kembali terdengar, istriku mengigit bibirnya.
"Siapa?" tanya istriku menggerakan bibirnya tanpa suara. Aku hanya menggeleng dan meminta ia untuk tetap diam.

Suara ketukan di pintu masih belum berhenti.
Dengan suara berbisik aku meminta istriku untuk tetap di kamar, dan menyuruhnya berteriak kalau ada apa-apa.

Dengan setengah berjinjit, aku berjalan menuju dapur. Berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata.
Namun, tidak ada sesuatu pun yang bisa dipakai sebagai senjata. Tidak ada pisau atau parang. Pandanganku tertuju pada rak sendok dan garpu. Tanpa pikir panjang, aku meraih garpu dari tempatnya.

tok...tok..tok..
Suara ketukan tetap tidak berhenti, malah semakin keras dan semakin cepat.

Setengah takut setengah berani, aku bergegas menuju pintu depan. Aku sudah tidak peduli bila suara langkah kakiku terdengar.
Sambil gemetar, jari-jariku tangan kiriku meraih gagang pintu. Tangan kananku yang menggengam garpu, kusembunyikan di belakang badan.

Bismillah, aku membuka pintu secara perlahan.

..sreeettt...
Pintupun terbuka. Didepanku berdiri seorang nenek tua. Dia adalah tambi Nyai. Bola matanya melotot diantara kulitnya yang keriput. Mulutnya komat kamit seperti membaca mantra.
Rambutnya yang memutih terlihat acak-acakan.
Hembusan nafasnya terasa begitu panas di wajahku. Sebuah tongkat ia pegang untuk menopang tubuhnya yang ringkih.

Aku hanya berdiri mematung, tidak tahu harus berbuat apa. Garpu di genggamanku terjatuh di lantai. Lututku rasanya gemetaran.
Tambi Nyai melirik garpu yang tadi terjatuh, lalu menatap mataku.
Tusukan matanya membuat aku seperti terhipnotis.Tambi Nyai terus menatapku tanpa berkedip. Bola matanya semakin membesar.
Selendang kumal ia lilitkan di lehernya. Kakinya yang tanpa alas kali, begitu kotor penuh tanah dan lumpur. Entah apa yang dilakukannya tengah malam seperti ini? Tidak mungkin untuk bertamu.
Tambi Nyai mengalihkan pandangan ke sebelahku. Aku terperanjat. Entah sejak kapan istriku ada di sebelahku.
Dan tanpa basa-basi, jari-jari keriput tambi Nyai ia tempelkan di perut istriku.
"Haah !?" Istriku kaget. Mulutnya menganga dan matanya membesar.

"Mau apa !?" ucapku kasar. Kutepiskan tangannya yang mengelus perut istriku.
Tambi Nyai melotot kearahku. Tak mau kalah, aku juga balas melotot. Walau sebenarnya aku takut. Aku tidak menatap matanya, tapi 5 cm diatas kepalanya.
Meski diliputi rasa takut, jari-jari tangan kanan kukepalkan, siap menghantam muka keriputnya bila ia berbuat masalah. Entah berhasil atau tidak, tidak salahnya mencoba.
"Ada apa?" Rupanya pak Kasno sudah berdiri di teras rumah, beberapa langkah di belakang tambi Nyai.

Tambi Nyai menolehkan kepala kearah pak Kasno yang hanya mengenakan celan pendek dan kaos singlet.
Tanpa suara, tambi Nyai lalu memandang wajahku dan istri bergantian. Setelah beberapa saat, tambi Nyai langsung masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Aku dan istri terperangah dengan ulahnya yang tanpa sopan santun
Aku ingin menegurnya, namun pak Kasno menahanku agar tetap tenang. Jari telunjuk ia miringkan di jidatnya. Bekas tapak kaki yang penuh tanah dan lumpur memenuhi lantai yang tertutup karpet plastik.
Istriku menekuk muka dan cemberut. Mungkin ia kesal, soalnya rumah baru saja kami bersihkan tadi sore.Tambi Nyai terus berjalan di dalam rumah tanpa peduli apapun. Langkahnya terhenti di depan kamar tidur.
Setelah membuka pintu dan menjenguk kedalam, tambi Nyai kembali menapakan kaki ke arah dapur. Kami bertiga terus mengikuti kemana ia melangkah. Entah apa yang dilakukannya. Matanya ia edarkan ke setiap pojok ruangan, seperti mencari sesuatu.
Tambi Nyai kini sudah masuk ke bagian belakang hingga kamar mandi, namun apa yang ia cari sepertinya tidak ketemu. Setelah melirik ke tiap sudut, tambi Nyai melangkah pendek menuju pintu luar.
Suara tongkatnya di lantai menimbulkan bunyi ketukan yang tidak teratur. Setelah melewati pintu, tambi Nyai membalikan badan. Sorot matanya masih seperti tadi, menusuk tajam.

"Kalian harus segera pergi dari sini !."
Suara tambi Nyai terdengar parau.
Kami bertiga hanya memandangnya saja tanpa bicara. Istriku merapatkan badannya ketubuhku. Jari-jarinya yang hangat menggengan pergelangan tanganku.
"Kalau tidak menurut, kalian akan jadi tumbal !" Tambi Nyai mengucapkan ancamannya dengan suara tertahan di kerongkongan. Tonjolan urat di dahinya yang keriput terlihat berkedut-kedut. Giginya bergemeretak sehingga menimbulkan.
"Jangan salahkan aku, aku tidak sanggup menahannya."

Istriku menunduk, menghindari tatapan mata tambi Nyai. Aku hanya berani menatap di atas kepalanya.
Tambi Nyai lalu berbalik badan, melangkahkan kaki meniti tangga teras. Setelah kakinya berpijak pada tanah, ia lantas bergerak perlahan menuju pepohonan di samping ruang guru. Kakinya yang telanjang menginjak sebuah ranting yang berduri.
Begitu tapak kakinya terangkat, duri-duri itu telah patah.
Gila ! Duri itu tidak menembus kulitnya. Tambi Nyai terus berjalan tanpa penerangan. Tubuhnya yang bungkuk segera hilang ditelan gelap malam dan rimbun belantara.
Setelah dia tak terlihat, aku langsung menarik nafas panjang. Dadaku rasanya seperti terbebas dari himpitan beban ratusan kilo.

***
Beberapa menit setelah tambi Nyai pergi, istriku segera membersihkan bekas jejak kaki yang tersebar di tiap penjuru rumah kami. Sambil menggerutu tidak jelas, istriku membersikannya dengan meminjam kain pel milik pak Kasno.
Anehnya, suara burung hantu dan binatang malam kembali terdengar bersahutan dari arah hutan sekitar.
Aku dan pak Kasno berdiri di teras, bersandar di pagar kayu. Sambil merokok, dua gelas kopi panas sudah menemani kami di gelap malam.
Wangi aroma kopi langsung mengurangi ketegangan kami barusan. Ujar pak Kasno, tambi Nyai juga pernah datang tiba-tiba ke rumah dinas ini. Dahulu, lima tahun lalu, tambi Nyai tiba-tiba mengetok pintu rumah pak Kasno di tengah malam buta.
"Dulu, kejadiannya juga hampir sama seperti ini. Tambi Nyai tiba-tiba datang dan menyuruh kami pergi. Tapi nyatanya, aku baik-baik saja sampai saat ini. Jangan dipikirkan."
Aku hanya mendengarkan saja kata-kata pak Kasno, tidak tahu harus menjawab apa. Aku memutar badan, menyandarkan tanganku pada pagar sambil memandang tempat dimana tambi Nyai menghilang.
"Hanya saja, satu minggu setelah kedatangan tambi Nyai, istriku langsung membawa ketiga anak kami pergi terburu-buru. Sampai sekarang, istriku tidak pernah bercerita apa yang dia lihat di rumah ini." ucap pak Kasno.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 12 : Gelang Kaki Hitam

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Malam berganti pagi. Suara burung dan monyet saling bersahutan dari arah hutan untuk membangunkan para penghuni desa.

Aku dan istri telah siap dengan pakaian putih hitam, seperti pakaian mahasiswa calon guru saat PPL di sekolah.
Hari ini pak Kasno akan mengenalkan kami pada guru lainnys dan juga murid-murid. Dan kami telah melupakan perihal perilaku aneh tambi Nyai tadi malam. Lebih tepatnya, pura-pura melupakan.
Matahari belum tinggi, dan embun berlapis kabut membasahi dedaunan dan rerumputan.
Kami bertiga menuju sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah dinas kami.
Aku mengedarkan pandang menatap bangunan sekolah ini. Sebagian kelas tampak kosong dan terkunci. Sarang laba-laba dan debu menghiasi tiap sudutnya. Plafon banyak yang terkelupas dan menjuntai di langit-langit.
Bekas rembesan hujan bagaikan peta benua yang tersebar dimana-mana. Dindingnya juga banyak yang berlubang termakan usia. Di ruang guru, ternyata sudah ada pak Ancah dan seorang lelaki paruh baya tengah mengobrol.
Kopi panas yang masih mengepul tersaji di meja di depan mereka.
Masing-masing jari tangan mereka mengapit sebatang rokok, sedangkan piring kaca kecil mereja jadikan asbak. Dan sesekali mereka tertawa.
Melihat kami bertiga datang, mereka lantas berhenti mengobrol.

Pak Kasno kemudian segera memperkenalkan kami pada mereka berdua. Mengetahui ada guru baru, wajah pak Ancah langsung berbinar bahagia.
Aku dan istri lalu menyalami mereka berdua dan menyebut nama masing-masing.

"Bimo Santoso pak. Guru Olahraga"

"Sriatunisa pak. Guru Bahasa Inggris."
"Mantap, mantap. Semoga betah. Sekolah kita memang butuh guru baru." ujar pak Ancah sambil menyambut tangan kami. Senyum di bibirnya begitu lebar, memamerkan barisan giginya yang putih.
Sedangkan lelaki di sampingnya, namanya pak Sahen. Dia bertugas sehari-hari untuk merawat serta menjaga sekolah ini. Ternyata, pak Sahen adalah laki-laki yang kami temui kemarin saat pertama kali tiba di sini.
Pak Sahen meminta maaf atas prilakunya kemarin, tapi kami sudah melupakan dan menganggap hal biasa.

Ada satu orang guru lagi yang belum kami jumpai, yaitu pak Tingen. Jadwalnya untuk mengajar tiap hari jumat, artinya esok hari.
Sementara itu, anak-anak tanpa sepatu dan berseragam putih merah kumal sudah berdatangan ke sekolah. Baju-baju mereka sudah menguning dan tidak bersetrika.
Diantara mereka, hanya beberapa orang saja yang memakai tas. Sedangkan lainnya menggunakan kantong kresek untuk wadah menyimpan buku, pensil dan polpen.

Anak-anak polos itu berlarian di halaman, saling kejar.
Sebagian lagi asyik bermain dengan kelompoknya.
Tepat pukul tujuh, pak Kasno meminta pak Sahen untuk memukul lonceng panjang.

...teng..teng..teng...

Murid yang hanya 7 orang itu segera berkumpul di depan ruang guru. Mereka berbaris berjejer. Anak-anak itu masih bercanda dan tertawa.
Beberapa masih saling dorong dan bertengkar.

Keributan anak-anak langsung hilang ketika pak Kasno berdiri di depan.

"Anak anak...hari ini kita ada guru baru."
"Horeee....!!!" Anak-anak yang masih polos itu terlihat gembira. Tangan mereka menari-nari udara, ada juga yang melompat-lompat kegirangan.
Melihat tingkah anak-anak tersebut, aku dan istri langsung tersenyum simpul. Di tengah pelosok belantara seperti ini, ada anak-anak negeri yang berjuang meraih cita-cita dengan kondisi serba terbatas.
Pak Kasno meminta kami maju kedepan untuk memperkenalkan diri. Anak-anak menyambut antusias saat kami menyebut nama masing-masing. Istriku disebut ibu cantik oleh anak-anak tersebut. Istriku tersipu malu karena godaan anak-anak itu.
Bocah-bocah itu segera memberondongi kami dengan berbagai pertanyaan lugu khas anak-anak.

Usai perkenalan, anak-anak kemudian bubar menuju kelas masing-masing.
Pak Kasno langsung meminta kami untuk mengajar. Istriku mengajar kelas 3, sedangkan aku mengajar kelas 5.

"Udah gak apa-apa. Di sini di desa, gak kayak di kota. Yang penting anak-anak ada gurunya. Nanti kubuatkan jadwal ngajar yang baru."ucap pak Kasno.
Beberapa menit berlalu, kini aku sudah di lapangan sekolah. Tanpa baju olahraga, anak-anak segera kubariskan berjejer. Mereka adalah 2 perempuan dan 2 laki-laki.
Rencananya aku akan mengajak anak-anak melakukan beberapa permainan tanpa alat.
Saat memperkenalkan diri masing-masing, ada satu kesamaan pada anak-anak itu. Di kaki kanan mereka melingkar gelang hitam dari jalinan akar kayu, dirajut rapi dengan benang hitam yang seperti rambut.
"Itu gelang apa? " tanyaku pada salah seorang anak laki-laki yang bernama Diwak.

"Ini basal pak. Jimat dari akar ulin. Supaya kami gak diganggu roh jahat. Dulu...anak-anak di kampung ini banyak yang mati. Soalnya ada..."
"Diwak, jangan diomongin. Nanti dia dengar !" Hardik salah seorang gadis kecil di sebelahnya.

Diwak menundukan kepala seolah menyadari kesalahanya. Mukanya merengut dan matanya berkaca-kaca. Cengeng juga bocah ini, batinku.
Aku segera mendekat dan memegang pundaknya dalam posisi jongkok.

"Sudah gak apa-apa." ucapku sambil mengusap kepala Diwak.

"Jimatnya dapat dari mana? "

"Dikasih ibu. Katanya dikasih pak Tingen."
"Iya, saya juga dapat." Jawab bocah lelaki lainnya.

"Pak.." gadis kecil tadi bicara terbata. Ia merapatkan tubuhnya dan berlindung di belakangku. Anak-anak yang lain juga segera mengikuti.
"Itu, disana" lanjut gadis kecil tadi. Ia menunjuk arah dengan dongakan kepala.

Aku berdiri lalu mengikuti arah pandangannya. Tapi tidak ada siapa-siapa di sudut lapangan.

" Dimana?"

" Itu di sana pak. Di atas pohon."
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya pandanganku fokus pada salah satu pohon di dekat perpus dan wc siswa.

Benar juga, ada wajah nenek-nenek muncul di antara rimbun dedaunan. Wajahnya hanya cengengesan.
Karena jarak yang cukup jauh, aku tidak bisa memastikan wajah siapa itu. Apakah tambi Nyai? Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia berjalan saja harus ditopang tongkat, apalagi memanjat pohon.
Nenek itu hanya diam mengawasi, lalu kembali terkekeh tanpa suara. Tapi, dimana badannya? Apa yang dilakukannya di atas pohon?
Setelah beberapa saat, wajah itu kemudian masuk kedalam dedaunan. Ranting pohon tempatnya bersembunyi tampak bergoyang-goyang.
"Benarkan pak. Dia mendengar omongan kita." ujar gadis kecil tadi ketakutan.

Aku memandang wajah mereka. Mereka menunduk dengan tubuh gemetaran. Mereka hanya diam tanpa suara sambil terus merapatkan badan di kakiku.
Guna menghilangkan rasa penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pohon itu. Anak-anak kusuruh diam menunggu.

Namun, baru beberapa langkah,...

....arrrggghhh....
Terdengar suara jeritan dari dalam kelas istriku. Dua orang anak berhamburan dari kelas sambil menangis ketakutan. Tidak lama, istriku lari terbirit menuju ruang guru.
Aku segera berlari menghampiri istriku. Empat orang anak yang tadi bersamaku juga terlari terbirit-birit ke ruang guru.

"Ada apa? Dimana Mayang? "tanya Pak Kasno.
Belum sempat istriku menjawab, terdengar suara cekikikan dari ruang kelas.
Suara cekikikan itu melengking, terasa menyayat hati yang mendengar.

"Pak Sahen, jaga anak-anak dan bu Sri. Yang lain ikut aku !"
Kami bertiga bergegas menuju ruang kelas tiga. Begitu sampai pintu, suara cekikikan tadi langsung hilang. Murid yang bernama Mayang juga tidak terlihat.
Beberapa murid laki-laki juga ternyata mengikuti kami. Namanya anak kecil, pasti susah diatur. Pak Sahen terlihat kewalahan mengejar mereka, meninggalkan istriku dan murid lainnya di ruang guru.
Masih di depan pintu, kami mengedarkan pandangan ke dalam kelas, namun tidak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada tumpukan kursi dan meja yang berhamburan.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara cekikikan.

"Di situ!" tunjuk pak Ancah.

Di salah satu sudut ruangan, ada sepasang kaki yang menjuntai dari atas plafon. Kaki itu bergoyang-goyang dengan tenang bagaikan ranting yang ditiup angin.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 13 : Ancaman di Sekolah

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht @ki_ayu
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Entah bagaimana caranya Mayang bisa di situ. Kaki mungilnya menjuntai-juntai dari plafon, sedangkan separuh badannya berada di dalam dan tidak terlihat.
Kaki itu terus bergoyang diiringi suara cekikikan. Buluk kudukku merinding seperti ada orang yang memegang bagian tengkuk.

"Pak Sahen, ambil tangga !" perintah pak Kasno.
Pak Sahen bergegas pergi ke salah satu ruang di samping ruang guru. Kami segera masuk ke dalam kelas secara perlahan. Pak Ancah menyuruh anak-anak kecil itu pergi ke ruang guru, tapi mereka tidak menurut.
Pak Ancah menyerah dan membiarkan saja bocah-bocah itu mengikuti kami. Sepertinya anak-anak ini tidak memiliki rasa takut.
Mayang...ngapain di atas nak? Ayo turun ." Pak Kasno membujuk gadis malang itu agar segera turun dari plafon.

Bukannya menurut, Mayang justru menarik kedua kakinya hingga masuk sempurna ke dalam plafon. Tertawanya tidak juga berhenti.
Kami bertiga dan anak-anak lantas menuju ke bawah plafon tempat menghilangnya Mayang. Sebuah lubang seukuran anak kecil menganga lebar di plafon tersebut, dengan bentuk tidak beraturan.
Di dalam lubang itu, hanya ada gelap tanpa cahaya. Suara cekikikan terdengar seperti gema dari dalam lubang plafon.
Kami memanggil-manggil nama Mayang, berharap ia segera keluar dari persembunyian. Mayang tetap tidak merespon panggilan kami.
Kemudian, suara tawa Mayang berhenti. Sesaat berlalu, terdengar suara ribut di pojok plafon lainnya.

...dug..dug..dug...
Kami bergegas ke bawah plafon itu. Kami memanggil-manggil namanya, namun Mayang tidak peduli. Suara ribut masih saja terjadi dan selalu berpindah-pindah. Seperti suara kucing mengejar tikus.
Bagaimana mungkin plafon tipis itu mampu menopang tubuh Mayang ? tanyaku dalam hati.
Hingga pada salah satu sudut, suara ribut itu kemudian menghilang dan berganti hening. 15 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Mayang di atas plafon. Kami terus memanggil-manggil namanya tapi tidak ada sahutan.
Pak Kasno mulai cemas, pak Sahen belum juga kembali membawa tangga.

...aaarrrggghhhh...

Tiba-tiba seorang anak menjerit histeris. Teriakannya membuat kami semua kaget. Tubuhku hampir saja bertubrukan dengan pak Ancah.
Anak itu kemudian berlari terbirit ke ruang guru sambil menangis. Kawannya yang lain juga menyusul. Melihat anak-anak pada ketakutan, pak Ancah segera berlari mengejar mereka.

"Dasar bandel, dibilangin gak usah ikut." gerutu Pak Kasno.
"Itu di sana." lanjut pak Kasno menunjuk dengan gerakan kepala.

"Astagfirullahul azim.." ucap ku kaget. Jantungku rasanya hampir copot. Pantas saja anak-anak pada lari ketakutan.
Di lubang yang tadi, Mayang menjulurkan kepalanya dari dalam plafon. Rambutnya yang panjang terurai ke bawah.
Kedua matanya menjadi hitam sempurna, kontras dengan kulitnya yang putih pucat.
Wajahnya penuh darah segar belepotan, darah itu menetes ke lantai. Dan di mulutnya, ia menggigit seekor tikus sebesar pergelangan orang dewasa.
Dalam posisi terbalik, Mayang mengunyah mahluk kecil itu hingga ususnya keluar. Usus itu ia seruput hingga kepala dan ekornya masuk semua ke dalam mulutnya.

Demi melihat itu, perutku rasanya seperti dikocok-kocok dan asam lambungku tiba-tiba naik.
Tidak sanggup menahan mual, aku lari ke luar kelas. Sambil berpegangan pada salah satu tiang, aku mengambil posisi jongkok dan mengeluarkan apa saja dari dalam perut.
Aku tidak peduli baju putihku kotor kena cipratan muntah. Aku sungguh tidak kuat.

Tidak berapa lama, pak Sahen datang membawa tangga lipat dan langsung masuk ke dalam kelas. Nafasnya terengah-engah karena tangga itu lumayan berat.
Setelah merasa agak nyaman, aku kembali menyusul ke dalam kelas. Rupanya, pak Kasno dan pak Sahen sedang berdiskusi,siapa kira-kira yang akan menjemput Mayang.
Di plafon itu, Mayang menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seperti bandulan jam. Mayang tertawa terkekeh seolah mengejek kami yang tidak berani mendekat. Suaranya cekikikan melengking tanpa henti.
Bulu kudukku merinding dan nafasku tidak teratur.
Sesekali Mayang menarik kepalanya, lalu menjulurkan lagi dengan suara cekikikan yang mengerikan.

Pak Kasno dan pak Sahen kemudian menoleh ke arahku. Celaka ! mereka pasti menyuruhku untuk menjemput Mayang.
"Mas Bimo, jenengan aja yang jemput Mayang. Jenengan masih muda, tenaganya masih kuat." bujuk pak Kasno.

Sialan ! Batinku. Harusnya tadi aku kabur saja ke ruang guru. Tapi sekarang aku tidak bisa membantah. Bagaimanapun juga, pak Kasno adalah pimpinanku.
Dengan berat hati, aku mengiyakan permintaan pak Kasno.

Walaupun sama-sama takut, kami bertiga nekat menggeser tangga ke posisi tepat dimana Mayang berada.
Belum sampai ke tempatnya, Mayang sudah kembali menghilang di balik plafon. Suara tawanya masih terdengar, kemudian,...

...breeeng....

Terdengar suara atap seng hancur.
Kami bertiga lansung kaget. Pak Sahen melompat dan tangannya reflek mengeluarkan gerakan silat. Di luar, istriku menjerit histeris. Kami segera berhambur ke luar kelas.
Dari ruang guru, istriku menunjuk keatas atap salah satu kelas dengan wajah penuh ketakutan.

Rupanya Mayang sudah di atas atap dengan posisi merangkak. Mayang terus merangkak perlahan.
Wajahnya menyeringai dan lidahnya menjulur seperti anjing.
Sambil mengikuti, kami terus memanggil-mangil Mayang agar segera turun.

Di depan ruang guru, Pak Ancah dan istriku yang gelisah it terus mengawasi gerak-gerik Mayang di atas atap.
Di belakang mereka, bergerombol anak-anak yang mulai menangis. Meskipun dicekam rasa takut, rupanya anak-anak itu tetap ingin tahu apa yang terjadi.
Mayang terus merangkak di bawah terik matahari sambil cekikikan. Seng yang panas tersengat terik seakan tidak terasa di tangan dan kakinya yang telanjang. Gerakannya semakin lama semakin cepat hingga sampai ke tepi gedung.
Tanpa berhenti, tiba- tiba Mayang melompat ke atap ruang guru. Dalam sekali gerakan, tubuhnya sudah berpindah.

"Kejar..!"

Kami mengikuti perintah pak Kasno, rupanya Mayang mengincar istriku.
Dari atas atap ruang guru, Mayang merangkak ke tepi atap dan kembali melompat. Dalam beberapa detik, tangan dan kakinya mendarat sempurna di atas tanah.
Anak-anak menjerit histeris dan berhamburan ke ruang guru. Pak Ancah dan istriku pontang-panting menyusul mereka dan mengunci pintu dari dalam.

Namun percuma, Mayang menerjang pintu. Pintu itu hancur dan Mayang melesat ke dalam ruang guru.
Takut anak-anak celaka, kami bertiga berlari kencang ke ruang guru melewati pintu yang telah rusak.

Aku langsung mencari istriku, rupanya ia telah berdiri di pojok ruangan sambil ketakutan.
Anak-anak bergerombol di belakangnya, memegang tangan dan kaki istriku sambil terisak.
Sedangkan pak Ancah bergerak perlahan mendekati Mayang. Sepertinya ragu atau takut.

Di pojok ruangan, istriku hanya berdiri mematung dengan wajah pucat. 6 orang anak mencoba berlindung di balik punggungnya.
Mereka gemetaran dan suara tangis pecah di mulut mereka.

Aku segera mendekati istriku dan ia langsung memelukku. Badannya terasa hangat dan tangannya bergetar. Wajahnya pucat dan ada air mata di pipinya.
"Aku takut mas." kata istriku menahan tangis. Dadanya kembang kempis dan nafasnya sengal-sengal.

"Mayang, kamu kenapa nak?" tanya pak Kasno.
Rupanya Mayang tengah duduk di salah satu meja guru. Dia hanya duduk mematung dan pandangannya kosong. Pak Kasno mendekati Mayang pelan-pelan, ditemani pak Ancah dan Pak Sahen.
Mayang kembali tertawa, namun suaranya berubah menjadi berat. Karena kaget, pak Ancah terjatuh dan menabrak pak Sahen. Mereka berdua segera terhempas ke lantai, untung pak Kasno sempat menghindar.
Anak-anak menjerit histeris hingga membuat istriku semakin ketakutan. Aku berusaha menenangkan mereka namun sia-sia. Anak-anak itu terus berteriak histeris dan menangis.
Pak Ancah dan Pak Sahen susah payah berdiri, dengan berpegangan pada meja dan kursi.

Mereka bertiga kembali mendekati Mayang yang masih saja tertawa.
Tiba-tiba badan Mayang melayang dan mendarat di atas meja dalam posisi berdiri. Anak-anak kembali menjerit, membuat suasana ruang guru semakin mencekam.
Perlahan, Mayang memalingkan muka kearahku dan istri.

Istriku bergeser ke belakang, wajahnya ia sembunyikan di pundakku. Tengkukku terasa hangat karena hembusan nafasnya.
Mayang menunjuk ke arah istriku dengan pandangan penuh amarah. Giginya gemeretak dan matanya hitam cekung.

"Bersiaplah, kau akan jadi tumbal." ujar Mayang dengan suara berat.

...bersambung...
Part 14 : Siulan di Tengan Hutan
Tulis ulang dari thread
Desa Misterius Di Pedalaman Kalimantan
kask.us/iIrlK
#ForumKaskus via @kaskus
"Bersiaplah, kau akan jadi tumbal." ujar Mayang dengan suara berat. Seketika tubuhnya lemas. Kaki mungilnya tidak mampu menopang badannya yang kecil.
Pak Kasno, pak Ancah dan pak Sahen seketika berhamburan menyambut tubuh Mayang agar tidak jatuh ke lantai. Setelah dapat, mereka membaringkan Mayang di atas meja. Pak Kasno kemudian menyuruh pak Sahen mengambil air di kamar mandi.
"Pak Ancah, antar anak-anak pulang."

Pak Ancah menurut dan segera membawa anak-anak yang masih menangis untuk pulang. Beberapa anak meraung-raung hingga ingus keluar dari hidung mereka. Aku tidak bisa berbuat banyak, istriku juga masih shock.
Aku mendudukan istriku di kursi, menyeka keringat dan air mata di wajahnya. Tubuhnya lemas dan wajahnya pucat. Suara dengus nafasnya terdengar sangat jelas.

"Dik..kamu gak apa-apa?" tanyaku penuh khawatir.
Istriku hanya menggelengkan kepala tanpa suara. Badannya masih lunglai tanpa tenaga.

"Mas..." ucapnya lirih.

"Kenapa?"

"Perutku sakit mas. Sakit banget." Kata istriku sambil memegang perut dengan kedua tangannya.
"Perutku kram mas. Kayak diputar-putar." ujar istriku menahan sakit.

"Kalian pulang saja. Biar disini kami yang urus." kata pak Kasno.
Aku segera memapah tubuh istriku menuju rumah dinas. Pak Sahen sudah kembali dari kamar mandi dan membawa seember air. Pak Kasno dan pak Sahen lalu membersihkan wajah Mayang yang penuh darah dan berusaha menyadarkannya.

***
Aku membaringkan istriku yang kesakitan di kasur usang kami. Dia terus merintih menahan rasa sakit hingga mengeluarkan air mata.

Aku membuka jendela agar angin segar bisa masuk ke dalam kamar.
Di pembaringan, istriku terus merintih sambil memegang perut dengan kedua tangannya.
Dengan panik, aku mencari-cari minyak kayu putih di tas punggung istriku. Setelah ketemu, minyak kayu putih itu langsung ku oleskan di perutnya.

"Ini apa dik?"
Kulihat ada dua ruam kebiruan di perut istriku. Ruam itu memanjang 5 cm di kiri dan kanan dekat pinggang.

"Gak tau mas, tadi pagi sudah muncul pas mau mandi."ujar istriku dengan suara lemah.
"Mungkin alergi. Cuaca disini berbeda dengan di Jawa" jawabku sekenanya.

Jemarinya menggenggam jemari tangan kananku, tatap matanya yang berkaca-kaca seolah memintaku untuk terus di sampingnya.
Tangan kiriku mengelus-elus kepalanya, merapikan rambutnya yang berantakan.

"Tunggu sebentar, akan kubuatkan teh hangat dan memanaskan makanan."

***
Setelah makan dan minum teh hangat, kondisi istriku mulai agak mendingan. Meski membaik, tubuh istriku masih terkulai lemah di atas kasur.

Aku mengipas-ngipas wajah istriku dengan piring plastik, sambil mengusapkan minyak kayu putih di perutnya.
Tak berapa lama, terdengar ketukan di pintu depan. Aku segera beranjak dan mendapati pak Kasno yang kelelahan.

"Bagaimana istrimu?" tanya pak Kasno sambil menyeka peluh di dahinya.
"Masih lemas pak. Tiduran di kamar." ujarku sambil menghela nafas.

"Silahkan masuk pak, biar kubuatkan kopi."

"Gak usah, cukup di sini aja. Istrimu biar istirahat aja dulu. Kasian." kata pak Kasno.
"Mayang sudah kami antar ke rumahnya. Tadi pinjam kelotok pak Kades. Pak Kades ngundang kita ke rumahnya nanti sore. Sekalian mau kenalan sama guru baru."

"Inggih pak, terima kasih." balasku sambil mengangguk.
Pak Kasno lalu masuk ke dalam rumahnya, dan aku kembali merawat istriku yang kini sudah tertidur pulas tak berdaya.

***
Hari semakin senja, dan istriku sudah pulih dari sakit perutnya. Usai sholat ashar berjamaah di tempat pak Kasno, kami bertiga bergegas ke tempat pak Kades.

Untuk jaga-jaga kalau pulang kemalaman, pak Kasno membekali kami dengan senter.
Begitu keluar dari pagar sekolah, pak Kasno menbawa kami melalui jalan pintas, sebuah jalan setapak menembus hutan.
"Lewat sini lebih cepat dari jalan utama. Kita bisa memotong separo perjalanan." ujar pak Kasno sambil menyalakan rokok, lalu menyerahkan bungkusnya sekaligus korek gas kepadaku.
Pak Kasno melangkah di depan, aku dan istri mengiringi di belakang. Setelah menyalakan rokok, kukembalikan bungkus rokok dan korek kepada pak Kasno.
Kami terus melangkah masuk ke dalam hutan, berjalan diantara pohon-pohon tinggi menjulang. Saking lebatnya, sinar matahari hampir tidak tembus ke dasar hutan.

Suara burung dan serangga saling bersahutan, menelusup di antara pucuk-pucuk daun dan pepohonan.
"Itu namanya Kalaweit. Mungkin satu keluarga." Pak Kasno menunjuk 4 ekor monyet hitam tanpa ekor yang melompat dari dahan ke dahan.
Namun aku dan istri tidak terlalu tertarik dengan obrolan pak Kasno. Kejadian tadi pagi masih membekas dan menimbulkan banyak pertanyaan.

"Pak..." ucap istriku lirih.
"Kejadian tadi pagi, si Mayang. Maksudnya apa pak? Kok ada tumbal segala?" tanya istriku dengan suara pelan.

Pak Kasno menghentikan langkahnya. Aku dan istri yang kaget langsung menabrak badannya.
"Kejadian tadi pagi, si Mayang. Maksudnya apa pak? Kok ada tumbal segala?" tanya istriku dengan suara pelan.

Pak Kasno menghentikan langkahnya. Aku dan istri yang kaget langsung menabrak badannya.
Pak Kasno kembali menghisap rokok itu lalu memandang wajah kami secara bergantian.

"Maaf pak, gak sengaja." ucapku. Namun pak Kasno tidak menggubris permintaan maafku.
"Sayang...susah cari rokok di sini. Harus ke kampung di hilir sungai, hehehe." ujar pak Kasno sambil tertawa. Asap rokok segera keluar dari mulut dan hidungnya secara bergantian.
Aku dan istri hanya saling pandang. Sepertinya pak Kasno lupa dengan pertanyaan istriku, dan lebih mementingkan rokoknya.

"Pak, Mayang yang tadi pagi, bagaimana? Maksudnya tumbal apa?" tanya istriku khawatir.
Tawa pak Kasno seketika terhenti. Ia lalu menghembus nafas panjang sebelum memulai kalimatnya.

"Nanti saja kita tanya pak Kades. Mungkin dia tahu sesuatu. Tidak baik ngomong di tengah hutan, banyak yang nguping."
Pak Kasno lalu balik badan, kembali melangkah di jalan setapak. Aku dan istri hanya mengikuti langkahnya tanpa bertanya lebih lanjut.

Karena tidak ada obrolan, pak Kasno mulai bersiul menirukan suara burung untuk mengusir kesunyian.
Setelah beberapa saat, rupanya siulan pak Kasno mendapat balasan dari burung di dalam hutan. Kicauan pendek beruntun terdengar di antara celah pepohonan, menyahut siulan pak Kasno. Kicauan demi kicauan itu terdengar mencurigakan, datang entah darimana.
Merasa mendapat respon, pak Kasno semakin semangat bersiul. Bahkan, pak Kasno menempelkan dua jempol tangannya di mulut, agar siulannya makin kencang.
Dan kembali siulan pak Kasno mendapat balasan. Suara kicauan burung semakin banyak dan semakin terdengar jelas. Tidak hanya satu, mungkin ada puluhan burung yang ikut menyahut dengan irama masing-masing. Suara kicau yang tadi entah dimana, rasanya semakin mendekat.
Aku dan istri merasa khawatir dengan ulah pak Kasno, tapi tidak enak menegur. Bisa saja siulannya mengundang hewan buas, atau penunggu hutan lainnya. Tapi sepertinya pak Kasno sudah terlarut dalam siulannya.
Dia bahkan menggoyangkan -goyangkan kepala, seolah sedang berada di tengah konser dangdut.

Sambil berjalan di belakang, aku dan istri saling pandang. Suara kicau burung sudah ada diatas kepala kami.
Kemana kami melangkah, burung-burung itu terus mengikuti kami, melompat dari ranting ke ranting.

Setelah beberapa menit, tiba-tiba pak Kasno menghentikan siulannya dan berdiri mematung di tengah jalan.
Burung-burung yang tadi mengikuti kami segera berhamburan ke udara dan kembali menghilang di dalam hutan. Ranting- ranting bergoyang pelan saat burung-burung itu beranjak.
Istriku merapatkan badannya di sampingku, gelisah akan sesuatu yang belum diketahui. Di depan kami, pak Kasno berdiri dengan kepala celingak celinguk ke kanan dan ke kiri.
Segera saja aku mencium bau bangkai yang sangat busuk, seperti telah mati berhari-hari.

Hembusan angin yang menerpa wajah kami, membuat bau itu semakin menusuk hidung dan membuat perut mual.
Aku memencet hidung untuk menahan bau yang tercium dan istriku menggunakan jilbabnya.

Pak Kasno memegang kerah kaosnya dan ia gunakan untuk menutup hidung dan mulut . Ia lalu membungkukan badan, kemudian bergerak selangkah demi selangkah ke depan.
Aku dan istri hanya melihatnya dengan rasa khawatir. Berbagai kejadian yang kami alami, memaksa kami percaya pada hal gaib dan diluar nalar.

Baru tiga langkah berjalan, pak Kasno kembali berhenti. Ia menegakkan badan dan hanya berdiri di tengah jalan membelakangi kami.
Pak Kasno tak bergerak, pandangannya fokus pada salah satu pohon. Pak Kasno terlihat ragu, apakah terus melangkah atau putar badan.
Tetes peluh sebesar jagung mulai kelihatan di pipinya. Tangannya berkeringat dan kakinya gemetaran. Hembusan nafasnya yang memburu terdengar oleh kami yang berdiri 2 meter belakang.
"Lihat itu."

Tangan pak Kasno menunjuk sesuatu di antara pepohonan.

Aku dan istri hanya berdiri mematung, melihat ke arah yang ditunjuk pak Kasno.

"Astagfirullah." ucap istriku dengan suara bergetar.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 15 : Bau Busuk Darah

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Kami melihat ada bercak darah yang sudah mengering di batang pohon yang ditunjuk pak Kasno. Berwarna merah kehitaman, bercak darah itu hampir tidak terlihat karena hampir menyatu dengan warna batang pohon.
Perlahan pak Kasno bergerak mendekat, disusul aku dan istri.

Kami terpaksa bernafas menggunakan mulut, karena bau busuk yang teramat menyengat. Baunya seperti tumpukan bangkai tikus yang dicampur ikan busuk menjadi satu.
"Aneh. Kok darahnya ada diatas sini ? Tidak mungkin ulah macan dahan." sungut pak Kasno. Kerah kaos ia gunakan untuk menutup hidung dan mulut.
Mendengar kata macan dahan, rasanya aku ingin menghantam wajah kurus pak Kasno. Di saat seperti ini, perkataannya tidak membuat tenang. Tingkahnya sedari tadi terus memancing emosiku yang memang penakut.
"Kenapa pak?" tanya istriku dengan dahi mengkerut.

"Coba kalian lihat. Macan dahan tidak bisa terbang."
Pak Kasno menunjuk ke atas, ke arah batang-batang pohon dan dedaunan. Telunjuk pak Kasno lalu mengarah ke belukar tumbuhan pakis dan juga jalan setapak di depan kami.
Benar saja, bercak darah kering itu ada dimana-mana. Apapun itu, jelas sekali dia melakukan perlawanan sebelum menjadi bangkai.

"Di sini juga ada."lanjut pak Kasno.

Di tanah, bercak darah itu membentuk garis putus-putus tidak beraturan.
"Ayo!" pak Kasno mengajak kami beranjak dari situ.

Kami kembali mengikutinya dari belakang sambil menutup hidung dan menahan nafas.
Pak Kasno keluar dari jalan setapak, dan melangkah kearah semak belukar. Sial ! Rupanya pak Kasno mengajak kami untuk mengikuti jejak darah itu. Sebenarnya aku ingin lekas keluar dari hutan ini, dan tidak peduli dengan asal bau busuk itu.
Namun apalah daya, istriku malah bersemangat mengikuti langkah pak Kasno. Jiwa pramukanya seakan kembali muncul.
Mungkin dia ingin melupakan kejadian di sekolah tadi pagi, sehingga butuh pengalihan.
Dengan terpaksa, aku bergegas menyusul mereka yang sudah di depan.

Mereka berdua terus mengikuti jejak darah itu, sesekali berdebat apakah mereka semakin mendekat atau justru menjauh dari sumber bau.
Sedangkan aku, aku celingukan mengamati batang-batang pohon dan lebatnya belukar dengan perasaan khawatir.
Bisa saja, macan dahan yang dikatakan pak Kasno tadi menyergap kami tiba-tiba.
Kami terus melangkah hingga bau busuk itu semakin tajam. Duri-duri halus dari belukar dan juga nyamuk yang kelaparan tidak kami hiraukan lagi.

Di kejauhan, terdengar dengungan lalat yang sangat kencang seperti bising knalpot.
"Itu, disana!" ujar istriku kegirangan, bagai anak kecil yang menemukan tumpukan permen. Mereka berdua lantas berlari kecil menuju semak tempat lalat berkerumun. Aroma busuk yang menyengat tidak menghilangkan rasa penasaran mereka.
Dengan kesal, aku lagi-lagi mengikuti mereka berdua di belakang.

Sejurus kemudian, istriku dan pak Kasno keluar dari semak sambil memegang perut. Gelagapan mereka mencari tempat berjongkok dan mencari sesuatu untuk dipegang.
Wajah mereka memerah dan segala isi perut mereka keluar dari mulut.

Tidak tahan melihat mereka, ditambah bau busuk yang menyengat, aku juga segera memuntahkan isi perutku. Mataku berair dan hidungku keluar ingus.
Aku muntah berkali-kali hingga badanku terasa lemas. Kehabisan tenaga, ku hempaskan pantat diatas rimbun tumbuhan pakis.

Istriku yang kehabisan tenaga juga duduk beberapa langkah di depanku. Nafasnya tersengal dan hidungnya kembang kempis.
Masih dalam posisi duduk, ia raih beberapa dedaunan untuk membersihkan sisa muntah di mulut dan tangannya.
Pak Kasno segera berdiri, mengumpulkan sisa tenaga untuk beranjak dari sini. Nafasnya memburu dan matanya berair. Hanya beberapa detik bertahan, pak Kasno kembali muntah di tempatnya tadi.
Melihat pak Kasno muntah, aku dan istri segera menyusul. Dengan sekuat tenaga kami keluarkan sisa makanan yang ada di perut kami.

Setelah isi perut kami terkuras habis, perlahan pak Kasno bergerak ke jalan utama.
Terseok-seok ia berusaha mengumpulkan kesadaran.

Kupapah tubuh istriku agar ia bisa kembali berdiri.
Dengan susah payah, badannya yang mungil akhirnya bertopang pada kedua kakinya.
Kuminta istriku dan pak Kasno untuk menunggu di jalan setapak. Diliput rasa penasaran, aku ingin tahu apa yang mereka lihat.

"Bangkai babi hutan." teriak pak Kasno dari tengah jalan.
Namun tetap saja aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri. Rasanya tidak mungkin ada seekor burung yang sanggup membawa seekor babi hutan beterbangan di udara.
Dengan telapak tangan kiri, kututup hidung dan mulut. Memang tidak 100 persen, tapi setidaknya mampu mengurangi penciuman akan aroma busuk yang menyengat.
"Gak usah dilihat. Nanti kita kemalaman ke tempat pak Kades."

Usaha pak Kasno mencegahku, membuat aku semakin tidak peduli. Bergerak perlahan, kudekati kerumunan lalat itu.
Kusibakan semak belukar yang menutupi bangkai itu, dan termpampanglah seekor babi hutan muda yang telah mati berhari-hari.
Ulat-ulat belatung sebesar jari manis keluar dari dua lubang di perut bangkai itu.Pantas saja mereka muntah, ulat belatung itu terlihat bergerombol menikmati daging yang telah busuk.
Seolah berpesta, kerumunan ulat itu menutupi hampir separuh badan babi hutan yang telah jadi bangkai.

Namun ada yang aneh, tidak ada bekas cakaran ataupun gigitan binatang buas pada bangkai babi ini.
Tubuh bangkai tetap utuh tanpa ada terkoyak sedikitpun. Tidak ada usus terburai atau daging yang terkelupas. Hanya ada dua lubang yang berdekatan, seperti dicucuk benda tajam.
Kondisi badannya kempis hingga tulangnya terlihat menonjol ditutupi kulit.
Seluruh organ tubuhnya seakan berubah jadi cairan dan sudah habis tersedot pemangsanya.
Membayangkannya aku jadi bergidik. Tanpa pikir panjang, aku bergegas beranjak dan menyusul pak Kasno dan istriku, yang masih berdiri di tengah jalan.
Setelah menyalakan rokok, pak Kasno kembali berjalan di depan. Bungkus rokok dan korek ia sodorkan padaku yang dengan segera menyambut dari belakang.

Kami terus melangkah dibawah rimbun pohon, diiringi suara berbagai hewan di dalam hutan.
"Pak, bangkainya kok aneh." ucapku pada pak Kasno.

"Aneh gimana?"

"Badannya kempis. Tidak ada bekas dimangsa binatang buas."

"Biarkan saja. Tidak usah dibahas. Kita ada di tengah hutan. Pamali. Nanti ada yang ikut."
Aku hanya diam saja mendengar penjelasan pak Kasno yang jelas-jelas menutupi sesuatu.

"Mas.." ujar istriku lirih. Ia memainkan gelang rotan di tangan kirinya, pertanda ia gelisah.

"Mas dengar suara gonggongan anjing ?"
Kupandang wajah istriku yang terlihat cemas. Kupasang kuping baik-baik, mendengarkan dengan seksama berbagai suara di dalam hutan.

"Tidak ada." jawabku sambil menggeleng.

"Aneh. Tadi jelas sekali."
"Mungkin suara anjing hutan." sahut pak Kasno.

"Sebaiknya kita fokus ke tempat pak Kades saja. Tidak baik ngomong sembarangan di dalam hutan."
Lagi-lagi pak Kasno menutupi sesuatu. Aku tahu, istriku tidak mungkin berbohong. Suara anjing yang ia dengar tadi pastilah bukan hanya khayalannya saja.
Namun pak Kasno malah mempercepat langkahnya, hingga aku dan istri harus susah payah menyeimbangi berjalan.

Jalan setapak yang kami susuri kini menurun lalu berbelok. Setelah beberapa langkah, kami harus melewati pohon besar yang tumbang menghalangi jalan.
Untuk melewati pohon tumbang itu, kami harus menunduk bergantian. Didahului pak Kasno lalu disusul istriku, aku berada pada posisi paling belakang.

Perlahan aku menundukan kepala, menghindari benturan dengan batang pohon yang berlumut.
Disaat itulah, samar-samar aku mendengar suara anjing menyalak entah dari mana.
Setelah melewati batang pohon tumbang, suara gonggongan anjing menghilang.

Mungkin saja itu suara anjing hutan, dan aku tidak terlalu menghiraukannya.
Aku dan istri kembali berjalan, dengan terpaksa mengikuti kemana langkah pak Kasno membawa kami.

Sayup-sayup, suara gonggongan anjing kembali terdengar entah dimana.
Tanpa kami sadari, ternyata itu adalah suara anjing milik seorang pemburu. Sedari tadi, matanya yang liar terus mengamati kami dari kejauhan. Kemana kami melangkah, ia mengikuti dengan mengendap-endap diantara lebatnya belantara.
Pemburu itu memanfaatkan rimbunnya hutan, sehingga kami tidak menyadari keberadaannya.

Di punggungnya terpanggul sebuah tas dari anyaman rotan. Di pingganngnya, terikat sebuah mandau yang sangat tajam.
Sedangkan di tangannya, ia memegang sebuah sumpit dari kayu ulin yang hitam. Sebuah mata tombak yang tajam terpasang diujung sumpit, bagai bayonet pada senjata prajurit.
Dan kini, pemburu itu berada pada posisi sempurna untuk membidik. Posisi kami yang berada pada tanah yang lebih rendah, adalah sasaran mudah bagi pemburu yang berpengalaman di hutan.

Dibukanya wadah bambu yang berisi anak sumpit, lalu diambilnya sebuah.
Anak sumpit itu lalu ia oleskan pada racun yang telah ia bungkus pada selembar daun.

Racun itu sudah dikenal sangat mematikan. Walau tergores sedikit,
tidak ada manusia yang bisa selamat. Paling lama, seorang manusia hanya bisa bertahan tiga hari.
Bila terkena, seorang manusia akan tewas dengan tubuh membiru, serta hidung dan telinga yang terus mengeluarkan darah.

Pemburu itu telah memasukkan anak sumpit beracun ke laras sumpit.
Dengan berpangku pada telapak kaki dan lutut, pemburu itu mengambil posisi siap membidik.
Hutan yang lebat membantunya bersembunyi.
Ia mengambil nafas panjang, agar lesatan anak sumpit semakin cepat dan kencang.

Tanpa ragu, pemburu itu membidik leher pak Kasno yang tengah berjalan di depan kami.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 16 : Sang Pemburu

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Pemburu itu telah siap membidik. Degub jantungnya teratur dan tarikan nafasnya sangat tenang. Ia telah memperkirakan hembusan angin dengan cermat. Sumpit sepanjang 2 meter ditangannya tidak bergerak sedikitpun dari bidikan.
Mata tombak di bagian ujung membantunya mengarahkan sasaran.

Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari tiga orang manusia yang tengah berjalan di bawah lereng tempatnya bersembunyi.
Anjing kampung di sampingnya, sudah tidak sabar menerkam buruan yang kabur begitu terkena anak sumpit. Taring dan cakarnya yang tajam, akan mengoyak setiap daging dan meremukan tulang buruan yang bernasib sial.
Pemburu itu menarik nafas panjang, mengumpulkan udara sebanyak mungkin ke paru-paru. Pipinya mengembung dan perut kurusnya membesar, menandakan udara yang ia butuhkan sudah terkumpul.
Sepersekian detik, perutnya kembali mengecil dan pipinya kembali cekung. Udara dari paru-paru mengalir kencang dari mulut sang pemburu. Anak sumpit melesat dengan cepat, membelah udara dan menancap tanpa suara ke sasaran.

***
"Sebentar lagi jalan utama."ujar pak Kasno bersemangat. Sekitar 200 meter di depan, terlihat cahaya terang di ujung jalan setapak.

"Alhamdulillah..." kata istriku senang. Ia menggandeng tanganku dan aku tetap fokus agar kaki ini segera menapak di jalan desa.
Ketika langkah kami semakin ringan, tiba-tiba terdengar suara jeritan binatang entah dari mana.

...nguik...nguik...nguik...

Sontak kami bertiga kaget. Pak Kasno menghentikan langkahnya sambil mengelus dada. Jeritan panjang binatang itu seperti tangisan.
Lalu terdengar suara keributan di belakang kami disusul gonggongan anjing tanpa henti.

"Babi hutan. Mungkin dikejar anjing hutan." ujar pak Kasno sambil mencari asal suara.
Dengan rasa cemas, aku dan istri menoleh ke belakang. Di sudut yang jauh, terlihat ada pucuk belukar yang bergoyang-goyang. Belukar itu terus bergerak disusul gonggongan anjing yang semakin menjauh.
"Ayo, biarin aja. Bukan urusan kita."

Kali ini aku setuju dengan pak Kasno. Tanpa pikir panjang, aku dan istri langsung menyusul hingga kaki kami benar-benar menapak jalan desa.
Ada rasa lega setelah melihat deret rumah penduduk. Hutan yang tadinya lebat telah berganti dengan atap-atap seng maupun papan sirap.

Meskipun desa ini sepi, tapi rasanya jauh lebih baik daripada berada di dalam hutan. 20 menit di dalam sana terasa begitu lama.
Pak Kasno kemudian mengajak kami melangkah ke arah hilir, menuju rumah pak Kades.

***
Pemburu itu melompat dari persembunyian, begitu anak sumpit mengenai bidikan. Ia berlari kencang di tengah hutan mengejar buruannya. Gonggongan anjing memandunya kemana arah hewan buruan melarikan diri.
Dibandingkan kijang atau kancil, babi hutan dikenal tangguh di kalangan pemburu. Meski berlari kencang, kijang dan kancil cepat lelah.

Sedangkan babi hutan, ia akan terus berlari lurus tanpa peduli semak belukar penuh duri.
Pemburu itu terus bergerak cepat mengikuti suara anjing. Setelah 200 meter, suara anjing menyalak semakin kencang. Burung dan monyet berhamburan karena ketakutan.
Pemburu itu akhirnya melangkah pelan sambil menyingkirkan lintah yang menempel di tangan dan kaki. Didapatinya anjingnya yang setia mengendus-endus buruannya yang telah tergeletak tak berdaya di dalam belukar.
Sesekali anjingnya menyalak, memperingatkan hewan itu agar tidak melarikan diri.

Pemburu itu berjongkok, memeriksa babi hutan itu yang tengah menanti ajal.
Babi hutan itu lantas dipanggulnya, dibawanya melangkah di balik rapatnya pepohonan.

Sesekali matanya yang tajam mengawasi sekeliling, memastikan tidak ada macan dahan atau hewan buas lain yang mengincar hasil buruannya.
Langkah pemburu itu terhenti, saat ia menemukan tanah yang datar dan agak lapang.

Dengan tali tambang yang dibawanya di dalam tas rotan, babi hutan itu lantas ia gantung terbalik di salah satu dahan pohon.
Pemburu itu kembali memandang keadaan sekitar, namun kali ini memastikan tidak ada manusia yang mengikuti.

Anjingnya yang kurus ia suruh mencari, apabila ada manusia lain yang mengawasi mereka sembunyi-sembunyi.
Mendapat perintah, anjingnya segera berlari menelusuri daerah sekitar. Beberapa saat berlalu, anjing tadi kembali lagi sambil menjulurkan lidah dan memamerkan taringnya yang tajam.
"Aman..." ujar sang pemburu dalam hati.

Anjingnya segera menjilati wajah si pemburu yang kini dalam posisi berjongkok. Merasa geli, pemburu itu menyingkirkan anjingnya dan melanjutkan pekerjaannya.
Si pemburu lalu mengeluarkan sebuah mangkok dan piring keramik china serta beberapa potong kayu gaharu dari dalam tas rotan.

Potongan gaharu ia susun bertumpuk di atas piring. Sedangkan mangkok ia genggam dengan tangan kiri, lantas ia berdiri mendekati babi hutan tadi.
Dengan sebilah langgei ( pisau kecil yang diikatkan pada sarung mandau ), pemburu itu menyayat tubuh babi hutan di bagian antara kepala dan kaki depan.

Darah segar langsung keluar dan segera ditampung di dalam mangkok yang di pegang pemuda tadi.
Setelah penuh, mangkok berisi darah ia letakkan di samping piring tadi.

Pemburu itu lalu duduk bersila di depan mangkok dan piring tadi. Ia kemudian memejamkan mata selama beberap saat, lalu membakar potongan gaharu diatas piring.
Wangi gaharu segera menyebar ke penjuru hutan, dan asapnya yang berwarna putih membumbung tinggi.

Pemburu itu lalu berdiri, dan anjingnya segera mengikutinya menghilang ke dalam hutan.

***
Sampai di jalan besar, pak Kasno mengajak kami berbelok ke arah hilir desa. Sejujurnya, aku tidak mengetahui yang mana hulu, yang mana hilir. Berbeda dengan di Jawa yang menggunakan arah mata angin, di sini mereka menggunakan sungai sebagai patokan.
Hulu, hilir, atas, bawah , dan darat. Hanya tiga terakhir yang kupahami, walau belum jelas bagaimana menentukannya.

Kaki kami terus melangkah melewati rumah-rumah penduduk yang tanpa penghuni. Aktivitas di desa ini terlalu sepi, tidak ada manusia yang lalu lalang.
Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya melewati perkampungan ini di malam hari. Sudah jarang penduduk, ditambah lagi tanpa listrik. Siang hari saja, rasanya bisa bikin aku mati berdiri.
Pak Kasno mulai bergerak lambat saat kami memasuki halaman sebuah rumah yang memiliki parabola. Rumah ini terlihat lebih rapi dengan halaman yang terawat tanpa rumput ilalang, ditambah beberapa pohon mangga dan rambutan.
Selain itu, di halaman juga ada empat patung kayu ulin menyerupai manusia dengan bentuk yang unik, tiga laki-laki dan satu orang perempuan. Di sampingnya, berdiri rumah-rumahan kecil yang ditutupi kain kuning dengan empat tiang ulin sebagai penyangga.
Kami melangkah pelan memasuki pekarangan rumah, dimana terdapat seorang perempuan muda dan seorang wanita paruh baya tengah berbincang. Yang muda kuperkirakan seusiaku, sedangkan satunya terlihat lebih tua sedikit dari pak Kasno.
Belum juga kaki kami mendekati teras, samar-samar terdengar suara anak kecil tertawa dari rumah sebelah. Awalnya aku tidak terlalu menghiraukan, mungkin itu anak kecil yang sedang bermain di rumahnya.
Deg...! Aku baru menyadari ada yang tidak wajar. Aku menghentikan langkah dan menahan tangan istriku.

Bukan kah rumah sebelah tidak ada penghuni dan hampir roboh?

"Ada apa mas?" tanya istriku bingung.
Aku hanya diam, tidak ingin membuatnya panik. Istriku terus memperhatikan wajahku dengan seksama, sedangkan pak Kasno sudah duduk di teras bersama dua perempuan itu.
"Tidak apa-apa, mungkin halusinasi saja." ujarku pelan. Aku teringat kata pak Kasno kemaren sore, semua anak kecil di desa ini telah mati dengan cara tak wajar.
Istriku mengernyitkan dahi, tidak paham arah pembicaraanku.
Kugandeng tangannya agar kami bisa segera bergabung dengan pak Kasno dan dua wanita itu.

Namun baru dua langkah, kembali terdengar suara tawa anak kecil.
Kali ini suaranya diiringi deritan kaca yang digores terus-menerus.

Istriku tiba-tiba mencengkram erat tanganku. Rupanya ia juga mendengar apa yang ku dengar. Aku memperingatkannya agar tidak menoleh ke asal suara, namun terlambat.
"Mas..." ujar istriku dengan suara bergetar. Cengkraman tangannya semakin erat hingga terasa sakit ke tulang. Telapak tangannya berkeringat dan hembusan nafasnya tidak beraturan.
Dengan rasa ragu, kutolehkan wajah ke asal suara. Dan kini jelaslah asal suara tadi. Ada sepasang tangan mungil yang tengah mencakar-cakar kaca jendela di rumah sebelah yang kosong tanpa penghuni.
Hanya sepasang tangan yang terlihat, sedangkan badannya bersembunyi di balik dinding kayu.

Suara cakarannya begitu menyayat hingga membuat gigi terasa ngilu. Suara tawanya yang sayup-sayup membuat bulu kudukku merinding.
Kuseret tangan istriku agar kami segera sampai di teras rumah. Suara tawa dan cakaran di kaca kemudian menghilang perlahan.

Aku bernafas lega ketika suara-suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Langkah kami semakin cepat dan tiga orang yang tengah duduk teras menyambut kami dengan senyum lebar.

Aku pun membalas senyuman mereka hingga langkah istriku sepertinya terhenti. Kutarik tangannya namun ia tetap tak bergerak.
Kulihat wajah istriku, ia terlihat ketakutan. Ia menggigit bibir dan matanya berkaca-kaca. Nafasnya memburu dan tubuhnya gemetaran.
Istriku hanya berdiri mematung, karena seorang anak kecil tengah menggandeng tangannya. Anak kecil itu hanya mengenakan cawat berwarna merah tanpa alas kaki. Tubuhnya kotor penuh tanah dan lumpur.
Dan, anak kecil itu mendongak, menatap tajam wajah istriku sambil tertawa dengan wajah menyeringai.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 17 : Iblis di Atas Bumi

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Wanita muda yang duduk di dekat pak Kasno, langsung berhambur merenggut anak kecil yang memegang tangan istriku.

Anak kecil itu ia seret ke dalam rumah, lalu terdengar suara omelan, pukulan dan juga tangisan.
"Bocah itu anaknya pak Kades." ujar wanita paruh baya yang duduk di dekat pak Kasno.

"Sedangkan perempuan tadi, istrinya pak Kades. Istri kedua."
Wanita itu tersenyum, mempersilahkan kami duduk. Wajahnya teduh, bersih dan terawat. Meski pakaiannya sederhana dan warnanya kusam, tapi ia bisa merawat diri. Sehelai selendang putih melingkar di lehernya.
"Wah, tanganmu kotor. Sebaiknya cuci di belakang."

Wanita itu lantas menggamit tangan istriku, berniat mengajaknya ke dalam rumah. Namun begitu memegang tangan istriku, wanita itu menghentikan langkahnya. Ia hanya berdiri dan menatap tajam wajah istriku.
"Kamu hamil?"

Istriku yang kebingungan memandang ke arahku. Aku hanya ternganga mendengar pertanyaan wanita itu, tidak tahu harus menjawab apa.

"Iya, kamu hamil." tegas wanita itu.

"Boleh kupegang ? "
Istriku mengangguk. Wanita itu memegang perut istriku, lalu meraba ke bagian pinggang kiri dan kanan.

"Kamu hamil setidaknya 4 minggu. Sebentar lagi minggu ke 5. "

Demi mendengar ia hamil, mata istriku berkaca-kaca.

"Alhamdulillah." ujarnya tersenyum.
Aku juga turut bahagia mendengarnya, diiringi ucapan selamat dari pak Kasno. Aku dan istri sungguh tak menyangka, sebab sejak keguguran anak pertama dulu memang haidnya tak pernah teratur.
"Kamu tidak apa-apa? Ada yang mengganggu? " tanya wanita itu sambil menyelidik ke wajah istriku.

Istriku menggeleng, dan kami lupa bahwa tadi pagi Mayang mengancamnya.

"Kalau ada apa-apa, aku akan menjaga kalian." lanjut wanita itu sambil tersenyum.
Dengan perasaan bahagia, istriku mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah, mencuci tangan dan gelang rotannya yang kotor.

***
Bocah kecil berbadan kotor tadi sudah duduk di pangkuan ibunya. Badannya telah bersih dan wajahnya penuh pupur. Anak itu menggelayut manja di leher ibunya yang berparas putih dan bermata sipit.

"Maklum mbak, di desa ini dia gak ada temannya, "ujar sang ibu datar kepada istriku.
"Di sini, dia anak kecil satu-satunya. Makanya suka keliaran kesana kemari. Lepas penglihatan sedikit, dia bisa sudah ada di rumah berhantu itu, atau bermain lumpur di sungai."

Sang ibu mengolesi rambut sang anak dengan minyak kelapa lalu menyisirnya rapi.
Aku dan istri hanya tertegun, demi mengetahui sang bocah tidak memiliki teman sebaya, dan hanya berkawan dengan hutan, lumpur dan mungkin juga hantu.
Usai disisir, sang anak mencoba berlari lagi ke rumah kosong di sebelah. Namun sang ibu meneriaki dan mengayunkan-ayunkan kayu di tangannya. Sang anak urung pergi, merajuk, dan hanya mengejar belalang dan capung di halaman.
Seperti anak-anak di sekolah, gelang hitam juga terpasang di kaki kanannya yang mungil.

"Mari mbak, bang, dinikmati seadanya." Sang ibu menawari kami teh panas, dengan hidangan singkong dan pisang rebus. Wanita paruh baya di sebelahnya menyambut kami dengan senyum ramah.
Kami lalu memperkenalkan diri, sang ibu muda meminta kami menunggu pak Kades yang belum pulang.

" Tadi sudah dipesan pak Kades, agar kalian menunggu. Beliau masih di ladang, sekalian mau jemput pak Sekdes kemari." ujarnya dengan lembut.
Hari kian sore, hami hanya duduk-duduk di teras rumah, mengobrol kesana kemari menikmati hidangan yang disajikan.

Sang ibu muda yang bernama Busu, adalah istri kedua pak Kades. Katanya, ia berasal dari desa di hulu sungai, dinikahi pak Kades 4 tahun lalu.
Ujarnya, istri pertama pak Kades telah meninggal 10 tahun lalu saat melahirkan, bersama bayi di kandungannya. Dua anak kades lainnya yang berumur 8 tahun dan 5 tahun, menyusul 1 bulan kemudian karena sakit yang tidak diketahui penyebabnya.
"Gak ingin nambah momongan mbak ? " tanya istriku.

"Cukup ini ajalah mbak. Ini aja perjuangan hidup atau mati. Untung saja ada mina Uwe. Kalau tidak, mungkin saya udah mati, seperti ibu-ibu yang melahirkan sebelumnya."
Istriku mengernyitkan dahi, karena ia belum mendengar sama sekali peristiwa kematian anak kecil dan ibunya di desa ini. Aku memang sengaja tak ingin membuatnya khawatir, demikian pula pak Kasno.
Istri pak Kades melirik ke wanita di sebelahnya, yang dipanggilnya mina Uwe. Mina Uwe hanya tersenyum, lantas mengangguk.

"Dulu, sewaktu mau melahirkan, kami tidak melahirkan di rumah, tapi di kebun. Kami terpaksa harus sembunyi-sembunyi, agar tidak ketahuan tambi Nyai."
Kali ini tidak hanya istriku, akupun ikut kaget ketika mendengar nama tambi Nyai. Sedangkan pak Kasno, ia tengah menikmati pisang rebus kedua. Tidak ada ekspresi kaget di wajahnya, sepertinya ia sudah mengetahui peristiwa ini.
"Kalau ingat kejadian dulu, rasanya ngeri mbak. Udah sembunyi
-sembunyi aja tetap bisa diincar. Masa bayi udah mau brojol, eh masuk lagi. Gak cuman ke rahim, tapi rasanya sampai ke dada. Hii..." istri pak kades bergidik ngeri, pundaknya terangkat hampir menyentuh pipi.
Istriku terdiam, ada rasa tidak percaya sekaligus takut secara bersamaan.

"Tenang saja, aku akan menjaga kalian." Mina Uwe berusaha menenangkan istriku. Ia menggeser duduknya ke samping istriku, lalu menggenggam telapak tangannya dan mengelus perutnya.
"Selama ada aku, janin kalian baik-baik saja."

"Memangnya ada apa dengan tambi Nyai ?" tanyaku penasaran.

Mina Uwe menghela nafas panjang. Kemudian ia menatap wajah kami bergantian, memastikan apakah kami siap mendengar ceritanya.
Mengetahui kami hanya diam menunggu, mina Uwe melanjutkan ceritanya.

"Sebenarnya saya tidak berani menuduh. Begitu juga warga desa ini. Tapi, setiap kematian bayi, anak kecil atau ibu melahirkan di desa ini, selalu ada tambi Nyai.
Begitu ada ibu melahirkan dan tambi Nyai berkunjung, beberapa hari kemudian bayinya meninggal. Banyak pula yang meninggal bersama bayinya saat melahirkan,
Anak kecil yang bermain bola di lapangan, juga turut jadi korban, meninggal setelah bertemu tambi Nyai. Menderita sakit panas berhari-hari dan muntah darah.
Kalau ada ibu hamil dan perutnya dipegang tambi Nyai, maka ibu itu akan keguguran. Tidak sedikit yang malamnya masih hamil, saat pagi perutnya sudah kempes. Bayi di kandungan hilang tak berbekas."
"Mina..." istriku memotong cerita mina Uwe. Beberapa saat ia terlihat ragu, lalu bersuara dengan nada cemas.

"Semalam..." istriku memegang perutnya, "tambi Nyai menyentuh perutku."
Mina Uwe langsung melotot dan giginya bergemeretak.

"Kurang ajar !" Mina Uwe mengepal tinju. Kepalan tinjunya sangat erat hingga tangannya gemetaran.

"Nenek tua itu memang selalu lapar." Mina Uwe mendengus.
Aku dan istri masih terheran-heran, belum mencerna sepenuhnya maksud mina Uwe. Sedangkan pak Kasno, ia hanya menatap mina Uwe dengan seksama.

"Busu, tolong rebus ini. Kalau sudah mendidih antar kemari."
Mina Uwe menyerahkan tiga lembar daun sirih dari dalam tas anyaman rotan yang dibawanya. Istri pak Kades lalu bergegas ke dapur, melaksanakan perintah mina Uwe.

"Jangan lupa kasih sedikit garam." teriak mina Uwe.
Setelah mina Uwe agak tenang, aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Mina, sebenarnya ada apa dengan tambi Nyai ?"

Mendengar pertanyaanku, raut muka mina Uwe seperti menahan amarah.
" Dia adalah iblis yang berjalan diatas bumi." Mina Uwe terdiam, pandangannya kosong dan nafasnya pelan.

"Sewaktu muda, dia bersekutu dengan iblis hutan. Entah untuk apa. Namun perlahan, iblis mengambil alih jiwanya. Tambi Nyai tidak bisa mengontrol darah iblis di badannya.
Seiring waktu, tambi Nyai berubah menjadi separuh iblis separuh manusia. Dan ia perlu banyak jiwa tidak berdosa, agar menjadi iblis sepenuhnya. Karena itulah, ia selalu mengincar bayi dan anak-anak yang di depan hidungnya. Bahkan, bayi yang belum lahir ke dunia."
Hening sejenak.

Bulu kudukku merinding begitu mina Uwe menyelesaikan ucapannya. Raut gelisah juga terpancar di wajah istriku dan pak Kasno.

"Ke-kenapa tidak dibunuh saja si tambi Nyai ?" tanya istriku. Kulihat wajahnya tegang.
Mina Uwe menahan wajah getir. Pikirannya melayang ke peristiwa 10 tahun lalu.

"Kalian tahu kenapa desa ini sepi ? Itu karena..."

Tiba-tiba angin berhembus kencang hingga mina Uwe menghentikan kalimatnya.
Kami yang ada di teras serentak berdiri, menyaksikan pohon-pohon yang bergoyang tertiup angin. Daun-daunnya luruh dan beterbangan tertiup udara.

"Peringatan..." gumam mina Uwe. Kulihat ada kecemasan di wajahnya. Tiupan angin mengibarkam selendang yang melilit lehernya.
Istriku merapatkan badan ke punggungku, dan pak Kasno terlihat gelisah.

"Penyaaanngg...!!! " Istri pak Kades berhambur dari dalam rumah, berlari ke arah anaknya yang hanya tertawa melihat angin menerbangkan daun kering dan sampah ke udara.
Tidak ada ketakutan di wajah anak itu, ia malah berlari mengejar dedaunan yang terbang melayang.

Tiupan angin semakin kencang. Barisan rumah kosong di sebelah mulai bergetar hebat dan atapnya yang dari seng melambai dengan cepat.
Deritan suara atap seng menimbulkan suara bising yang membuat gigi ngilu.

Pak Kasno bertindak cepat, membantu mengejar anak pak Kades yang berlarian di halaman.
Wajahku terasa sakit terkena hempasan pasir yang berhamburan. Istriku semakin merapatkan badan di punggungku. Mina Uwe hanya berdiri, menatap kosong ke arah angin yang mulai berputar.

...buaakkkk...

" Astagfirullahul azim !" Istriku menjerit kaget.
Daun pintu dan jendela rumah pak Kades terbanting kencang. Aku bergegas menahan daun pintu agar tidak kembali terbanting, sedangkan istriku berlari ke arah jendela. Kulihat mina Uwe hanya berdiri mematung, mulutnya komat kamit seperti merapalkan doa atau mantra.
...sreeekkkk....braaakk...

Atap seng dan sirap rumah kosong di sebelah mulai terlepas, lalu satu persatu terhambur ke udara.

Pohon-pohon kelapa di rumah tetangga terus berayun hingga pucuknya hampir menyentuh tanah.
Langit yang tadinya cerah perlahan mulai gelap menghitam.

"Cepat masuk !" teriak mina Uwe. Suaranya teriakannya hampir tidak terdengar, tertutup suara deru angin.
Pak Kasno tergopoh menggendong anak pak Kades sambil berlari. Istri pak Kades menyusul di belakang dengan wajah panik. Mereka berlari menerjang hempasan angin yang terus berputar.
Tiba-tiba terdengar suara berderak kencang. Seperti ledakan, bersahutan susul-menyusul, keras dan memekakkan telinga.

...praaakkk...braak...braak...

Rumah kosong di sebelah ambruk ke tanah.
...praakk...braak...

Rumah kosong lainnya menyusul ambruk, puing-puingnya terbang dan berputar-putar di udara.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 18 : Angin Angkara Murka

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Sekuat tenaga aku menahan pintu rumah pak Kades. Daun pintu terus berontak, berusaha lepas karena tiupan angin yang sangat kencang. Tanganku terasa pegal dan lututku mulai lemas.
Angin terus menerjang ke dalam rumah hingga dinding dan lantai bergetar. Tiang-tiang penyangga mulai miring ke kanan, jam dinding dan foto berjatuhan ke lantai.
Mereka berlima berhasil masuk ke dalam rumah, sebelum angin semakin mengganas. Anak pak Kades yang kini dalam pelukan sang ibu, menangis sejadinya.

Gesekan angin pada dinding luar membuat seisi rumah bergetar, piring dan gelas di atas meja dapur berhamburan ke segala arah.
Mina Uwe berdiri di ruang tamu, terus memandang ke arah angin yang berputar kencang. Selendangnya berkibar-kibar hingga menimbulkan suara kain seperti dipukul. Sekilas, aku melihat ada bekas luka memanjang di lehernya.
"Tutup pintu dan jendela !" perintah mina Uwe.

Tergesa, pak Kasno menerjang angin menuju ke arahku. Tubuhnya yang kurus hampir saja melayang.
Dalam keadaan panik, istriku menutup semua jendela yang terus terbanting. Istri pak Kades berusaha membantu, namun urung karena sang anak tak mau lepas dari pelukan.
Dengan susah payah, aku dan pak Kasno akhirnya berhasil menutup pintu hingga rapat. Daun pintu lalu kami ganjal dengan meja dan kursi di ruang tamu. Pintu bergetar hebat. Sebuah kursi terpental, lalu dibenarkan lagi hingga kuat mengganjal.
Isi di dalam rumah menjadi gelap, hanya ada sedikit cahaya dari luar.
Kami semua berdiri di ruang tamu, dicekam ketakutan jika rumah akan runtuh kapan saja.

Terdengar keras suara langit-langit rumah yang bergetar dan dinding yang terguncang.
Lantai kayu berderak, rumah pak Kades seperti wahana jungkat-jangkit.

Gemuruh angin bagaikan suara gunung runtuh, berderap dan bertumpuk-tumpuk. Ketakutan menjalari kami semua, kecuali mina Uwe yang berusaha terlihat tenang.
Tangisan anak pak Kades tidak kunjung berhenti, malah semakin kencang. Ibu dan anak menangis sambil berpelukan, meringkuk di pojok ruangan.
Istriku membenamkan wajah di dadaku. Tangannya erat merangkul pinggangku. Ayat Kursi, Al Fatehah, Al Ikhlas dan semua surah yang ia hafal, keluar dari mulutnya. Lantunan ayat suci terpatah-patah, silih berganti dengan tangisnya yang putus-putus.
Aku hanya bisa pasrah, memeluk istriku dengan erat.

Dzikir dan shalawat terucap dari mulut pak Kasno. Suaranya putus-putus dan tertahan. Ia menangis. Ya ! Sang kepala sekolah itu menangis. Lututnya gemetaran dan wajahnya pucat.
Wibawanya runtuh seiring isi rumah yang berayun-ayun.

Sisi kiri rumah mulai terangkat, suara papan kayu dan tiang penyangga terus berderak.

...praakk...braak...braak...
Kembali terdengar suara tiang patah dan papan terlepas. Rumah-rumah di sebelah kembali ambruk satu-persatu.

...baaakk...

Salah satu puing menghantam dinding rumah dengan keras. Anak pak Kades menangis semakin menjadi, dan aku memeluk istri semakin erat.
....braakk...braak...

Puing lainnya kembali menghantam. Nyaliku menciut sekecil-kecilnya, dan pak Kasno meringkuk ketakutan. Wajahnya ia benamkan di antara kedua lutut, dzikir dan shalawat terus keluar dari mulutnya.
Mina Uwe perlahan melangkah ke arah pintu. Tumpukan kursi dan meja ia susun hingga rapi.

Mina Uwe duduk di kursi kayu, dan jarinya mengetuk-ngetuk meja yang mengganjal pintu.
Entah apa yang ia lakukan, aku dan istri hanya memandang siluet tubuhnya tanpa bertanya.

...tak...tak..tak...

Semakin kencang terjangan angin, semakin kencang ketukan jari mina Uwe.
Gemuruh suara angin terus terdengar mengelilingi rumah, dan sepertinya semakin menyempit. Hiasan dinding terus berjatuhan dan getaran di dalam rumah tak kunjung berhenti.

...braak...
Meja di depan mina Uwe pecah berkeping. Mina Uwe kaget dan ia melompat ke samping.

"Kurang ajar !" Mina Uwe mengumpat. Jarinya kembali terkepal dan tangannya gemetar.
Mata mina Uwe terpejam, mulutnya terus berkomat kamit. Telinga dan hidungnya mulai berdarah, tubuhya bergetar kencang.

...buuukk..
Mina Uwe hempas ke lantai, lantas terbatuk mengeluarkan darah. Aku dan pak Kasno berhamburan, meraba-raba dalam cahaya minim, lalu menggotong tubuhnya ke tengah ruangan.
Perlahan, gemuruh suara angin menghilang dan rumah pak Kades berangsur tenang.

Hening.
Rumah pak Kades benar-benar tenang, tidak ada suara berderak atau dinding yang bergetar. Tiang-tiang penyangga kembali ke tempatnya, hanya hiasan dinding dan gelas yang berserakan di lantai.
Istri pak Kades meninggalkan anaknya yang menangis, berjalan tertatih ke dalam kamar. Lalu ia kembali lagi membawa bantal sambil berpegangan pada sisi dinding. Dibantu istriku, diangkatnya kepala mina Uwe, dan disandarkan di atas bantal tadi.
Istri pak kades bergerak hati-hati ke dapur, sedikit cahaya menyulitkan langkahnya. Ia kemudian kembali, membawa segelas air ditangannya. Aku dan istri menahan punggung mina Uwe, dan istri pak Kades menyurungkan gelas air ke mulutnya dengan hati-hati.
Setelah itu, istri pak Kades dan istriku membilas wajah mina Uwe yang belepotan darah dan memijat-mijat tubuhnya. Kulihat mereka berdua masih terisak.

"Sudah aman." Suara mina Uwe lemah, kehabisan tenaga.

"Buka pintu ! " pintanya lagi.
Aku dan pak Kasno beranjak, menyingkirkan kursi dan kepingan meja, lalu menarik gagang pintu.

Silau ! Tangan kiri kugunakan untuk melindungi mata dari cahaya yang menyakitkan pandangan.
Perlu beberapa saat bagi kedua mataku menyesuaikan, hingga pandanganku benar-benar bisa melihat dengan jelas. Langit yang tadi hitam kembali terlihat cerah.
Aku melongo, rumah-rumah kosong di kiri, kanan dan depan benar-benar ambruk. Puing-puingnya berserakan di atas tanah. Beberapa pohon tumbang di halaman rumah pak Kades.
Tidak percaya, aku melangkahkan kaki ke halaman. Pak Kasno juga menyusul di belakang.

"Astagfirullahul azim." ucap pak Kasno setengah tidak percaya.
Rumah pak Kades benar-benar berdiri sendiri di antara puing. Kiri-kanan telah rata, tembus langsung dengan hutan di belakang rumah.

"Sepertinya daerah hulu baik-baik saja. Hanya daerah hilir yang disapu bersih." kata pak Kasno lirih
Kuarahkan mata ke arah yang ditunjuk pak Kasno. Puskesmas kemarin, yang dekat lapangan, masih berdiri. Rumah-rumah di sekitarnya juga berdiri tegak.
Penduduk yang hanya hitungan jari berdiri di tengah jalan, memandang ke arah kami dengan ketakutan. Tidak ada yang berani menghampiri. Seorang laki-laki paruh baya menerobos kerumunan, berlari mendekat.
Pak Sahen ! Beberapa orang lainnya menyusul di belakang.

Lalu terdengar suara bising knalpot blong sepeda motor. Dua orang lelaki melaju dengan sebuah sepeda motor pretelan. Sebuah karung bermuatan penuh berada di jok tengah.
Sepeda motor itu melaju memecah kerumunan, diarahkan ke rumah pak Kades. Begitu memasuki halaman, pria yang di depan melompat. Tak dihiraukan motor yang oleng dan menyeruduk pohon tumbang.

Pria yang di belakang terjungkal kesakitan.
Berlari kencang, pria yang di depan berhambur memeluk anak dan ibunya. Diperiksanya sang anak dan ibu, lalu digandengnya ke dalam rumah.

"Itu pak Kades." Pak Kasno lalu mengajakku melangkah ke dalam rumah.

***
Sore itu, niatnya silaturrahmi dengan pak Kades malah jadi kerja bakti dadakan. Pak Kades mengeluarkan gergaji mesin, memotong pohon-pohon tumbang di halaman rumahnya. Aku, pak Kasno dan beberapa warga membantu menyingkirkan serpihan kayu.
Para wanita sibuk di dalam rumah, merapikan rumah pak Kades yang berantakan.

Pria yang membonceng pak Kades tadi, mengajak beberapa warga untuk memeriksa puing. Setelah beberapa lama, mereka kembali lagi.
"Nihil pak Kades. Tidak ada korban jiwa." lapor pria tadi.

Pak Kades terlihat lega, kemudian mengelap keringat yang menempel di dahinya dengan punggung tangan.

"Pak Sekdes, kita bersihkan seadanya dulu. Keburu senja. Kita lanjut esok pagi."
Pria yang dipanggil Sekdes tadi mengangguk, kami lalu bahu-membahu membersihkan halaman dan di sekitaran rumah pak Kades.

***
Hari semakin senja dan langit sudah kemerahan. Tepat pukul 5 sore, kerja bakti kami hentikan karena sebentar lagi malam.

Satu-persatu warga undur diri,
setelah Pak Kades mengumumkan bahwa kerja bakti akan dilanjutkan esok pagi.
Pak Kades lalu mengajak kami berkumpul ke dalam rumahnya yang sudah rapi.

Di dalam rumah, pak Kades langsung menghampiri mina Uwe yang duduk bersandar di dinding, persis di samping istriku.
Meski mulai pulih, namun tubuhnya masih terlihat lemah dan nafasnya tersengal. Sedangkan istriku, sepertinya sudah mendapat jawaban kenapa tidak ada yang berani membunuh tambi Nyai.

"Mina..." ujar pak Kades datar, "sudah baikan ?"

Mina Uwe mengangguk.
"Sepertinya aku harus menginap selama beberapa hari. Pulang ke desa di balik bukit terlalu jauh." kata mina Uwe lemah.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 19 : Hinting Pali

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
"Sepertinya aku harus menginap selama beberapa hari. Pulang ke desa di balik bukit terlalu jauh." kata mina Uwe lemah.

Aku tertegun begitu mendengar desa di balik bukit disebut. Ekspresi kaget juga terbaca jelas di wajah istriku yang duduk di samping mina Uwe.
Kemaren sore, pak Kasno bilang bahwa desa ini bermusuhan dengan desa di balik bukit. Bahkan, sudah 10 tahun mereka tidak pernah berhubungan. Lalu, kenapa mina Uwe bisa di sini?
Kutatap wajah pak Kasno, namun ia membuang muka. Ia justru pura-pura mengobrol dengan pak Sekdes yang duduk di sebelahnya.

"Kenapa nak Bimo ? " Pertanyaan mina Uwe mengejutkanku. Sepertinya ia mengetahui keresahanku.
"E-enggak apa-apa mina"

"Sepertinya kamu sudah mendengar kalau desa ini dan desa di balik bukit bermusuhan." Mina Uwe membetulkan duduknya. Disampirkannya selendang yang menjuntai di leher ke pundaknya.
Pak Kades menatapku curiga, mungkin ia menganggap aku terlalu ikut campur urusan di desa ini.

"Sudahlah...ia berhak tahu. Lagian dia sudah menjadi warga sini. Mereka sudah menjadi tanggung jawabmu."
Pak Kades tidak berkutik. Ia terpaksa mengangguk dan membiarkan mina Uwe berbicara.

" Mungkin kamu sudah mendengar, 10 tahun lalu ada kematian anak-anak dan bayi yang tak wajar di desa ini."
"Iya mina, aku sudah mendengar dari pak Kasno." Sengaja kukeraskan suara, agar pak Kasno tahu aku menyindirnya. Kulirik, pak Kasno seperti salah tingkah. Sejak siulannya di tengah hutan, aku agak jengkel dengan perilakunya.
" Karena kejadian itu, warga desa di balik bukit tidak mau berhubungan dengan desa ini. Kamu juga pasti sudah tahu kan? "

Aku mengangguk.

"Mereka menganggap desa ini terkutuk, penyebar kematian. Karena itu mereka mengadakan ritual Hinting Pali."
"Hinting Pali? ". Istriku mengernyitkan dahi.

Mina Uwe tersenyum lembut pada istriku. Aku menggeser duduk di samping pak Kades, menunggu penjelasan selanjutnya.
"Hinting pali itu ritual adat memasang tali penghalang. Ritual sakral, tidak boleh digunakan sembarangan."

Kami yang ada di ruangan semakin duduk mendekat, mendengar penjelasan mina Uwe. Hanya pak kades yang bersikap seolah biasa saja. Asap rokok mengepul dari mulutnya.
"10 tahun lalu, ritual itu dilakukan di batas desa. Tepat di pinggir sungai Ucang, sungai kecil yang membatasi desa ini dengan desa di balik bukit. Siapapun yang berani melewati sungai, akan terkena tulah. Kepuhunan, celaka !"
"Warga di balik bukit saja yang terlalu udik, mina. Terlalu percaya takhayul. Penyakit menular dibilang tulah." bantah pak kades.

"Kalau begitu, kau jelaskan kenapa hanya anak-anak dan kaum ibu yang meninggal. Kenapa tidak ada lelaki dewasa yang jadi korban !?"
Pak Kades terdiam, menatap kearah lain karena tak berani memandang wajah mina Uwe.

"Banjang...," mina Uwe sengaja memanggil nama pak Kades, "kenapa sewaktu si Busu, istri keduamu mau melahirkan, kau bawa dia sembunyi-sembunyi ke pondokmu di kebun.
Kau suruh si Lawing menjemputku ke desa di balik bukit. Kau buat dia hampir celaka. Untung saja aku ada di sungai sedang mencuci pakaian. Kalau saja si Lawing berani melanggar Hinting Pali, berani menyeberangi sungai, entah seperti apa nasibnya."
Pak sekdes menunduk, menyadari bahwa tiga tahun lalu ia hampir celaka. Sedangkan pak kades, gestur tubuhnya semakin salah tingkah.

"Mina...memangnya kenapa kalau ada yang melanggar Hinting Pali? " tanya istriku penasaran.
"Mati..." pak Kades langsung menyambar pertanyaan istriku.

"Siapa saja yang berani melewati Hinting Pali, akan mati !"

Seisi ruangan menjadi senyap, tercenung dengan kalimat pak kades yang menggebu.
"Dulu, tiga orang warga di balik bukit ditemukan tewas setelah menyeberangi sungai. Ditemukan tiga hari kemudian dengan tubuh membiru dan membusuk."

"Setelah satu minggu, baru ada keluarganya yang mencari. Jasadnya yang sudah diraung, terpaksa harus disebrangkan dengan tali."
Kami semua yang ada di ruangan kembali terdiam setelah pak Kades menyelesaikan kalimatnya. Ada pancaran kemarahan sekaligus kesedihan di sorot matanya.

"Mina..." Aku akhirnya angkat suara. Semua mata mendadak menatap ke arahku.
"Bagaimana caranya warga desa di balik bukit ke desa lain, atau ke kecamatan, atau ke kabupaten?"

"Memutar. Memang lebih jauh, tapi itu sudah jadi keputusan warga desa di balik bukit."
"Kalau memang tidak boleh melanggar Hinting Pali, kenapa mina Uwe bisa ke desa ini ?"

Yang ada di dalam ruangan melongo, karena pertanyaanku mungkin terlalu berani.
Sedangkan Mina Uwe, ia hanya tersenyum sambil menatap wajahku.
"Aku bukan asli warga desa di balik bukit."

"Hah !?" Kali ini istriku yang kaget.

Aku mengernyitkan dahi karena sama bingungnya dengan istriku. Sedangkan pak Kasno lagi-lagi membuang muka, mungkin malu dengan tingkah kami yang tidak sopan.
"Aku adalah pendatang di desa di balik bukit. 15 tahun lalu, aku datang di desa itu dalam kondisi terluka parah. Waktu itu aku masih belia. Sekitar 25 tahun. Leherku hampir putus ditebas para pengayau yang datang dari hulu sungai Mahakam"
Mina Uwe membuka selendangnya, memperlihatkan guratan luka yang hampir melingkar di sekeliling leher. Setelah semua melihat, mina Uwe kembali melilitkan selendang putihnya.
"Suatu malam, dusunku yang berada di kaki gunung Bondang diserang tiba-tiba oleh para pengayau. Para pemburu kepala. Sepertinya mereka telah mengintai dusunku selama berhari-hari.
Yang kuingat, mereka memiliki rajah di tubuhnya. Dengan leher terluka akibat tebasan, aku berhasil kabur ke dalam hutan. Bersembunyi berhari-hari dalam ketakutan.
Setelah keadaan aman, aku berjalan tanpa arah di tengah belantara. Berhari tersesat dan kehilangan banyak darah, tubuhku melemah dan hilang kesadaran.

Saat itu, kukira aku akan meregang nyawa, menjadi hantu penunggu hutan.
Saat tersadar, aku sudah berada di lapangan desa di balik bukit. Disaksikan banyak warga, aku terbaring di bawah cahaya bintang. Rupanya, aku ditemukan para pemburu dalam keadaan hampir tewas."

" Minyak Bintang ?"

Mina Uwe terkejut, lalu menatap wajahku keheranan.
"Tahu dari mana? "

"Pernah dengar aja, mina," jawabku sambil tersenyum

Mina Uwe pun membalas senyumanku.

"Sebenarnya, bukan karena itu saja kenapa aku bisa melewati Hinting Pali."
"Kenapa mina ?"

"Karena aku yang membuatnya."

"Hah !?" Kali ini aku yang dibuat bingung.

"Ya ! Aku yang membuatnya. Aku yang memimpin ritual Hinting Pali.
Semua kulakukan sebagai balas budi kepada warga desa di balik bukit. Walau berat hati, tapi aku tak kuasa menolak.
Apalagi yang meminta adalah suamiku, kepala desa di balik bukit. Sebelum ia meninggal akibat parang maya."

Mina Uwe diam sesaat, lalu memandang wajah pak Kades penuh arti. Entah apa maksudnya, pak kades seperti merasa bersalah dengan tatapan mina Uwe.
"Suamiku meninggal dalam keadaan memilukan. Perutnya membuncit, dan muntah potongan ulin tajam sebesar ibu jari.

Memang, aku punya kemampuan menyembuhkan orang terkena parang maya, diganggu mahluk halus maupun disembunyikan hantu penunggu hutan.
Karena itulah aku diminta memasang Hinting Pali.

Namun, kemampuanku jauh dibawah dari siapapun pengirim parang maya kepada mendiang suamiku."

Mina Uwe menerawang, mengingat kenangan akan mendiang suaminya. Kulihat, matanya berkaca seperti menyimpan kesedihan.
"Dan karena tak enak hati dengan warga sini, karena itulah Hinting Pali kubuat agar tidak berlaku padaku. Karena bagaimanapun juga, warga desa di sini akan selalu membutuhkan bantuanku. Apalagi setelah kematian bayi dan anak kecil yang tak wajar 10 tahun lalu."
Mina Uwe menghentikan kalimatnya, ditatapnya kami satu persatu.

"Tapi kalian tidak perlu khawatir, sepertinya petaka di desa Muara Tapah akan segera berakhir..." hening sejenak, mina Uwe menggantung kalimatnya.
"Karena wanita dari seberang pulau, sudah ada disini." ujar mina Uwe sambil menatap istriku.

Entah apa maksud mina Uwe mengatakan wanita dari seberang pulau. Yang jelas, seisi ruangan memalingkan wajah ke arah istriku.
Terlebih pak sekdes, pandangannya aneh dan mencurigakan, hingga pak kades menyikutnya. Merasa jadi pusat perhatian, istriku salah tingkah dan memainkan ujung jilbabnya.

"Mina, boleh saya tanya satu pertanyaan lagi ?"

Mina Uwe mengangguk.
"Kenapa mina Uwe tidak kirim saja parang maya kepada orang-orang yang mengayau itu ?"

"Ha...ha...ha.." Mina Uwe seketika tertawa. Yang lain juga kulihat menatapku sambil tersenyum.
"Tidak segampang itu nak Bimo. Kau pikir, mereka pergi mengayau hanya modal nekat? Tanpa jimat dan basal ?"

"Uhuk-uhuk..." Mina Uwe terbatuk menahan tawa.
"Lagian, kalau kau kira ilmu gaib bisa seperti di tv, maka Belanda dan Jepang takkan pernah bisa menginjakan kakinya di negeri ini."

Kali ini tidak hanya mina Uwe yang tertawa, tapi semua yang ada di ruang tamu.

Kulirik, istriku pura-pura tersenyum menahan malu.

***
Langit senja telah berubah menjadi gelap. Listrik dari mesin genset telah menyala. Pak kades melarang kami pulang karena sudah masuk sarak saru.

"Sarak saru ?" ujar istriku bingung.
"Kalau di Jawa namanya wayah surup." terang pak Kasno.
"Kita pulang setelah magrib udah lewat. Sudah banyak kejadian ganjil hari ini. Takut ada apa-apa di jalan."

Ada kekhawatiran di raut wajah istriku. Pulang lewat hutan atau jalan utama saat malam, sama-sama menakutkan.
Berbagai kejadian horor sudah kami alami hari ini, hari pertama mengajar. Dimulai dari Mayang yang kesurupan, bangkai aneh di tengah hutan, dan terakhir angin ribut yang meluluh lantakan rumah kosong di sekitar rumah pak kades.
Terbersit rasa sesal mengikuti ajakan pak Kasno tadi sore. Entah kejadian apa lagi yang akan kami alami malam ini.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 20 : Kembali Lewat Hutan

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Pak Kasno mengungkapkan maksud kedatangan kami ke tempat pak kades, yaitu melaporkan peristiwa kesurupan tadi pagi di sekolah, serta niat meminjam kelotok untuk belanja esok pagi di kampung hilir.
"Kalau untuk kelotok, besok pagi bisa diantarkan pak sekdes, sekaligus kirim laporan ke BPBD bahwa ada angin ribut di desa ini.
Kalau masalah kesurupan...," pak kades tampak berpikir, " mina Uwe mungkin lebih tahu."
Mina Uwe mendekat, untuk memastikan cerita tentang Mayang yang kesurupan. Pak Kasno lalu menjelaskan peristiwa yang kami alami di sekolah tadi pagi, dilengkapi olehku dan juga istri.
Mina Uwe tertegun, berpikir keras, berusaha untuk memahami maksud "tumbal" yang disampaikan Mayang.

"Aku hanya bisa menebak apa yang menyebabkan Mayang kesurupan. Sepertinya semacam peringatan untuk istrimu yang tengah hamil."
Istriku terdiam tanpa berkata-kata. Meski mencoba bersikap biasa, raut kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Aku mendekat ke istriku, memastikan bahwa aku akan selalu ada di sampingnya.
"Tenang saja, aku akan menjaga kalian." Mina Uwe tersenyum pada istriku lalu menggengam jemari tangannya.

"Tapi mina," suaraku tertahan, "mereka sudah punya basal, punya jimat. Kenapa tetap bisa kesurupan?"
"Basal ? Maksudnya ?" Mina Uwe terlihat bingung hingga alisnya hampir menyatu.

"Tidak usah dipikir mina, hanya jimat-jimatan," timpal pak kades.
"Nanti kita adakan ritual pembersihan di sekolah. Mungkin ada mahluk halus nyasar." ujar pak kades lagi.
"Pak Lawing, besok antarkan pak kasno sama bapak dan ibu guru ke desa hilir ya. Bawa kelotok desa.
Sekaligus kirim laporan via WA ke BPBD, ada angin ribut di desa kita. Jangan lupa foto juga dikirim."
"Siap pak, " ujar pak sekdes, " tapi sepertinya BPBD gak bakal kemari pak. Biasa...,tidak ada anggaran."

"Tidak apa-apa, karena memang tidak ada korban jiwa. Setidaknya mereka tahu sekarang musim pancaroba."
Pak sekdes mengangguk, lalu menyiapkan laporan yang sekiranya dibutuhkan untuk BPBD ( Badan Penanggulan Bencana Daerah ).

Pak kades lalu menjelaskan pada kami, bahwa pada peralihan musim dari kemarau ke penghujan, adalah hal biasa terjadi angin ribut.
"Biasanya bila pohon durian sudah berbunga, bebal cempedak mulai tumbuh, maka akan ada angin ribut."

Mina Uwe ingin protes, tapi mengurungkan niatnya karena pak kades sepertinya tidak ingin berdebat.
"Kalian sholat magrib di sini saja. Ada kamar kosong khusus buat tamu yang bisa dipakai. Setelah itu, kita makan malam bersama."

"Kalau makan malam, kami di rumah aja pak. Gak enak merepotkan." kata pak Kasno dengan nada sedikit ragu.
Mendengar kalimat pak Kasno, pak kades hanya tersenyum.

"Tidak usah ragu, pak Kasno. Saya tahu kalian muslim. Malam ini kita masak pakai peralatan juga piring, gelas, khusus yang kami siapkan bila ada tamu muslim. Dijamin halal."
Seketika, keraguan di wajah pak Kasno berubah jadi senyum sumringah. Baru saja beranjak hendak mengambil air wudhu, pak kades menahanku dan istri. Pak Kades meminta KTP serta kartu keluarga kami untuk didata.
Kami mengikuti pak Kades melangkah ke meja di pojok ruang tamu. Dari dalam laci, pak Kades mengeluarkan buku catatan data penduduk. Buku itu terlihat kumal seperti telah lama tidak digunakan.

"Kartu keluarga gak bawa pak. Ada di rumah," ucapku.

"Kalau begitu KTP saja."
Aku dan istri menyerahkan ktp kami, pak kades lalu menulis nama kami dalam data. Aku dan istri diberi catatan data pindahan, persis di bawah pak Kasno.

Pak kades sepertinya mengerti, saat aku melirik deretan jumlah kepala keluarga yang hanya 22 KK.
"Memang jumlah penduduk di sini sedikit mas. Ditambah kamu sama istri, jadi 23 KK. Total gak lebih dari 60 orang penduduk.

Dahulu sih memang banyak, sebelum banjir 10 tahun lalu. Ada sekitar 400 KK."
Masih di kursinya, pak Kades lalu memandang wajah kami berdua.

"Waktu itu saya masih muda, masih jadi juru tulis di kantor desa. Dahulu, tiap hari kantor desa selalu penuh. Tapi sekarang, sudah sepi. Makanya segala urusan warga, saya pindahkan di rumah saja."
"Kenapa pak, kok bisa penduduk berkurang drastis." tanyaku ingin mengorek keterangan dari pak kades.

Pak kades menghela nafas panjang, seperti berpikir sejenak.
" Yeahh.. begitulah. Selain karena banjir, penduduk di desa ini terlalu miskin. Pendidikan juga masih rendah. Hasil ladang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Akhirnya banyak yang merantau, mengadu nasib di kota."
Aku dan istri hanya saling lirik mendengar penjelasan pak kades. Setelah KTP kami dikembalikan, aku dan istri lalu pamit untuk sholat magrib bersama pak Kasno yang sudah menunggu.

***
Usai sholat magrib, istriku membantu istri pak kades dan mina Uwe untuk menyiapkan hidangan makan malam.

Waktu berlalu, makan malam pun selesai. Setelah istriku membantu mencuci piring, kami pamit undur diri.
Pak kades meminta pak sekdes dan pak Sahen untuk mengantar kami kembali ke rumah dinas. Selain itu, kami juga dibekali sayuran dan singkong, yang rupanya tadi dibawa dalam karung di motor pak kades.
Pak Sahen dan pak sekdes memutuskan agar kami melalui jalan pintas melewati hutan. Aku dan istri sebenarnya keberatan, tapi pak Sahen berkeras. Selain terlalu jauh, katanya terlalu berat membawa karung bawaan melalui jalan utama.
Dengan berat hati, aku dan istri mengikuti kemauan pak Sahen dan pak sekdes. Setidaknya, mereka berdua tidak akan berprilaku aneh di dalam hutan seperti ulah pak Kasno tadi sore.
Dan kami lupa, kalau tadi sore mina Uwe berniat memberikan rebusan air sirih untuk istriku.

***
Kami berlima lalu melangkah meninggalkan rumah pak Kades. Pak Sekdes paling depan disusul pak Sahen. Aku dan istri di tengah dan pak Kasno paling belakang.
Cahaya senter kami segera menyinari jalan desa yang sepi.
Tidak ada seorangpun yang kami temui sepanjang perjalanan, hanya ada sisa puing yang berserakan.
Hanya mengandalkan cahaya dari senter, kami serasa berada di antah berantah. Cuaca dingin yang menusuk tulang membuat perasaan jadi ngeri. Ditambah lagi suara binatang malam yang bersahutan, membuat desa ini terasa angker.
"Lihat lurus kedapan aja. Jangan menoleh ke samping atau ke belakang, "ujar pak sekdes sambil melirik ke arah istriku.
Sejak di rumah pak kades tadi, aku merasa pak sekdes selalu mencuri pandang ke arah istriku. Istriku juga sempat berbisik, bahwa ia merasa tidak nyaman. Untuk sementara, kami sepakat diamkan saja sambil lihat perkembangan.
Kaki kami terus melangkah dalam kegelapan, hingga akhirnya kami berbelok dan mulai memasuki jalan setapak menembus hutan.

Sangat sepi dan terasa begitu angker. Pohon-pohon besar di kiri-kanan jalan juga tampak begitu menakutkan.
Daun-daun yang melambai seperti tangan yang ingin menjangkau kami. Belum lagi apabila tertiup angin, gesekan daun seperti suara seseorang yang memanggil-manggil nama kami.
Pak Sahen yang membawa karung bermuatan sayur, sempat kesulitan saat melewati pohon tumbang. Karung itu harus kami over bergantian, hingga akhirnya bisa kembali ke pundak pak Sahen.
Setelah melalui tanjakan, kaki kami kembali melangkah di jalan datar. Semakin masuk ke dalam hutan, suara burung hantu dan serangga malam semakin nyaring bersahutan.
Langkah pak sekdes dan Sahen sempat terhenti, saat bau busuk tiba-tiba tercium. Keraguan mereka hilang, setelah pak Kasno menjelaskan bahwa bau itu berasal dari bangkai babi hutan.
Setelah sedikit perdebatan tidak penting, kami kembali berjalan menyusuri jalan setapak. Entah kenapa, deretan pohon besar seperti mengundangku untuk melihat. Sekuat hati rasa penasaran itu kulawan. Aku dan istri hanya menatap lurus ke depan, seperti saran pak sekdes tadi.
Namun, semakin kuat dilawan, godaan untuk melirik semakin kuat. Adalah sifat dasar manusia, sudah tahu takut tapi penasaran.

Karena rasa penasaranku sudah tak terbendung lagi, nekat kualihkan pandang pada deretan pohon besar di kiri kanan.
Benar saja, pohon-pohon itu terlihat menakutkan. Diselimuti kegelapan, pohon-pohon itu bagaikan barisan sosok hitam yang mengawasi kami. Akar yang menggantung bagai kuku tajam yang siap merobek tubuh kami.
Ditiup angin, pohon yang bergoyang terlihat seperti sosok hitam yang melangkah mendekati kami. Suara gesekan daun bagai suara langkah kaki yang berjalan mengendap-endap.
Bulu-bulu halus di tangan dan leherku seketika berdiri. Untuk menenangkan diri, kulafalkan dalam hati ayat-ayat Al Quran yang kuhafal.
"Matikan senter !" Terdengar suara pak Sekdes panik. Jari telunjuk di mulutnya, menyuruh kami untuk diam. Ditengah kebingungan, kami tidak tahu apa yang terjadi.
Kami menurut, semua senter kami matikan. Hanya senter pak sekdes yang terus menyala. Cahaya senter ia arahkan ke tanah. Pak sekdes mengajak kami bersembunyi di semak pakis.
Kami semua kebingungan, tapi menurut ucapan pak sekdes. Tidak dipedulikan lagi nyamuk lapar dan duri.

Setelah ketemu tempat untuk bersembunyi yang pas, pak sekdes mematikan senternya. Kini kami semua berada dalam gelap, tanpa ada sedikitpun cahaya.
Di kejauhan, kebingungan kami terjawab. Istriku mulai ketakutan dan tubuhnya merapat di sampingku. Nafasnya mulai tidak teratur dan tubuhnya kaku.
Kami berlima menahan nafas. Di tengah kegelapan, di antara pepohonan, ada cahaya kuning bulat yang bergerak lambat.

Semakin lama, cahaya itu semakin jelas. Bukan cahaya biasa, itu adalah api yang terbang sangat rendah. Api itu seperti bola dengan ekor yang begitu panjang.
Bola api itu menyala-nyala di antara pepohonan. Mengerjap-ngerjap tertiup angin. Aku tercekat, aku sudah pernah melihat bola api seperti ini sebelumnya.
Pak sekdes terdiam, karena kami melihat bola api dengan wajah manusia. Ya, tidak salah ! Bola api dan wajah manusia. Rambut putih terurai acak-acakan, terlihat samar diantara nyala api yang temaram.
Dan, sorot matanya yang tajam tengah mengamati tempat kami bersembunyi.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 21 : Daun Sawang Hitam

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Aku bergidik, saat sorot mata yang kukenal tersebut, menatap tajam ke rimbun belukar tempat kami bersembunyi.

Tak bergerak, pemilik sorot mata itu terus mengawasi tempat kami dengan curiga. Sorot mata itu terlihat ragu, apakah mendekat atau membiarkan saja.
Kami berlima menahan nafas, menanti kemungkinan yang akan terjadi. Ada raut ketegangan di wajah masing-masing.

Persis di sebelah, wajah istriku terlihat pucat. Sepertinya ia masih trauma bertemu dengan pemilik mata itu, si tambi Nyai.
Dengan selendang lusuh yang melingkar di lehernya, wajah keriput tambi Nyai terlihat samar-samar, diterpa cahaya obor
yang dipegang oleh lelaki yang berdiri di sampingnya. Lelaki itu adalah bue Alang. Di pundaknya, bue Alang memanggul seekor babi hutan yang masih segar.
"Apa yang mereka lakukan malam malam di tengah hutan ?" ujar pak sekdes setengah berbisik.

"Entahlah, kita lihat saja," sahut pak Sahen pelan.

Dan aku sedikit lega, ternyata yang tadinya kukira bola api adalah nyala obor yang dipegang bue Alang.
"Kita samperin saja." Pak Kasno hendak beranjak dari persembunyian, namun keburu ditahan pak sekdes.
"Jangan macam-macam pak," Pak sekdes melotot menahan emosi,
"apa menurut bapak wajar, sepasang kakek nenek di tengah hutan malam-malam kayak sekarang, sambil memanggul seekor babi hutan ? "
Pak Kasno terdiam dan kembali ke tempatnya bersembunyi. Selain pak Kasno, kami bertiga setuju dengan pak sekdes.

Selama beberapa saat, tambi Nyai mengawasi tempat kami bersembunyi dengan tatapan curiga. Tidak bisa dipungkiri, mereka merasakan kehadiran kami.
Sadar ada orang lain memperhatikan, tambi Nyai dan bue Alang bergegas masuk ke dalam hutan. Mereka berdua bergerak terburu-buru. Cahaya obor di tangan bue Alang semakin lama semakin mengecil hingga hilang ditelan gelap malam.
Selama beberapa menit kami hanya terdiam di tempat persembunyian. Setelah yakin kalau mereka berdua benar-benar telah pergi, barulah pak sekdes menyuruh kami keluar dari tempat persembunyian.
"Sudah aman, " ujar pak sedes lega, "nyalakan senter kalian !"

Dengan hati-hati kami menuju jalan setapak, melewati rimbun pakis dan rumput liar. Pak Sahen tampak kesusahan membawa karung sayur di pundaknya, namun menolak saat aku menawarkan diri untuk membawanya sendiri.
"Sebaiknya kita cepat-cepat, sebelum mereka kembali." ujar pak sekdes. Sekali lagi, aku menangkap kalau ia mencuri pandang ke arah istriku. Aku menggandeng tangan istriku agar lebih rapat denganku.
Sepertinya pak Kasno juga menyadari perilaku pak sekdes, sehingga ia memposisikan diri agak dekat dengan istriku.

Lima bulatan cahaya senter kembali menerangi jalan setapak, diiringi suara binatang dan serangga malam.
Kami berlima terus melangkah, hingga jalan utama mulai terlihat beberapa meter di depan kami.

Kami merasa lega, setelah tapak kaki benar-benar meninggalkan belantara. Di depan kami berdiri gedung sekolah dengan halaman luas, menggantikan hutan lebat yang menakutkan.
Kami terus terus berjalan hingga melewati pagar sekolah. Suasana sekolah yang gelap di malam hari terasa menakutkan. Semilir angin membuat bulu kuduk merinding. Belum lagi tadi pagi ada peristiwa kesurupan, membayangkannya saja membuat aku bergidik.
Untung saja, kami berlima di sini. Kalau sendiri, aku bisa lari terkencing-kencing.

Kami lalu berbelok melewati ruang guru. Saat hendak memasuki area rumah dinas guru, terdengar suara mesin genset meraung-raung di tengah kesunyian.
Pak Kasno yang tadi berada di paling belakang, mempercepat langkahnya hingga ia berada di paling depan.

"Siapa pak yang menyalakan genset?" tanyaku pada pak Kasno.
Sepertinya pak Tingen. Besok jadwalnya ngajar." jawab pak Kasno ringan.

Begitu tiba di area perumahan guru, seekor anjing langsung menyalak kencang menyambut kehadiran kami.
Kami berlima seketika kaget. Karung yang di pundak pak Sahen terlepas dan jatuh ke tanah. Untung saja karung itu ujungnya terikat, kalau tidak isinya akan berhamburan di tanah.
Istriku terlihat cemas, karena ia memang takut anjing. Dan seperti biasa, ia langsung merangkul lenganku. Kuperhatikan, pak sekdes tampak ragu, sepertinya enggan untuk mampir.
Anjing itu terus menyalak, terikat dengan rantai di rumah paling ujung. Seorang pria dewasa terlihat sedang merokok dan bermain kecapi. Melihat kami ada di depan rumah, pria itu menyuruh anjingnya diam.
Anjing itu terus berontak ingin menerjang kami. Pria itu berusaha keras menenangkan anjingnya. Setelah dipukul pelan beberapa kali, barulah anjing itu diam. Pria itu kemudian beranjak dari teras dan langsung mendekati kami.
Kami sampai di sini saja."ujar pak sekdes.

"Mampir dulu pak, ngopi sambil ngobrol." tawar pak Kasno.

"Tidak usah, sudah terlalu malam. Sebaiknya kami langsung pulang saja."
Setelah menyerahkan karung berisi sayur kepadaku, pak sekdes dan pak Sahen bergegas pergi. Pak Sahen sepertinya terpaksa mengikuti pak sekdes. Tanpa permisi pada pemilik anjing, mereka berdua menghilang di balik gedung ruang guru.
Pria tadi menatap kepergian sekdes dan pak Sahen dengan raut muka tidak suka. Setelah itu, ia langsung menyambut kedatangan kami dengan senyum lebar. Pak Kasno lalu memperkenalkan kami pada pria itu. Si pria mengulurkan tangan sambil menyebut namanya.
"Tingen, guru agama Hindu Kaharingan." ujarnya dengan senyum ramah

"Bimo Santoso, guru olahraga yang baru." balasku menyambut uluran tangannya.

"Sriatun pak, istri mas Bimo sekaligus guru bahasa Inggris."
Saat menjabat tangan istriku, pria itu tampak tertegun. Sorot matanya seperti menyelidik, sedangkan genggaman tangannya agak lama baru terlepas.

"Wanita dari seberang pulau." ujarnya bergumam.

"Apa pak? " Istriku kebingungan.
"Tidak apa-apa. "kata pak Tingen sedikit terpaku sambil menatap wajah istriku.

"Ayo, sudah semakin malam." Pak Kasno mengajak kami melangkah menapak tangga, menuju ke rumah dinas masing-masing.

***
Malam semakin larut, suara binatang malam terus beradu dengan suara mesin genset. Di langit, bulan sabit muncul dengan malu-malu, ditemani ribuan bintang yang bersinar terang.
Setelah mandi dan ganti pakaian, aku dan istri duduk santai di teras rumah bersama pak Kasno dan pak Tingen. Kopi panas dan kue kering jadi teman kami mengobrol kesana kemari.
Kami melanjutkan basa basi perkenalan, sekaligus membicarakan berbagai kejadian yang kami alami hari ini.
Pak Tingen tampak berpikir keras, saat mengetahui ada murid yang kesurupan tadi pagi.
Begitu mengetahui Mayang mengancam istriku untuk dijadikan tumbal, raut wajahnya berubah gelisah.

"Yakin pak, Mayang berucap seperti itu ?"

"Jelas sekali pak, kami semua menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Anak-anak sampai menangis ketakutan." ucap pak Kasno menggebu.
Pak Tingen menggeleng-gelengkan kepala seakan tak percaya.

"Mungkin pak Tingen bisa ngadain ritual buat bersihkan sekolah. Pak Tingen kan guru agama, mungkin bisa melakukan sesuatu." lanjut pak Kasno.
Pak Tingen mengangguk-anguk sambil menghisap rokoknya, lalu memandang wajah istriku. Setelah beberapa detik, pak Tingen menatap wajahku dan pak Kasno bergantian.
"Besok pagi saya selidiki dulu pak di sekitar sekolah. Sepertinya ada yang janggal. Selama ini, sekolah kita adalah tempat paling aman di desa buat anak-anak.
Setiap pojok sekolah sudah saya pasang jimat daun sawang sebagai pagar. Mungkin daunnya ada yang hilang atau ada yang melepas."

"Waduh...saya minta maaf pak. " kata pak Kasno pelan.
"Minta maaf kenapa pak?" tanya pak Tingen heran.

Pak Kasno terdiam, terlihat rasa bersalah di wajahnya.

"Pak Kasno..." ujar pak pak Tingen curiga, "apa bapak...?"
"Sudah saya copot semua pak." jawab pak Kasno dengan raut muka menyesal.

"Astaga pak.." sahut pak Tingen kaget, "Kenapa gak tanya saya dulu."

"Saya kira sampah pak. Soalnya daunnya sudah pada layu. Saya kira mainan anak-anak saja."
"Aduh kacau ini." Pak Tingen bangkit dari duduk, lalu mondar mandir di depan kami sambil menggaruk kepala.

"Kapan bapak lepas ?" tanya pak Tingen panik.
" Sekitar 10 hari yang lalu, sebelum melaporkan kerusakan gedung sekolah ke kabupaten. Tidak sengaja saya temukan sewaktu memeriksa bangunan kelas yang harus diperbaiki. Saya kira ulah iseng anak-anak saja."

"Ada berapa yang bapak temukan ?"
"Hanya dua. Di pojok kelas satu, sama di pojok ruang guru."

"Terus, daun sawangnya sekarang ada dimana ?"

"Sudah saya bakar sama sampah lainnya."

Pak Tingen kembali duduk di hadapan kami dengan menahan amarah.
"Pak Kasno semestinya koordinasi dulu dengan saya. Sudah saya pasang di tiap empat sisi pojok sekolah. Satu saja jimatnya hilang, maka pagar gaib itu tidak berfungsi.
Pak Kasno juga kan, yang dulu minta dipasangkan pagar gaib di sekolah. Dan saya minta dirahasiakan dari siapapun. Makanya daun sawang itu saya pasang sembunyi-sembunyi di dinding sekolah, agar tidak ada yang tahu."
Pak Tingen lalu menyeruput kopinya yang masih hangat, kemudian menyulut sebatang rokok. Tampak jelas kalau pak Tingen sedang menahan emosi.

Aku dan istri hanya memperhatikan saja perdebatan dua orang guru senior ini, tidak tahu harus berkata apa.
"Pak Tingen kan bisa bikin baru lagi." kata pak Kasno pelan.

"Tidak segampang itu pak. Daun sawang yang saya pakai itu spesial. Daun sawang hitam. Hanya tumbuh di gunung Bondang. Bukan daun sawang merah yang tumbuh liar di pinggir sungai."
"Terus bagaimana pak ?" tanya pak Kasno lagi.

"Saya pasrah pak." balas pak Tingen lemah, lalu kembali duduk di hadapan kami. Pandangannya menerawang ke arah gedung sekolah yang tertutup gelap malam.
"Kalau begini, saya harus mendaki gunung Bondang lagi," ucap pak Tingen lemah.

"Untuk mendapatkannya, saya harus mengadakan ritual adat dulu di kaki gunung. Kasih persembahan buat penunggunya.
Itupun, perlu waktu 3 hari baru bisa sampai puncak Karewa, salah satu puncak gunung Bondang. Cuman di puncak itu daun sawang hitam, dawen papas dahiang, bisa tumbuh.
Dawen papas dahiang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kalau penunggunya tidak menerima persembahan kita, maka pendakian itu hanya berujung sia-sia."
Pak Tingen mengubah posisi duduknya lalu bersandar di pagar teras. Kekecewaan menghantui pikirannya, sedangkan pak Kasno semakin salah tingkah di hadapan kami.

"Pak Tingen, " aku mencoba masuk ke dalam obrolan mereka, " kenapa gak minta tolong saja sama mina Uwe ?"
Pak Kasno mengangguk, tanda setuju dengan usulku.

"Atau tambi Nyai. Nanti aku yang ngomong." timpal pak Kasno.

Pak Tingen hanya menggelengkan kepala, lalu mencondongkan badan.
" Kalau mau selamat di desa ini, kalian tidak boleh percaya siapapun. Tidak boleh percaya pada bue Alang, tambi Nyai, mina Uwe atau pak kades. Jangan percaya siapapun, termasuk kepadaku dan juga pak Kasno."
Pak Tingen menatap mataku tajam, seolah peringatan kepadaku dan istri untuk waspada.

Pak Tingen kembali bersandar, lalu meminum kopi yang sudah mulai dingin.

Kami tenggelam dengan pikiran masing-masing, hingga istriku angkat bicara.
"Pak Tingen, bukannya anak-anak juga punya basal di kaki. Apa itu tidak cukup."

"Itulah yang kukhawatirkan. Daun sawang itu pagar gaib di sekolah, untuk memperkuat basalnya anak-anak. Tapi sekarang, Mayang saja bisa kesurupan.
Seharusnya tidak ada roh jahat atau kekuatan gaib yang bisa mendekati mereka. Kecuali..."

Pak Tingen terdiam, tampak ragu hingga kalimatnya menggantung.

"Kecuali apa pak? " tanyaku penasaran.
Pak Tingen masih diam dan kami bertiga tidak sabar menunggu jawaban.

Pak Tingen menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai menjawab, membuat kami semakin penasaran.
"Kecuali...basal itu sudah terlihat oleh mahluk itu."

"Mm...Mahluk apa pak ?" buru istriku ingin tahu.
Pak Tingen menatap tajam ke arah kami, raut wajahnya penuh kecemasan dan nafasnya ngos-ngosan.

"Mahluk yang tengah berdiri di belakang kalian." ujarnya ketakutan.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 22 : Basal Pak Tingen

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Sontak kami semua kaget mendengar perkataan pak Tingen.
Pak Kasno menjerit dan melompat dari duduknya. Istriku langsung berhamburan memelukku. Untung saja posisi dudukku cukup kuat. Kalau tidak, aku dan istri bisa terguling di depan pak Tingen dan pak Kasno.
"Ha..ha..ha.." pak Tingen tertawa kencang. Suaranya menggelegar, beradu dengan raungan mesin genset di samping rumah dinas.

Pak Kasno memaki tidak jelas, membuat tawa pak Tingen semakin kencang. Pak Tingen bahkan sampai memegang perutnya dan terguling di tempat duduknya.
Kalau becanda jangan aneh-aneh pak. Kalau saya mati serangan jantung gimana ? "

"Nanti saya raung pak. Saya gantung di pinggir sungai barito, biar mengejar setiap perahu yang lewat, ha..ha..ha..." pak Tingen tertawa puas karena telah berhasil membuat kami ketakutan.
Setelah tawanya mulai reda, pak Tingen kembali ke posisi duduknya. Wajahnya masih tersenyum, sedangkan pak Kasno tampak kesal.

Aku dan istri sedikit lega, setidaknya pak Tingen hanya bercanda. Kami kemudian kembali ke posisi duduk masing-masing.
"Jangan terlalu serius pak Kasno, nanti bapak bisa stroke."

" Pak Tingen ini aneh-aneh saja. Kita ini di desa terpencil pak. Kalau ada apa-apa bisa repot."

" Pak Kasno yang duluan, main copot aja jimat yang saya pasang." dengus pak Tingen.
Setelah keadaan mulai tenang, aku kembali bertanya pada pak Tingen.

"Sebenanya kenapa pak, sampai sekolah harus dipasang pagar gaib, dan anak-anak harus pakai basal ?"

Raut wajah pak Tingen kembali serius dan ia menatapku dan istri dalam-dalam.
" Desa ini dibawah bayang-bayang kekuatan yang sangat jahat. Kekuatan manusia setengah iblis."ujar pak Tingen dengan mata melotot, hingga membuat kami merasa ngeri.
" Manusia yang bisa menjelma jadi iblis, yang telah merenggut nyawa setiap bayi dan anak-anak di desa ini. Iblis yang selalu tertarik dengan aroma wangi wanita hamil dan melahirkan. " Pak Tingen kembali terdiam, sedangkan raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sedih.
"Dan...," pak Tingen melanjutkan kalimatnya dengan suara bergetar, "iblis itu juga yang telah merenggut nyawa anak dan istriku 7 tahun lalu."

Kami semua yang ada di situ seketika terdiam. Kesedihan yang dirasakan pak Tingen juga bisa kami rasakan.
Setelah beberapa saat tanpa suara, pak Kasno memecah keheningan kami.

"Pak Tingen, besok titip sekolah ya. Kami bertiga mau ke desa di hilir, belanja sembaki. Kami berangkat pagi-pagi sekali."

Pak Tingen mengangguk lalu tersenyum.
" Sebaik kalian istirahat saja, sudah terlalu malam. Apalagi kalian besok harus bangun pagi. Setengah jam lagi gensetnya biar saya saja matikan, jadi kalian bisa nyalakan lampu minyak dulu."
Kami pun segera beranjak untuk masuk ke rumah masing-masing. Dengan cekatan, piring dan gelas dirapikan oleh istriku. Aku sengaja masuk ke dalam rumah paling belakangan, karena ada permintaan yang ingin kuajukan kepada pak Tingen.
Sebelum pak Tingen masuk ke dalam rumahnya, aku bergegas menghampiri. Melihatku mendekat, pak Tingen berdiri di depan pintu menungguku.

Sebenarnya aku ragu menghampiri, karena anjingnya yang ganas segera mengeram.
"Bingo, diam !"

Anjing itu menurut dan kembali meringkuk di tempat. Pak Tingen memberi kode agar aku mendekat.

Aku mendatangi pak Tingen yang tengah berdiri di depan pintu. Di ruang tamu, tergantung beberapa buah mandau, tombak dan juga sumpit.
"Koleksi pribadi. Buat jaga-jaga." ujar pak Tingen sambil tersenyum. Dia menyadari kalau aku memperhatikan berbagai senjata tajam miliknya.

"Pak, bisa kah saya minta tolong ?" tanyaku pada pak Tingen.
"Minta tolong apa pak ?" balas pak Tingen sambil mengernyitkan dahi.

"Anu pak...istriku sedang hamil. Bisakah..."

"Hamil ? " pak Tingen memotong kalimatku. Dia seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan.
"Iya pak. Karena itu saya mau minta tolong sama bapak."

"Minta tolong apa pak ?"

"Saya juga minta basal buat istri saya, seperti yang pak Tingen kasih buat anak-anak."

Pak Tingen menghela nafas, lalu menarik nafas lagi.
" Sebenarnya, basal yang dipakai anak-anak bukan aku yang membuatnya. Aku hanya mengantarkan saja ke orang tua mereka. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membuatnya, karena dibuat dari bahan yang sulit didapat."
"Maksudnya pak? " Aku tidak mengerti arah pembicaraan pak Tingen.

"Basal itu dibuat dari rambut kuyang. Rambut itu bisa mendeteksi siapa pemiliknya. Rambut itu kudapatkan, ketika kuyang membunuh istri dan anakku 7 tahun lalu."
Masih di tempatnya berdiri, pak Tingen menatap wajahku.

"Tapi, rambut itu juga bisa dijadikan jimat pelindung oleh orang tertentu. Nanti akan kuminta orang itu membuatkan untuk istri pak Bimo."
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu melangkah ke rumah dinasku. Begitu sampai pintu, pak Tingen kembali memanggilku.

"Pak Bimo ! " kata pak Tingen setengah berteriak.
"Kalau ada yang janggal, jangan sekali-sekali keluar dari kelambu !"

"Baik pak, akan saya ingat. Sekali lagi terima kasih."

***
Suasana rumah dinas kembali hening. Raungan mesin genset telah berganti dengan suara binatang malam. Lampu-lampu minyak di tiap dinding kini telah menyala. Seisi rumah yang tadinya terang benderang, kini berganti jadi temaram.
Suara burung hantu terus memanggil dari belakang rumah, bersahutan dengan suara jangkrik dan serangga lainnya.
Di dalam kamar, aku dan istri masih belum terlelap. Kami terlibat diskusi tentang dilema yang kami hadapi saat ini. Kami mulai ragu, apakah tetap bertahan di tanah perantauan, atau kembali pulang ke Jawa.
Istriku yang awalnya begitu bersemangat, kini mulai menyerah dan meminta pulang. Tidak dihiraukannya lagi biaya yang telah kami keluarkan hingga sampai di sini. Tidak juga ia khawatir nyinyiran mertua atau tetangga yang suka bergosip.
Keberaniannya seakan runtuh, dan ketegarannya telah hilang.

"Mas, jujur aku takut," suara istriku lemah.

"Aku merasa gak nyaman sejak pertama kali datang ke desa ini. Rasanya ada yang mengikuti terus," lanjut istriku.
Aku membelai rambut hitamnya yang lurus. Kepalanya ia rebahkan di dadaku.

"Mengikuti gimana dik ? Jangan-jangan cuman perasaanmu saja."

"Entah lah mas... "
"Mungkin bawaan bayi. Semoga aja anak kita sehat. Tadi aku udah minta jimat sama pak Tingen. Dia udah janji usahain buat kami. Lagian, mina Uwe juga udah janji buat jagain kita. "
" Tetap aja aku khawatir mas. Andai tidak hamil, mungkin aku bisa betah. Tapi sekarang kan aku sedang mengandung anak kita. Rasanya pengen pulang saja."
"Kamu kan tahu dik, pengorbanan kita sampai sini gimana. Motorku dan tanah bapak udah dijual. Perhiasanmu juga dijual. Duit kita semakin menipis. Gaji pertama juga masih 2 minggu lagi. Itu juga cuman 70 persen. "
Kubelai lembut pipi istriku untuk menenangkannya, walau aku sendiri sebenarnya juga khawatir. Istriku hanya diam tanpa suara.

"Belum lagi denda ratusan juta, bila membatalkan sepihak surat pernyataan bersedia jadi cpns.
Selain itu, aku juga bakal diblacklist, tidak bisa lagi mendaftar cpns di mana-mana."

Istriku melenguh, lalu memindahkan kepalanya ke tas punggung yang dijadikan bantal. Dia berbaring dengan memunggungiku.
Aku segera memeluknya yang sedang merajuk.

" Gini aja dik, nanti kalau hamilnya udah besar, kamu kuantar ke Jawa. Lahiran di sana aja. Gimana? "

" Terserah, mas, " ucapnya ketus.
Aku mengalah, karena kalau sudah merajuk istriku tidak menggubris ucapanku. Padahal, beberapa waktu lalu ia yang memaksa ikut ke Kalimantan. Sekarang malah ia yang ingin segera pulang.
Obrolan kami terhenti begitu saja, dan tanpa terasa kami pun sudah terlelap.

***
Lewat tengah malam, aku dikejutkan dengan suara anjing yang menyalak kencang. Aku langsung terduduk di atas kasur, karena suara gonggonganya memekakkan telinga. Anehnya, istriku tetap tertidur pulas.
Kulihat jam di handphoneku, sudah menunjukkan pukul 1 malam lewat beberapa menit.

...dug...dug..dug..

Terdengar suara derap kaki di teras depan, suara orang berlari. Hampir saja aku bereriak karena kaget.
...dug...dug..dug...

Kembali terdengar suara orang berlari di teras. Jendela kamar bahkan ikut tergetar akibat hentakannya. Suara itu menjauh, seperti turun meniti tangga yang ada di teras rumah dinas kami.
Penasaran, aku beranjak dari tempat tidur. Kusibakkan kelambu dan bergegas ke jendela. Aku melangkah perlahan hingga hampir tidak mengeluarkan suara.
Kucari celah lubang di jendela. Setelah ketemu, segera kutempelkan mata kananku ke lubang kecil itu. Di luar, samar-samar terlihat pak Tingen berlari ke arah hutan di samping ruang guru.
Tangan kirinya memegang senter dan tangan kanannya menghunus sebuah mandau. Tanpa merasa takut, pak Tingen berlari menuju hutan di tengah malam buta.
Di belakangnya, tampak pak Kasno berlari pontang panting menyusul pak Tingen ke arah hutan. Sedangkan anjing pak Tingen, masih tetap menyalak tanpa henti, berlari mengikuti pak Kasno.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 23 : Desa Muara Tapah

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Pukul 06.30 pagi, kabut tipis masih menyelimuti anak sungai Barito. Matahari belum tinggi dan cuaca masih terasa begitu dingin. Jaket yang kami kenakan tak cukup untuk membuat badan tetap hangat.
Aku, istriku dan pak Kasno sudah berada di dermaga yang sepi. Beberapa perahu dan kelotok ukuran kecil bertambat di sisi dermaga. Tidak ada aktifitas manusia di sini, kecuali kami bertiga.
Kami duduk di sebuah kursi panjang yang telah usang. Sedangkan sekolah sudah dititipkan pak Kasno dengan pak Tingen. Dan sekali lagi, pak Tingen berpesan agar kami tidak percaya pada siapapun. Entah apa maksudnya, tapi kami tidak merasa ada yang perlu dicurigai.
"Aneh..." ujar pak Kasno lirih.

"Kenapa pak ?" tanyaku pada beliau.

" Tidak ada perahu atau kelotok yang mengantar anak-anak sekolah, " pak Kasno menoleh kepadaku dan istri, " mungkin mereka tidak turun, gara-gara kejadian kemaren."
"Bisa jadi pak. " jawabku sekenanya.

Kami bertiga memandang ke sungai yang terlihat tenang. Dua ekor bebek dan anak-anaknya tengah berenang, sepertinya peliharaan penduduk.
Tingkahnya mereka yang lucu, membuatku dan istri tersenyum. Sang induk sepertinya beberapa kali memarahi anaknya yang bandel, karena tidak mau mengikuti kemana induknya berenang.
...byuurr...

Seekor ikan besar berwarna hitam melompat ke udara, menyambar induk bebek. Bulu-bulu bebek itu berserakan di atas air, darah kental keluar dari dalam air bersama gelembung udara.

...byuurrr...
Induk bebek lainnya kembali jadi santapan. Aku dan istri terperanjat menyaksikan ikan ganas menyambar mangsa dari dalam air.

...kwak...kwak..kwak...
Anak-anak bebek berhamburan menyelamatkan diri. Namun sia-sia, ikan serupa dengan ukuran lebih kecil menyambar mereka satu persatu lalu menghilang ke dalam air.
Istriku melompat dari tempat duduknya dan menjerit histeris. Dia bahkan hampir menangis, karena menyaksikan mahluk lucu itu dimangsa ikan predator dengan kejam.

Istriku bahkan mengguncang-guncang tubuhku, karena merasa ngeri dengan apa yang dia liat barusan.
"mas...mas...apa itu mas...?" ujar istriku sambil memukul-mukul badanku. Aku hanya melongo menyaksikan pemandangan barusan.

"Itu ikan Tapah " ujar pak Kasno santai sambil menghisap rokoknya.
" Kenapa kampung ini dinamakan Muara Tapah ? karena banyak ikan Tapah di sini. Makanya tidak ada penduduk yang berani mandi di sungai."

Aku dan istri tercekat mendengar penjelas pak Kasno. Melihat kami merasa ngeri, pak Kasno semakin semangat bercerita.
" Ikan Tapah adalah monster sungai Kalimantan."

Pak Kasno lalu bangkit dari duduk dan berdiri di hadapan kami sambil membentangkan dua tangan.
"Ada yang ukurannya segini. Bahkan ada yang sebesar perahu sampan. Hiiiii... " pak Kasno bergidik di depan kami, membuat istriku ketakutan.

"Hiiii.. " sambung istriku sambil merapatkan badannya di tubuhku.
Belum puas, pak Kasno kembali menakut-nakuti kami.

"Sudah banyak korban keganasan ikan Tapah. Ibu-ibu yang mencuci di sungai, lengannya putus kena sambar. Anak-anak yang berenang, kakinya hilang kena mangsa.
Pokoknya, begitu kalian terjatuh ke sungai, itu artinya kalian akan...kreekk..." Pak Kasno menutup kalimatnya dengan menggesek telunjuknya di leher.
Istriku semakin ngeri dengan cerita pak Kasno barusan. Akibatnya, aku juga ikut-ikutan merasa takut. Pagi-pagi sekali, kami sudah dicekam ketakutan.
Sedangkan pak Kasno, ia tersenyum puas melihat kami ketakutan. Setelah itu, ia melangkah ke tengah dermaga, menanti pak sekdes yang belum juga datang.

***
Tepat pukul 7, pak sekdes belum juga menampakan batang hidungnya. Pak Kasno mulai gelisah, sambil sesekali memaki tidak jelas. Berulang kali ia melihat jam di tangannya, berharap pak sekdes segera datang.
Pak Kasno lalu menghampiri aku dan istri, kemudian duduk di sampingku. Hanya beberapa saat, ia berdiri lagi, mondar-mandir, lalu kembali ke tempat duduk. Aku dan istri hanya bisa terheran melihat perilaku pak Kasno.
Pak Kasno kembali bangkit berdiri, menyalakan sebatang rokok, dan memberikan aku sebatang.
Di tempat duduknya, istriku memandang ke barisan rumah kosong di desa.
"Jangan dilihat, nanti bisa kesurupan." tegur pak Kasno pada istriku. Pak Kasno tak sepenuhnya salah, rumah-rumah tanpa penghuni memang membuat desa ini terlihat angker.
Dengan cemberut, istriku mengalihkan pandangan ke arah sungai yang kini tenang. Padahal, beberapa saat lalu kami menyaksikan keganasan penghuninya.

Aku lalu teringat perihal kejadian dini hari tadi, saat pak Kasno dan pak Tingen berlari ke arah hutan.
"Pak kasno..."

"Piye mas ?" balas pak Kasno. Ia tengah mondar-mandir di dermaga sambil menghisap rokoknya.

" Dini hari tadi, pak Kasno dan pak Tingen ngapain lari ke hutan ?"
"Maksudnya ?" Pak Kasno kaget, lalu pura-pura bingung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Dini hari tadi, sekitar pukul 1. Saya lihat pak Kasno mengejar pak Tingen ke hutan. Ada apa pak? "
Pak Kasno yang sedari tadi mondar-mandir, menghentikan langkahnya tepat di depan kami. Untuk beberapa saat, ia menatap wajahku dan istri secara bergantian. Kepulan asap rokok keluar dari mulut dan lubang hidungnya.
Istriku yang tidak tahu kejadian dini hari tadi tampak sedikit kaget. Ditatapnya wajahku beberapa detik, lalu memalingkan wajah ke arah pak Kasno.

Pak Kasno terpojok, karena ada dua orang di depannya yang meminta penjelasan.
Pak Kasno menarik nafas dalam-dalam, lalu mulai menjawab.

" Sebenarnya, dini hari tadi ada..."

"Pak Kasnooo...!" Terdengar teriakan dari atas dermaga. Rupanya pak sekdes yang datang terburu-buru. Setengah berlari, ia bergegas menuruni anak tangga.
Pak Kasno menghentikan kalimatnya dan pura-pura menunggu pak sekdes yang tengah meniti tangga mendekati kami.

Setelah berhasil menuruni barisan tangga, pak sekdes langsung melangkah mendekati kami.
"Maaf terlambat..." ujar pak sekdes dengan nafas tersengal. Di tangannya, ia menenteng dua kresek hitam ukuran besar.

"Istriku melihat tambi Nyai berkeliaran di sekitar kolong rumah kami dini hari tadi." lanjut pak sekdes dengan nafas putus nyambung.
"Hah !? Yang benar pak !?" sahut istriku tak percaya.

Pak sekdes mengangguk lalu menghela nafas, menarik nafas, lalu menghela lagi.

"Makanya saya kesiangan. Semalaman berjaga sampai ketiduran."
"Bagaimana ceritanya pak? " buruku penasaran.

"Dini hari tadi, sekitar pukul 2 istriku terbangun karena suara berisik di kolong rumah. Dia kira ada musang mau makan ayam kami. Tapi ternyata....hii..."
"Ternyata apa pak?" tanyaku lagi.

"Sewaktu istriku mengintip di celah lubang, ternyata tambi Nyai tengah merangkak. Lalu, kepalanya berputar 180 derajat.
Tepat menatap istriku sambil tersenyum lebar. Saat itulah istriku menjerit sejadinya hingga aku terbangun. Saat kukejar, tambi Nyai sudah menghilang." tutup pak sekdes sambil celingak celinguk ke arah desa.
Pak sekdes kemudian memperlihatkan isi dua kresek hitam yang dibawanya. Sebuah gelang dengan hiasan tiga taring beruang melingkar di tangan kirinya.
Kami bertiga melihat isi tas kresek itu bersamaan, ternyata isinya 4 ekor ayam jantan yang telah menjadi bangkai, dengan bentuk yang tidak karuan.

Istriku langsung merangkul lenganku dan wajahnya seketika berubah tegang. Rangkulannya begitu kuat hingga tulangku terasa sakit.
Aku sendiri merasa ngeri dengan yang kulihat. Ayam itu seperti telah dimangsa hewan buas. Aku langsung teringat bangkai babi hutan yang kami lihat sore kemaren.Bulu kudukku mulai merinding.
Apa mungkin ada kaitannya dengan kejadian di rumah dinas kami dini hari tadi ? Kulirik pak Kasno guna memastikan. Ia tampak ragu, apakah harus menggeleng atau mengangguk. Sejurus kemudian, pak Kasno hanya menganggkat kedua pundaknya dengan wajah tertekuk
"Ayo, nanti kesiangan !" seru pak sekdes yang kini sudah di atas kelotok.

"Masukkan barang kalian kesini."

Pak sekdes menyerahkan sebuah tas kedap air berukuran besar, bermerk salah satu produk outdoor yang terkenal. Selain itu, juga beberapa lembar plastik transparan tebal.
Tas pinggang, dompet dan beberapa bawaan lainnya kami masukkan ke dalam plastik transparan tadi. Setelah benar-benar kuat, barulah kami masukkan ke dalam tas kedap air. Pak sekdes kemudian mengikat tas kedap air itu di dekat kemudi.

***
Kelotok kami mulai bergerak meninggalkan dermaga, menuju hilir sungai. Suara mesin kelotok meraung di tengah sungai, dengan asal knalpot yang membumbung ke udara.

Pak Kasno memilih duduk paling depan, aku dan istri di bagian tengah, sedangkan pak sekdes yang jadi motoris.
Berbeda dengan yang kami tumpangi beberapa hari lalu, kelotok ini ukurannya lebih kecil dan lebih pendek serta tidak memiliki atap. Sinar matahari langsung menerpa wajah kami, sehingga terasa lumayan terik.
Kelotok terus bergerak menyisir sungai. Barisan rumah kosong dan tanpa penghuni, tampak berjejer sepanjang desa. Sebagian rumah ditutupi tanaman merambat dan lumut. Saat mulai memasuki bagian hilir desa, hanya terlihat puing-puing berserakan.
Rumah pak Kades tampak berdiri tegak di antara puing-puing itu. Beberapa warga terlihat sedang kerja bakti dipimpin pak Kades.

Ketika memasuki ujung kampung, pak Kasno menunjuk salah satu rumah panggung.

"Itu rumah tambi Nyai " seru pak Kasno.
Rumah itu posisinya berada di tanah yang lebih tinggi di banding rumah lainnya.

Di atas atap, tambi Nyai tampak berdiri sambil mengamati kami yang melewati rumahnya. Tatapannya sangat tajam hingga membuat gentar siapapun yang berani adu pandang dengannya.
Pak Kasno melambaikan tangan pada tambi Nyai, namun tambi Nyai hanya diam saja di tempatnya.

Pak Sekdes yang di bagian kemudi, menatap lurus ke depan seakan tidak mau beradu mata dengan tambi Nyai.
Kelotok kami semakin menjauh dan desa Muara Tapah semakin terlihat mengecil di belakang.

Diantara kami, pak Kasno satu-satunya orang paling ceria. Kejadian ganjil di desa tidak sedikitpun mengganggunya.
Walau sering menjengkelkan, tapi kadang tingkah ganjilnya bisa mengundang senyum. Di bagian depan perahu, pak Kasno mulai menyanyikan lagu "my heart will go on". Suaranya yang fals beradu dengan suara mesin klotok yang bising.
Tanpa malu, dengan penuh percaya diri pak Kasno bernyanyi lantang di tengah sungai. Aku dan istri sampai menutup telinga, karena suara pak Kasno benar-benar tanpa nada.
Pak sekdes terlihat tidak suka, namun juga tidak enak menegur. Kami hanya pasrah saja dengan kelakuan kepala sekolah yang satu ini. Kemudian...

...dug...dug...

Kelotok kami bergoyang, ada benturan kecil di bawah perahu.
...dug...dug...

Kembali terjadi benturan. Kali ini tidak hanya bergoyang, perahu bahkan terangkat sedikit ke atas air. Istriku menjerit karena kaget, beberapa kali ia mengucapkan istighfar.
Aku dan istri mulai merasa tidak nyaman. Aku gelisah dan istriku terlihat cemas. Bagaimanapun juga, kami berdua sama-sama tidak bisa berenang. Di belakang kemudi, pak sekdes tetap terlihat tenang. Benturan tadi tidak sedikitpun membuatnya risau.
Benturan di dasar kelotok semakin sering, sehingga kelotok kami mulai oleng di tengah arus sungai. Aku dan istri harus berpegangan pada badan kelotok agar tidak terjatuh. Wajah istriku semakin pucat dan aku semakin khawatir.
Di kejauhan, terlihat beberapa ekor ikan Tapah sebesar paha manusia berlompatan ke udara, menyambar ikan kecil lalu menghilang ke dalam sungai.

Di depan, beberapa batu besar dan tajam menjulang di tengah sungai, menciptakan jeram yang cukup deras di tiap sisinya.
Pak Kasno sudah berhenti bernyanyi. Dia menoleh ke belakang, menatap pak sekdes yang jadi juru mudi.
"Pak Sekdes...." seru pak Kasno lantang, "sepertinya sekarang sudah saatnya " ujar pak Kasno tersenyum licik sambil menatapku dan istri yang tengah ketakutan.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 24 : Serangan Ikan Tapah

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
Pak sekdes memalingkan wajah, tidak menggubris ucapan pak Kasno. Aku sendiri dan istri kebingungan dengan maksud perkataan pak Kasno barusan.
Di bagian depan perahu, pak Kasno tiba-tiba berdiri. Sambil menatap barisan batu sungai, pak Kasno membentangkan kedua tangan. Tiba-tiba lantunan lagu "My Heart Will Go On" kembali terdengar dari mulutnya.
Bedebah..!! aku memaki dalam hati. Tidak cukup kengerian karena berada di antara ikan Tapah, kini ditambah lagi polusi suara pak Kasno.
Istriku melotot sambil menggelengkan kepala. Giginya bergemeretak dan urat dahinya menonjol keluar. Ketakutannya kini telah berubah jadi rasa jengkel dan amarah

"Pak Kasno...! " teriak pak sekdes, "jangan main-main pak, nanti kepuhunan !"
Pak Kasno tak peduli. Ia benar-benar telah merasa seperti berada di dalam film Titanic. Kemudian terlihat gelombang air mendekati kelotok kami. Samar-samar, mahluk bersirip berwarna hitam berukuran sekitar 3 meter bergerak cepat di dalam air ke arah kelotok yang kami tumpangi.
Kami yang duduk di belakang mulai berteriak memperingatkan pak Kasno. Bukannya berhenti, pak Kasno justru menyangka kami memberinya semangat untuk terus bernyanyi.

Kegaduhan mulai memanas di kelotok kami. Teriakan kami menyuruh pak Kasno berhenti tak juga digubris.
Pak Kasno, berhenti !"

"Pak Kasno, ada Tapah. Duduk pak !"

"Pak Kasnoo....! "

Seperti orang kesurupan, Leokasno Di Caprio semakin tenggelam dalam nyanyian. Kecemasan dan ketakutan kini menghantui kami bertiga yang di belakangnya.
Kelotok mulai tidak stabil karena sudah memasuki muara jeram. Seisi kelotok bergetar hebat, sementara ikan Tapah raksasa semakin mendekat.
Sambil memegang kemudi, pak sekdes terlihat tegang. Butiran keringat sebesar jagung bermunculan di dahi dan pipinya. Hidungnya kembang kempis karena cemas.
Pak sekdes bingung mengambil keputusan. Apabila berbelok, pak Kasno terjatuh dan jadi mangsa ikan Tapah yang ganas. Apabila lurus, barisan batu tajam akan merobek badan perahu dan jeram liar akan menggulung kami dengan arusnya yang deras. Benar-benar pilihan sulit.
"Astaghfirullahul azim...Astaghfirullahul azim..." Ucapan istighfar terus keluar berulang-ulang dari mulut istriku. Kedua tangannya mencengkram erat kedua sisi kelotok. Kegaduhan di bagian belakang tidak juga menyadarkan pak Kasno.
Tiga meter di samping kelotok, ikan Tapah tadi menyelam kedalam air. Aku bertindak cepat, merangkak mendekati pak Kasno sembari berpegang pada kedua sisi kelotok.
Badan kelotok mulai oleng, bergerak cepat ke arah barisan batu besar dan tajam di tengah sungai. Pak sekdes semakin panik, karena beberapa meter di depan terdapat hamparan riam dan pusaran air.
...byuurrr...

Ikan sungai raksasa seukuran 3 meter melompat di depan perahu. Mulutnya menganga lebar, memamerkan barisan giginya yang tajam bagai silet. Ikan monster itu meluncur cepat ke arah pak Kasno, yang tetap berdiri karena syok.
Dengan sigap aku menarik baju kaos pak Kasno, tepat sepersekian detik sebelum predator sungai itu menyambar lehernya. Kami berdua terjungkal ke belakang.

...gubbrakkk...
Sikutku terasa nyeri dan pundakku terasa sakit karena benturan dengan badan kelotok. Seketika seluruh badanku terasa remuk.
Aku kesulitan bergerak karena tubuh kurus pak Kasno menindih badanku.
Ikan Tapah itu menghilang di samping perahu, menghasilkan cipratan air yang membasahi tubuh kami.

Jerit tangis istriku menggema di tengah sungai. Kata sumpah serapah dan makian keluar dari mulut pak sekdes.
"...arrrggghhhh....!!! "

Pak Kasno berteriak kesakitan. Ternyata kaki kirinya berada di dalam air, sedangkan batu besar dan jeram semakin dekat di depan kami.
Jerit histeris istriku semakin menjadi, beriringan dengan teriak kesakitan pak Kasno. Keadaan di dalam kelotok benar-benar kacau, dan tubuhku masih belum bisa digerakan. Dan pak sekdes, ia semakin kesulitan mengendalikan laju kelotok akibat tarikan arus jeram di depan kami.
Sambil menjerit, pak Kasno menghentak-hentakkan kaki kirinya yang di dalam air. Dengan susah payah, pak Kasno akhirnya berhasil mengangkat seluruh kaki kirinya ke dalam kelotok. Sekuat tenaga aku mendorong tubuh pak Kasno hingga ia tertuduk.
" arrrggghhh !!! " jerit pak Kasno kesakitan.

" arrggghhhh !!! jerit istriku ketakutan.

Seekor ikan Tapah sebesar betis, mencengkram jari kaki kiri pak Kasno. Darah segar mengalir di kakinya dan membasahi badan kelotok bagian depan.
Sambil menjerit, pak Kasno terus menghentakan kakinya agar ikan itu terlepas.

...dug...dug...

Kembali terjadi benturan di dasar kelotok. Tidak hanya sekali, benturan itu terjadi berulang kali. Kelotok berguncang tak terkendali.
...byurrrr....

Ikan Tapah raksasa melompat dari sisi perahu dan menghilang di sisi lainnya. Gelombang dan cipratan air kembali membasahi tubuh kami.
...brraaak...

Ikan Tapah itu menyeruduk sisi kiri kelotok. Kelotok kami miring ke kanan hingga air sungai mulai masuk ke badan kelotok.

Celaka ! Monster sungai ini berusaha membalikkan kelotok kami.
...brraaak...

Ikan Tapah tadi kembali menyeruduk sisi kelotok. Pak sekdes melakukan manuver. Usahanya berhasil, kelotok kami tidak jadi terbalik. Tapi akibatnya kelotok justru masuk ke dalam kumpulan riam yang deras. Air mulai masuk dari kiri dan kanan tanpa henti.
"Timba...Timba..!!!" teriak pak sekdes sambil mengendalikan kemudi kelotok.

Istriku segera mengambil gayung di depannya dan mulai menimba air yang masuk. Seluruh tubuh kami sudah basah terkena cipratan air. Air yang masuk ke dalam kelotok semakin banyak.
Ikan Tapah di kaki pak Kasno sudah terlepas. Ikan itu menggelepar di depan pak Kasno dengan mulut penuh darah segar. Ngeri...! Meski tidak berada dalam air, ikan itu tetap berusaha meraih kaki pak Kasno.
...bakk...

Kupukul ikan Tapah itu dengan dayung yang kutemukan di dalam kelotok.

...bakk...bakk...

Ikan Tapah itu tak juga mati.

...buakk...buaaak..
Sekali, dua kali, kupukul berkali-kali hingga ikan Tapah itu akhirnya tak bergerak. Sambil memegang jari kakinya yang terluka, pak Kasno merangkak meraih ikan Tapah yang telah mati tadi. Secepat kilat, ikan Tapah itu ia lempar ke tengah jeram.
....byuurrr...

Ikan Tapah yang dilempar pak Kasno segera jadi santapan Tapah lainnya.

...byuurr...

Ikan raksasa psikopat kembali melompati kelotok kami. Setiap kali ia melompat, di situ pula kami menjerit sejadinya.
Isi kelotok bagai di tengah bencana, sangat riuh dan mencekam.

Terjangan ikan tapah semakin ganas dan liar. Predator sungai ini sepertinya sengaja ingin menjatuhkan menthal kami, dan ia telah berhasil.
Jeritan, teriakan dan tangisan bercampur jadi satu. Keadaan di dalam kelotok semakin kacau balau tak terkendali.
Jeram-jeram ganas terus mengguncang kelotok, bergetar bagai gempa bumi. Tubuh kami sepenuhnya basah, bermandikan air sungai yang terus menyiram dari berbagai penjuru.
Air sungai yang masuk ke dalam kelotok sudah hampir separo. Kelotok mulai tenggelam dan teror dari Tapah raksasa tak juga berhenti. Kami dalam keadaan terjepit.
Istriku menolak menyerah, meski berlinang air mata ia terus menimba air yang masuk. Dorongan menjadi calon ibu membuat keinginannya untuk tetap hidup sungguh kuat. Kalimat dzikir tak berhenti ia ucapkan sambil menangis.
Aku mengambil ember yang ada di dalam kelotok kemudian membantunya menimba air yang masuk. Adrenalin membuat rasa sakit di tubuhku sudah tak lagi terasa.

Di bagian depan, pak Kasno masih menjerit kesakitan sambil memegangi kakinya yang terluka.
Di belakang kemudi, pak sekdes membuka kantong kresek yang tadi ia bawa. Isinya ia keluarkan dan langsung dilempar ke tengah sungai.
Tak perlu menunggu lama. Begitu menyentuh air, bangkai ayam itu langsung disambar ikan Tapah psikopat. Bulu-bulu ayam penuh darah berserakan di sungai, hanyut terbawa arus. Dan kesialan kami tak hanya sampai disitu.
...blub...blub...blub...cess...

Sial ! Mesin klotok tiba-tiba mati. Pak sekdes panik. Berulang kali dihidupkan, namun mesin itu tetap gagal menyala.

Perlahan, kelotok mulai berputar terkena pusaran air.
...bukk..

Pak sekdes kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kepalanya membentur mesin kelotok dan pelipisnya mengeluarkan darah segar. Pak sekdes tak bergerak, terhempas di belakang kemudi, di samping tas kedap air.
" Mas....mas...!!! " Istriku menjerit melihat keadaan pak sekdes. Kami yang ada di kelotok semakin panik dan ketakutan.

Kelotok terus berputar, berguncang kesana kemari diterjang arus riam. Aku dan istri memegang kedua sisi kelotok agar tidak terjatuh.
"Allahu Akbar...Allahu Akbar..!"

Aku dan istri pasrah, meneriakkan takbir dengan putus asa. Istriku menangis sesenggukan. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar. Tak terasa, aku juga menitikan air mata.
Aku menangis. Aku menangis bagai anak kecil. Tubuhku lemas dan nyaliku ciut. Cengkaramanku pada sisi kelotok semakin melemah.

Semburan air yang menerpa tubuh, membuat semangat kami untuk bertahan hidup semakin runtuh.
Kelotok kami terus meluncur deras diseret arus sungai, terombang ambing dan siap menghantam batu besar yang tajam. Tubuh istriku terguncang hebat.
Sekuat tenaga aku meraih tubuhnya, namun selalu gagal. Sambil berurai air mata, ia menatapku dengan putus asa.
"Mas....maafkan aku." ujarnya lemah.

...bruuakk...

Terjadi benturan keras di sisi depan kelotok. Aku menutup mata, pasrah menerima takdir.

...bersambung...
Judul : Desa Misterius di Pedalaman Kalimantan
Penulis : Achmad Benbela
Part 25 : Bab 25 : Bimo Santoso

cc @IDN_Horor @FaktaSejarah @HorrorTweetID @HorrorBaca @bacahorror @ceritaht
#ceritahorror #bacahoror #kuyang #kisahseram Image
" Timba...terus timba !!!"

Samar-samar, terdengar teriakan dari sisi depan. Aku yang belum sepenuhnya sadar dari syok, tidak mengenali pemilik suara.

"Jangan bingung, terus timba !!!"
Perlahan, Aku membuka mata dan menoleh ke depan. Pak Kasno ! Sambil terpincang, pak Kasno memegang dayung dan mendorong kelotok agar tidak membentur batu.

"Terus timba !!! Kalau mau selamat kalian harus terus menimba !!!"
Aku tersadar. Hidup kami belum berakhir.

" Ayo timba !!!" Aku berusaha menyadarkan istriku yang diam mematung di tempatnya.

Istriku tetap tak bergerak, dihantui ketakutan akan kematian.
...byurr...

Kusiram air ke wajah istriku. Ia kaget dan berkelojotan. Tersadar, istriku segera mengambil gayung di depannya. Kami berdua lalu bahu membahu membuang air yang masuk ke dalam kelotok.
Tidak dipedulikan lagi ikan tapah, tidak dipedulikan lagi jeram ganas, kami terus berusaha bertahan hidup.

Di belakang kemudi, pak sekdes tak jua sadarkan diri. Entah telah mati atau hanya pingsan, kami tak sempat memikirkannya lagi.
Di sisi depan, pak Kasno dengan gesit mengarahkan perahu agar tidak membentur barisan batu besar. Dengan dayung ditangannya, pak Kasno mendorong batu-batu besar agar tidak tertabrak.
Berganti sisi, pak Kasno mulai mendayung di tengah jeram.

...sreeeekkkk....

Dinding kelotok bergesekan dengan sebuah batu besar. Kelotok bergetar hebat, kami yang di dalam hampir terbanting keluar.
Pak Kasno terus mendayung, mengarahkan kelotok melewati celah-celah batu.

"Terus timba !!!" Aku memberi perintah pada istri, lalu merangkak ke arah kemudi.

Perahu bergoyang bagai ayunan. Langkahku goyah dan terpeleset.
..buukk...

Aku terjatuh karena lantai yang licin tergenang air. Kepalaku membentur dinding kelotok, terasa sakit dan pening.

Melihatku terjatuh, istriku menjerit histeris.
"Terus timba !!!" Aku memberi perintah. Berpegangan pada sisi kelotok, aku kembali bangkit dan terus merangkak ke arah pak sekdes yang tak sadarkan diri.

Setelah beberapa kali terpeleset, aku berhasil mendekati pak sekdes.
Segera kuraih tubuhnya, kukaitkan tanganku diantara kedua ketiaknya.

"Aduuh " Aku berteriak kesakitan. Istirku kaget mendengar teriakanku. Setelah memastikan aku tidak apa-apa, istriku kembali menimba.
Gelang taring beruang milik pak sekdes menusuk lenganku. Dengan hati-hati, kugeser tubuhnya yang tergeletak tak berdaya.
Perahu mulai stabil, tidak ada lagi guncangan dan goyangan. Pak Kasno berhasil membawa kami menjauh dari barisan batu besar dan riam. Kelotok kini bergerak melewati riak-riak kecil anak jeram.
Tubuh pak sekdes kuseret ke tengan badan kelotok, dan istriku tak berhenti menimba. Air di dalam kelotok semakin berkurang, membuat kelotok semakin stabil.

Sambil terpincang, pak Kasno bergerak ke arahku. Sesekali ia melompat, menahan nyeri di kaki kirinya.
"Bagaiman pak sekdes ? " tanya pak Kasno yang telah jongkok di depanku.

Aku hanya menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa. Pak Kasno lalu memeriksa nadi di leher dan tangan pak sekdes.
"Alhamdulillah, masih hidup," ucap pak Pak Kasno pelan, "kalian terus saja menimba".

Tertatih, pak Kasno bergerak ke arah kemudi. Kulihat, jari-jari kaki kirinya membengkak.
..tok..tok...tok...cess...

Pak Kasno berusaha menyalakan mesin kelotok, namun tetap gagal. Setelah beberapa kali percobaan, usahanya akhirnya berhasil.

..tok...tok...tok...
Mesin kelotok kembali menyala, meraung-raung di tengah sungai yang dikelilingi belantara.
Aku dan istri menarik nafas lega. Tidak disangka, deru mesin kelotok yang bising benar-benar kami rindukan.
"Kita cari tempat istirahat " seru pak Kasno di balik kemudi.

Kelotok terus melaju di tengah sungai, seakan peristiwa mengerikan beberapa saat lalu tidak pernah terjadi.
Istriku membersihkan wajah pak sekdes yang masih tak sadarkan diri dan aku terus menimba sisa-sisa air di dalam kelotok.

***
Sudah 30 menit berlalu kami berada di sini, di salah satu sisi sungai. Pak Kasno menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat, tempat yang rindang dan terhalang cahaya matahari.
Tempat ini terlalu sepi, jauh dari peradaban dan manusia. Hanya ada hutan perawan, suara serangga, burung dan monyet yang saling bersahutan dari celah pepohonan.
Pak sekdes masih tergeletak di kelotok dan belum sadarkan diri. Bajunya sudah dilepas dan dijemur di kelotok, begitu pula bajuku dan baju pak Kasno. Sedangkan istriku, masih mengenakan bajunya yang basah.
Pak Kasno terlihat sibuk, memeriksa tiap senti badan dan mesin kelotok, memastikan tidak ada kebocoran atau kerusakan.

Setelah itu ia membongkar tas kedap air yang terikat di dekat kemudi, mengeluarkan isinya dan ia taruh di kelotok.
Dan aku, menemani istriku yang duduk termenung di atas tumpukan kayu yang berserakan di pinggir sungai. Istriku merangkul kedua lututnya, dengan wajah pucat pasi dan berlinang air mata.
Tak bersuara, istriku hanya duduk mematung dengan tatapan kosong ke arah sungai. Sesekali ia memainkan gelang rotan di tangan kirinya, kebiasaanya agar tetap tenang.
Rasa marah dan jengkelku pada pak Kasno kini berubah jadi rasa benci. Benar-benar benci. Akibat ulahnya, hampir saja nyawa kami melayang.
Dan mungkin, karena perilakunya yang ganjil, membuatnya dilempar oleh orang dinas pendidikan ke daerah ini, daerah pedalaman dan terpencil. Daerah tanpa listrik, tanpa sinyal, banyak hantu dan ikan Tapah.
Terpincang, pak Kasno melangkah mendekati kami berdua. Dia meringis kesakitan, namun aku tak peduli. Tanpa malu, pak Kasno langsung duduk di sampingku. Tas pinggang dan tas istriku ia serahkan.
Kuraih tas pinggang yang diserahkan pak Kasno, dan kuperiksa isinya. Meski sedikit basah, namun barang kami aman.

"Kelotok kita aman saja. Hanya goresan sedikit. Semoga pak sekdes cepat sadar." ujar pak Kasno sambil menahan perih di kaki.
Aku membuang muka, tidak menghiraukan ucapannya. Aku mendekap tubuh istriku, berusaha menenangkannya yang masih trauma dan syok.

"Maaf, aku tidak bermaksud mencelakai kalian." suara pak Kasno menghiba.
Aku tidak membalas sepatah katapun. Pikiranku menerawang di antara sungai, hutan dan hewan liar. Kami benar-benar berada di tempat terpencil, jauh dari peradaban.
"Aku tahu kalian marah. Dan kalian memang berhak marah." dengus pak Kasno.

"Beban menjaga wanita dari seberang pulau, membuatku hampir gila."
Aku menoleh, menatap wajah pak Kasno dalam-dalam. Istriku juga tersadar, dengan penuh rasa benci ia memandang wajah kurus pak Kasno yang duduk di sampingku.
"Dini hari tadi, pak Tingen memintaku untuk memastikan kalian tetap berada di Desa Muara Tapah. Beban ini terlalu berat bagiku, dan apa yang sedang direncanakan pak Tingen penuh resiko.
Taruhannya bukan hanya kalian, tapi anak dan istriku yang di kota kabupaten pun bisa terancam. Dendam telah membutakan pak Tingen. Dan rambut kuyang yang disimpannya, entah bagaimana telah mengantarkannya ke Desa Muara Tapah."
Aku dan istri tercekat, belum bisa mencerna kalimat pak Kasno seutuhnya.

Pak Kasno menoleh, menatap kearahku dan istri satu persatu. Berbeda seperti biasanya, tatapan pak Kasno kali ini terlihat lain. Penuh kegetiran dan penyesalan.
Sebenarnya aku tidak tega melihatnya seperti itu, tapi istriku punya pemikiran lain.

"Cukup pak Kasno, aku sudah muak !" Nada suara istriku meninggi. Ia bangkit dari duduk, bertolak pinggang, menatap pak Kasno dengan amarah.
"Aku sudah bosan dengan semua omong kosong ini. Omong kosong tentang wanita dari seberang pulau. Omong kosong tentang tumbal ! "
"Hari ini juga aku mau pulang !" Meradang, istriku kini menumpahkan amarahnya padaku. Kali ini aku dibuatnya tak berkutik, tak tahu bagaimana menenangkannya.
Aku bangkit berdiri, mencoba meraih istriku yang tersulut emosi. Percuma, tanganku ditepis dengan kasar.

"Hari ini juga, kita harus pulang mas !"

" Tapi sayang, barang kita..."
"Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya pulang !" teriak istriku.

"Sayang, pikirkan dulu. Kita baru beberapa hari..."

"Semua ini salahmu !"

"Ke-kenapa aku yang salah. Kamu sendiri yang memaksa ikut " terbata aku menjawab.
"Kalau kau tak bermain mata dengan si Narti, aku tak mungkin memaksa ikut !"

Aku terdiam, mulutku bagai terkunci. Istriku tersenyum sinis, ia menang. Memang, salah satu alasan kami ke Kalimantan adalah memperbaiki rumah tangga kami. Memulai semuanya dari nol
Aku terhempas, duduk di samping pak Kasno yang kebingungan. Pak Kasno melongo menyaksikan drama di depannya.

Aarrggghhh.... Aku menyesal, mengutuki diri sendiri. Andai dulu aku tidak iseng dengan si Narti, pasti tidak serumit ini.
Aku kembali teringat gadis muda itu, guru honorer yang manis. Guru honorer yang jadi rekanku mengajar sewaktu masih di Jogja. Guru honorer yang jadi kawan bercanda di ruang guru.
Andai saja, andai saja dulu aku mengaku telah beristri, pasti si Narti tidak akan mau mendekat. Andai saja aku selalu memakai cincin kawin saat mengajar, pasti kami tidak perlu pergi jauh ke Kalimantan.
Hingga semuanya terbongkar. Istriku tanpa sengaja menemukan pesan mesra Narti di handphoneku. Tidak, aku tak pernah menyentuhnya. Aku hanya menggodanya.
Namun istriku tak percaya. Ia mengamuk, si Narti dilabrak di sekolah. Sekolah riuh, Narti pingsan di ruang guru. Sekolah geger, guru-guru heboh.
Aku dicap suami mata keranjang dan tidak tahu diri. Sudah miskin, gaji kecil, hidup numpang orang tua, masih berani main perempuan lain.
Sejak saat itu, Narti menghilang entah kemana, tak kuat menanggung malu, tak sudi disebut pelakor. Hubunganku dan istri menjadi renggang. Ia mengancam cerai.
Kalau saja mertuaku tak turun tangan, mungkin kami sudah bukan suami istri lagi. Ibuku yang cerewet bahkan menjadi manis kepada istriku. Takut digosipkan tetangga punya anak suka main perempuan. Dirayunya istriku berhari-hari, dinasehatinya baik-baik.
Keras kepala istriku akhirnya melemah, sudi memaafkan. Apalagi saat itu ia tengah mengandung. Kami sepakat berbaikan, memulai dari nol. Namun ia justru keguguran.
Kami terpuruk, mencoba memperbaiki nasib. Hingga akhirnya aku dinyatakan lolos tes CPNS di Kalimantan. Istriku yang trauma atas perilakuku, memaksa ikut walau sudah kuminta bertahan dulu.
Ia takut aku kembali bermain mata dengan gadis Dayak yang terkenal cantik-cantik. Apalagi, ibuku kembali cerewet seperti semula, semakin kuatlah niat istriku untuk ikut merantau.
"Baiklah, kalau itu maumu" Aku mendongak, menoleh pada istriku yang masih berdiri di hadapanku.

"Tapi bukan sekarang"

"Kapan ?" suara istriku masih tinggi.
"Bulan depan, setelah gaji pertama. Kau akan kuantar pulang ke Jawa. Biar aku yang di sini hingga keadaan benar-benar stabil. Setidaknya, sampai anak kita lahir."

" Terserah. " istriku masih sinis.
Pak Kasno tampak terkejut. Karena ia tahu tak semudah itu mendapatkan ijin, apalagi aku masih calon PNS yang belum selesai masa percobaan. Namun aku tak peduli, setidaknya istriku tenang dulu.
...arrggghh...

Terdengar jeritan di kelotok. Kami semua kaget. Terpincang, pak Kasno berlari ke arah kelotok. Aku dan istri mendahuluinya. Benar saja, pak sekdes sudah sadar. Ia merintih menahan sakit di pelipisnya.
Pak sekdes tiba-tiba mencengkram tangan istriku. Matanya melotot dan istriku menjerit.

" Wanita dari seberang pulau, semua ini gara-gara kamu !" ujar pak sekdes geram.
...buukk...

Tubuh pak sekdes hempas di dalam kelotok. Kayu sebesar pergelangan tangan menghantam kepalanya. Sambil memegang kayu, pak Kasno memandang pak sekdes yang kembali pingsan tak berdaya.

...bersambung...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bang Beben

Bang Beben Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @benbela

Feb 1
-A Thread-

"Ritual Pesugihan Sate Gagak di Makam Massal Korban Kerusuhan"

Sebuah kisah dari seorang kawan yang kini mendekam di penjara.

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR

#bacahoror #threadhoror #ceritaserem #malamjumat Image
-Bismillah, kita mulai...

30 menit menuju pukul 12 malam, kami berlima harap-harap cemas. Sejak magrib, kami memang berkumpul di sini, di komplek kuburan massal korban peristiwa berdarah belasan tahun silam.
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, sementara suara serangga, burung hantu dan hewan-hewan malam semakin riuh. Pohon-pohon yang mengelilingi kumpulan nisan tanpa nama ini bergoyang pelan tertiup angin, membuat suasana malam ini terasa semakin meresahkan.
Read 134 tweets
Dec 28, 2023
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Bab 21 : Bawi Nyaring (Tamat)

cc @IDN_Horor @P_C_HORROR

Jangan lupa Repost, Kutip dan Reply yak. Selamat membaca.

#bacahorror #threadhoror #horror #horor #ceritaserem #kalimantan #dayak #banjar #malamjumat Image
Braaak…!

Pak Wardoyo tersungkur bersimbah darah. Pinggangnya robek dengan luka mengangga. Ia menjerit kesakitan lalu terguling ke sungai. Ternyata Galih telah datang dengan sebuah mandau. Ia mengibas mandau ke sana kemari membuat yang lain gelabakan.
“Dibyo, lari!!!”

Galih menarik lenganku, kami berdua lantas berlompatan di atas batu, meninggalkan mereka yang terbengong di belakang. Sesampainya di pinggir sungai, kami berdua berlari sekencangnya hingga keringat membasahi tubuh.
Read 77 tweets
Dec 24, 2023
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Bab 20 : Ganti Badan

cc @IDN_Horor @P_C_HORROR

Jangan lupa Repost, Kutip dan Reply yak. Selamat membaca.

#bacahorror #threadhoror #horror #horor #ceritaserem #kalimantan #dayak #banjar Image
---Lanjut---

“Apa yang kalian lakukan di sini?!” sentak lelaki yang membawa senapan angin.

Mina Kurik merangsek ke depan, mengeluarkan buntalan kain berisi tombak. Si lelaki meraih dengan cepat dan membuka bungkusannya.
Begitu melihat isinya, si lelaki tercenung. Ia lantas melirik para lelaki lainnya yang dibalas anggukan.

“Nenek yang kalian cari telah mati terpangang di gubuknya tiga tahun lalu.”
Read 59 tweets
Dec 21, 2023
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Bab 19 : Rahasia Dibyo

cc @IDN_Horor @P_C_HORROR

Jangan lupa Repost, Kutip dan Reply yak. Selamat membaca.

#bacahorror #threadhoror #horror #horor #malamjumat #ceritaserem #kalimantan #dayak #banjar Image
--Lanjut--

Sontak kami menjadi kaget mendengar apa yang diucapkan oleh Retno. Terlebih lagi bu Lastri dan Pak Wardoyo, mereka benar-benar kebingungan. Mereka bersikeras bahwa baru pertama kali ke Kalimantan dan selama ini tak tahu keberadaan Retno dimana.
Semua menjadi jelas tatkala Retno menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya. Kala itu baru seketar enam bulan Retno berada di pedalaman Kalimantan dan bekerja di sebuah Bank milik pemda.
Read 51 tweets
Dec 17, 2023
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Bab 18 : Sungai Darah

cc @IDN_Horor @P_C_HORROR

Jangan lupa Repost, Kutip dan Reply yak. Selamat membaca.

#bacahorror #threadhoror #horror #horor #ceritaserem #kalimantan #dayak #banjar Image
Bilah mandau melesat di samping, menggores pelipis dan membelah kuping kananku jadi dua.

Aku menjerit sejadinya hingga suaraku serak. Rasa perih terasa menjalar ke seluruh badan. Hampir saja aku terkena serangan jantung demi melihat darah membasahi pipi, leher, dan baju.
Rupanya pak Wardoyo berhasil menarik lenganku, sepersekian detik sebelum mandau melibas kepala dan mengeluarkan isinya.

Mandau hanya menghujam tanah persis di samping kepala, mengiris kuping jadi dua. Berhasil berdiri, aku gelabakan menjauh sambil memegang kuping yang terbelah.
Read 71 tweets
Dec 10, 2023
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Bab 17 : Kariau

cc @IDN_Horor @P_C_HORROR

Jangan lupa Repost, Kutip dan Reply yak. Selamat membaca.

#bacahorror #threadhoror #horror #horor #ceritaserem #kalimantan #dayak #banjar Image
--Lanjut--

Malam terasa hening di desa ini. Hanya ada satu dua orang yang lalu lalang menyusuri jalan.

Tidak ada lampu penerang jalan dan hanya ada sinar lampu temaram di teras rumah warga membuat jarak pandang terbatas.
Aku sedikit tenang dengan telah kembalinya Galih dan Ilham. Setidaknya ada tambahan lelaki muda untuk mengawali jalannya ritual nanti.

Malam itu kami bertiga berbincang di teras, menikmati rokok, minuman hangat serta singkong goreng.
Read 66 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(