Akhir pekan lalu berlalu pilu; 63 orang meninggal dunia di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Keterlambatan pasokan oksigen disebut jadi salah satu penyebabnya.
Sulitnya membela buruh perempuan di masa pandemi.
Cerita Dian Septi Trisnanti menghadapi COVID-19. Ia merupakan Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).
"We cannot afford to maintain this paradigm, not because it will prolong the pandemic and, in the long term, cripple the economy anyway, but because it has put the greatest burden on the shoulders of the people." @jakpost#YaAkuBakalDibacathejakartapost.com/academia/2021/…
Seorang perempuan yang tinggal sendirian; Diusir dari tempat indekos; Ditolak sana-sini; Dilempar ke sana kemari.
Semoga saja tidak, tapi besar kemungkinan kasus macam ini bakal sering terdengar seiring kolapsnya fasilitas kesehatan. #YaAkuBakalDIbaca
Barangkali biar tak terus menerus abai, perlu pertimbangkan saran @korantempo, "Presiden Jokowi sudah saatnya mengibarkan bendera putih. Mintalah pertolongan kepada negara lain yang berpengalaman serta lebih berdaya dalam melawan wabah." koran.tempo.co/read/editorial…
Di utas ini @evimsofian
merunut kebijakan pemerintah yang abai pada pertimbangan sains dan kesehatan plus suka cari dalih lewat kacamata ekonomi.
Sebulan terakhir, kami mencatat pelbagai stori pengalaman masyarakat adat menghadapi pandemi. Kearifan mereka tampak kontras dengan sikap dan kebijakan para pejabat modern di pusat-pusat pemerintahan.
Para pemuka adat gerak lekas. Terapkan karantina wilayah. Pertimbangan utamanya: kesehatan.
Sebaliknya, dari Istana, kebijakan PPKM Mikro diambil dengan pertimbangan kondisi "ekonomi, sosial, politik, dan pengalaman negara lain". Sama sekali tak menyebut soal kesehatan.
Dari tepian Nusantara, masyarakat adat juga mengajarkan solidaritas.
Sedulur Sikep di Kendeng, misal, menyuplai beras yang dijual dengan harga bersahabat untuk warga miskin kota di Jakarta.
Sedangkan di pusat negara seorang menteri korupsi bantuan sosial.
“Tidak perlu dibantu, negara tidak perlu pusing dengan desa Boti," kata Kepala Desa Boti, Balsasar O.I Benu.
Masyarakat adat Boti di Timor Tengah Selatan, NTT, gerak cepat saat Covid-19 mengancam. Alam dan adat jadi pelindung. Simak liputan dari Boti di projectmultatuli.org/boti-covid-19-…
Warga Boti setengah geram lantaran kecenderungan pemerintah melihat mereka dari kacamata urban: Mereka dianggap miskin, dan perlu bantuan.
Padahal mereka berkecukupan saat berdampingan dengan alam. Pun ihwal pandemi, mereka sudah bikin kebijakan menutup desa sejak April 2020.
Raja Boti, Namah Benu, langsung menerapkan penutupan akses masuk desa begitu dengar kabar pandemi.
Praktik ala masyarakat adat itu, kontras dengan gaya pemerintah yang buka pintu bagi warga yang pulang dari luar negeri. Imbasnya varian baru Covid-19 gentayangan di Indonesia.