Suara alunan gamelan yang mendayu-dayu terdengar dengan sangat indah , tetesan air yang jatuh ke sendang membuat suara itu menjadi terlalu nyaman untuk didengar. Namun sayangnya suara ini berasal dari demit-demit di alas mayit.
Indahnya suara gamelan itu memancing seluruh penghuni alas mayit untuk berkumpul di tempat ini, mulai dari pocong, makhluk raksasa bertubuh besar, hingga mayat-mayat dengan tubuh yang tak berbentuk menyaksikan kami dari seluruh penjuru hutan, seolah menyaksikan suatu pertunjukan.
Aku dan Cahyo sudah bersiap untuk menyerang kedua manusia penyebab semua kutukan ini , Pak Kades dan Aswangga.
Namun.. serangan kami terhenti oleh sebuah kekuatan yang berwarna hitam pekat , dan itu muncul dari Aswangga yang menghadang kami.
“ Hei Aswangga, Untuk apa kamu menjual dirimu pada setan-setan laknat itu” Tanyaku yang masih berharap Aswangga masih bisa diselamatkan.
“ Untuk apa? Kekayaan , kekuatan, dan hidup abadi.. tentu saja untuk itu semua” Ucapnya sambil tertawa meledeku.
“Saat ini tidak ada satupun dari kalian yang bisa mengalahkanku…” Lanjutnya.
Aku heran, mengapa Aswangga menjadi percaya diri seperti itu.
“Danan.. lihat! bukanya itu anak buah Aswangga” Ucap Cahyo sambil menunjuk pada setumpukan mayat yang dipersembahkan di sebuah candi.
“Edan kowe… anak buahmu sendiri kamu jadiin tumbal?” Cahyo merasa emosi dengan perbuatan Aswangga.
“Itu salah kalian! Kalau kalian tidak mengacau.. aku tidak perlu menumbalkan mereka untuk mendapatkan kekuatan ini” Aswangga memamerkan dirinya yang diselimuti kekuatan hitam.
“Hadapi aku.. akan kuhabisi kalian satu persatu.. “
Suara gamelan mengiringi mulainya serangan Aswangga kepada kami .
Sebuah pukulan mengarah kepada Cahyo dan membuatnya terpental .
Aku mencabut keris milikku dan menusukan pada Aswangga, namun tak sedikitpun ujung keris itu masuk kedalam tubuhnya yang malah dibalas sebuah tendangan yang melemparkanku tak jauh dari tempat Cahyo tersungkur.
“Kamu mengorbankan nyawa anak buahmu Cuma untuk kekuatan seperti ini?” tantang Cahyo sambil membersikan darah yang menetes dari mulutnya.
“Udah Cahyo.. kamu istirahat dulu aja, Aswangga biar aku yang hadapi” Ucapku pada Cahyo.
“Nggak Danan, aku butuh pemanasan…” Cahyo merapalkan sebuah mantra , merubah kedua tanganya menjadi lengan kera raksasa dan segera menerjang Aswangga.
“Sombong sekali kalian! “ Pukulan Aswangga yang diselimuti kekuatan hitam beradu dengan lengan kera milik Cahyo,
namun kali ini Aswangga yang terpental.
Sekali lagi Aswangga mencoba menyerang Cahyo namun dibuatnya terpental lagi.
Untuk adu ilmu fisik Cahyo memang sangat bisa diandalkan. Hampir semua serangan Aswangga dibuat terpental Cahyo.
“Brengsek , Tidak mungkin kekuatanku kalah.. “ ucapnya yang disusul dengan pukulan berikutnya dari Cahyo.
“ Menyerah saja! Kekuatanmu itu tak mungkin bisa untuk mengalahkan kami” Ucap Cahyo memperingkatkan Aswangga.
“ Ga usah sombong kalian… Sudah berapa tumbal yang kalian berikan untuk kekuatan itu? Aku akan memberi lebih” Ucap Aswangga sambil menoleh kepada Pak Kades yang melihatnya dari belakang.
Wajah Cahyo terlihat emosi, sekali lagi pukulan diarahkan pada Aswangga dan membuatnya tersungkur di tanah.
“ Tumbal? Seenaknya kamu bicara! mbok pikir aku mau menggunakan cara biadab itu” Ucap Cahyo sambil menghampiri Aswangga dan mulai memukulinya lagi.
“Kamu tidak tahu berapa ribu hari puasa yang dilakukan oleh Danan…
Kamu tidak tahu berapa ayat suci yang dihafalkan dan dilantunkan Pak Sardi…
Kamu tidak tahu berapa banyak yang sudah ditolong oleh mereka hingga Yang mahakuasa menitipkan kekuatan ini pada kami untuk menolong orang yang lebih banyak lagi”
Cahyo berusaha menyadarkan Aswangga. Namun sebelum mendaratkan pukulannya lagi,
Pak Kades melompat dan bersiap menyerang Cahyo yang membuatnya memilih mundur.
“ Cukup Aswangga.. kamu belum bisa mengalahkan mereka”Ucap Pak Kades.
“Terus kita harus bagaimana?” Tanyanya dengan suara yang lemah karena efek dari serangan Cahyo yang bertubi-tubi.
“ Kita selesaikan perjanjian kita, kamu sudah mendapat kekayaan dan kekuatan, sekarang akan kuberikan kau kehidupan abadi” Ucap Pak Kades yang menghampiri Aswangga.
Sebuah pasak kayu dikeluarkan oleh Pak Kades, ujungnya diukir dengan tajam dan diarahkan kepada Aswangga.
“ Pak Kades.. untuk apa pasak itu?” Tanya Aswangga yang mulai merasa takut.
“ Tubuh kakek-kakek ini sudah sangat lemah , aku butuh tubuh yang lebih muda untuk bisa mendampingi dia dan menghabisi cecunguk itu..” Ucap Pak Kades.
“ Maksud Pak Kades apa? Bukanya Pak Kades berjanji akan memberikan hidup abadi?!” Tanyanya dengan putus asa.
“ Tubuhmu akan hidup abadi bersama rohku di dalamnya” Ucap Pak Kades yang segera menusukkan pasak ke jantung Aswangga yang tak bisa melawan.
Aswangga meronta kesakitan , ia merayap di tanah dan menggapaikan tanganya kepada kami.
“To… long “ suara rintih keluar dari mulutnya yang disusul dengan darah hitam yang bermuncratan.
Suara gong terdengar dipukul berkali kali seolah menandakan mulainya peperangan.
Setan wanita berbaju kebaya melayang menghampiri Pak Kades dan menarik roh keluar dari tubuh kakek tua itu.
Sesosok makhluk berwujud manusia dengan pakaian kerajaan keluar dari tubuh Pak Kades dan segera merasuki tubuh Aswangga yang masih tertancap pasak di jantungnya.
Suara gamelan berbunya semakin cepat, di tengah-tengah sendang terlihat roh Laksmi yang mulai menari .
“ Mas Danan… suara ini… “ Ucap Pak Sardi.
“Benar pak, ini gending alas mayit… “ ucapku sambil mengeluarkan tabuh waturingin.
Sebenarnya , aku penasaran dengan gong besar di tengah sendang. Suara gong yang terdengar oleh kami bukan berasal dari gong itu. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa gong itu berdiri diatas sebuah batu yang menyerupai akar pohon.
“ Cahyo… apa batu yang dibawah gong itu yang dimaksud mbah rusman?” aku berbisik pada Cahyo.
Cahyo memperhatikan apa yang aku maksud.
“oo.. Pantes aja ga keliatan, air hitam itu menutupi keberadaan waturingin itu” ucap Cahyo.
Mengerti dengan yang kumaksud , kami berdua segera berlari menerjang kearah sendang banyu ireng. Namun sebuah serangan menghentikan kami berdua.
Itu Aswangga lagi…
Kali ini berbeda , pasak di jantungnya sudah menghilang namun wajahnya berubah menjadi mengerikan dengan kulit wajah yang terlihat melepuh . Demit wanita itu memakaikan pusaka yang dikalungkan di dadanya dan memberikan sebuah tombak untuk Aswangga.
“ Tidak mungkin…. Aswangga… “ Pak Sardi tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Aswangga tertawa dengan suara yang menyeramkan “Aswangga..? Bukan… Aku Patih Andaka yang akan menghabisi kalian semua”
Menyambut kebangkitanya , makhluk hitam besar berwujud perempuan dengan cakar yang mengerikan menghampiri dan bersujud di depanya , disusul dengan setan-setan yang dari tadi hanya melihat pertarungan kami.
Pemandangan yang begitu mengerikan , kali ini Makhluk yang menghuni tubuh Aswangga memimpin ratusan demit bersama dengan setan penari itu di sampingnya.
“Gila Danan… kita harus melawan demit sebanyak ini” Ucap Cahyo.
Suara petir menggelegar dan memulai turunya hujan deras di hutan ini.
Pak Sardi membaca mantra pembakar dan melawan demit itu satu persatu , namun jumlahnya terlalu banyak. Cahyo segera menyusul Pak Sardi melawan demit-demit itu.
Pikirku , Satu-satunya cara adalah mengalahkan Iblis Andaka itu.
Segera aku membacakan ajian lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh untuk diarahkan pada Iblis Andaka itu , namun serangan itu tidak melukainya sama sekali ,
sebaliknya iblis itu menoleh ke arahku dan menyerangku degan tanganya yang sudah menggenggam tombak tua di tanganya.
Aku mencoba menghindar namun gerakanya terlalu cepat, sebuah tusukan menembus tanganku yang mencoba menahan serangan itu.
Kengerian tidak cukup sampai di sini , dari arah pintu masuk hutan terlihat seseorang yang menari tanpa sadar , tidak hanya satu… beberapa orang lagi menyusul di belakangnya.
Itu adalah warga desa!
“ Bapak … Maafin sekar, Sekar ga bisa jagain warga desa” ucap sekar yang berlari dan berusaha menahan warga desa.
“ Sekar!! Jangan ke sini! “ Ucap Pak Sardi yang berusaha menghentikan sekar.
Pak Sardi kehilangan konsentrasinya, sebuah serangan dari demit anak buah andaka membuatnya jatuh dan tersungkur.
Suasana di alas mayit semakin mencekam, kekuatan eyang widarpa dibutuhkan di sini. aku menarik keris ragasukmaku dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhurku
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Di tengah hujan deras , sesosok kakek tua bungkuk berambut panjang berwarna putih muncul dari derasnya hujan.
“ E.. Eyang! Kulo…”
Belum sempat menyelesaikan kata-kataku , eyang segera menyerang Iblis Andaka dan membuatnya terpental.
“Bocah Asu… Demit iki ben dadi urusanku , kamu urusin warga desa” Eyang widarpa membelakangiku dan bersiap menghadapi Iblis di tubuh Aswangga.
..
“ Tunggu… aku kenal kamu kakek tua” Andaka kembali berdiri dan menghadapi kami.
“ Kamu … Kamu itu Patih Widarpa kan?!!! Kamu yang membawa pergi warga dan Raja dari kerajaan !” Teriak Andaka dengan menunjuk kepada Eyang widarpa.
Tunggu , Patih… Jadi Eyang Widarpa patih yang menyelamatkan raja dan warga dari pemberontakan . Seketika aku teringat sebuah benda yang dititipkan oleh Paklek , dan ternyata bentuk kalung itu tidak jauh berbeda dengan yang dipakaikan setan penari itu kepada Andaka.
“ Eyang… apa itu benar? “ tanyaku pada eyang yang tidak merespon ucapan andaka.
“ Bukan urusanmu bocah asu… pergi , masalah yang lebih besar ada di belakangmu” Perintah Eyang widarpa padaku.
“ Baik mbah , sebelumnya terima ini dulu… ini titipan nyai Suratmi “
Aku menyerahkan sebuah pusaka kalung kuningan ke pada eyang, ia terlihat mengenalinya dan segera mengenakanya.
Hal yang aneh terjadi , Tubuh eyang widarpa kembali tegak, tubuhnya terlihat menjadi lebih muda layaknya seorang patih kerajaan yang dapat diandalkan.
“ Jadi… itu benar, Eyang widarpa seorang patih” Tanyaku sambil sedikit tersenyum.
Eyang widarpa melihat dirinya yang berubah , namun iya kembali melepas kalung itu dan melemparkanya padaku.
“ Aku ora butuh , Tanpa Nyai Suratmi aku lebih suka dengan wujud ini!” Ucapnya yang segera mengayunkan cakarnya ke wajah busuk Iblis reinkarnasi Andaka itu.
Eyang Widarpa terlihat bisa mengimbangi patih andaka. Aku sedikit tenang dan meninggalkanya.
“ Cahyo! Serahkan tabuh waturingin pada sekar dan Tahan demit-demit itu! Biarkan Pak Sardi menggunakan Geni Baraloka kepada mereka! “ Perintahku pada Cahyo.
Cahyo memukul dengan keras ke arah tanah dan mengambil jarak dari makhluk-makhluk itu. Tanpa banyak berbicara ,
mereka melakukan semua yang aku perintahkan.
“Hati-hati Danan… Lawanmu perempuan , jangan lengah!” Ucap Cahyo yang mengetahui maksudku untuk menghampiri Iblis wanita yang menyebabkan semua ini terjadi.
Seolah mengerti kehadiranku , ia menyambutku dengan sebuah tarian yang gemulai.. tarian itu menjadi mengerikan ketika setan itu tersenyum mengerikan tanpa bola mata di wajahnya dan dilakukan diatas tumpukan mayat tumbal dari Aswangga .
Aku mengejarnya , namun setan itu melayang ke arah tubuh Laksmi yang tergantung , merasukinya, dan menjatuhkan dirinya ke sendang banyu ireng.
Roh Laksmi masih menari di sana, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tubuhnya.
Dari dalam sendang banyu ireng , terlihat tubuh Laksmi bangkit dari dalam air , luka-luka pada tubuhnya sudah menghilang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Satu persatu baju Laksmi yang penuh darah dilepaskan hingga tidak sehelai benangpun tertinggal di tubuh Laksmi yang indah itu.
“ Danan… ini aku Laksmi “
Dengan tubuh yang basah dan tanpa pakaian, Laksmi menghampiriku dan melemparkan senyumnya yang manis..
seperti saat pertama kali aku datang ke desa windualit.
“ Nggak.. ga mungkin , aku melihat semuanya… kamu setan yang mencuri tubuh Laksmi” Aku membacakan mantra pada tanganku dan bersiap menyerang Laksmi.
Namun keindahan tubuh Laksmi yang berada dihadapanku dan kenanganku bersamaya menahan itu semua.
“ Cukup Danan… jangan sakiti aku lebih dari ini” Ucap Laksmi dengan wajah yang memelas.
Ucapan Laksmi benar-benar menyentuh , aku tak tahu harus berbuat apa..
rasa bimbang yang amat sangat muncul. Aku tidak bisa membedakan lagi mana yang benar.
Di tengah sendang dan diterangi cahaya bulan , Laksmi berdiri anggun di hadapanku dengan memamerkan keindahan tubuhnya.
Laksmi mendekat..
“ Aku sudah tidak apa-apa Danan.. aku cuma butuh kamu “ Ucap Laksmi menempelkan badanya padaku dan memeluku.
Rasa bimbang dan kehangatan yang muncul di diriku membuatku tak mampu lagi menahan akal sehatku.
Tanganku membalas pelukan Laksmi , kulitnya yang halus dan pelukanya yang hangat membuatku merasa tenang.
“ Laksmi… Aku ga akan ninggalin kamu lagi”
Bersambung Part Akhir - Tataran Pungkasan (Pertunjukan Akhir)
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.
Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.
Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.
Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”
Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.
Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.
“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.
Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.
Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.
Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”
Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.
Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”
Deg!
Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.
“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.
Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”
Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.
Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.
Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.
…
“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.
Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.
Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.
Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.
“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.
Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.
“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.
Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.
Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.
Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.
“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.
Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.
“PANJUL!!”
Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.
Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.
Sosok pocong.
Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.
“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)
Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.
Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.
“Nggak... nggak sudi aku!”
Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”
Tidak ada jawaban.
Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.
Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.
“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”
Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.
Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.
“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”
Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.
Keringatku semakin menetes.
“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”
Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.
“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.
Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.
"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.
Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.
Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.
Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.
"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.
"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.
Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.
Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.
"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.
Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.
"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.
Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"
Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.
Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.
Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.
"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.
"Apa, Mas?"
"Bagaimana kabarmu?"
Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."
Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.
Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.
"Ada yang datang..." bisikku.
Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.
"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.
Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.
Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."
Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.
"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."
Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."
"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.
Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.
"Lari!" teriaknya tiba-tiba.
Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.
"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.
"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.
Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.
Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.
“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.
Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.
Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.
“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.
“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”
Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.
“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.
Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.
Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.
Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.
Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.
Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.
Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.
Aku harus kembali ke Merapi.
Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.
"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."
Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.
Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.
Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.
Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.
Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal
Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.
Merapi memanggil kembali...
@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :
-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.
Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.
“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.
Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.
“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.
Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.
Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.
Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?
Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --