Masih berdasarkan penuturan informasi Mas Arjuna salah satu warga twitter yang Asli Blitar..
Kejadian yang terjadi puluhan tahun silam yang melibatkan buyut dari Mas Arjuna dalam perang santet dan klenik.
Blitar Tahun 1925 , kala itu Belanda masih berkuasa di negeri ini. Namun tidak semua desa dapat disentuh oleh penjajah . Diantaranya desa yang dilindungi atau dikuasai oleh tuan tanah yang memiliki pengaruh besar.
Tuan tanah yang dimaksud bukan hanya mereka yang memiliki harta atau kekayaan melimpah, tetapi mereka yang juga memiliki ilmu tinggi , baik yang diturunkan maupun yang dicari oleh mereka sendiri.
Beberapa dari mereka berperan di belakang layar di setiap perang perlawanan terhadap penjajah, sehingga mereka sangat disegani dan mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Raden Arya Mangkubirawa adalah salah seorang tuan tanah yang sangat terpandang di desanya.
Penduduk mengenal Raden Arya sebagai pribadi yang welas asih dan sangat peduli dengan penduduk desa. Tidak ada satupun warga desa yang dibiarkan kesulitan olehnya, apalagi soal makanan dan kebutuhan hidup.
Ia tidak segan-segan memberikan miliknya apabila ada seseorang warga di desanya yang membutuhkan.
Saat ini Raden Arya dikaruniai dua belas anak yang juga diturunkan kesaktian yang dimiliki oleh Raden Arya.
Tidak hanya mengenai kesaktian, ilmu kebajikanpun sudah mereka pelajari selama hidup dengan ayah mereka.
Dengan adanya Trah Mangkubirawa ini , desa hidup dengan makmur tanpa kekurangan suatu apapun. Namun sebenarnya ada satu hal yang masih bisa mengancam desa ini.
Di seberang sungai yang dianggap sebagai perbatasan desa , terdapat sebuah desa yang juga dikuasai oleh seorang tuan tanah bernama Ki Sedo Balanggawe, Seseorang yang juga memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan Raden Arya.
Hanya bedanya kesaktian yang dimiliki Ki Sedo didapatkan dengan cara yang tidak benar.
Kedua tuan tanah ini sebelumnya adalah saudara seperguruan , dengan kemampuan yang dimiliki, mereka menjadi orang yang terpandang di desanya masing-masing.
Namun ketika Ki Sedo semakin haus akan kesaktian , Raden Arya membatasi perbatasan desa mereka dengan maksud menjaga warga desa dari imbas kesaktian Ki Sedo.
Sebenarnya kedamaian di desa berlangsung lama namun terkadang Raden Arya merasa khawatir dengan penduduk desa di wilayah Ki Sedo. Sampai akhirnya kegelisahan Raden Arya terjawab dengan datangnya seseorang dari desa sebelah ke Rumah Waras.
Dia adalah Badar, seorang warga yang awalnya bekerja kepada Ki Sedo Pemimpin Trah Balanggawe. Badar datang dengan tujuan untuk meminta perlindungan kepada Raden Arya selaku Pemimpin Trah Mangkubirawa.
“Raden ngapunten… kulo Njaluk pitulung Raden, Kulo Minta perlindungan dari panjenengan” (Raden mohon maaf.. saya minta tolong raden , saya meminta perlindungan dari Raden) Ucap Badar yang terlihat gelisah namun berusaha sesopan mungkin untuk berbicara dengan Raden Arya.
Seolah telah mengerti kegelisahan Badar , Raden Arya segera memanggilnya mendekat.
“Reneo Le’ Cerita sek awakmu ono opo? Perlindungan masalah opo?” ( Kesini nak.. cerita ada apa denganmu? Perlindungan masalah apa? ) Ucap Raden Arya.
Badar mendekat dan duduk di dekat Raden Arya dan memberanikan diri untuk bercerita walaupun dengan rasa sungkan.
“Kulo kabur dari Rumah Tenung Raden… Kulo mboten saget neh kerjo karo Ki Sedo” (Saya kabur dari Rumah Tenung Raden… saya tidak sanggup lagi kerja sama Ki Sedo)
Ucapnya dangan badan yang mulai gemetar.
“Kulo… Kulo wedi keluarga kulo didadikno tumbal selanjutnya..” (Saya… saya takut keluarga saya dijadikan tumbal selanjutnya) Kali ini Badar mencoba menahan sedih.
“Tumbal? Jelasno sing nggenah le.. maksute tumbal opo?” (Tumbal? Jelasin yang jelas nak.. maksudnya tumbal apa?) Raden Arya mulai terganggu dengan cerita Badar.
“Ki Sedo.... kesaktian ki sedo terus bertambah, dan ilmunya itu memakan tumbal dari pekerja dan warga di sekitarnya” Jelas Badar kepada Raden Arya.
Terlihat Raden Arya gelisah mendengar cerita itu , walaupun sudah menduga mengenai hal ini tapi sepertinya kali ini Raden Arya berfikir harus ada yang menghentikan perbuatanya saudara seperguruanya itu.
“Wes sesok tak omongne karo Sedo, Panjenengan mulih istrahat … Sesok Kerjo nang sawahe Karjo ae yo? Keluarga panjenengan di gowo sisan”
(Sudah.. besok saya bilangin sama Sedo, Kamu pulang istirahat… Besok kerja di sawahnya Karjo saja ya? Sekalian keluarga dibawa semua)
Ucap Raden Arya yang terlihat simpatik dengan Badar.
“Njeh..njeh matursuwun sanget Raden..” (Iya.. terima kasih banyak raden ) Mata Badar berbinar mendengar tawaran dari Raden. Ia tidak berhenti bersukur selama pulang meninggalka Rumah Waras.
Besok paginya Raden bersiap Pergi ke desa sebelah menemui Ki Sedo , Ia tidak mengajak satupun dari ke dua belas anaknya dengan harapan Ki sedo dan anak-anaknya merasakan niat baik Raden Arya.
Saat diperjalanan Raden bertemu dengan Broto,
“Tiang Pundi Pak?” (Mau pergi kemana pak?) Tanya Broto anak tertuanya yang heran kemana bapaknya akan pergi dengan pakaian sebagus ini.
“Silaturahmi Ke Ki sedo nang, sekalian mau ada yang bapak bicarakan” Jawabnya dengan singkat.
Tiba-tiba Broto bicara dengan nada yang berbeda,
”Ada perlu apa dan apa yang mau dibicarakan pak? Bapak tau kan Trah balanggawe sangat tidak menyukai keluarga kita?”
“Jangan breburuk sangka dahulu, Tidak baik … bapak pergi dulu kamu kasih tau adekmu si karjo, mulai hari ini Badar kerja sama dia” Ucap Raden Arya dengan tegas.
Tanpa banyak kata Broto menuruti perintah ayahnya itu. Namun dibalik itu ia punya rencana lain untuk melindungi ayahnya itu. Ia diam-diam mengikuti Ayahnya dengan mempersiapkan pasukanya.
…
…
Sebuah sungai terlihat membentang sangat panjang seolah membelah daratan.
Sungai ini adalah batas alam wilayah Trah Balanggawe dan trah Mangkubirawa dengan sebuah jembatan sebagai penghubungnya.
Raden Arya mempersiapkan dirinya, karena saat ia meninggalkan batas desanya , ia sudah ada di wilayah jangkauan ilmu Ki Sedo. Dan Benar…
ketika melewati jembatan Raden sudah dicegat oleh makhluk halus penjaga desa peliharaan Trah Balanggawe.
Terlihat empat makhluk berwujud genderuwo merah yang menghentikan Langkah Raden Arya. Mendapat penghadangan dari keempat makhluk itu,
Raden Arya hanya berhenti tanpa melakuan perlawanan. Sebenarnya jika Ia mau bisa saja ia memanggil seluruh abdi dalem dan menghabisi seluruh demit yang ada di desa itu. Namun karena tujuan Raden Arya hanya ingin berbicara dengan Ki Sedo , ia mengurungkan niatnya itu.
..
Tanpa harus melakukan apapun, Ki Sedo sudah menyadari kedatangan Raden Arya saudara seperguruanya itu.
Seketika udara berubah sangat panas dan angin bertiup sangat kencang. Raden Arya mendengar suara tanpa Wujud,
“Wah..wah.. Kita kedatangan tamu agung, saudara lama saya Raden Arya Mangkubirawa , biarkan dia lewat!” Ucap suara yang terdengar di tempat itu.
Seolah mengerti maksud empunya, ke empat genderuwo itu menyingkir dan membuka jalan untuk Raden Arya.
Di sisi lain , Broto yang memperhatikan kejadian tadi merasa kesal melihat ayahnya dihadang dan diancam. Yang ia tahu ayahnya Raden Arya Mangkubirawa selama ini selalu mendapatkan perlakuan hormat , belum pernah dia melihata ayahnya direndahkan seperti ini.
Raden Berjalan dengan tenang memasuki halaman Rumah Tenung, di tempat itu ia merasa kehadiranya sudah ditunggu . Semua terlihat dari kehadiran Ki Sedo yang sudah menyambutnya di halaman Rumah Tenung.
“Sedo Saudaraku apa kabarmu?” Ucap Raden Arya membuka pembicaraan.
“Hahaha… Sangat baik Raden ” Balas Ki Sedo
”Ada apa gerangan seorang pemimpin Trah Mangkubirawa yang Agung sampai jauh-jauh kemari?”
Raden Arya menghela nafas, Ia harus berhati-hati untuk menyampaikan tujuanya kemari.
“Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu apabila lancang atau menyinggung…” Buka Raden Arya.
“Aku mau meminta ijin agar pekerjamu yang bernama Badar boleh diijinkan untuk bekerja untuk anaku.. Karjo” Raden Arya berbicara dengan sopan.
Raut wajah Ki Sedo terlihat tidak senang , ia menatap raden Arya dengan wajah yang mulai terlihat kesal.
“ Badar? Tidak... Tidak bisa . Pekerjaanya di sini memiliki peran yang sangat penting” Tolak Ki sedo dengan tegas.
Sebenarnya Raden Arya sudah menduga akan hal ini, namun ia masih berharap apabila ia sendiri yang datang menemui Ki Sedo mungkin saja ia bisa mengijinkan.
“Kalau peran penting yang kamu maksud itu untuk menjadikan Badar dan keluarganya sebagai tumbal..
Lebih baik segera kamu urungkan niatmu itu Sedo… Ini nasihatku sebagai saudaramu.” Raden Arya berusaha menyampaikan pesanya dengan bijak.
“Jadi.. sebenarnya apa maksud kedatanganmu?“ Kali ini wajah Ki Sedo sudah benar-benar kesal.
Aku sudah menyampaikan maksudku, berhentilah mempelajari ilmu gelap yang saat ini sedang kau sempurnakan, Ingat Pesan Mahaguru agar kita selalu bisa hidup bermanfaat bagi orang lain”
Raden arya mencoba melanjutkan ucapanya.
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Raden Arya ,
Ki Sedo langsung Berdiri menujuk wajah Raden arya dengan kesal dan berbicara dengan suara yang menggelegar.
“Hei Raden Arya! Kau pikir siapa kamu sudah berani berbicara seperti itu!” Kali ini Ki Sedo tidak lagi menahan sikap sopanya.
“Siapapun yang sudah berani ikut campur urusanku. maka hidup matinya juga adalah urusanku” ucap ki sedo yang terlihat menantang.
Setelah mendengar ucapan Ki Sedo, Tanpa menunggu lama kedelapan anak Ki Sedo segera mengelilingi Raden Arya. Tak hanya itu,
lebih dari dua puluh murid ilmu hitam Ki Sedo juga bersiap mencelakai Raden Arya.
Rupanya entah apapun yang disampaikan Raden Arya, Ki Sedo tetap bertujuan untuk mencelakai saudara seperguruanya itu.
Di tengah ancaman itu Raden Arya terlihat sangat tenang ,
walaupun sebenarnya tanpa bantuan dari anak-anakny ia tidak yakin bisa bertahan dari gempuran Ki sedo dan anak-anaknya.
“Bodoh! Ini adalah kebodohanmu.. Datang ke Rumah Tenung sendirian tanpa perlindungan sama saja seperti menyerahkan nyawa.
Sepertinya anak-anakmu sudak tidak perduli dengan keselamatanmu.”
Ucap Ki Sedo dengan bangga.
Tanpa menunggu lama , seluruh anak buah Ki Sedo mulai mengerahkan ilmunya..
“Rasakan Ini Raden,Nikmati rasa sakit yang sebentar lagi Akan……”
Belum sempat selesai berbicara , ke dua puluh murid ki sedo yang seharusnya melancarakan serangan malah berakhir tergeletak dengan memuntahkan darah.
Melihat itu Ki Sedo dan anak-anaknya panik. Tetapi Bahrun anak tertua Ki Sedo langsung menyadari siapa yang melakukan ini semua.
“Keluar kamu Broto! Berani sekali kamu menumpahkan darah anak muridku?” Ucap Bahrun yang menyadari keberadaan Broto anak tertua Raden Arya.
Mengetahui keberadaanya sudah disadari oleh Bahrun , Broto menampakan diri dan menghampiri Raden Arya.
Menyadari akan keberadaan Broto , Ki Sedo segera memerintahkan demit-demit peliharaanya untuk menyerang Raden Arya. Berbagai demit muncul dihadapan Raden, mulai dari Genderuwo merah yang menghadang di jembatan,
makhluk besar seperti kelelawar,hingga mayat perwujudan prajurit jaman dahulu.
Yang lebih mengerikan, mereka sudah dibekali ilmu hitam yang mana setiap seranganya bisa menghabisi seorang manusia biasa dalam sekejap.
Serentak demit – demit itu menyerang Raden Arya mengikuti perintah ki Sedo. Tetapi sebelum sampai menyentuh Raden Arya , demit-demit itu terpental oleh pukulan sesosok makhluk besar dengan otot dan kulitnya bewarna merah darah memegang sebuah Keris ,
Terlihat sebuah mahkota terpasang di kepalanya.
Itu adalah Ki Ranu Banyuwira ingon terkuat Milik Broto…
Terlihat wajah Broto sudah dipenuhi emosi , ia mencoba membalas perlakuan Ki Sedo pada ayahnya itu.
“Kalian tau Bapak kami? Raden Arya Mangkubirawa… Bapak adalah keturunan murni Mataram yang menjadi pimpinan Trah Agung Mangkubirawa. Dan sekarang kalian berani memperlakukan bapak seperti ini?
Ucap Broto dengan kesal.
“Bajingan kalian! Bersiaplah.. akan kuhabisi kalian semua!”
Anak-anak Ki Sedo pun bersiap, mereka membaca mantra kuno pemanggil demit alas yang menjadi peliharaan mereka. Mereka sangat sadar siapa yang mereka hadapi.
Seorang keturunan Mataram kuno beserta pelindungnya yang terkenal kesaktiannya,
bahkan hanya dengan melihat kerisnya saja mereka sudah tau betapa kejamnya kemampuan ingon Broto yang bernama Ki Ranu,tidak terhitung berapa banyak nyawa melayang di tangan Ki Ranu lewat kerisnya sampai kerisnya pun berwarna merah darah.
Suasana Rumah Tenung semakin mencekam, terlihat demit alas dari seluruh desa dan hutan di sekitarnya berkumpul di sana.. kekuatan hitam dari anak-anak dan murid dari ki sedo terlihat menyelubungi Rumah tenung seolah akan dimulai sebuah perang besar.’
“ Sudah Broto ! Hentikan! Kalian juga..” Teriak Raden Arya dengan wibawa yang mampu membuat mereka semua terdiam.
Rupanya Raden Arya menyadari kehadiran anak-anaknya yang menyusul dengan membawa pusaka dan pengikutnya masing masing.
Padahal dengan keberadaan Broto saja sudah mampu membuat Ki Sedo dan anak-anaknya gentar.
Selama ini mereka memang sudah mendengar kabar simpang siur mengenai kehebatan trah mangkubirawa, Tapi ketika melihatnya sendiri seperti sekarang mereka tak mampu berkata apa-apa.
“Sedo, aku masih anggap Njenengan itu saudaraku..
aku tidak mngerti mengapa kau bisa berubah semenakutkan ini..
Apa yang keluargamu lakukan tadi kuanggap sebagai bentuk penghinaan yang tidak bisa kumaafkan..
Aku memberikanmu waktu untuk berubah, akan kutinggalkan seekor ayam diperbatasan,jika dalam 3 hari ayam itu masih hidup maka aku anggap itu itikad baik darimu..
Tetapi jika dalam 3 hari ayam itu mati maka bersiaplah seluruh anggota Trah Balanggawe akan lenyap dari bumi Mataram ini “
Raden Arya dengan bijak memberikan kesempatan kepada Trah Balanggawe untuk berubah.
Bersamaan dengan kalimat terakhir dari Raden Arya , munculah Sosok Juru Kiting, panglima perang Mataram yang tersohor. Sontak wajah Ki Sedo berubah, ia sadar bahwa ia harus segera memutuskan,
menerima tawaran dari Raden atau tetap pada pendiriannya yang mungkin bisa berakibat fatal bagi Trah Balanggawe.
Setelah kejadian itu , seluruh keluarga Trah Mangkubirawa meninggalkan rumah tenung.
Seekor ayam yang dijadikan sebagain perantara perjanjian ditinggalkan di perbatasan.
Untuk mengamankan desa, sekeliling wilayah Trah Mangkubirawa di kelilingi dengan Pagar Ghaib dan seluruh anggota keluarga mempersiapkan diri untuk hal terburuk.
Tiga hari digunakan untuk melakukan ritual pemurnian batin dengan puasa mutih dan menjalin kekuatan leluhur dan memohon keikhlasan Yang Maha Kuasa atas yang akan terjadi nanti.
Setiap hari Tirakat singkat dilakukan di desaitu bukan hanya untuk mengharapkan perlindungan, melainkan juga berharap agar Trah Balanggawe mau membuka matanya dan bertobat.
Di sisi lain dengan ajian mata elang sakti , Trah Mangkubirawa memantau pergerakan dari Trah Balanggawe.
Dari penglihatanya itu mereka melihat Ki sedo dan Keluarganya terlihat lebih sibuk. Sepertinya ia memutuskan untuk berperang seolah memiliki rencana mengerikan yang ia percaya mampu mengalahkan Raden Arya dan keluarganya.
Tiga hari berlalu…
Seluruh kekuatan besar Trah Mangkubirawa pergi menuju perbatasan , Seluruh warga desa dilarang untuk keluar rumah sejak pagi hari apalagi melewati perbatasan desa yang telah dipasang pelindung.
Sesampainya di pinggir sungai, Broto yang ditugaskan ayahnya sebagai pemimpin Rombongan diperintahkan untuk mencari ayam yang ditinggalkan oleh ayahnya, Namun ayam itu tidak ia temui ditempatnya, melainkan hanya sosok Bahrun Anak tertua Ki Sedo yang menunggu di seberang sungai.
“Broto apa kau mencari ini’? Terlihat Bahrun memegang ayam yang ditinggalkan oleh Raden Arya, dan ayam itu dalam keadaan hidup.
Broto terlihat cukup lega , sepertinya keluarga Balanggawe kehabisan cara untuk menghadapi Keluarga Mangkubirawa dan memutuskan untuk mengurunkan niatnya.
“Keputusan yang tepat Bahrun, aku tahu masih ada kebaikan di hati kalian.
Mari kerumah,kalian semua kami undang dan kami jamu dirumah waras” Ucap Broto dengan senyum di wajahnya.
Ia sangat senang apabila bisa menghindari pertempuran yang pasti akan mengorbankan banyak nyawa.
Mendengar ajakan Broto, Bahrun terdiam … sebuah senyuman muncul dari bibirnya. Bukannya menanggapi ajakan Broto Bahrun justru memotong kaki ayam tersebut ,mengigit lehernya dan menghisap darah ayam itu hingga habis…
…
“HAHAHA! Hei kali Trah Mangkubirawa! Apa kalian pikir kami akan menuruti perintah dari kalian? apa kalian pikir kami takut lalu tunduk kepada kalian?” Teriak Bahrun dengan sombongnya.
“Majulah.. Kami sudah mempersiapkan kematian yang pantas untuk kalian” Lanjut Bahrun.
Merasa dipermainkan , Broto kembali mengeluarkan Keris pusakanya yang diikuti oleh seluruh pasukanya.
“Bajingan Kau Bahrun kau mempermainkan kami , Akan kami perlihatkan neraka kepada kalian” ucap Broto seolah-olah memberi komando kepada saudara-saudaranya.
Di belakang bahrun telah berdiri saudara2nya beserta semua muridnya dan bala tentara demit yang ia tangkap selama ini. dan di belakang Broto berbaris seluruh saudaranya beserta pusaka Para Panglima dan Bala Tentaranya bersiap.
Seolah tahu akan rencana Ki Sedo , Raden Arya tidak turut berperang di tempat itu. Runtutan Santet Watu Kali dikirimkan oleh Ki Sedo untuk menghabisi nyawa Trah mangkubirawa dan Warga desa.
Namun Raden Arya menangkalnya dengan Santet Getih abang yang mampu melumpuhkan musuhnya itu tanpa harus membunuhnya.
Pertempuran sengit terjadi di perbatasan , satu demi satu mayat bergelimpangan dari kedua belah pihak.
Selama tiga hari tiga malam adu ilmu fisik maupun batin terjadi di sana. Air Sungai perbatasanpun mulai menghitam dengan dibanjiri darah korban yang didominasi oleh darah darih Trah Balanggawe.
Kejadian ini disebut dengan nama Perang Rojopati.
Di Malam ketiga , terlihat kemenangan berpihak di sisi Trah Mangkubirawa , Seluruh anak dari Ki Sedo mati di tangan keduabelas anak Raden Arya.
Ki Sedo dan sisa-sisa keluarganya melarikan diri dan mundur ke hutan.
“Lihat Saja! Suatu saat akan kubalas kekalahan ini.. kupastikan seluruh Trah Balanggawe akan mati dengan mengenaskan” Sumpah Serapah diucakan oleh Ki Sedo sebelum meninggalkan Perbatasan.
Setelah memenangkan pertempuran Broto dan pasukanya kembali ke desa dan membersihkan sisa-sisa pertempuran. Walaupun pertempuran telah usai , Broto masih melihat gelagat aneh dari Ki Sedo yang mundur ke hutan.
Kondisi desa berangsur-angsur pulih , tidak ada satupun warga desa yang terluka. Namun mereka membantu merawat anggota keluarga Raden Arya dan pasukanya yang terluka.
Seminggu Setelah Perang Usai, Keluarga Raden Arya Harus Pergi untuk melaksakan Tirakat Mutih Getih selama satu bulan di Lembah Argopuro.
Hal ini dilakukan dikarenakan mereka merasa desa sudah aman dan untuk mempersiapkan kesaktian yang sudah mereka gunakan selama perang agar dapat digunakan sepenuhnya lagi saat ada ancaman lain.
Untuk menjaga desa , Raden Arya memerintahkan kedua anak bungsunya Nyi Murti dan Cak Bahar untuk mengawasi desa dan sisa wilayah keluarga Balanggawe.
Walaupun tidak ada kejadian aneh , Nyi murti dan Cak bahar tetap berjaga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Satu minggu setelah kepergian Raden Arya, satu persatu warga desa terserang penyakit yang aneh. warga yang terserang penyakit ini tidak bisa tidur, n kulit mereka tidak bisa terkena air,
,sehingga banyak warga yang tidak mandi tetapi keringat mereka mengeluarkan bau yang sangat menyengat.
Nyi Murti dan Cak Bahar tidak bisa tinggal diam melihat warga desa yang tersiksa terkena penyakit-penyakit ini.
Mereka sekuat tenaga berusaha menyembuhkan warga dengan ilmu yang mereka miliki. Namun ternyata semua itu berakibat fatal..
Setiap Nyi Murti dan Cak Bahar berhasil menyembuhkan seorang warga , Sebuah luka timbul di tubuh mereka.
Mereka mencoba berhenti, namun tidak tega melihat warga desa yang tersiksa dengan penyakit ini. Sampai akhirnya Nyi Murti dan Cak Bahar Sekarat dengan luka yang ditimbulkan itu.
Ingon Milik Cak bahar pergi ke lembah argopuro untuk memberitahukan kondisi keduanya kepada Raden.
Namun sayangnya Raden Arya belum selesai dari Tirakatnya. Hanya Warjo yang sudah selesai dan segera menggunakan kemampuan penerawanganya untuk mengetahu apa yang terjadi.
“ Santet Walang Sangit”
Warjo menemukan jawaban atas semua kejadian yang menyerang warga desa hingga membuat kedua adiknya sekarat.
Santet Walang Sangit adalah santet dalam bentuk penyakit yang disebaran dalam bentuk wabah. Santet ini sebenarnya tidak mematikan untuk mereka yang berilmu,
namun ketika puluhan santet ini dikumpulkan di satu tubuh, sudah pasti akan berakibat fatal.
Dari kejadian ini Warjo menggambil kesimpulan Trah Balanggawe masih ingin melanjutkan perselisihan ini. Dengan sabar ia menunggu bapak dan saudaranya menyelesaiakn tirakat mereka.
Setelah Bapak dan Saudaranya selesai , Warjo menceritakan semua yang terjadi dan segera bergegas menuju desa.
Di pintu masuk desa , mereka melihat begitu banyak dedemit kiriman yang berkerumun mengepung desa.
Segera Broto menghunus kerisnya dan membiarkan Ki Ranu ingonya menghabisi dan mengusir demit-demit itu.
Di rumah Waras, Mereka melihat kedua adiknya dalam kondisi yang mengenaskan dengan luka-luka yang membuat mereka hampir tidak dikenali.
Tangisan seluruh anggota keluarga pecah begitu menyadari adik-adiknya masih bernyawa namun sukma mereka sudah menjadi santapan para dedemit tadi.
Setelah dimandikan menggunakan Jarik Kuning Nyi Murti dan Cak Bahar pun meninggal dan dikuburkan di pemakamann keramat milik keluarga
Selama seminggu penuh Raden Arya tidak berhenti menangis.
Ia menyalahkan dirinya dan merasa kematian kedua anaknya merupakan kecerobohanya yang membiarkan mereka yang belum memiliki cukup ilmu untuk menjaga desa.
Kondisi Raden Arya yang lemah ini segera dimanfaatkan oleh Ki Sedo untuk mengirim Keris Putu Barong untuk menghabisi Raden Arya.
Sebuah serangan yang tidak terduga menyerang Rumah Waras.
Anak-anak Raden Arya masih sibuk mengurus warga desa yang terserang penyakit tanpa sadar Raden Arya dalam kondisi lemah. Dan ketika melihat adanya serangan mereka bergegas ke Rumah Waras.
Namun yang mereka temukan adalah tubuh Raden Arya yang sudah dicabik-cabik dengan mengenaskan oleh Keris Putu Barong kiriman Ki Sedo itu.
Dengan kondisi itu, Terlihat Raden Arya masih mempertahankan kesadaranya.
Iya sengaja menunggu kesepuluh anaknya yang ia yakin pasti akan datang.
“Le.. dengerin Bapak, Waktu bapak sudah tidak banyak… “Raden Arya mulai berbicara ketika semua anaknya berkumpul.
Beberapa dari mereka mencoba menolong Ayahnya namun terlihat sia-sia.
“Ini titah bapak.. Jaga warga desa , dan j angan Biarkan Sedo melakukan kejahatan lebih jauh dari ini” ucap bapak dengan nafas yang tersengal-sengal.
Seluruh anak Raden Arya mengangguk menyetujui titah ayahnya dengan menahan tangis dari matanya.
“Kamu Karjo.. walaupun kamu bukan yang tertua.. kamu yang akan menjadi pemimpin Trah Berikutnya,Karena Trah ini butuh pemimpin yang bisa berfikir jernih dan tidak Gegabah tetapi tegas sepertimu… Kamu tidak keberatan kan Broto?”
Ucap Raden Arya kepada Karjo sembari meminta persetujuan dari Broto.
“Tidak Bapak.. saya tidak keberata, Karjo memang yang paling pantas mengemban tugas ini..” Broto menyepakati pesan ayahnya.
Mendengar pesan ayahnya dan Kakaknya yang telah merestui , Karo menerima tanggung jawab ini dengan tangan saudara-saudarany di pundaknya dengan maksud memberikan dukungan.
Melihat itu Raden Arya tersenyum.. sekali lagi Ia memaksakan dirinya untuk berbicara
“Bapak pamit,jaga dan lindungi semua saudaramu”,
Tepat setelah kalimat terakhir raden menghembuskan nafas terakhirnya.
Spontan seluruh anggota keluarga menangis meratapi kepergian Raden Arya.
Terlihat Karjo masih terus menunduk menahan rasa sedih dan mecoba menerima seluruh tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya
Hari itu menjadi hari yang kelam, seluruh warga desa sedih kehilangan sosok pengayom yang tidak pernah berhenti memikirkan kondisi meraka.
Namun ketika mereka mengetahui bahwa Karjo yang dipercaya memegang tanggung jawab sebagai pemimpin trah Mangkubirawa warga cukup senang. Selama ini Walaupun seluruh anak Raden sangat perhatian dengan warga, namun Karjolah yang paling dekat dengan mereka.
Saudara-saudara tidak ada yang keberatan sedikitpun atas penunjukan Karjo Sebagai Pemimpin Trah berikutnya. Melihat Karjo masih menangisi kepergian ayahnya, mereka menunggu dengan sabar.
Mereka siap menuruti titah dari Karjo apakah karjo akan menghentikan semua ini atau justru karjo akan menghabisi sisa trah Balanggawe sebagai balasan atas kematian adik dan bapaknya.
Isak tangis yang masih terdengar, Karjo berdiri dengan menunjukan wajahnya yang berwarna merah padam yang terbakar amarah. Air mata terlihat menetes tanpa henti dari matanya.
Namun iya sadar dengan posisinya sekarang, pantang baginya untuk meninjukan kesediah di depan warga dan saudaranya.
Perlahan iya berjalan keluar dari rumah waras.
Sebagai saudara tertua , Broto memberanikan diri mempertanyakan keputusan Karjo.
“Le karjo, piye keputusanmu?”
Semua yang ada disitu diam menunggu jawaban dari Karjo. Ia hanya membalikan badan dan menatap garis langit yang terlihat dari luar rumah waras.
“Kita persiapkan semuanya,Kita akan membalas apa yang sudah mereka perbuat dengan sesuatu yang lebih hitam” Tegas Karjo.
“Siapkan Semuanya,Kita akan membalas apa yang sudah mereka perbuat dengan sesuatu yang lebih hitam” Tegas Karjo.
Semua mata saudaranya tercengang, mereka tidak menyangka Karjo yang selama ini tenang bisa semarah ini.
Dari ucapanya , mereka sudah menduga apa yang akan diputuskan oleh Karjo.
“ Mas Karjo , Santet apa yang akan kita gunakan untuk menghabisi Ki Sedo ?”Tanya Warjo dengan bibir bergetar.
Terlihat Warjo gemetar takut mendengar jawaban yang akan keluar dar mulut Karjo.
Karjo membulatkan niatnya dan menjawab sesuai dugaan mereka.
“ Santet Balung Ireng “
(Nafas dulu....)
Serius, ini part terpanjang dari semua cerita yang pernah saya upload.. sekali lagi saya mengingatkan , cerita ini berhubungan dengan silsilah keluarga narasumber saya Mas Arjuna..
mohon disingkapi dengan bijak.
dan apabila ada kesamaan nama atau sesuatu yang menyinggung dari cerita saya mohon di maafkan.
Semoga dapat menghibur dan selamat bermalam minggu.
Terima kasih.
Mohon maaf kalo ada beberapa yg Typo... trima kasih buat yg sudag koreksi🙏🙏
Next Update
Santet Balung ireng - sabtu 21/8/2021
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.
Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.
Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.
Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”
Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.
Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.
“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.
Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.
Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.
Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”
Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.
Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”
Deg!
Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.
“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.
Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”
Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.
Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.
Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.
…
“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.
Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.
Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.
Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.
“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.
Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.
“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.
Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.
Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.
Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.
“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.
Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.
“PANJUL!!”
Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.
Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.
Sosok pocong.
Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.
“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)
Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.
Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.
“Nggak... nggak sudi aku!”
Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”
Tidak ada jawaban.
Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.
Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.
“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”
Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.
Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.
“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”
Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.
Keringatku semakin menetes.
“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”
Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.
“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.
Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.
"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.
Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.
Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.
Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.
"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.
"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.
Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.
Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.
"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.
Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.
"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.
Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"
Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.
Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.
Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.
"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.
"Apa, Mas?"
"Bagaimana kabarmu?"
Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."
Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.
Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.
"Ada yang datang..." bisikku.
Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.
"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.
Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.
Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."
Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.
"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."
Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."
"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.
Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.
"Lari!" teriaknya tiba-tiba.
Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.
"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.
"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.
Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.
Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.
“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.
Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.
Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.
“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.
“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”
Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.
“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.
Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.
Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.
Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.
Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.
Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.
Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.
Aku harus kembali ke Merapi.
Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.
"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."
Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.
Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.
Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.
Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.
Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal
Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.
Merapi memanggil kembali...
@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :
-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.
Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.
“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.
Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.
“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.
Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.
Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.
Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?
Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --