Masih berdasarkan penuturan informasi Mas Arjuna salah satu warga twitter yang Asli Blitar..
Kejadian yang terjadi puluhan tahun silam yang melibatkan buyut dari Mas Arjuna dalam perang santet dan klenik.
Blitar Tahun 1925 , kala itu Belanda masih berkuasa di negeri ini. Namun tidak semua desa dapat disentuh oleh penjajah . Diantaranya desa yang dilindungi atau dikuasai oleh tuan tanah yang memiliki pengaruh besar.
Tuan tanah yang dimaksud bukan hanya mereka yang memiliki harta atau kekayaan melimpah, tetapi mereka yang juga memiliki ilmu tinggi , baik yang diturunkan maupun yang dicari oleh mereka sendiri.
Beberapa dari mereka berperan di belakang layar di setiap perang perlawanan terhadap penjajah, sehingga mereka sangat disegani dan mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Raden Arya Mangkubirawa adalah salah seorang tuan tanah yang sangat terpandang di desanya.
Penduduk mengenal Raden Arya sebagai pribadi yang welas asih dan sangat peduli dengan penduduk desa. Tidak ada satupun warga desa yang dibiarkan kesulitan olehnya, apalagi soal makanan dan kebutuhan hidup.
Ia tidak segan-segan memberikan miliknya apabila ada seseorang warga di desanya yang membutuhkan.
Saat ini Raden Arya dikaruniai dua belas anak yang juga diturunkan kesaktian yang dimiliki oleh Raden Arya.
Tidak hanya mengenai kesaktian, ilmu kebajikanpun sudah mereka pelajari selama hidup dengan ayah mereka.
Dengan adanya Trah Mangkubirawa ini , desa hidup dengan makmur tanpa kekurangan suatu apapun. Namun sebenarnya ada satu hal yang masih bisa mengancam desa ini.
Di seberang sungai yang dianggap sebagai perbatasan desa , terdapat sebuah desa yang juga dikuasai oleh seorang tuan tanah bernama Ki Sedo Balanggawe, Seseorang yang juga memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan Raden Arya.
Hanya bedanya kesaktian yang dimiliki Ki Sedo didapatkan dengan cara yang tidak benar.
Kedua tuan tanah ini sebelumnya adalah saudara seperguruan , dengan kemampuan yang dimiliki, mereka menjadi orang yang terpandang di desanya masing-masing.
Namun ketika Ki Sedo semakin haus akan kesaktian , Raden Arya membatasi perbatasan desa mereka dengan maksud menjaga warga desa dari imbas kesaktian Ki Sedo.
Sebenarnya kedamaian di desa berlangsung lama namun terkadang Raden Arya merasa khawatir dengan penduduk desa di wilayah Ki Sedo. Sampai akhirnya kegelisahan Raden Arya terjawab dengan datangnya seseorang dari desa sebelah ke Rumah Waras.
Dia adalah Badar, seorang warga yang awalnya bekerja kepada Ki Sedo Pemimpin Trah Balanggawe. Badar datang dengan tujuan untuk meminta perlindungan kepada Raden Arya selaku Pemimpin Trah Mangkubirawa.
“Raden ngapunten… kulo Njaluk pitulung Raden, Kulo Minta perlindungan dari panjenengan” (Raden mohon maaf.. saya minta tolong raden , saya meminta perlindungan dari Raden) Ucap Badar yang terlihat gelisah namun berusaha sesopan mungkin untuk berbicara dengan Raden Arya.
Seolah telah mengerti kegelisahan Badar , Raden Arya segera memanggilnya mendekat.
“Reneo Le’ Cerita sek awakmu ono opo? Perlindungan masalah opo?” ( Kesini nak.. cerita ada apa denganmu? Perlindungan masalah apa? ) Ucap Raden Arya.
Badar mendekat dan duduk di dekat Raden Arya dan memberanikan diri untuk bercerita walaupun dengan rasa sungkan.
“Kulo kabur dari Rumah Tenung Raden… Kulo mboten saget neh kerjo karo Ki Sedo” (Saya kabur dari Rumah Tenung Raden… saya tidak sanggup lagi kerja sama Ki Sedo)
Ucapnya dangan badan yang mulai gemetar.
“Kulo… Kulo wedi keluarga kulo didadikno tumbal selanjutnya..” (Saya… saya takut keluarga saya dijadikan tumbal selanjutnya) Kali ini Badar mencoba menahan sedih.
“Tumbal? Jelasno sing nggenah le.. maksute tumbal opo?” (Tumbal? Jelasin yang jelas nak.. maksudnya tumbal apa?) Raden Arya mulai terganggu dengan cerita Badar.
“Ki Sedo.... kesaktian ki sedo terus bertambah, dan ilmunya itu memakan tumbal dari pekerja dan warga di sekitarnya” Jelas Badar kepada Raden Arya.
Terlihat Raden Arya gelisah mendengar cerita itu , walaupun sudah menduga mengenai hal ini tapi sepertinya kali ini Raden Arya berfikir harus ada yang menghentikan perbuatanya saudara seperguruanya itu.
“Wes sesok tak omongne karo Sedo, Panjenengan mulih istrahat … Sesok Kerjo nang sawahe Karjo ae yo? Keluarga panjenengan di gowo sisan”
(Sudah.. besok saya bilangin sama Sedo, Kamu pulang istirahat… Besok kerja di sawahnya Karjo saja ya? Sekalian keluarga dibawa semua)
Ucap Raden Arya yang terlihat simpatik dengan Badar.
“Njeh..njeh matursuwun sanget Raden..” (Iya.. terima kasih banyak raden ) Mata Badar berbinar mendengar tawaran dari Raden. Ia tidak berhenti bersukur selama pulang meninggalka Rumah Waras.
Besok paginya Raden bersiap Pergi ke desa sebelah menemui Ki Sedo , Ia tidak mengajak satupun dari ke dua belas anaknya dengan harapan Ki sedo dan anak-anaknya merasakan niat baik Raden Arya.
Saat diperjalanan Raden bertemu dengan Broto,
“Tiang Pundi Pak?” (Mau pergi kemana pak?) Tanya Broto anak tertuanya yang heran kemana bapaknya akan pergi dengan pakaian sebagus ini.
“Silaturahmi Ke Ki sedo nang, sekalian mau ada yang bapak bicarakan” Jawabnya dengan singkat.
Tiba-tiba Broto bicara dengan nada yang berbeda,
”Ada perlu apa dan apa yang mau dibicarakan pak? Bapak tau kan Trah balanggawe sangat tidak menyukai keluarga kita?”
“Jangan breburuk sangka dahulu, Tidak baik … bapak pergi dulu kamu kasih tau adekmu si karjo, mulai hari ini Badar kerja sama dia” Ucap Raden Arya dengan tegas.
Tanpa banyak kata Broto menuruti perintah ayahnya itu. Namun dibalik itu ia punya rencana lain untuk melindungi ayahnya itu. Ia diam-diam mengikuti Ayahnya dengan mempersiapkan pasukanya.
…
…
Sebuah sungai terlihat membentang sangat panjang seolah membelah daratan.
Sungai ini adalah batas alam wilayah Trah Balanggawe dan trah Mangkubirawa dengan sebuah jembatan sebagai penghubungnya.
Raden Arya mempersiapkan dirinya, karena saat ia meninggalkan batas desanya , ia sudah ada di wilayah jangkauan ilmu Ki Sedo. Dan Benar…
ketika melewati jembatan Raden sudah dicegat oleh makhluk halus penjaga desa peliharaan Trah Balanggawe.
Terlihat empat makhluk berwujud genderuwo merah yang menghentikan Langkah Raden Arya. Mendapat penghadangan dari keempat makhluk itu,
Raden Arya hanya berhenti tanpa melakuan perlawanan. Sebenarnya jika Ia mau bisa saja ia memanggil seluruh abdi dalem dan menghabisi seluruh demit yang ada di desa itu. Namun karena tujuan Raden Arya hanya ingin berbicara dengan Ki Sedo , ia mengurungkan niatnya itu.
..
Tanpa harus melakukan apapun, Ki Sedo sudah menyadari kedatangan Raden Arya saudara seperguruanya itu.
Seketika udara berubah sangat panas dan angin bertiup sangat kencang. Raden Arya mendengar suara tanpa Wujud,
“Wah..wah.. Kita kedatangan tamu agung, saudara lama saya Raden Arya Mangkubirawa , biarkan dia lewat!” Ucap suara yang terdengar di tempat itu.
Seolah mengerti maksud empunya, ke empat genderuwo itu menyingkir dan membuka jalan untuk Raden Arya.
Di sisi lain , Broto yang memperhatikan kejadian tadi merasa kesal melihat ayahnya dihadang dan diancam. Yang ia tahu ayahnya Raden Arya Mangkubirawa selama ini selalu mendapatkan perlakuan hormat , belum pernah dia melihata ayahnya direndahkan seperti ini.
Raden Berjalan dengan tenang memasuki halaman Rumah Tenung, di tempat itu ia merasa kehadiranya sudah ditunggu . Semua terlihat dari kehadiran Ki Sedo yang sudah menyambutnya di halaman Rumah Tenung.
“Sedo Saudaraku apa kabarmu?” Ucap Raden Arya membuka pembicaraan.
“Hahaha… Sangat baik Raden ” Balas Ki Sedo
”Ada apa gerangan seorang pemimpin Trah Mangkubirawa yang Agung sampai jauh-jauh kemari?”
Raden Arya menghela nafas, Ia harus berhati-hati untuk menyampaikan tujuanya kemari.
“Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu apabila lancang atau menyinggung…” Buka Raden Arya.
“Aku mau meminta ijin agar pekerjamu yang bernama Badar boleh diijinkan untuk bekerja untuk anaku.. Karjo” Raden Arya berbicara dengan sopan.
Raut wajah Ki Sedo terlihat tidak senang , ia menatap raden Arya dengan wajah yang mulai terlihat kesal.
“ Badar? Tidak... Tidak bisa . Pekerjaanya di sini memiliki peran yang sangat penting” Tolak Ki sedo dengan tegas.
Sebenarnya Raden Arya sudah menduga akan hal ini, namun ia masih berharap apabila ia sendiri yang datang menemui Ki Sedo mungkin saja ia bisa mengijinkan.
“Kalau peran penting yang kamu maksud itu untuk menjadikan Badar dan keluarganya sebagai tumbal..
Lebih baik segera kamu urungkan niatmu itu Sedo… Ini nasihatku sebagai saudaramu.” Raden Arya berusaha menyampaikan pesanya dengan bijak.
“Jadi.. sebenarnya apa maksud kedatanganmu?“ Kali ini wajah Ki Sedo sudah benar-benar kesal.
Aku sudah menyampaikan maksudku, berhentilah mempelajari ilmu gelap yang saat ini sedang kau sempurnakan, Ingat Pesan Mahaguru agar kita selalu bisa hidup bermanfaat bagi orang lain”
Raden arya mencoba melanjutkan ucapanya.
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Raden Arya ,
Ki Sedo langsung Berdiri menujuk wajah Raden arya dengan kesal dan berbicara dengan suara yang menggelegar.
“Hei Raden Arya! Kau pikir siapa kamu sudah berani berbicara seperti itu!” Kali ini Ki Sedo tidak lagi menahan sikap sopanya.
“Siapapun yang sudah berani ikut campur urusanku. maka hidup matinya juga adalah urusanku” ucap ki sedo yang terlihat menantang.
Setelah mendengar ucapan Ki Sedo, Tanpa menunggu lama kedelapan anak Ki Sedo segera mengelilingi Raden Arya. Tak hanya itu,
lebih dari dua puluh murid ilmu hitam Ki Sedo juga bersiap mencelakai Raden Arya.
Rupanya entah apapun yang disampaikan Raden Arya, Ki Sedo tetap bertujuan untuk mencelakai saudara seperguruanya itu.
Di tengah ancaman itu Raden Arya terlihat sangat tenang ,
walaupun sebenarnya tanpa bantuan dari anak-anakny ia tidak yakin bisa bertahan dari gempuran Ki sedo dan anak-anaknya.
“Bodoh! Ini adalah kebodohanmu.. Datang ke Rumah Tenung sendirian tanpa perlindungan sama saja seperti menyerahkan nyawa.
Sepertinya anak-anakmu sudak tidak perduli dengan keselamatanmu.”
Ucap Ki Sedo dengan bangga.
Tanpa menunggu lama , seluruh anak buah Ki Sedo mulai mengerahkan ilmunya..
“Rasakan Ini Raden,Nikmati rasa sakit yang sebentar lagi Akan……”
Belum sempat selesai berbicara , ke dua puluh murid ki sedo yang seharusnya melancarakan serangan malah berakhir tergeletak dengan memuntahkan darah.
Melihat itu Ki Sedo dan anak-anaknya panik. Tetapi Bahrun anak tertua Ki Sedo langsung menyadari siapa yang melakukan ini semua.
“Keluar kamu Broto! Berani sekali kamu menumpahkan darah anak muridku?” Ucap Bahrun yang menyadari keberadaan Broto anak tertua Raden Arya.
Mengetahui keberadaanya sudah disadari oleh Bahrun , Broto menampakan diri dan menghampiri Raden Arya.
Menyadari akan keberadaan Broto , Ki Sedo segera memerintahkan demit-demit peliharaanya untuk menyerang Raden Arya. Berbagai demit muncul dihadapan Raden, mulai dari Genderuwo merah yang menghadang di jembatan,
makhluk besar seperti kelelawar,hingga mayat perwujudan prajurit jaman dahulu.
Yang lebih mengerikan, mereka sudah dibekali ilmu hitam yang mana setiap seranganya bisa menghabisi seorang manusia biasa dalam sekejap.
Serentak demit – demit itu menyerang Raden Arya mengikuti perintah ki Sedo. Tetapi sebelum sampai menyentuh Raden Arya , demit-demit itu terpental oleh pukulan sesosok makhluk besar dengan otot dan kulitnya bewarna merah darah memegang sebuah Keris ,
Terlihat sebuah mahkota terpasang di kepalanya.
Itu adalah Ki Ranu Banyuwira ingon terkuat Milik Broto…
Terlihat wajah Broto sudah dipenuhi emosi , ia mencoba membalas perlakuan Ki Sedo pada ayahnya itu.
“Kalian tau Bapak kami? Raden Arya Mangkubirawa… Bapak adalah keturunan murni Mataram yang menjadi pimpinan Trah Agung Mangkubirawa. Dan sekarang kalian berani memperlakukan bapak seperti ini?
Ucap Broto dengan kesal.
“Bajingan kalian! Bersiaplah.. akan kuhabisi kalian semua!”
Anak-anak Ki Sedo pun bersiap, mereka membaca mantra kuno pemanggil demit alas yang menjadi peliharaan mereka. Mereka sangat sadar siapa yang mereka hadapi.
Seorang keturunan Mataram kuno beserta pelindungnya yang terkenal kesaktiannya,
bahkan hanya dengan melihat kerisnya saja mereka sudah tau betapa kejamnya kemampuan ingon Broto yang bernama Ki Ranu,tidak terhitung berapa banyak nyawa melayang di tangan Ki Ranu lewat kerisnya sampai kerisnya pun berwarna merah darah.
Suasana Rumah Tenung semakin mencekam, terlihat demit alas dari seluruh desa dan hutan di sekitarnya berkumpul di sana.. kekuatan hitam dari anak-anak dan murid dari ki sedo terlihat menyelubungi Rumah tenung seolah akan dimulai sebuah perang besar.’
“ Sudah Broto ! Hentikan! Kalian juga..” Teriak Raden Arya dengan wibawa yang mampu membuat mereka semua terdiam.
Rupanya Raden Arya menyadari kehadiran anak-anaknya yang menyusul dengan membawa pusaka dan pengikutnya masing masing.
Padahal dengan keberadaan Broto saja sudah mampu membuat Ki Sedo dan anak-anaknya gentar.
Selama ini mereka memang sudah mendengar kabar simpang siur mengenai kehebatan trah mangkubirawa, Tapi ketika melihatnya sendiri seperti sekarang mereka tak mampu berkata apa-apa.
“Sedo, aku masih anggap Njenengan itu saudaraku..
aku tidak mngerti mengapa kau bisa berubah semenakutkan ini..
Apa yang keluargamu lakukan tadi kuanggap sebagai bentuk penghinaan yang tidak bisa kumaafkan..
Aku memberikanmu waktu untuk berubah, akan kutinggalkan seekor ayam diperbatasan,jika dalam 3 hari ayam itu masih hidup maka aku anggap itu itikad baik darimu..
Tetapi jika dalam 3 hari ayam itu mati maka bersiaplah seluruh anggota Trah Balanggawe akan lenyap dari bumi Mataram ini “
Raden Arya dengan bijak memberikan kesempatan kepada Trah Balanggawe untuk berubah.
Bersamaan dengan kalimat terakhir dari Raden Arya , munculah Sosok Juru Kiting, panglima perang Mataram yang tersohor. Sontak wajah Ki Sedo berubah, ia sadar bahwa ia harus segera memutuskan,
menerima tawaran dari Raden atau tetap pada pendiriannya yang mungkin bisa berakibat fatal bagi Trah Balanggawe.
Setelah kejadian itu , seluruh keluarga Trah Mangkubirawa meninggalkan rumah tenung.
Seekor ayam yang dijadikan sebagain perantara perjanjian ditinggalkan di perbatasan.
Untuk mengamankan desa, sekeliling wilayah Trah Mangkubirawa di kelilingi dengan Pagar Ghaib dan seluruh anggota keluarga mempersiapkan diri untuk hal terburuk.
Tiga hari digunakan untuk melakukan ritual pemurnian batin dengan puasa mutih dan menjalin kekuatan leluhur dan memohon keikhlasan Yang Maha Kuasa atas yang akan terjadi nanti.
Setiap hari Tirakat singkat dilakukan di desaitu bukan hanya untuk mengharapkan perlindungan, melainkan juga berharap agar Trah Balanggawe mau membuka matanya dan bertobat.
Di sisi lain dengan ajian mata elang sakti , Trah Mangkubirawa memantau pergerakan dari Trah Balanggawe.
Dari penglihatanya itu mereka melihat Ki sedo dan Keluarganya terlihat lebih sibuk. Sepertinya ia memutuskan untuk berperang seolah memiliki rencana mengerikan yang ia percaya mampu mengalahkan Raden Arya dan keluarganya.
Tiga hari berlalu…
Seluruh kekuatan besar Trah Mangkubirawa pergi menuju perbatasan , Seluruh warga desa dilarang untuk keluar rumah sejak pagi hari apalagi melewati perbatasan desa yang telah dipasang pelindung.
Sesampainya di pinggir sungai, Broto yang ditugaskan ayahnya sebagai pemimpin Rombongan diperintahkan untuk mencari ayam yang ditinggalkan oleh ayahnya, Namun ayam itu tidak ia temui ditempatnya, melainkan hanya sosok Bahrun Anak tertua Ki Sedo yang menunggu di seberang sungai.
“Broto apa kau mencari ini’? Terlihat Bahrun memegang ayam yang ditinggalkan oleh Raden Arya, dan ayam itu dalam keadaan hidup.
Broto terlihat cukup lega , sepertinya keluarga Balanggawe kehabisan cara untuk menghadapi Keluarga Mangkubirawa dan memutuskan untuk mengurunkan niatnya.
“Keputusan yang tepat Bahrun, aku tahu masih ada kebaikan di hati kalian.
Mari kerumah,kalian semua kami undang dan kami jamu dirumah waras” Ucap Broto dengan senyum di wajahnya.
Ia sangat senang apabila bisa menghindari pertempuran yang pasti akan mengorbankan banyak nyawa.
Mendengar ajakan Broto, Bahrun terdiam … sebuah senyuman muncul dari bibirnya. Bukannya menanggapi ajakan Broto Bahrun justru memotong kaki ayam tersebut ,mengigit lehernya dan menghisap darah ayam itu hingga habis…
…
“HAHAHA! Hei kali Trah Mangkubirawa! Apa kalian pikir kami akan menuruti perintah dari kalian? apa kalian pikir kami takut lalu tunduk kepada kalian?” Teriak Bahrun dengan sombongnya.
“Majulah.. Kami sudah mempersiapkan kematian yang pantas untuk kalian” Lanjut Bahrun.
Merasa dipermainkan , Broto kembali mengeluarkan Keris pusakanya yang diikuti oleh seluruh pasukanya.
“Bajingan Kau Bahrun kau mempermainkan kami , Akan kami perlihatkan neraka kepada kalian” ucap Broto seolah-olah memberi komando kepada saudara-saudaranya.
Di belakang bahrun telah berdiri saudara2nya beserta semua muridnya dan bala tentara demit yang ia tangkap selama ini. dan di belakang Broto berbaris seluruh saudaranya beserta pusaka Para Panglima dan Bala Tentaranya bersiap.
Seolah tahu akan rencana Ki Sedo , Raden Arya tidak turut berperang di tempat itu. Runtutan Santet Watu Kali dikirimkan oleh Ki Sedo untuk menghabisi nyawa Trah mangkubirawa dan Warga desa.
Namun Raden Arya menangkalnya dengan Santet Getih abang yang mampu melumpuhkan musuhnya itu tanpa harus membunuhnya.
Pertempuran sengit terjadi di perbatasan , satu demi satu mayat bergelimpangan dari kedua belah pihak.
Selama tiga hari tiga malam adu ilmu fisik maupun batin terjadi di sana. Air Sungai perbatasanpun mulai menghitam dengan dibanjiri darah korban yang didominasi oleh darah darih Trah Balanggawe.
Kejadian ini disebut dengan nama Perang Rojopati.
Di Malam ketiga , terlihat kemenangan berpihak di sisi Trah Mangkubirawa , Seluruh anak dari Ki Sedo mati di tangan keduabelas anak Raden Arya.
Ki Sedo dan sisa-sisa keluarganya melarikan diri dan mundur ke hutan.
“Lihat Saja! Suatu saat akan kubalas kekalahan ini.. kupastikan seluruh Trah Balanggawe akan mati dengan mengenaskan” Sumpah Serapah diucakan oleh Ki Sedo sebelum meninggalkan Perbatasan.
Setelah memenangkan pertempuran Broto dan pasukanya kembali ke desa dan membersihkan sisa-sisa pertempuran. Walaupun pertempuran telah usai , Broto masih melihat gelagat aneh dari Ki Sedo yang mundur ke hutan.
Kondisi desa berangsur-angsur pulih , tidak ada satupun warga desa yang terluka. Namun mereka membantu merawat anggota keluarga Raden Arya dan pasukanya yang terluka.
Seminggu Setelah Perang Usai, Keluarga Raden Arya Harus Pergi untuk melaksakan Tirakat Mutih Getih selama satu bulan di Lembah Argopuro.
Hal ini dilakukan dikarenakan mereka merasa desa sudah aman dan untuk mempersiapkan kesaktian yang sudah mereka gunakan selama perang agar dapat digunakan sepenuhnya lagi saat ada ancaman lain.
Untuk menjaga desa , Raden Arya memerintahkan kedua anak bungsunya Nyi Murti dan Cak Bahar untuk mengawasi desa dan sisa wilayah keluarga Balanggawe.
Walaupun tidak ada kejadian aneh , Nyi murti dan Cak bahar tetap berjaga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Satu minggu setelah kepergian Raden Arya, satu persatu warga desa terserang penyakit yang aneh. warga yang terserang penyakit ini tidak bisa tidur, n kulit mereka tidak bisa terkena air,
,sehingga banyak warga yang tidak mandi tetapi keringat mereka mengeluarkan bau yang sangat menyengat.
Nyi Murti dan Cak Bahar tidak bisa tinggal diam melihat warga desa yang tersiksa terkena penyakit-penyakit ini.
Mereka sekuat tenaga berusaha menyembuhkan warga dengan ilmu yang mereka miliki. Namun ternyata semua itu berakibat fatal..
Setiap Nyi Murti dan Cak Bahar berhasil menyembuhkan seorang warga , Sebuah luka timbul di tubuh mereka.
Mereka mencoba berhenti, namun tidak tega melihat warga desa yang tersiksa dengan penyakit ini. Sampai akhirnya Nyi Murti dan Cak Bahar Sekarat dengan luka yang ditimbulkan itu.
Ingon Milik Cak bahar pergi ke lembah argopuro untuk memberitahukan kondisi keduanya kepada Raden.
Namun sayangnya Raden Arya belum selesai dari Tirakatnya. Hanya Warjo yang sudah selesai dan segera menggunakan kemampuan penerawanganya untuk mengetahu apa yang terjadi.
“ Santet Walang Sangit”
Warjo menemukan jawaban atas semua kejadian yang menyerang warga desa hingga membuat kedua adiknya sekarat.
Santet Walang Sangit adalah santet dalam bentuk penyakit yang disebaran dalam bentuk wabah. Santet ini sebenarnya tidak mematikan untuk mereka yang berilmu,
namun ketika puluhan santet ini dikumpulkan di satu tubuh, sudah pasti akan berakibat fatal.
Dari kejadian ini Warjo menggambil kesimpulan Trah Balanggawe masih ingin melanjutkan perselisihan ini. Dengan sabar ia menunggu bapak dan saudaranya menyelesaiakn tirakat mereka.
Setelah Bapak dan Saudaranya selesai , Warjo menceritakan semua yang terjadi dan segera bergegas menuju desa.
Di pintu masuk desa , mereka melihat begitu banyak dedemit kiriman yang berkerumun mengepung desa.
Segera Broto menghunus kerisnya dan membiarkan Ki Ranu ingonya menghabisi dan mengusir demit-demit itu.
Di rumah Waras, Mereka melihat kedua adiknya dalam kondisi yang mengenaskan dengan luka-luka yang membuat mereka hampir tidak dikenali.
Tangisan seluruh anggota keluarga pecah begitu menyadari adik-adiknya masih bernyawa namun sukma mereka sudah menjadi santapan para dedemit tadi.
Setelah dimandikan menggunakan Jarik Kuning Nyi Murti dan Cak Bahar pun meninggal dan dikuburkan di pemakamann keramat milik keluarga
Selama seminggu penuh Raden Arya tidak berhenti menangis.
Ia menyalahkan dirinya dan merasa kematian kedua anaknya merupakan kecerobohanya yang membiarkan mereka yang belum memiliki cukup ilmu untuk menjaga desa.
Kondisi Raden Arya yang lemah ini segera dimanfaatkan oleh Ki Sedo untuk mengirim Keris Putu Barong untuk menghabisi Raden Arya.
Sebuah serangan yang tidak terduga menyerang Rumah Waras.
Anak-anak Raden Arya masih sibuk mengurus warga desa yang terserang penyakit tanpa sadar Raden Arya dalam kondisi lemah. Dan ketika melihat adanya serangan mereka bergegas ke Rumah Waras.
Namun yang mereka temukan adalah tubuh Raden Arya yang sudah dicabik-cabik dengan mengenaskan oleh Keris Putu Barong kiriman Ki Sedo itu.
Dengan kondisi itu, Terlihat Raden Arya masih mempertahankan kesadaranya.
Iya sengaja menunggu kesepuluh anaknya yang ia yakin pasti akan datang.
“Le.. dengerin Bapak, Waktu bapak sudah tidak banyak… “Raden Arya mulai berbicara ketika semua anaknya berkumpul.
Beberapa dari mereka mencoba menolong Ayahnya namun terlihat sia-sia.
“Ini titah bapak.. Jaga warga desa , dan j angan Biarkan Sedo melakukan kejahatan lebih jauh dari ini” ucap bapak dengan nafas yang tersengal-sengal.
Seluruh anak Raden Arya mengangguk menyetujui titah ayahnya dengan menahan tangis dari matanya.
“Kamu Karjo.. walaupun kamu bukan yang tertua.. kamu yang akan menjadi pemimpin Trah Berikutnya,Karena Trah ini butuh pemimpin yang bisa berfikir jernih dan tidak Gegabah tetapi tegas sepertimu… Kamu tidak keberatan kan Broto?”
Ucap Raden Arya kepada Karjo sembari meminta persetujuan dari Broto.
“Tidak Bapak.. saya tidak keberata, Karjo memang yang paling pantas mengemban tugas ini..” Broto menyepakati pesan ayahnya.
Mendengar pesan ayahnya dan Kakaknya yang telah merestui , Karo menerima tanggung jawab ini dengan tangan saudara-saudarany di pundaknya dengan maksud memberikan dukungan.
Melihat itu Raden Arya tersenyum.. sekali lagi Ia memaksakan dirinya untuk berbicara
“Bapak pamit,jaga dan lindungi semua saudaramu”,
Tepat setelah kalimat terakhir raden menghembuskan nafas terakhirnya.
Spontan seluruh anggota keluarga menangis meratapi kepergian Raden Arya.
Terlihat Karjo masih terus menunduk menahan rasa sedih dan mecoba menerima seluruh tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya
Hari itu menjadi hari yang kelam, seluruh warga desa sedih kehilangan sosok pengayom yang tidak pernah berhenti memikirkan kondisi meraka.
Namun ketika mereka mengetahui bahwa Karjo yang dipercaya memegang tanggung jawab sebagai pemimpin trah Mangkubirawa warga cukup senang. Selama ini Walaupun seluruh anak Raden sangat perhatian dengan warga, namun Karjolah yang paling dekat dengan mereka.
Saudara-saudara tidak ada yang keberatan sedikitpun atas penunjukan Karjo Sebagai Pemimpin Trah berikutnya. Melihat Karjo masih menangisi kepergian ayahnya, mereka menunggu dengan sabar.
Mereka siap menuruti titah dari Karjo apakah karjo akan menghentikan semua ini atau justru karjo akan menghabisi sisa trah Balanggawe sebagai balasan atas kematian adik dan bapaknya.
Isak tangis yang masih terdengar, Karjo berdiri dengan menunjukan wajahnya yang berwarna merah padam yang terbakar amarah. Air mata terlihat menetes tanpa henti dari matanya.
Namun iya sadar dengan posisinya sekarang, pantang baginya untuk meninjukan kesediah di depan warga dan saudaranya.
Perlahan iya berjalan keluar dari rumah waras.
Sebagai saudara tertua , Broto memberanikan diri mempertanyakan keputusan Karjo.
“Le karjo, piye keputusanmu?”
Semua yang ada disitu diam menunggu jawaban dari Karjo. Ia hanya membalikan badan dan menatap garis langit yang terlihat dari luar rumah waras.
“Kita persiapkan semuanya,Kita akan membalas apa yang sudah mereka perbuat dengan sesuatu yang lebih hitam” Tegas Karjo.
“Siapkan Semuanya,Kita akan membalas apa yang sudah mereka perbuat dengan sesuatu yang lebih hitam” Tegas Karjo.
Semua mata saudaranya tercengang, mereka tidak menyangka Karjo yang selama ini tenang bisa semarah ini.
Dari ucapanya , mereka sudah menduga apa yang akan diputuskan oleh Karjo.
“ Mas Karjo , Santet apa yang akan kita gunakan untuk menghabisi Ki Sedo ?”Tanya Warjo dengan bibir bergetar.
Terlihat Warjo gemetar takut mendengar jawaban yang akan keluar dar mulut Karjo.
Karjo membulatkan niatnya dan menjawab sesuai dugaan mereka.
“ Santet Balung Ireng “
(Nafas dulu....)
Serius, ini part terpanjang dari semua cerita yang pernah saya upload.. sekali lagi saya mengingatkan , cerita ini berhubungan dengan silsilah keluarga narasumber saya Mas Arjuna..
mohon disingkapi dengan bijak.
dan apabila ada kesamaan nama atau sesuatu yang menyinggung dari cerita saya mohon di maafkan.
Semoga dapat menghibur dan selamat bermalam minggu.
Terima kasih.
Mohon maaf kalo ada beberapa yg Typo... trima kasih buat yg sudag koreksi🙏🙏
Next Update
Santet Balung ireng - sabtu 21/8/2021
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor
Beberapa saat sebelumnya…
Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.
Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.
Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.
“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.
Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”
Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”
“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”
Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.
“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”
“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”
Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”
Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.
“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.
Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.
Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.
Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.
“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.
Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”
“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”
“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.
“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.
“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.
Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.
Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.
Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.
“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.
“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”
Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.
“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.
Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.
Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.
Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.
Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.
“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.
Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.
“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.
Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.
Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.
“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.
“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.
Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.
“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”
Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.
Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.
“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..
“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”
Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..
“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”
Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.
“Desa?”gumamnya, penuh ragu.
Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.
Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.
Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...
"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor @bagihorror
PROLOG
"Tak ada satu pun yang berani menyentuhmu atau keluargamu... selama jenazah itu tetap kau simpan."
Suara itu terdengar lirih namun berat, seolah menyatu dengan malam yang mencekam. Di tengah remang cahaya obor yang berkedip, seorang pria melangkah berat menuju sebuah jasad. Jenazah itu dibungkus kain kafan kusam bertuliskan aksara merah—seperti coretan darah yang tak mengering.
Di samping jasad, berdiri seorang lelaki tua berpakaian hitam. Wajahnya dipenuhi kerutan, sorot matanya tak menunjukkan belas kasihan—ia hanya menunggu.
"Jadi… ini jawabannya?" suara pria itu pecah, goyah. Ia menahan napas, bau busuk dari jenazah membuat perutnya mual. Ia bahkan tak tahu siapa mayat itu.
Tapi ia bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang jauh dari kematian biasa.
"Bawalah pulang," ujar lelaki tua itu, "Minta apa pun padanya. Perlakukan ia seperti Tuhan. Kau tak akan menyesal."
Pria itu diam, lalu mendengarkan tata caranya:
Jenazah harus digendong, tak boleh menyentuh tanah. Harus dibaringkan di atas keranda bambu dan dimandikan setiap tengah malam, menggunakan bunga-bunga tertentu.Dan yang terpenting... setiap seribu hari, seorang gadis perawan harus tidur di sampingnya.
Putus asa. Dendam. Rasa malu yang telah dipendam bertahun-tahun. Semua itu menutup mata pria itu dari logika dan nurani.
…
BRAK!!
Pintu rumah terbuka dengan keras, disusul deru petir dan hujan deras yang mengguyur. Di ambang pintu, pria itu berdiri dengan pakaian basah kuyup, menggendong sesuatu yang mengeluarkan bau amis menusuk. Di belakangnya, kegelapan menggantung seperti ancaman.
Istri dan anak perempuannya terkejut, bingung sekaligus takut.
“Pak… itu… apa?” istrinya bertanya dengan suara gemetar.
“Ini... adalah jalan keluar kita. Tuhan kita yang baru! CEPAT!!”
Di tengah hujan dan malam yang pekat, mereka membuat keranda dari bambu. Tak satu pun dari mereka berani menolak. Menjelang tengah malam, jenazah itu dibaringkan di atas keranda, dimandikan, lalu diselimuti kain kafan bertuliskan aksara darah.
Pria itu berlutut di depan jenazah.
“Aku ingin... seluruh keluarga Prawiryo mati!”
Istri dan anaknya ikut berlutut. Mata sang anak berkaca-kaca.
“Anak laki-laki tertua mereka… dia memperkosaku di lumbung padi. Dia membuangku seperti sampah... kematiannya harus paling menyakitkan.”
Petir menyambar lagi. Kilat menerangi ruangan, dan bayangan hitam muncul dari jasad itu. Tingginya nyaris mencapai langit-langit. Wujudnya kabur, hanya tampak senyum bengis dari mulut berlumuran darah.
Mereka bertiga gemetar.
Tapi makhluk itu hanya lewat... dan keluar rumah tanpa suara.
Malam itu, keluarga Prawiryo ditemukan tewas di rumah mereka. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulut mereka.
Namun yang paling mengerikan adalah kematian sang anak sulung...
Tubuhnya terpotong menjadi tujuh bagian, dan kepalanya tertancap di atap rumah—menghadap ke langit.
Kematian keluarga Prawiryo, sebagai keluarga paling terpandang dan kaya di desa, mengguncang semua orang. Namun suatu hal yang tak diduga terjadi. Tak lama kemudian, satu keluarga yang dulu dihina, dipermalukan, dan ditindas... bangkit.
Mereka membangun rumah besar, menguasai tanah dan harta keluarga Prawiryo.
Orang-orang mulai menyebut nama mereka dengan hormat, juga dengan takut:... Trah Wisesa.