Suara alunan gamelan yang mendayu-dayu terdengar dengan sangat indah , tetesan air yang jatuh ke sendang membuat suara itu menjadi terlalu nyaman untuk didengar. Namun sayangnya suara ini berasal dari demit-demit di alas mayit.
Indahnya suara gamelan itu memancing seluruh penghuni alas mayit untuk berkumpul di tempat ini, mulai dari pocong, makhluk raksasa bertubuh besar, hingga mayat-mayat dengan tubuh yang tak berbentuk menyaksikan kami dari seluruh penjuru hutan, seolah menyaksikan suatu pertunjukan.
Aku dan Cahyo sudah bersiap untuk menyerang kedua manusia penyebab semua kutukan ini , Pak Kades dan Aswangga.
Namun.. serangan kami terhenti oleh sebuah kekuatan yang berwarna hitam pekat , dan itu muncul dari Aswangga yang menghadang kami.
“ Hei Aswangga, Untuk apa kamu menjual dirimu pada setan-setan laknat itu” Tanyaku yang masih berharap Aswangga masih bisa diselamatkan.
“ Untuk apa? Kekayaan , kekuatan, dan hidup abadi.. tentu saja untuk itu semua” Ucapnya sambil tertawa meledeku.
“Saat ini tidak ada satupun dari kalian yang bisa mengalahkanku…” Lanjutnya.
Aku heran, mengapa Aswangga menjadi percaya diri seperti itu.
“Danan.. lihat! bukanya itu anak buah Aswangga” Ucap Cahyo sambil menunjuk pada setumpukan mayat yang dipersembahkan di sebuah candi.
“Edan kowe… anak buahmu sendiri kamu jadiin tumbal?” Cahyo merasa emosi dengan perbuatan Aswangga.
“Itu salah kalian! Kalau kalian tidak mengacau.. aku tidak perlu menumbalkan mereka untuk mendapatkan kekuatan ini” Aswangga memamerkan dirinya yang diselimuti kekuatan hitam.
“Hadapi aku.. akan kuhabisi kalian satu persatu.. “
Suara gamelan mengiringi mulainya serangan Aswangga kepada kami .
Sebuah pukulan mengarah kepada Cahyo dan membuatnya terpental .
Aku mencabut keris milikku dan menusukan pada Aswangga, namun tak sedikitpun ujung keris itu masuk kedalam tubuhnya yang malah dibalas sebuah tendangan yang melemparkanku tak jauh dari tempat Cahyo tersungkur.
“Kamu mengorbankan nyawa anak buahmu Cuma untuk kekuatan seperti ini?” tantang Cahyo sambil membersikan darah yang menetes dari mulutnya.
“Udah Cahyo.. kamu istirahat dulu aja, Aswangga biar aku yang hadapi” Ucapku pada Cahyo.
“Nggak Danan, aku butuh pemanasan…” Cahyo merapalkan sebuah mantra , merubah kedua tanganya menjadi lengan kera raksasa dan segera menerjang Aswangga.
“Sombong sekali kalian! “ Pukulan Aswangga yang diselimuti kekuatan hitam beradu dengan lengan kera milik Cahyo,
namun kali ini Aswangga yang terpental.
Sekali lagi Aswangga mencoba menyerang Cahyo namun dibuatnya terpental lagi.
Untuk adu ilmu fisik Cahyo memang sangat bisa diandalkan. Hampir semua serangan Aswangga dibuat terpental Cahyo.
“Brengsek , Tidak mungkin kekuatanku kalah.. “ ucapnya yang disusul dengan pukulan berikutnya dari Cahyo.
“ Menyerah saja! Kekuatanmu itu tak mungkin bisa untuk mengalahkan kami” Ucap Cahyo memperingkatkan Aswangga.
“ Ga usah sombong kalian… Sudah berapa tumbal yang kalian berikan untuk kekuatan itu? Aku akan memberi lebih” Ucap Aswangga sambil menoleh kepada Pak Kades yang melihatnya dari belakang.
Wajah Cahyo terlihat emosi, sekali lagi pukulan diarahkan pada Aswangga dan membuatnya tersungkur di tanah.
“ Tumbal? Seenaknya kamu bicara! mbok pikir aku mau menggunakan cara biadab itu” Ucap Cahyo sambil menghampiri Aswangga dan mulai memukulinya lagi.
“Kamu tidak tahu berapa ribu hari puasa yang dilakukan oleh Danan…
Kamu tidak tahu berapa ayat suci yang dihafalkan dan dilantunkan Pak Sardi…
Kamu tidak tahu berapa banyak yang sudah ditolong oleh mereka hingga Yang mahakuasa menitipkan kekuatan ini pada kami untuk menolong orang yang lebih banyak lagi”
Cahyo berusaha menyadarkan Aswangga. Namun sebelum mendaratkan pukulannya lagi,
Pak Kades melompat dan bersiap menyerang Cahyo yang membuatnya memilih mundur.
“ Cukup Aswangga.. kamu belum bisa mengalahkan mereka”Ucap Pak Kades.
“Terus kita harus bagaimana?” Tanyanya dengan suara yang lemah karena efek dari serangan Cahyo yang bertubi-tubi.
“ Kita selesaikan perjanjian kita, kamu sudah mendapat kekayaan dan kekuatan, sekarang akan kuberikan kau kehidupan abadi” Ucap Pak Kades yang menghampiri Aswangga.
Sebuah pasak kayu dikeluarkan oleh Pak Kades, ujungnya diukir dengan tajam dan diarahkan kepada Aswangga.
“ Pak Kades.. untuk apa pasak itu?” Tanya Aswangga yang mulai merasa takut.
“ Tubuh kakek-kakek ini sudah sangat lemah , aku butuh tubuh yang lebih muda untuk bisa mendampingi dia dan menghabisi cecunguk itu..” Ucap Pak Kades.
“ Maksud Pak Kades apa? Bukanya Pak Kades berjanji akan memberikan hidup abadi?!” Tanyanya dengan putus asa.
“ Tubuhmu akan hidup abadi bersama rohku di dalamnya” Ucap Pak Kades yang segera menusukkan pasak ke jantung Aswangga yang tak bisa melawan.
Aswangga meronta kesakitan , ia merayap di tanah dan menggapaikan tanganya kepada kami.
“To… long “ suara rintih keluar dari mulutnya yang disusul dengan darah hitam yang bermuncratan.
Suara gong terdengar dipukul berkali kali seolah menandakan mulainya peperangan.
Setan wanita berbaju kebaya melayang menghampiri Pak Kades dan menarik roh keluar dari tubuh kakek tua itu.
Sesosok makhluk berwujud manusia dengan pakaian kerajaan keluar dari tubuh Pak Kades dan segera merasuki tubuh Aswangga yang masih tertancap pasak di jantungnya.
Suara gamelan berbunya semakin cepat, di tengah-tengah sendang terlihat roh Laksmi yang mulai menari .
“ Mas Danan… suara ini… “ Ucap Pak Sardi.
“Benar pak, ini gending alas mayit… “ ucapku sambil mengeluarkan tabuh waturingin.
Sebenarnya , aku penasaran dengan gong besar di tengah sendang. Suara gong yang terdengar oleh kami bukan berasal dari gong itu. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa gong itu berdiri diatas sebuah batu yang menyerupai akar pohon.
“ Cahyo… apa batu yang dibawah gong itu yang dimaksud mbah rusman?” aku berbisik pada Cahyo.
Cahyo memperhatikan apa yang aku maksud.
“oo.. Pantes aja ga keliatan, air hitam itu menutupi keberadaan waturingin itu” ucap Cahyo.
Mengerti dengan yang kumaksud , kami berdua segera berlari menerjang kearah sendang banyu ireng. Namun sebuah serangan menghentikan kami berdua.
Itu Aswangga lagi…
Kali ini berbeda , pasak di jantungnya sudah menghilang namun wajahnya berubah menjadi mengerikan dengan kulit wajah yang terlihat melepuh . Demit wanita itu memakaikan pusaka yang dikalungkan di dadanya dan memberikan sebuah tombak untuk Aswangga.
“ Tidak mungkin…. Aswangga… “ Pak Sardi tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Aswangga tertawa dengan suara yang menyeramkan “Aswangga..? Bukan… Aku Patih Andaka yang akan menghabisi kalian semua”
Menyambut kebangkitanya , makhluk hitam besar berwujud perempuan dengan cakar yang mengerikan menghampiri dan bersujud di depanya , disusul dengan setan-setan yang dari tadi hanya melihat pertarungan kami.
Pemandangan yang begitu mengerikan , kali ini Makhluk yang menghuni tubuh Aswangga memimpin ratusan demit bersama dengan setan penari itu di sampingnya.
“Gila Danan… kita harus melawan demit sebanyak ini” Ucap Cahyo.
Suara petir menggelegar dan memulai turunya hujan deras di hutan ini.
Pak Sardi membaca mantra pembakar dan melawan demit itu satu persatu , namun jumlahnya terlalu banyak. Cahyo segera menyusul Pak Sardi melawan demit-demit itu.
Pikirku , Satu-satunya cara adalah mengalahkan Iblis Andaka itu.
Segera aku membacakan ajian lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh untuk diarahkan pada Iblis Andaka itu , namun serangan itu tidak melukainya sama sekali ,
sebaliknya iblis itu menoleh ke arahku dan menyerangku degan tanganya yang sudah menggenggam tombak tua di tanganya.
Aku mencoba menghindar namun gerakanya terlalu cepat, sebuah tusukan menembus tanganku yang mencoba menahan serangan itu.
Kengerian tidak cukup sampai di sini , dari arah pintu masuk hutan terlihat seseorang yang menari tanpa sadar , tidak hanya satu… beberapa orang lagi menyusul di belakangnya.
Itu adalah warga desa!
“ Bapak … Maafin sekar, Sekar ga bisa jagain warga desa” ucap sekar yang berlari dan berusaha menahan warga desa.
“ Sekar!! Jangan ke sini! “ Ucap Pak Sardi yang berusaha menghentikan sekar.
Pak Sardi kehilangan konsentrasinya, sebuah serangan dari demit anak buah andaka membuatnya jatuh dan tersungkur.
Suasana di alas mayit semakin mencekam, kekuatan eyang widarpa dibutuhkan di sini. aku menarik keris ragasukmaku dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhurku
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Di tengah hujan deras , sesosok kakek tua bungkuk berambut panjang berwarna putih muncul dari derasnya hujan.
“ E.. Eyang! Kulo…”
Belum sempat menyelesaikan kata-kataku , eyang segera menyerang Iblis Andaka dan membuatnya terpental.
“Bocah Asu… Demit iki ben dadi urusanku , kamu urusin warga desa” Eyang widarpa membelakangiku dan bersiap menghadapi Iblis di tubuh Aswangga.
..
“ Tunggu… aku kenal kamu kakek tua” Andaka kembali berdiri dan menghadapi kami.
“ Kamu … Kamu itu Patih Widarpa kan?!!! Kamu yang membawa pergi warga dan Raja dari kerajaan !” Teriak Andaka dengan menunjuk kepada Eyang widarpa.
Tunggu , Patih… Jadi Eyang Widarpa patih yang menyelamatkan raja dan warga dari pemberontakan . Seketika aku teringat sebuah benda yang dititipkan oleh Paklek , dan ternyata bentuk kalung itu tidak jauh berbeda dengan yang dipakaikan setan penari itu kepada Andaka.
“ Eyang… apa itu benar? “ tanyaku pada eyang yang tidak merespon ucapan andaka.
“ Bukan urusanmu bocah asu… pergi , masalah yang lebih besar ada di belakangmu” Perintah Eyang widarpa padaku.
“ Baik mbah , sebelumnya terima ini dulu… ini titipan nyai Suratmi “
Aku menyerahkan sebuah pusaka kalung kuningan ke pada eyang, ia terlihat mengenalinya dan segera mengenakanya.
Hal yang aneh terjadi , Tubuh eyang widarpa kembali tegak, tubuhnya terlihat menjadi lebih muda layaknya seorang patih kerajaan yang dapat diandalkan.
“ Jadi… itu benar, Eyang widarpa seorang patih” Tanyaku sambil sedikit tersenyum.
Eyang widarpa melihat dirinya yang berubah , namun iya kembali melepas kalung itu dan melemparkanya padaku.
“ Aku ora butuh , Tanpa Nyai Suratmi aku lebih suka dengan wujud ini!” Ucapnya yang segera mengayunkan cakarnya ke wajah busuk Iblis reinkarnasi Andaka itu.
Eyang Widarpa terlihat bisa mengimbangi patih andaka. Aku sedikit tenang dan meninggalkanya.
“ Cahyo! Serahkan tabuh waturingin pada sekar dan Tahan demit-demit itu! Biarkan Pak Sardi menggunakan Geni Baraloka kepada mereka! “ Perintahku pada Cahyo.
Cahyo memukul dengan keras ke arah tanah dan mengambil jarak dari makhluk-makhluk itu. Tanpa banyak berbicara ,
mereka melakukan semua yang aku perintahkan.
“Hati-hati Danan… Lawanmu perempuan , jangan lengah!” Ucap Cahyo yang mengetahui maksudku untuk menghampiri Iblis wanita yang menyebabkan semua ini terjadi.
Seolah mengerti kehadiranku , ia menyambutku dengan sebuah tarian yang gemulai.. tarian itu menjadi mengerikan ketika setan itu tersenyum mengerikan tanpa bola mata di wajahnya dan dilakukan diatas tumpukan mayat tumbal dari Aswangga .
Aku mengejarnya , namun setan itu melayang ke arah tubuh Laksmi yang tergantung , merasukinya, dan menjatuhkan dirinya ke sendang banyu ireng.
Roh Laksmi masih menari di sana, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tubuhnya.
Dari dalam sendang banyu ireng , terlihat tubuh Laksmi bangkit dari dalam air , luka-luka pada tubuhnya sudah menghilang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Satu persatu baju Laksmi yang penuh darah dilepaskan hingga tidak sehelai benangpun tertinggal di tubuh Laksmi yang indah itu.
“ Danan… ini aku Laksmi “
Dengan tubuh yang basah dan tanpa pakaian, Laksmi menghampiriku dan melemparkan senyumnya yang manis..
seperti saat pertama kali aku datang ke desa windualit.
“ Nggak.. ga mungkin , aku melihat semuanya… kamu setan yang mencuri tubuh Laksmi” Aku membacakan mantra pada tanganku dan bersiap menyerang Laksmi.
Namun keindahan tubuh Laksmi yang berada dihadapanku dan kenanganku bersamaya menahan itu semua.
“ Cukup Danan… jangan sakiti aku lebih dari ini” Ucap Laksmi dengan wajah yang memelas.
Ucapan Laksmi benar-benar menyentuh , aku tak tahu harus berbuat apa..
rasa bimbang yang amat sangat muncul. Aku tidak bisa membedakan lagi mana yang benar.
Di tengah sendang dan diterangi cahaya bulan , Laksmi berdiri anggun di hadapanku dengan memamerkan keindahan tubuhnya.
Laksmi mendekat..
“ Aku sudah tidak apa-apa Danan.. aku cuma butuh kamu “ Ucap Laksmi menempelkan badanya padaku dan memeluku.
Rasa bimbang dan kehangatan yang muncul di diriku membuatku tak mampu lagi menahan akal sehatku.
Tanganku membalas pelukan Laksmi , kulitnya yang halus dan pelukanya yang hangat membuatku merasa tenang.
“ Laksmi… Aku ga akan ninggalin kamu lagi”
Bersambung Part Akhir - Tataran Pungkasan (Pertunjukan Akhir)
Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor
Beberapa saat sebelumnya…
Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.
Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.
Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.
“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.
Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”
Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”
“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”
Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.
“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”
“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”
Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”
Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.
“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.
Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.
Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.
Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.
“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.
Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”
“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”
“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.
“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.
“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.
Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.
Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.
Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.
“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.
“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”
Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.
“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.
Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.
Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.
Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.
Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.
“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.
Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.
“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.
Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.
Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.
“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.
“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.
Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.
“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”
Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.
Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.
“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..
“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”
Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..
“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”
Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.
“Desa?”gumamnya, penuh ragu.
Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.
Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.
Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...
"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
PROLOG
"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."
Suara itu terdengar lirih namun berat, seolah menyatu dengan malam yang mencekam. Di tengah remang cahaya obor yang berkedip, seorang pria melangkah berat menuju sebuah jasad. Jenazah itu dibungkus kain kafan kusam bertuliskan aksara merah—seperti coretan darah yang tak mengering.
Di samping jasad, berdiri seorang lelaki tua berpakaian hitam. Wajahnya dipenuhi kerutan, sorot matanya tak menunjukkan belas kasihan—ia hanya menunggu.
"Jadi… ini jawabannya?" suara pria itu pecah, goyah. Ia menahan napas, bau busuk dari jenazah membuat perutnya mual. Ia bahkan tak tahu siapa mayat itu.
Tapi ia bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang jauh dari kematian biasa.
"Bawalah pulang," ujar lelaki tua itu, "Minta apa pun padanya. Perlakukan ia seperti Tuhan. Kau tak akan menyesal."
Pria itu diam, lalu mendengarkan tata caranya:
Jenazah harus digendong, tak boleh menyentuh tanah. Harus dibaringkan di atas keranda bambu dan dimandikan setiap tengah malam, menggunakan bunga-bunga tertentu.Dan yang terpenting... setiap seribu hari, seorang gadis perawan harus tidur di sampingnya.
Putus asa. Dendam. Rasa malu yang telah dipendam bertahun-tahun. Semua itu menutup mata pria itu dari logika dan nurani.
…
BRAK!!
Pintu rumah terbuka dengan keras, disusul deru petir dan hujan deras yang mengguyur. Di ambang pintu, pria itu berdiri dengan pakaian basah kuyup, menggendong sesuatu yang mengeluarkan bau amis menusuk. Di belakangnya, kegelapan menggantung seperti ancaman.
Istri dan anak perempuannya terkejut, bingung sekaligus takut.
“Pak… itu… apa?” istrinya bertanya dengan suara gemetar.
“Ini... adalah jalan keluar kita. Tuhan kita yang baru! CEPAT!!”
Di tengah hujan dan malam yang pekat, mereka membuat keranda dari bambu. Tak satu pun dari mereka berani menolak. Menjelang tengah malam, jenazah itu dibaringkan di atas keranda, dimandikan, lalu diselimuti kain kafan bertuliskan aksara darah.
Pria itu berlutut di depan jenazah.
“Aku ingin... seluruh keluarga Prawiryo mati!”
Istri dan anaknya ikut berlutut. Mata sang anak berkaca-kaca.
“Anak laki-laki tertua mereka… dia memperkosaku di lumbung padi. Dia membuangku seperti sampah... kematiannya harus paling menyakitkan.”
Petir menyambar lagi. Kilat menerangi ruangan, dan bayangan hitam muncul dari jasad itu. Tingginya nyaris mencapai langit-langit. Wujudnya kabur, hanya tampak senyum bengis dari mulut berlumuran darah.
Mereka bertiga gemetar.
Tapi makhluk itu hanya lewat... dan keluar rumah tanpa suara.
Malam itu, keluarga Prawiryo ditemukan tewas di rumah mereka. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulut mereka.
Namun yang paling mengerikan adalah kematian sang anak sulung...
Tubuhnya terpotong menjadi tujuh bagian, dan kepalanya tertancap di atap rumah—menghadap ke langit.
Kematian keluarga Prawiryo, sebagai keluarga paling terpandang dan kaya di desa, mengguncang semua orang. Namun suatu hal yang tak diduga terjadi. Tak lama kemudian, satu keluarga yang dulu dihina, dipermalukan, dan ditindas... bangkit.
Mereka membangun rumah besar, menguasai tanah dan harta keluarga Prawiryo.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan hormat, juga dengan takut:... Trah Wisesa.