Media sosial belakangan penuh sesak dengan permohonan bantuan: kebutuhan ICU, tabung oksigen, kondisi IGD, hingga kematian saat isoman. Kabar duka bergulir dengan cepat, dan terjadi kepada orang-orang terdekat. Kenapa, sebenarnya, kita bisa ada di titik ini?
Di atas kertas, sebetulnya Indonesia berpeluang melewati pandemi—atau minimal tidak ada dalam situasi seburuk ini. Beberapa prasyarat dan fasilitas sudah cukup menunjang. Namun, faktor kebijakan justru membuat peluang ini jadi sia-sia.
Semua potensi itu tidak bisa dimaksimalkan, dan saat keadaan memburuk di gelombang kedua, peluang untuk menyelamatkan banyak nyawa manusia terkikis. Kita semua tahu mengapa: sejak awal pandemi, pemerintah mengabaikan sains.
Bertolak belakang dengan gembar-gembor industri 4.0, sains tak pernah jadi panglima bagi kebijakan publik di Indonesia. Hal ini memengaruhi pengambilan keputusan negara, contohnya dalam penggunaan rapid antibodi sebagai metode diagnosis dan narasi efektivitas terapi Ivermectin.
Komunikasi pusat dan pemerintah daerah luar biasa buruk. Pemerintah kerap melontarkan pernyataan pseudosains dan chauvinis, melemparkan guyonan dan ujaran tanpa dasar ilmiah, membuat kesan bahwa COVID-19 bukan hal serius. Hasilnya, ribuan nyawa melayang.
Jebloknya kualitas demokrasi memperparah situasi. Indonesia mengulangi kesalahan India, yang juga dilanda konservatisme. Populisme Modi dan Jokowi cenderung mengabaikan pendapat para ilmuwan, mengedepankan narasi hiperbolis tentang keberhasilan pemerintah menangani pandemi.
Terima kasih telah hadir selama masa pandemi. Meski hanya dalam rangkaian kata bijak, pemerintah telah berhasil membawa kita hingga hari ini. Kalimat-kalimat dari pemerintah begitu dalam, multidimensional, dan menghangatkan sanubari.
Berikut kami tweetkan
Pernyataan Sikap Bersama Lintas Iman
Lawan Oligarki dan Pertahankan Demokrasi!
Demokrasi Indonesia berada dalam periode yang kritis. Dalam kurun waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan dan kebijakan yang oligarkis, represif, dan anti-demokrasi.
Dengan memanfaatkan masa waktu akhir jabatan untuk mengesahkan produk-produk legislasi yang menindas rakyat dan mendukung kepentingan oligarki, para elit politik ini membajak demokrasi untuk kepentingan mereka dengan menggunakan legislasi dan represi.