Kunamus~ Profile picture
Jul 19, 2021 191 tweets 27 min read Read on X
Kita mulai dari sini Image
Disclaimer !!!
Semua nama orang, tempat, dan waktu kejadian saya samarkan guna untuk menjaga privasi. Bagi yang sudah mengetahui nama lokasi sesungguhnya, saya harap cukup disimpan sendiri saja.
Kejadian ini saya ceritakan berdasarkan sudut pandang dari saksi mata yang mana beliau juga teman baik saya semasa di kampus dulu

Maka untuk menghormati beliau, mari saling menjaga privasi di tweet ini
Kejadian ini bermula di pertengahan tahun 2015, dimana waktu itu Kampus kami yg berada di Ibukota terbesar kedua sedang melaksanakan program KKN di salah satu desa di kaki gunung G***L**, kabupaten M
Sebut saja nama saya Atik. Bersama ketujuh teman saya : Diah, Wulan, Ika, Riko, Fajar, Dayat, dan Probo. Kami berangkat dari hingar bingar gemerlap kota menuju ke suatu desa tempat kami mengabdi selama 21 hari lamanya
Perjalanan kami tempuh selama 3 jam dengan menggunakan sepeda motor. Dalam perjalanan menuju desa tempat kami kkn, kami disuguhkan pemandangan gunung gunung dan perbukitan yang terhampar luas nan indah

Tak lupa pula kami berfoto foto sebentar untuk mengabadikan momen
Setelah bertanya tanya kepada penduduk sekitar, akhirnya kami akan memasuki desa. Desa ini lumayan terpelosok. Butuh waktu sekitar 15 menit naik motor dari desa terdekat dan 30 menit untuk akses ke jalan raya.

Gerbang desa yang sudah ditumbuhi lumut menyapa kedatangan kami
Sekilas tampak tak ada bedanya desa ini dengan desa desa yg lain bila diperhatikan ketika siang hari. Penduduknya beraktivitas seperti biasa, suasana juga sejuk asri.

Hanya saja walaupun terpelosok, rumah" di desa ini cenderung bagus bila dibandingkan rumah warga desa sebelah
Setelah memasuki desa, kami berhenti di balai desa. Tampak sepi. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 3 sore. Mungkin para perangkat sudah pada pulang.

Sampai tiba tiba kami dipanggil seorang wanita yang keluar dari ruangan bertuliskan "Dharma Wanita"

"Loh, sudah sampai?"
Beliau adalah bu Lurah. Orang paling dihormati di desa ini. Setelah saling memperkenalkan diri, kami diajak kerumah beliau

"Monggo, mas mbak. Ikut kerumah saya. Sekalian barang bawaannya dibawa saja. Nanti saya tunjukkan rumah untuk kalian menginap disini"
Kami menikmati suasana desa. Sejuk namun sepi. Pintu pintu rumah pun seperti tertutup rapat. Tidak seperti sore hari ditempat lain. Gumamku

"He, ojo ngelamun. Mikir opo to?" (Hei jangan melamun. Mikir apa sih) colek Wulan ke saya.

"Lah iyo, kayak kurang piknik" tambah Dayat
Saya cuman senyum kecut. Perasaan saya berubah menjadi tidak enak. Hawa sejuk gunung, berubah menjadi hawa dingin yang bikin tubuh saya mendadak jadi tidak enak.

Mungkin cuma perasaanku saja.
Aku coba membuat pikiranku agar tetap positif. Sambil sesekali melirik keadaan sekitar
Dan sampailah kita di tempat Bu Lurah. Rumahnya bertingkat dua, halamannya kecil namun rumahnya memanjang sampai ke kebun bambu belakang rumah.

Disamping kanan ada rumah pembantunya. Sedangkan di samping kiri ada bangunan menyerupai pura dengan asap dupa yang masih mengepul
"Yang kerasan ya mas, mbak. Saya seorang Janda. Sehari hari saya hidup ditemani pembantu saya. Anak saya dua, satu meninggal, yang satu lagi kulish di luar kota. Jadi anggap saja seperti rumah sendiri"

Kami semua terkagum, walaupun terpelosok rumah bu lurah ini lumayan bagus
Banyak ornamen ornamen klasik dan lukisan lukisan wajah wajah orang yang ditempel diruang tamu.

Kemudian beliau menjelaskan bahwa lukisan tersebut adalah para sesepuh dan nenek moyang keluarga dari Bu Lurah.

La niki musholae teng pundi buk?
(La ini musholanya dimana bu)
"Mushola ada diujung gapura desa mas. Kalau kejauhan, bisa sholat dikamar belakang dekat pintu dapur saja ya. Nanti biar pembantu saya yang menyiapkan"

"Untuk pembagian kamar, cewek tidur di kamar atas. Sedangkan yang cowok di rumah pembantu saya. Mungkin ada pertanyaan?"
Kami semua kompak mengiyakan. Mengingat kami adalah tamu dan hari juga mulai petang.

"Yasudah, mbok yem yang cowok tolong diantar. Dan untuk cewek mari saya antar ke atas"

Kami berpencar rumah, membersihkan diri, menata kamar dan kemudian bersiap untuk ibadah sholat Maghrib.
Adzan Maghrib menggema begitu pelan. Para laki laki kami lihat sudah memakai sarung dan berjalan menuju surau. Sementara untuk cewek, kami sepakat untuk ibadah di rumah saja

"Ayo sholat" ujarku
"Budalo 2-2 sek. Gantian cek gak bek kamare"
(2-2 saja, biar kamarnya gak penuh)
Akhirnya saya dan Ika yang turun untuk sholat duluan. Oh iya, kamar mandi dan tempat wudlu berada di luar rumah. Sedangkan untuk toilet berada di sebelah kamar mandi membelakangi barongan (hutan bambu)

Aku pertama kali mengambil wudlu. Ika aku surung nunggu diluar.
Saat mengambil air wudlu, bulu kudukku merinding bersamaan dengan bunyi gesekan batang batang bambu yang tertiup angin.

Sayup sayup kudengar suara wanita tertawa. Selesai wudlu, aku memanggil Ika.

"Ik.."
Hening. . .

"Ika, he ojo guyon koen"
(Jangan bercanda kamu)
Aku keluar kamar mandi. Tidak ada siapa siapa disana. Aku menoleh ke toilet juga dalam keadaan kosong. Sontak aku lari ke kamar yg sudah disulap menjadi mushola.

Aku sholat, mencoba untuk khusyuk. Namun perasaanku mengatakan bahwa ada orang yang mengawasiku dibelakang.
Bacaan sholatku menjadi belepotan. Pikiranku tidak bisa tenang. Keringat mulai membasahi keningku. Walaupun saat itu suhu lumayan dingin.

Selesai sholat, aku salam dengan sedikit menoleh kebelakang.

Dan memang benar tidak ada siapapun disana.

Aku beranjak, lari menuju kamar.
Disana ada Diah dan Wulan yang asik rebahan. Melihatku lari menuju kamar, mereka sontak bertanya

"Loh lapo melayu?"
(Ngapain lari?) tanya Diah

"Endi Ika?"
(Mana Ika?) Imbuh Wulan.

Aku belum berani berkata jujur. Aku cuma bilang kalau dibawah dingin, jadi aku tinggal Ika.
5 menit berselang Ika kembali ke kamar dengan ekspresi marah.

"Koen tego yo tik, dienteni ng jeding aku malah mok tinggal mlayu. Giliran aku sholat, aku mok tinggal pisan"
(Tega ya kamu, ditunggu di kamar mandi malah ninggal, aku sholat juga kamu tinggal juga).
Lah, perasaanku tadi aku gak liat dia di kamar mandi dan musholla. Akhirnya daripada ribut dan membuat mereka takut, aku pun minta maaf dengan membuat alasan aku kedinginan.

"Ya mene mben iku kondo, ojo main ilang ae"
(Ya lain kali itu bilang, jangan langsung ilang) tutur ika
Sambil mencoba menenangkan diri, akhirnya tiba juga jam makan malam. Pembantu bu Lurah, sebut saja mbok yem sudah memasakkan hidangan untuk kami semua.

Para coeok sepulang dari mushola ikut menata makanan di teras depan.

"Bu lurah pundi mbok?"
(Bu lurah dimana mbok) tanya Fajar
"Bu lurah lagi ibadah den, monggo duluan saja. Gausah ditunggu"
(Bu lurah masih beribadah, silahkan makan duluan saja. Tidak usah ditunggu)

Mendengar itu para cowok langsung mengambil nasi dan lauk yang sudah dihidangkan. Temen temenku cewek juga seperti sudah kelaparan.
Sambil mengambil nasi, aku berpikir.

Aneh.

Ini tuan rumah malah tidak ikut makan bersama. Mungkin beliau khusuk jadi ibadahnya lama. Pikirku

Setelah makan malam, mbok yem pun menyuguhkan kopi, teh hangat dan gorengan untuk menemani kami membahas program kerja di desa ini
"Kita kan mau membangun bank sampah, enaknya lokasinya dimana?"

"Bagaimana kalau di dekat mushola desa?"

"Hus, ngawur ae. Tempat ibadah kok sebelahnya mau dijadikan tempat sampah"

"Di sisi selatan bagaimana?"

"Haduh jangan, tadi aku sudah dibilangin kalau disana makam desa"
Saat kami ribut saling melempar pendapat, disitulah Bu Lurah hadir.

"Haduh, maaf ya mas mbak baru ikut gabung. Jadi bagaimana ini program kerjanya?"

Kemudian Probo menjelaskan bahwa kami akan membuat Bank sampah agar pengelolaan sampah di desa ini bisa di manajemen dengan baik
"Oh bagus itu. Saran saya dibangun di pojok dekat Barongan perbatasan hutan sana saja ya. Kalau sampah rumah tangga nanti dipilah, sisanya seperti sampah daun/organik nanti dibakar saja"

Kami saling lihat, sedikit ragu.

"Apakah tidak apa apa bu?" Tanya Riko dengan nada cemas
"Loh ya ndak papa to mas. Malah aman. Kalau berbau kan jauh dari rumah warga. Dan kalau dibakar pun asapnya juga tidak menggangu pernafasan. Nanti ibuk bantu mempersiapkannya"

Sebagai tamu, kami hanya pasrah menerima masukan ini. karena bagaimanapun beliau lebih paham tempat ini
Namun siapa sangka, pemilihan lokasi inilah yang menjadi asal muasal rentetan kejadian ganjil selama kami KKN di desa ini
Keesokan harinya, tim kami menjadi dua. Saya, Wulan, Riko dan Probo pergi ke lokasi yang akan dijadikan bank sampah. Sementara Ika, Diah, Fajar dan Dayat pergi ke pasar untuk berbelanja

Sesampainya di lokasi, perasaan kami dibikin ngeri oleh tempat yg akan dijadikan bank sampah.
Pasalnya, tempat itu berada persis dibawah barongan. Dengan sungai disebelah kirinya dan sebelah kanan adalah perbatasan dengan hutan. Bisa dibilang memang lokasinya persis ditengah tengah.

"Udah, daripada mikir aneh-aneh mending langsung dibersihkan saja" ucap Probo
Segera kami menyapu dan menata tempat ini sebersih dan serapi mungkin menurut penilaian kami.

Saat kami beristirahat, kami melihat orang yg tengah hendak pergi ke hutan. Wulan pun menyapa

"Pak"
Orang itu berhenti, melihat kearah kami. Sorot matanya sayu, namun tak berucap sepatah kata pun.

Ketika ia ingin berangkat, ia melihat kearah kami semua. Sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya.

"Sombong sekali, disapa malah diem ae" ucap Riko
"Huss, jangan gitu. Gak baik membicarakan orang desa" ujarku

Meskipun aku sendiri setuju dengan Riko perihal sikap dari bapak tadi.

Seolah beliau memberikan sebuah pesan yang saat itu kami belum bisa menterjemahkannya.
Kemudian dari jauh, samar kami melihat teman teman kami telah kembali dari pasar. Mereka rupanya didampingi oleh seorang tukang yang ternyata utusan dari Bu Lurah untuk membantu program kerja kami.

Saat akan mendirikan bambu beliau berkata,

"Yakin ta ndek kene?"
(Yakin disini?)
"La disuruh Bu Lurah disini kok pak. Memangnya ada apa?"

"Owalah yasudah mas, ndak ada apa apa. Mari saya bantu biar cepat selesai" sahut beliau panik. Kami terheran, namun juga tak mampu berbuat banyak.

Singkat cerita jadilah bangunan kecil yang akan dipakai menengadah sampah
Kemudian ditengah tengah bangunan itu, kami sekat di tengah-tengahnya guna membedakan antara sampah rumah tangga dan sampah organik.

Tak lupa pula kami sediakan wadah penampung, timbangan dan karung untuk mempermudah proses pemilahan sampah.
Jam menunjukkan pukul 2 siang. Bapak tukang tadi kemudian pamit pulang duluan dengan alasan masih ada pekerjaan dirumah.

Kami mengucapkan terimakasih dan ingin memberi beliau sedikit uang tip. Namun beliau menjelaskan bahwa sudah diberi oleh bu Lurah.
Saat kami hendak pulang, tiba tiba bu Lurah datang.

"Wah ini cocok ini buat disini. Pasti suka kalau ada rame rame disini"

Suka?

Rame-rame?

Maksudnya?
"Rame-rame pripun ya bu?" (Rame-rame bagaimana ya bu?) tanya Dayat.

"Ya rame to mas, disini jadi tidak kosong. Nanti juga biar warga bisa belajar memilah sampah. Biar warga itu ndak buang sampah sembarangan lagi" Ucap Bu Lurah sedikit tergopoh-gopoh.
Aku dan Probo saling lirik. Rupanya dia merasakan juga apa yang kurasakan bahwa ada sesuatu yang janggal disini.

"Yasudah, kalau sudah rampung ayo balik ke rumah. Simbok sudah masak lho. Nak Wulan sama Diah, bisa bicara dengan Ibuk sebentar?"

"Nggeh buk" ucap mereka serempak
"Kalian duluan saja, nanti ibuk nyusul".

Kamipun berjalan menuju rumah bu Lurah. Dan seperti kemarin sore ketika kami datang kesini, tidak ada aktivitas pun yang terjadi di luar rumah.

Semua rumah sudah tertutup rapat. Bahkan tak ada anak anak main diluar rumah.

Hening sekali
Yang menemani langkah suara kaki kami hanyalah banyolan dari riko dan probo ditemani desiran angin yang membuat suara bambu bergesekan.

Sekedar informasi bahwa desa tempat kami KKN dikelilingi oleh rimbunnya pohon bambu. Dari gapura sampai batas hutan.

Seperti dibentengi bambu
Sesampainya dirumah, para pria langsung bergegas mandi. Sementara aku dan Ika membantu mbok yem menata makanan di teras.

Aruma dupa yang berasal dari tempat seperti pura didepan rumah membuat Ika bertanya pada mbok yem

"Ibuk agamanya apa to mbok?"

Mbok yem seperti terdiam.
"Mbok?" Senggol saya

"Anu, maaf non. Saya lupa kalau tadi belum bikin kopi. Saya tinggal kedapur dulu ya"

Kami berpandangan. Sedikit berbisik kami mulai curiga

"Aneh gak se karo simbok?"

"Ho oh, mosok koyo keweden ngunu. Opo jangan jangan"
(Iya, seperti takut. apa jangan")
"Huss. Wes ojo macem macem. Iling kene nunut ndek kene. Dijarno wae"
(Huss. Sudah jangan macam macam. Ingat kita numpang disini. Biarkan saja) tuturku kepada Ika.

Tak lama berselang para cowok ikut bergabung di teras, disusul dari pagar muncul Bu Lurah dengan Wulan dan Ika
"Wes, yang cewek segera mandi. Yang cowok segera ke mushola. Sudah sorop. Nanti kemalaman. Biar ibuk tunggu makanannya"

"Nggeh buk" kami pun bergegas bubar. Sesampainya di kamar, aku mencoba tanya kepada Wulan.

"Bu lurah maeng cerito opo e?"
(Bu lurah tadi cerita apa?)
. . .

"Lan Wulan" getakku

"Hah, opo?"

"Bu lurah maeng lapo ae ng koe?"
(Bu lurah tadi ngapain aja ke kamu?)

"Ndak lapo-lapo. Wes ayo ndang adus. Bareng gak?"
(Ndak ada apa". Sudah ayo mandi. Bareng ndak?)

Melihat gelagat aneh Wulan, membuat saya dan Ika curiga.
Terlebih Diah juga diam saja. Tapi ya sudahlah mungkin mereka kecapekan batinku.

Aku dan wulan kemudian menuju kamar mandi. Sayup sayup terdengar adzan Maghrib berkumandang.

"Aku disik yo Tik. Enteni. Ojo ninggal"
(Aku duluan ya.Tungguin. Jangan ditinggal)

"Iyo, cepet" sahutku
Sorop. Pergantian antara siang dan malam. Dimana menurut kepercayaan orang Jawa adalah waktu bagi para hantu keluar.

Dan di saat sorop itulah konyolnya aku berada diluar, menunggu temanku mandi, dengan suguhan pemandangan hutan bambu yang tak henti berdecit digoyang angin
Angin berhenti berhembus, kurasakan hawa semakin dingin. Namun deretan pohon bambu tak berhenti bergoyang-goyang.

Aku merinding. Aku pukul pintu kamar mandi

"Lan, cepet"

Sekonyong-konyongnya dalam rimbun pohon bambu itu, aku melihat dua mata menyala merah menatap kearahku
Sosoknya tinggi, setinggi pohon bambu. Tubuhnya berbulu hikau seperti bambu

Bibirku gemetar, mataku mulai menangis.

"Lan, cepet talah ayo" sambil kugedor pintu kamar mandi.

"Sabar. Iki ket mari"
(Sabar, ini baru selesai) sambil membuka pintu kamar mandi.
Tanpa bicara sepatah kata pun, kutarik tangannya masuk kedalam rumah. Dia melihatku ketakutan. Kemudian memelukku sambil bertanya

"He, ono opo?"
(He, ada apa?)

Kucoba untuk menenangkan diri. Sambil terisak aku bercerita bahwa ketika aku menunggunya mandi, aku melihat sosok itu.
"Genderuwo, gede dukur. Tapi wernone ijo. Tapi ojo kondo arek" yo. Pliss. Aku gak pengen Ika ambek Diah wedi gara gara aku"

(Genderuwo, besar dan tinggi. Tapi berwarna hijau. Tapi tolong jangan bilang teman teman ya. Aku tidak ingin Ika dan Diah takut gara gara aku)
"Yawes, iki ngombeo sek. Tenangno awakmu. Aku maeng asline yo krungu wong lanang dehem, tak kiro awakmu ta arek arek lanang gudo. Terus aku iling nek arek lanang podo ng mushola"
(Yasudah tenangin diri dulu. Aku tadi juga denger suara cowok,terus aku ingat kalo cowok" ke mushola)
Kami tidak jadi sholat. Kami kembali ke kamar. Tentu aku sudah menghapus air mata dan menenangkan diri terlebih dahulu.

"Gelise"
(Cepetnya)

"Iyo, adem ndek nisor. Awakmu sido adus Ik?"
(Iya dibawah dingin, kamu jadi mandi Ik?)

"Wes peteng. Wedi aku"
(Sudah gelap. Takut aku)
"Yawes, ayo makan lek ngunu"

Kemudian kami berempat turun ke bawah menuju teras. Disana bu Lurah ngobrol dengan para cowok. Aku yang baru saja melihat kejadian itu hanya bisa memendam sementara.

"Nah iki wes kumpul, ayok makan"
Kali ini Bu lurah sendiri yang membagikan piring
Ketika makan malam, hanya Probo yang memperhatikanku. Seolah dia tau baru ada sesuatu yang menimpaku.

Dalam suasana tersebut, Dayat memberanikan diri bertanya
"Buk, dupa teng mriku damel nopo nggeh?
(Buk, dupa disitu buat apa?) Sambil menunjukan jari kearah bangunan pura
"owalah, buat wangi wangian saja kok mas. Ya masak ada banyak orang ndak dikasih wewangian ya ndak enak. Bener kan?"

Dayat manggut manggut, kemudian meneruskan makannya.

"Mas, mbak. Permisi saya tinggal ibadah ke kamar dulu nggeh. Silahkan diteruskan makannya"
Setelah selesai makan dan merapikan tempat teras, kami melanjutkan diskusi mengenai proker.

"Tik, awakmu ndak opo?"
(Tik, kamu baik baik saja?)

"Eh, gak popo bo. Enek opo emang?"
(Eh, gakpapa bo. Ada apa emang?)

"Nggak, aku cuma keroso ndak enak ae hawane"
"mek perasanmu ae paling bo"
(Cuma perasaanmu saja paling bo)

"Iyo paling, mugo ae gak enek opo-opo"
(Iya mungkin, semoga tidak ada apa-apa)

"Iya, aamiin"

Suasana malam yang sunyi, serta hawa dingin yang semakin menusuk membuat kami mengakhiri diskusi untuk malam ini.
Dalam perjalanan menuju kamar, kucium aroma dupa dan bunga kenanga saat melewati kamar Bu Lurah.

Kebetulan kamar bu Lurah berad di tengah tengah rumah.

"Tik, ayo" ucap Ika.

"Disik o"
(Duluan aja) ucapku pada teman-teman.
Aku terdiam, mencoba menajamkan indera penciumanku. Apa benar ini wangi ini berasal dari kamar bu lurah?

Saat itu pula wangi itupun semakin menguat, mendadak bulu kudukku berdiri.

Ketika ingin melangkah pergi, tiba tiba bu Lurah keluar dari kamar. Di dalam sekilas tampak gelap
"Eh nak Atik, ada apa? Ada yang bisa ibuk bantu?"

"Ndak buk. Cuma tadi cium bau wangi saja"

"Oh, mungkin dari dupa yang ibuk pasang di depan"

"Nggeh buk. Ibuk, tadi saya liat sosok genderuwo dibelakang kamar mandi, apa memang ada?"

Bu lurah tersenyum, sambil berkata pelan
"Owalah sudah ngerti to. Itu cuma menyambut nak Atik. Selama kamu gak aneh aneh di desa ini, dia tidak akan mengganggumu. Oh iya. Itu bukan genderuwo. Itu namanya Buto Ijo"

"Pripun buk?"
(Bagaimana buk?) Ucapku menangis lirih

"Wes tenang, awakmu bakal aman"
(Tenang, kamu aman)
"Yang penting kamu nurut sama ibuk. Gausah cerita ke teman temanmu ya. Biar mereka nanti tau sendiri" ucapnya tenang.

"Saiki ndang balik ng kamar, istirahat yo nduk. Wes bengi"
(Sekarang segera balik ke kamar ya nduk. Sudah malam)

Aku hanya diam, tanpa membalas ucapannya.
Sesampainya di kamar aku langsung membaringkan tubuhku. Teman teman menanyaiku ada apa?

Aku cuma menjawab sudah ngantuk dan kedinginan.

Dalam hati aku ingin sekali pulang, tapi aku juga tidak tega meninggalkan teman"ku disini

Sedangkan bu Lurah mulai menunjukkan siapa dirinya.
Pagi-pagi sekali aku terbangun karena adzan Subuh yang kudengar sangat lirih. Kulihat Ika, Wulan dan Diah masih tidur berselimut.

Kuberanikan turun untuk melaksanan sholat subuh walau harus ke kamar mandi sendirian.
Sampai disana, bayang-bayang buto ijo kemarin masih samar terbayang. Keadaan memang cukup gelap di kamar mandi. Karena penerangan hanya ada di pintu dapur sebelum keluar ke kamar mandi.

Itupun hanya menggunakan lampu dop 5 watt.
Alhamdulillah, tak ada gangguan sampai pagi menjelang. Kita semua bersiap untuk beraktivitas.

Namun wajah Fajar terlihat seperti orang yang kurang tidur.
“Awakmu ndak popo kan? Kok pucet” (Kamu ndak papa? Kok pucet) tanya Ika
“Aku maengbengi koyo ngimpi. Ketindihan wujud gede. Mripate abang. Aku nyeluk arek” tapi gaiso. Dan koyok e cuma aku sg kenek”

(Aku tadi malam seperti mimpi. Ketindihan sosok besar. Matanya merah. Aku manggil teman-teman tapi tidak bisa. Dan kayaknya cuma aku yg kena)
Aku melihat Probo, Riko dan Dayat. Memang dari ke-empat cowok itu, Cuma Fajar yang wajahnya tampak lesu.

“Nek gak enak awak, mending istirahat ndek omah ae Jar” (Kalau tidak enak badan, mending istirahat dirumah aja Jar) sahut Ika.
Tiba-tiba Fajar mengangkat telunjuk ke mulutnya
“Aku emoh nang omah ijen. Simbok koyok e nguwasi kene terus. Feelingku gak enak”. (Aku ndak mau dirumah sendirian. Simbok kayak ngeliatin terus. Feelingku gak enak)

Kami saling pandang. Kemudian setelah menenangkannya kami pun mengajaknya ke lokasi Bank sampah.
Setelah sarapan dan ingin berangkat menuju lokasi, Bu Lurah keluar dari dalam rumah.

“Wah sudah mau berangkat, hati-hati ya mas mbak. Tapi ibu boleh minta tolong sama nak Wulan dan nak Diah sebentar? Ibu mau ada acara di balai desa soalnya”

“Oh nggeh buk” sahut Wulan dan Diah.
Aneh.

Dari kemarin kemarin Bu Lurah seperti akrab Cuma kepada Diah sama Wulan.

Ada apa sebenarnya?
Sebelum berangkat, aku sempatkan untuk menoleh kepada bu Lurah yang sedang berbicara sama Wulan dan Diah.

Spontan pandangannya menuju kearahku.

Beliau tersenyum.

Tidak, bukan tersenyum. Lebih menyeringai daripada sebuah senyuman.
Kami pun sampai di lokasi bank sampah. Anehnya tiba-tiba keranjang yang kemarin kami sediakan kosong, tiba-tiba penuh dengan daun bambu yang sudah kering.

“Mungkin warga desa sudah dikasi tau sama bu Lurah” tutur Riko
Karena dirasa sudah cukup personil, tim kami bagi dua.

Aku, Ika dan Riko akan melakukan sosialisasi kerumah warga, sementara sisanya akan stay di bank sampah.

Saat kami keliling desa, jalan desa nampak lengang. Mungkin sedang bekerja di ladang atau luar desa.

Pikirku.
Sampai kami tiba di salah satu rumah yang menjadi tempat rumpi ibu-ibu desa.

Rumahnya berada di samping Mushola desa. Kami disambut hangat.

Setelah kami memperkenalkan diri, menjelaskan maksud tujuan proker kami. Ternyata mereka cukup antusias mendengarkan.

Sampai . .
“Iki lokasine neng ndi to le?” (Ini lokasinya dimana to nak)

“Teng pojok deso buk” (Di pojok buk)

“Loh, pojok deso sebelah ndi?” (Loh, pojok desa sebelah mana)

“Nggeh sing perbatasan kale dalan badhe melbet teng alas” (Yang tempatnya perbatasan dengan jalan masuk ke hutan)
Sontak seperti ada kengerian dalam raut muka mereka.

“Warga mriki sampun ngertos lokasine nopo?” (Warga sini sudah tau lokasinya?)

“Durung le, emange sopo sing ngongkon gawe panggonan ndek kunu?” (Belum nak, memang siapa yang menyuruh membuat lokasi disitu?)

“Bu Lurah buk”
Sontak para ibu-ibu tersebut seperti berbisik-bisik satu sama lain.

Kami bertiga pun hanya menunggu apa yang sedang mereka bicarakan.
Setelah dirasa cukup, salah satu dari mereka pun berbicara. .
“Le, nduk. Ikungunu nggon wingit. Tapi mugo ae ndak enek opo-opo yo. Ndungo singg akeh ae nggeh. Podo dijogo konco-koncone”

(Nak, itu tempat angker. Tapi semoga saja tidak ada apa-apa. Banyak-banyak berdoa ya. Teman-temannya dijaga)
“Loh wingit yoknopo buk?” (Loh angker bagaimana buk?) kejar Riko

“Wes saiki susulen kancamu sg ndek kono. Wes kate sorop. Ojo sekali-kali metu ng dalan pas wayah bengi yo. Nek ono perlu mending metu pas wayah isuk sampek awan ae”
(Sudah, sekarang jemput temanmu yang ada disana. Sudah mau sorop. Jangan sekali-kali keluar ke jalan pada waktu malam ya. Kalau ada perlu mending keluar waktu pagi sampai siang saja)

Kami yang diliputi berbagai pertanyaan tak bisa berbicara banyak.
“Ko, ayo arek-arek disusul” (Ko ayo temen* dijemput)
“Iyo, pikiranku gak enak iki”

Kami jalan setengah lari kearah lokasi bank sampah.

Disana sudah bergabung Bu Lurah beserta Wulan dan Diah. Melihat kami ngos-ngosan beliau bertanya

“Ada apa to kok lari-lari segala”
“Buk kata orang-orang di Mushola tadi disini tempat angker,apa betul itu?” Riko mencerca

“He, kata siapa angker itu. Orang aman-aman saja gini lho”

“Lalu kenapa tadi pagi tiba-tiba keranjang kami penuh daun bambu kering buk?” tanya Probo
“Ya piye to mase, lha wong ini lokasinya di kaki gunung. Anginnya juga kenceng. Terus belakang juga ada barongan.

Ya daun daun kering tadi kesapu angin. Terus masuk ke keranjange sampean. Iyo to ora?” Beliau menegaskan.
“Wes talah, aman-aman. Manut ae karo ibuk. Ndak usah dirungokke ucapane warga kene” (Sudah-sudah, dijamin aman. Manut sama ibuk. Tidak usah dengerin ucapan warga sini) sambil tatapan matanya melihat kearahku.

Seolah memberi tanda.
Aku yang melihat itu cuma bisa tertunduk. Membayangkan ucapan beliau kemarin malam.

“Mas, mbak. Mungkin beberapa hari ini saya mau minjam Wulan sama Diah untuk membantu pekerjaan saya di balai desa. Boleh?” ucap bu Lurah.
Kami terdiam, saling pandang. Kemudian Probo meminta ijin waktu agar kami berdiskusi sejenak. Beliau mempersilahkan.

“Yo opo iki?” (Bagaimana ini) Probo membuka

“La mbuh” (Ya ndak tau) ketus Riko

“Iyowes, sakno bu lurah ijenan”
(iya sudah, kasihan bu lurah sendirian) ucap Ika
“Deal yo, Wulan ambek Diah piye?” (Deal ya, Wulan sama Diah bagaimana) sambung Dayat

“Iyo rek gapopo” jawab mereka serempak

Sekilas aku mencuri liat kearah mereka. Mereka menjawab, namun dengan tatapan mata seperti tatapan kosong.
Akhirnya karena beberapa dari kami sudah sepakat, maka Wulan dan Diah akan membantu bu Lurah bekerja saat pagi hari.

Setelah selesai baru kemudian bergabung dan membantu kami.
Singkat cerita, seminggu berjalan proker kami bisa dikatakan kurang bekerja secara maksimal.

Pasalnya banyak warga yang kami temui merasa enggan untuk menyetorkan sampahnya ke bank sampah kami.

Dengan berbagai alasan, mulai dari punya pembuangan sendiri, dibakar sendiri,
Sampai ada yang bilang sudah punya pengepul sampah sendiri.

Malah yang meramaikan bank sampah kami adalah orang-orang yang kami jarang lihat dari desa ini.

Ketika ditanyai darimana mereka berasal, mereka hanya menjawab suruhan dari bu Lurah yang berasal dari dusun sebelah.
Kami yang tak mau ambil pusing pun, langsung bekerja se-normal mungkin dan mengambil dokumentasi sebanyak mungkin.

Minggu pertama benar benar kami lewati dengan keadaan mental yang naik-turun.
Setiap malam, ketika kami menyusun laporan. Terlihat bagaiamana Wulan dan Diah sudah semakin akrab dengan bu Lurah.

Kemana-mana mereka selalu bertiga. Bahkan pernah beberapa kali Wulan dan Diah masuk kamar bu Lurah dan menemani beliau tidur.
Dan setiap kali kami lewat depan kamarnya, bau dupa dan kembang kenanga menusuk sangat menyengat.

Tidak ada satu orang pun yang berani mengetuk atau bertanya kepada bu lurah apa yang beliau lakukan didalam kamar.

Bahkan oleh simbok sendiri.
Sementara itu, sosok buto ijo yang kutemui dibelakang kamar mandi kini mulai berani menampakkan dirinya secara intens.

Sore itu dingin sekali. Sehabis mandi aku dan Ika melakukan sholat. Waktu Ika sedang mau sholat, aku ijin terlebih dulu naik ke kamar karena memang kedinginan.
Saat akan kembali naik melewati pintu dapur, kebetulan pintu dapur masih terbuka

Saat akan menutup, sosok itu menyeringai dari rimbunnya pohon bambu. Sambil teriak dia berlari kearah kamar. Memelukku kemudian menangis sejadi-jadinya.

Saat kutanya ada apa, ia kemudian bercerita
Aku pun secara tidak langsung kembali teringat sosok itu.

“Ayo moleh Tik, aku wedi ndok kene” (Ayo pulang Tik, aku takut disini)

“Sing kuat yo, kari diluk. Dikuat-kuatno. Dungo sg akeh ya” (yang kuat, tinggal sebentar lagi. Dikuat-kuatkan. Berdoa sebanyak mungkin) hiburku
Yang lebih menjengkelkan adalah disaat kami berdua ketakutan seperti itu, baik Bu Lurah, Wulan, Diah dan mbok yem seperti tidak peduli mendengar kami menangis di kamar atas.

Seolah-olah hal tersebut memang hal biasa terjadi di desa ini.
Bersamaan itu pula nasib apes silih berganti mendatangi kami.

Baik Probo, Dayat, Fajar dan Riko silih berganti mengalami ketindihan ketika tidur malam hari.

Efeknya saat mereka melaksanakan prokes, mereka selalu gampang kelelahan dan mudah mengantuk.
Kejadian janggal selanjutnya adalah ketika bak sampah selalu penuh dengan daun bambu terjadi setiap hari.

Bahkan kadang kami seperti menemukan bulu bulu halus berwarna hijau.

Karena kami tidak ambil pusing, kami mengasumsikan sebagai bulu burung liar yang hidup di hutan.
Hampir jarang sekali ada warga desa yang berangkat menuju bank sampah kami. Yang sering ya hanya segelintir orang yang mengaku disuruh oleh Bu Lurah.

Entah bagaimana nantinya kami memaparkan hasil proker kami ini.
Sampai pada suatu sore, saat hendak masuk kedalm rumah, Dayat iseng pergi menuju bangunan yang menyerupai pura.

Walaupun saat itu kami sudah melarang, namun Dayat dengan rasa ingin taunya tetap nekat mendekat.

Begitulah manusia, demi rasa ingin tau kadang ia lupa akan batasan.
Bangunan itu sekilas nampak seperti pura. Memiliki satu pintu yang digembok dan dibawahnya terdapat sesajen dan dupa yang masih menyala.

Dayat melihat dipinggir sesajen, dibawah segelas kopi terdapat seperti sebuah kertas.

Saat Dayat mencoba melangkah masuk, Bu Lurah keluar
“Nek gak eroh opo-opo, ojo sembarangan melbu yo le. Gak sopan”

(Kalau tidak tau apa-apa, jangan sembarangan masuk ya. Tidak sopan) Dengan nada seperti memperingatkan.
Akhirnya Dayat beringsut mundur. Ia meminta maaf kepada bu Lurah.

Setelah itu giliran Probo dan Riko menertawai Dayat
“Kandani kok, makane mene mben gausah aneh-aneh” (Sudah dikasih tau, makanya besok besok gausah aneh-aneh)
Semenjak Aku dan Ika "pernah" melihat sosok itu, kami berdua selalu berinisiatif untuk mandi lebih awal.

Dan ketika masuk waktu sholat, kami ikut berjamaah dengan para cowok. Ada sedikit kenaeham ketika kami mengajak Wulan dan Diah, bila diajak mereka akan bilang
“Duluan aja”
Probo yang heran melihat perubahan pada tingkah kami pun bertanya

“Lapo kok saiki melu jamaah ng mushola” (kenapa sekarang ikut jamah ke mushola?)

“Aku mari diketok . .” (aku habis li..)

Belum selesai Ika ngomong, tanganku langsung sigap untuk menutup mulutnya”
“Ketok opo?” (Liat apa?)

“Gak bo, gak ono opo-opo” (Gak bo, gak ada apa-apa)

Aku dan Ika saling berpandangan, mungkin Ika sudah mengerti kode dari tatapan mataku bahwa tidak baik untuk menceritakan semuanya disini.
“Owalah bekne pernah ketok, soale aku ambek arek-arek wes tau diketok i soale” (Owalah barangkali pernah liat, soalnya aku sama anak-anak pernah liat soalnya)

“Ha… ndelok opo?” (Ha, liat apa?) sentakku
“Ssttt, ojo get-get. Ngko krungu danyange kene” (Sst, jangan keras-keras nanti kedengeran penunggunya sini)

“Yawes tenang, ceritoe ndek kamar omahe mbok yem ae” (ya sudah tenang dulu, ceritanya dikamar rumah mbok yem aja) tutur Riko.
Kami bersepakat.

Selepas sholat isya, kami ber enam kembali menuju rumah mbok yem.

Suasana jalan yang sunyi membuat siapapun yang lewat akan bergidik ngeri.

Setelah sampai, Probo membuka
“Wes sopo sek sg mulai cerito iki?, Jar?” (Siapa dulu yang mulai cerita? Jar?)
“Sakmariku ketindihan kae,ben kate turu iku aku gaiso tenang. Mesti koyok gerah hawane. Padahal tak delok arek-arek liyane podo selimutan.

Pernah aku ngelak terus ng dapur. Lha kok aku ng dapur ngerti ono wujud bayangan gede metu menjobo. Aku wurung ngombe terus balik kamar”
(Sebenarnya setelah ketindihan, hampir setiap mau tidur aku gak bisa tenang. Hawanya bikin gerah. Padahal kuliat yang lain selimutan. Pernah aku haus terus pergi ke dapur. Lalu tiba-tiba aku liat wujud bayangan besar berlari keluar. Aku gak jadi minum terus balik ke kamar)
“Awakmu piye ko?” (kamu bagaimana ko?) cetus Fajar

“Eh iyo, luwih nang apes se nek aku. La wingi bengi iku wetengku mules jeh. Tak delok jam ndek kamar iku jam 10 bengi. Arek arek tak delok wes podo turu. Arep tak gugah tapi sukan. Yawes budal ngising ae. Gowo hp gae sentere.
Lah pas ngising iku, ndek barongan mburi koyo ono suoro wong nyapu nyapu. Tekan kene asline wes merinding. Sopo yoan nyapu bengi-bengi. Wes gak kesuwen tak cebok i. terus metu.

Kok goblok e aku yo kober noleh memburi.
Hasile aku ngerti nek ndek buri iku maeng ternyata ono koyo sosok lagi dulinan godong pring. Ukurane lumayan duwur, tapi gak seduwur wit pring.

Timbang sakdurunge aku ditoleh, aku golek aman. Langsung mlayu balik kamar langsung”
(Eh iya, lebih tepatnya apes si. Kemarin malam itu perutku mules. Kuliat dikamar udah jam 10 malem. Anak-anak tak liat udah pada tidur. Mau kubangunin ya gaenak. Yaudah berangkat BAB aja. Bawa hp buat senter. Lah pas BAB iku di hutan bambu belakang ada suara orang sedang menyapu.
Asli merinding. Siapa juga malam-malam nyapu. Gak lama selesai udah. Waktu keluar, kok gobloknya aku noleh. Aku liat sosok lagi mainan daun bambu kering.

Ukurannya lumayan tinggi tapi gak lebih tinggi dari pohon bambu. Sebelum dia tau kehadiranku, aku cari aman aja)
Antara ngeri sama nahan tawa sih kalau denger ceritanya Riko.

“Aku penutup ya, soalnya ceritaku sama Probo ditempat yang sama soalnya” ujar Dayat

Kami duduk menyimak.
“Iki lokasine ndek bank sampah. Mari adzan ashar.

Pas mari toto toto dan dirasa wes cukup resik, aku karo probo lagi leyeh-leyeh dilut. Kalian nek gak salah wes do balik omah. Lha kok moro-moro ndek dukur iku ono suoro barang ceblok buanter.

Gedebuk.
Aku karo Probo kaget. Mariku tak cek, wong bangunan endek ae kok.

Tibakne yo gak enek opo-opo.
Yawes tak kiro salah krungu, aku ngomong yowes ayo balik ae. Lha pas arep balik moro moro krungu suoro iku maneh. Luwih banter.

Bruuk.

Aku karo probo gak kesuwen langung mlayu
(Lokasinya di bank sampah. Selesai adzan ashar. Setelah selesai menata dan membersihkan tempat kita istirahat bentar. Kalian udah balik duluan. Tiba tiba dari atas kedengeran suara barang jatuh. Gedebuk.
Aku sama Probo ngecek sekitar. Ya emang gak ada apa-apa.

Yasudah mungkin aku salah denger. Aku bilang ayok balik. Lha waktu mau balik malah kedengeran lagi. Lebih keras balah. Bruuk. Aku sama probo langsung lari)
“Koyok e deso iki sintru deh. Tekan masyarakate sing gak tau ngewangi, yo ndak tau metu bengi.

Terus lokasi bank sampahe yo dideleh ndek nggen sg menurutku gak umum. Bar iku kok yo arek arek sing lanang kok ngerasakno ketindihan siji siji”
(Kayaknya desa ini angker deh. Dari masyarakatnya yang gak pernah bantu, juga gak pernah keluar malam.

Terus Lokasi bank sampahnya juga kayak gitu. Dan semua anak laki-laki juga pernah ketindihan) ujar Probo
“Ika ambek Atik ndue cerito opo?” (Ika dan Atik punya cerita apa?) terang Riko

Kami saling berpandangan, saling mencolek.

Akhirnya dengan sisa keberanianku, aku menceritakan kisah yang aku dan Ika alami selama hidup dirumah bu Lurah.
“Asline aku sek sg diketok I pertama. Awal mulane pas aku karo Wulan arep adus. Wulan disik sing adus. Aku ngenteni ndek jobo lawang.

Kondisine ancen wes rodok peteng soale sorop. La pas aku ngenteni Wulan, aku keroso merinding. Gak ono angin, tapi barongan mburi obah terus.
Tak wasno ae soale aneh. La moro-moro ono moto abang murup ngunu iku. Awak e gede, dukure sak pring. Aku keweden. Lawang jeding tak dodok. Wulan metu terus tak tarik melbu omah. Aku nangis wedi.

Tapi waktu iku aku gak wani kondo. Aku gak pengen arek-arek wedi.
Lha kok tibakne Ika yo diketok i pisan. Bedane Ika iku kejadiane pas mari sholat. Aku wes ijin balik kamar disek. La pas Ika arep balik kamar iku Ika diketok i”

(Aslinya aku yang pertama liat. Awal mulanya pas aku sama Wulan mau mandi. Wulan duluan. Aku nunggu diluar pintu.
La waktu aku nunggu, tiba tiba kok merinding. Gak ada angin tapi pohon bambunya goyang-goyang. Tak liatin.

Tiba-tiba ada mata merah menyala. Badannya gede. Tingginya sepohon bambu. Aku takut. Pintu kamar mandi aku gedor. Wulan keluar terus langsung kutarik masuk rumah.
Aku nangis ketakutan. Tapi waktu itu aku gak berani bilang. Aku gak mau temen-temen yang lain takut.

Lha kok Ika juga ngeliat juga. Bedanya ia lihat seusai sholat, aku sudah ijin balik ke kamar. Ternyata waktu dia mau balik kamar, Ika liat sosok itu).
Ku lihat ika, matanya berkaca-kaca. Aku merangkulnya. Rupanya bayang-bayang mahluk itu masih menghantui benaknya.

“Yawes ayo podo saling jogo. Dungone ditambahi. Diluk ngkas adewe metu tekan kene. Ojo sampek bu Lurah, mbok yem ambek warga deso ngerti”
(Yasudah ayo saling jaga. Doanya diperbanyak. Sebentar lagi mau selesai. Jangan sampai bu Lurah, mbok yem dan warga desa tau) tutur Probo.

“Diah ambek Wulan piye?” (Diah sama Wulan gimana?) sahut Riko
“Tik, Ka, iso kan ngawasi arek 2 iku?” (Tik, Ka, bisa kan ngawasi 2 anak itu?) tambah Dayat

“Iyo tak usahakno, wes mugo ae gak enek opo-opo” (Iya aku usahakan, semoga tidak ada apa-apa) balasku.

Setelah selesai, kami melakukan doa bersama. Berharap keadaan tidak bertambah buruk
Kami membubarkan diri. Aku dan Ika kembali kekamar dan entah kenapa Ika sekarang ingin tidur berdua denganku. Dan aku pun tidak keberatan.

Kemudian nampak Wulan dan Diah datang, mereka tidak bicara, merapikan kamar kemudian tertidur pulas.

Seperti tidak terjadi apa-apa.
KKN mau masuk minggu ketiga.

Semenjak pertemuan itu, setiap hari kami lalui dengan saling menguatkan.

Bahkan menurut penuturan Probo, mahluk itu sudah berani masuk ke kamar cowok. Hal itu terjadi saat ia terbangun dan tiba-tiba mencium seperti aroma singkong dibakar.
Lantas Proobo melihat mahluk itu berada di pojok kamar dekat pintu.

Ia diam, berdiri seakan mengawasi.

Probo yang mungkin dengan kesadaran yang belum lengkap, seketika langsung menyembunyikan kepalanya didalam selimut.

Sampai ia tertidur dalam bayang bayang mahluk tersebut.
Untungnya aku dan Ika setelah kejadian tempo hari belum pernah liat penampakan mahluk itu lagi.

Tetapi sehabis adzan subuh, setiap hari aku mendengar seperti ada orang yang menyapu halaman belakang.

Namun karena sudah masuk pagi, kupikir mbok yem yang sedang melakukannya.
Sebenarnya sedikit ada rasa bimbang untuk melaksanakan sholat subuh. Apalagi kalau bukan untuk mengambil air wudlu pun harus pergi ke kamar mandi, yang mana lokasinya berada di halaman belakang.

Mau tidak mau, demi menjaga diri, aku terpaksa melawan rasa takutku
Dan seperti yang sudah diduga, bahwa tidak ada orang pun dihalaman belakang. Belum lagi suara decitan bambu yang tergesek oleh hembusan angin.

Tanpa melihat sekeliling, aku laksanakan wudlu dan segera bergegas kembali masuk ke rumah.
Puncak kejadian kkn kami adalah ketika Wulan dan Diah ingin sekali kembali ke kos-kosannya di daerah S.

Waktu itu hari sudah akan sorop. Kami semua mencegah mereka berdua berangkat karena tak baik bila mereka keluar malam hari dan itu juga bertentangan dengan aturan desa
Namun mereka berdua tetap kekeh.

Mereka bilang bahwa ada barang yg harus diambil dan mereka berkata akan berangkat bersama teman satu kelasnya yang sedang kkn di desa sebelah.

“Wes to ndak popo. Balik-balik aku. Dongakno ya” (Sudah gapapa. Aku balik kok. Doakan aja) tutur Wulan
“Wes matur ijin bu Lurah ta?” (Sudah bilang ijin ke Bu Lurah?) sahut Riko.

“Ya wes lah” ujar Diah.

Karena memang tidak mau ada perdebatan, akhirnya mereka berdua berangkat meninggalkan desa pada pukul 5 sore.

Sebuah keputusan yang akan kami sesali.
Sehabis makan malam, seperti biasa kami semua berkumpul di teras rumah.

Laporan proker kami sebetulnya sudah hampir selesai. Tinggal upload di jurnal dan kirim email kepada Dosen pembimbing.

Sementara bu Lurah belum juga keluar dari kamarnya.
Aku ingat betul, saat itu masih jam 8 malam.

Hening sekali. Bahkan tidak ada suara binatang malam.

Angin pun seakan berhenti bertiup. Tiba-tiba suasana menjadi tidak enak.

Mencekam.

Bau aroma dupa dari bangunan mirip pura menambah kengerian malam itu.
Ditambah, Probo mengatakan bau yang ia sendiri tidak asing. Ia mencium bau singkong bakar.

Bu lurah dan mbok yem, sama-sama tidak menunjukkan batang hidungnya.

Karena situasi semakin tidak terkendali dan pikiran kami memikirkan macam-macam, kami pun membubarkan diri.
Didalam kamar, aku suruh Ika untuk lebih banyak banyak berdoa. Karena firasatku malam itu sungguh tidak enak.

Ketika aku dan Ika hendak merebahkan diri, tiba-tiba terdengar suara anak-anak cowok naik semua ke kamar atas.
Fajar mengaku mendapati sebuah telpon dari salah satu temannya yang ikut Wulan dan Diah menuju kota S.

Dia mengatakan bahwa Wulan dan Diah kecelakaan dalam perjalanan.
Wulan meninggal ditempat, sementara Diah masih tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit.

Sontak aku dan Ika menangis sejadi-jadinya. Kami seperti tak tahu harus berbuat apa.

Sampai sampai Probo dan Riko berkata akan menuju Rumah Sakit malam itu.
Tentu saja kami melarangnya.

Namun tekad bulat Probo tak dapat dicegah
Kami semua turun dan akan menemui bu Lurah.

Dan beliau sepertinya baru selesai melaksanakan ibadah. Kami menjelaskan peristiwa yang menimpa Diah dan Wulan.

Kalian mau tau eksperinya?
Beliau hanya mendengarkan dengan ekspresi yang cukup tenang. Bahkan sangat tenang. Seperti tanpa beban, mengingat beliau adalah orang tua asuh disini.

Dan saat Probo dan Riko hendak meminta ijin untuk berangkat ke rumah sakit, beliau berkata :
“Wes,sesuk ae yo le. Gak usah nambah-nambahi perkoro. Ikhlasno ae kancamu. Gak apik metu deso bengi-bengi. Nurut karo ibuk yo”

(Sudah besok pagi saja ya nak, tidak usah nambah-nambahin masalah. Iklaskan saja temanmu. Tidak baik keluar desa malam-malam.Nurut sama ibuk ya)
Merasa terlalu pasrah akan keadaan, Probo dan bu lurah sempat terjadi perdebatan yang cukup sengit.

Namun keputusan tetap berada ditangan bu Lurah. Kami yang sama-sama bingung hanya saling diam dan tak mampu berbuat banyak. Mau tidak mau, kami harus mengikuti aturan bu Lurah.
“Saiki mending do balik kamar kabeh. Istirahat. Luwih apik nek Kancane didongakne.”

(Sekarang lebih baik kembali ke kamar semua. Istirahat. Lebih baik temannya didoakan) tegas bu Lurah sambil jalan kembali menuju kamarnya.
Akhirnya kami semua pun kembali ke kamar masing-masing.

Kami terdiam, bingung harus berbuat apa. Sementara Ika kulihat masih menangis. Kupeluk ia, kucoba menguatkan meski aku juga merasa kehilangan

Tidak kusangka, kkn yang tadinya berjalan lancar berubah menjadi seperti ini.
Pagi sekali ada utusan dari kampus datang kerumah bu lurah.

Dosen tersebut sebut saja namanya Pak Agung meminta kami yang berada didesa ini diminta untuk kembali pulang ke kampus.

Bu Lurah, seperti biasa dengan tenang menyambut dan memaklumi keadaan setelah kejadian kemarin.
Kami berkemas. Barang barang Diah dan Wulan yang tertinggal di kamar juga aku rapikan dan akan kami bawa pulang.

Kami mengucapkan terima kasih kepada mbok yem dan bu Lurah karena sudah menjadi orang asuh selama kami kkn disini.

Dan waktu kami berpamitan, beliau berkata :
“Wong iku dalane macem-macem. Ono barang apik, ono barang elek. Sejatine kabeh menungso pasti bakale mati. Cuma tak ilingno yen mene mben iku sing luwih ati-ati ya mas, ya mbak. Soalnya kabeh panggonan iku duwe aturane dewe-dewe”
(Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri. Ada yang baik, ada yang jelek. Semua manusia pasti juga bakal mati. Cuma tak ingatkan bahwa lain kali yang lebih hati-hati ya mas, ya mbak. Soalnya semua tempat memiliki aturannnya sendiri-sendiri).
Kami berangkat pulang.

Tidak ada kesan-kesan yang sangat berarti dari sini. Bahkan dengan penduduk desa sekalipun. Semuanya seperti sirep di tangan bu Lurah.

Sesampainya di kampus, kami ingin langsung pergi kerumah sakit.
Tapi teryata kami mendapatkan kabar bahwa jenasah Wulan sudah dibawa pulang oleh pihak keluarga dan dimakamkan di desa kelahirannya.

Sementara Diah dibawa pulang kerumah sakit tempat orang tuanya tinggal di Kabupaten N.
Satu bulan semenjak kejadian itu, Diah sudah di ijinkan pulang.

Dan dua minggu berselang ia sudah kembali duduk di bangku kuliah.

Dia menceritakan bahwa waktu itu Diah di posisi belakang alias dibonceng Wulan. Kecepatan motor pun sedang, tidak cepat dan tidak terlalu pelan.
Sampai dijalan perbatasan kota yang agak kurang penerangan, tiba-tiba motor yang ditumpanginya oleng.

Kami berdua jatuh. Saat itu pula aku hilang kesadaran. Dan waktu Diah bangun di rumah sakit, dia dikasih tau kalo Wulan meninggal saat kecelakaan. Sontak tangisnya pecah.
Probo pun bertanya apa mereka berdua melakukan hal aneh dirumah bu Lurah?

Seingat Diah, dia tidak melakukan hal yang aneh.

Dan memang akhir akhir itu bu Lurah sering memberi mereka barang dan uang. Diah merasa itu mungkin ucapan terima kasih setelah membantu beliau.
Kkn kampus kami akhirnya selesai. Dan kami kembali melanjutkan perkuliahan di jurusan kami masing masing.

Saat jam istirahat, semua teman teman berkumpul menceritakan kesan-kesannya saat mengabdi di desa selama 21 hari lamanya.

Tak terkecuali kisah kknku.
Saat aku bercerita, banyak teman temanku mendengarkan dengan wajah dan ekspresi ngeri.

Sampai salah satu temanku, sebut saja namanya Dio mengatakan bahwa desa tempatku KKN dijuluki dengan Desa Buto Ijo.
Dio yang tempat KKN desanya masih satu kecamatan denganku menceritakan bahwa saat Ia sedang ramah tamah dengan penduduk desa, ia membeberkan nama teman-temannya yang sedang kkn disekitar kecamatan ***E*.

Kemudian setengah ngeri ada bapak-bapak yang nimbrung berkata :
“Wah temenan le ono sing kkn ndek kunu. Haduh mugo ae gak ono opo-opo yo. Sintru ndek kunu soale.

Nek wong kene ngaranie Deso Buto Ijo. Gak bakal ono wong wani nang deso iku nek gak ancen bener-bener kepeksan. Ikupun nek budal runu kudu antara isuk sampek sore.
Nek budal utowo moleh bengi mesti bakal ono ae sg garai apes”

(Wah beneran ada yang kkn disitu. Haduh semoga saja tidak ada apa-apa ya. Angker soalnya disitu. Kalau orang sini menamainya dengan nama Desa Buto Ijo
Gak bakal ada orang yang berani kesana kalau memang tidak dalam keadaan sangat terpaksa. Itupun kalau kesana harus waktu pagi sampai sore hari. Karena kalau malam selalu ada aja kejadian yang bikin apes).
“Iyo, soale pernah ono kejadian. Pak Gito selaku kepala dusun nemoni bu lurah. Wonge budal kesoren, alhasil moleh tutuk kono iku wayah bengi.

Pas budal karo moleh gak ono opo-opo, bareng tutuk omah anake sg ragil ngomong nek ono Buto ndek mburine bapak e.
Wedi ono opo-opo, pak Gito langsung nang omahe mbah Yai. Mbah Yai kondo nek pak Gito kudu nginep ndek omahe sampek isuk. Soale Buto iku bakal ilang nek srengenge wes metu.

Akhire alhamdulillah pak Gito iso balik moleh pas wayah isuk e”
(Iya pernah ada kejadian soalnya. pak Gito selaku kepala dusun menemui bu Lurah. Orangnya berangkat terlalu sore, sehingga pulang dari sana kemalaman. Waktu diperjalanan tidak ada apa-apa, tapi waktu sudah sampai rumah anaknya yang kecil bilang kalau ada Buto dibelakang bapaknya.
Takut ada apa-apa, pak Gito langsung menuju ke rumah mbah Kyai. Mbah Kyai bilang kalau pak Gito harus menginap dirumahnya. Soalnya Buto tersebut bakal hilang dengan sendirinya waktu matahari sudah terbit. Dan alhamdulillah pak Gito bisa pulang dengan selamat esok paginya)
Aku yang mendengar cerita dari Dio pun ikutan bergidik ngeri.

Namun ada perasaan syukur yang teramat banyak karena aku sendiri masih dikasih rahmat oleh Tuhan karena bisa keluar dari desa tersebut dalam keadaan selamat wal afiat.
Sampai saat ini, desa tersebut masih ada keberadaanya.

Namun apakah keadaan desa masih sama seperti kisah waktu kkn dulu? Saya sebagai penulis dan Atik sebagai narasumber juga sama-sama tidak tahu.
Kadang walaupun kita sudah menjaga etika dan berbuat baik, kita masih bisa menjadi sasaran orang-orang yang memiliki rencana jahat.

Terlepas dari ada atau tidak sangkut pautnya antara Wulan dan desa itu kami berdua juga sama-sama tidak mengerti.

Hanya Tuhan sendiri yang tau
Demikian tadi adalah sedikit cerita dari mbak Atik tentang pengalamannya KKNnya di suatu desa yang mendapat julukan Desa Buto Ijo.

Cerita ini nyata adanya sesuai penuturan dari beliau selaku narasumber saya.
Untuk menjaga privasi saya kembangkan dan tambahkan mengenai situasi dan lokasi mengenai desa tersebut.

Namun inti dari cerita mbak Atik tidak saya hilangkan. Karena sampai sekarang beliau cukup sensitif dan emosional bila mengingat kejadian itu.
Percaya atau tidak, saya kembalikan hak tersebut kepada para pembaca.

Dan sekali lagi saya ingatkan, bagi teman-teman yang sudah mengerti lokasi dari desa ini harap disimpan sendiri saja ya.
Terimakasih karena sudah mengikuti cerita ini. Dan saya meminta maaf apabila dalam penulisan cerita banyak terjadi salah ketik dan salah kata dalam penyampaian.

Karena memang ini pengalaman pertama menulis sebuah thread, hehe
Apakah saya akan kembali menulis thread? Mungkin saja karena kebetulan saya punya cukup banyak kisah yang bisa saya bagikan disini.

Mungkin nanti kalau sudah cukup longgar dan waktu yang tepat, saya akan kembali menulis lagi.
Saya Kunamus, mengucapkan terima kasih karena sudah membaca.

Selamat malam.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Kunamus~

Kunamus~ Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nizaramadhan08

May 20, 2022
Kita mulai pelan pelan saja ya. Mumpung cuaca juga lagi hujan, sambil makan gorengan + minum teh hangat ini
Kisah ini sebenarnya saya dapatkan waktu bukber reuni puasa kemarin.

Namun karena ada tradisi bahwa bulan puasa itu setan pada dikurung, jadinya ya saya pending dulu
Read 232 tweets
Jan 27, 2022
Tahun 2020 awal sebelum adanya pembatasan kegiatan publik secara nasional, aktivitas orang di Indonesia cenderung biasa-biasa saja.

Begitupun kehidupan perkuliahan, berjalan tatap muka seperti biasa. Kisah ini dialami oleh salah satu Mahasiswa di kampus ternama di Ibukota.
Sebut saja namanya Anton, Ia baru saja memasuki semester 3 perkuliahannya. Semester yang menurut saya sendiri adalah semester awal menuju kesibukan-kesibukan kampus sampai semester-semester berikutnya.
Read 67 tweets
Jan 5, 2022
Istidraj : Ketika Tuhan sudah tidak memperdulikan hambanya.

@bacahorror @threadhorror #bacahorror Image
Saat baru menginjak usia remaja, saya dulu pernah melihat suatu video di YouTube yang memperlihatkan seseorang yang sudah meninggal, kemudian didalam makamnya diperlihatkan bagaimana ia meronta-ronta dan berteriak meminta ampun kepada Tuhan atas segala perbuatannya semasa hidup
Video yang bikin saya susah tidur, mengingat backsound dari video tersebut juga memberi efek ngeri bagi yang mendengarnya

Namun ketika beranjak dewasa dengan segala macam fakta dan kebenaran, menunjukkan bahwa kebanyakan video video semacam itu hanyalah video palsu/hoax
Read 61 tweets
Nov 18, 2021
Cerita ini saya dapatkan ketika saya mendatangi acara Tahlil rutin tahunan alm. Mbah saya beberapa saat yg lalu

Sebut saja namanya Verdi. Ia adalah teman bermain saya saat berada dirumah mbah waktu masih kecil
Bekerja diluar pulau, membuatnya jarang sekali pulang ke kampung halamannya. Namun nasib kurang baik menimpanya, Ia diputus kerja oleh tempat kerjanya saat kasus C-19 masih ganas-ganasnya

Dan untungnya, tabungannya cukup untuk membuka sebuah usaha Roti bakar di dekat rumahnya
Read 143 tweets
Oct 14, 2021
Cerita ini akan jabarkan menurut penuturan pengalaman dari narasumber. Dimana narasumber ini merupakan salah satu juru kunci Gunung Penanggungan.

Untuk nama-nama orang di thread ini, akan saya samarkan atas permintaan privasi dari beliau
Pak Sutris, merupakan seorang juru kunci dan seorang juru rawat situs yg tinggal di kaki gunung Penanggungan.

Setiap hari, beliau selalu menerima tamu dan pengunjung dari berbagai daerah untuk sekedar nuwun sewu (permisi) ketika akan mendaki gunung penanggungan.
Read 102 tweets
Sep 14, 2021
Dalam thread ini akan saya ceritakan menurut sudut pandang saya dan teman saya, sebut saja namanya Putra (nama samaran)

Dan untuk lokasi rumah sendiri akan saya samarkan atas permintaan dari Putra sendiri. Bagi yang sudah mengetahui, harap disimpan masing masing
Tahun 2016, merupakan tahun dimana saya memberanikan diri untuk mencoba menjadi seorang pendaki gunung.

Bersama dengan rekan rekan yang lain, saya memulai pendakian pertama saya menuju gunung P****g**n di kabupaten M
Read 105 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(