Masih berdasarkan penuturan informasi Mas Arjuna salah satu warga twitter yang Asli Blitar..
Kejadian yang terjadi puluhan tahun silam yang melibatkan buyut dari Mas Arjuna dalam perang santet dan klenik.
Blitar Tahun 1925 , kala itu Belanda masih berkuasa di negeri ini. Namun tidak semua desa dapat disentuh oleh penjajah . Diantaranya desa yang dilindungi atau dikuasai oleh tuan tanah yang memiliki pengaruh besar.
Tuan tanah yang dimaksud bukan hanya mereka yang memiliki harta atau kekayaan melimpah, tetapi mereka yang juga memiliki ilmu tinggi , baik yang diturunkan maupun yang dicari oleh mereka sendiri.
Beberapa dari mereka berperan di belakang layar di setiap perang perlawanan terhadap penjajah, sehingga mereka sangat disegani dan mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Raden Arya Mangkubirawa adalah salah seorang tuan tanah yang sangat terpandang di desanya.
Penduduk mengenal Raden Arya sebagai pribadi yang welas asih dan sangat peduli dengan penduduk desa. Tidak ada satupun warga desa yang dibiarkan kesulitan olehnya, apalagi soal makanan dan kebutuhan hidup.
Ia tidak segan-segan memberikan miliknya apabila ada seseorang warga di desanya yang membutuhkan.
Saat ini Raden Arya dikaruniai dua belas anak yang juga diturunkan kesaktian yang dimiliki oleh Raden Arya.
Tidak hanya mengenai kesaktian, ilmu kebajikanpun sudah mereka pelajari selama hidup dengan ayah mereka.
Dengan adanya Trah Mangkubirawa ini , desa hidup dengan makmur tanpa kekurangan suatu apapun. Namun sebenarnya ada satu hal yang masih bisa mengancam desa ini.
Di seberang sungai yang dianggap sebagai perbatasan desa , terdapat sebuah desa yang juga dikuasai oleh seorang tuan tanah bernama Ki Sedo Balanggawe, Seseorang yang juga memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan Raden Arya.
Hanya bedanya kesaktian yang dimiliki Ki Sedo didapatkan dengan cara yang tidak benar.
Kedua tuan tanah ini sebelumnya adalah saudara seperguruan , dengan kemampuan yang dimiliki, mereka menjadi orang yang terpandang di desanya masing-masing.
Namun ketika Ki Sedo semakin haus akan kesaktian , Raden Arya membatasi perbatasan desa mereka dengan maksud menjaga warga desa dari imbas kesaktian Ki Sedo.
Sebenarnya kedamaian di desa berlangsung lama namun terkadang Raden Arya merasa khawatir dengan penduduk desa di wilayah Ki Sedo. Sampai akhirnya kegelisahan Raden Arya terjawab dengan datangnya seseorang dari desa sebelah ke Rumah Waras.
Dia adalah Badar, seorang warga yang awalnya bekerja kepada Ki Sedo Pemimpin Trah Balanggawe. Badar datang dengan tujuan untuk meminta perlindungan kepada Raden Arya selaku Pemimpin Trah Mangkubirawa.
“Raden ngapunten… kulo Njaluk pitulung Raden, Kulo Minta perlindungan dari panjenengan” (Raden mohon maaf.. saya minta tolong raden , saya meminta perlindungan dari Raden) Ucap Badar yang terlihat gelisah namun berusaha sesopan mungkin untuk berbicara dengan Raden Arya.
Seolah telah mengerti kegelisahan Badar , Raden Arya segera memanggilnya mendekat.
“Reneo Le’ Cerita sek awakmu ono opo? Perlindungan masalah opo?” ( Kesini nak.. cerita ada apa denganmu? Perlindungan masalah apa? ) Ucap Raden Arya.
Badar mendekat dan duduk di dekat Raden Arya dan memberanikan diri untuk bercerita walaupun dengan rasa sungkan.
“Kulo kabur dari Rumah Tenung Raden… Kulo mboten saget neh kerjo karo Ki Sedo” (Saya kabur dari Rumah Tenung Raden… saya tidak sanggup lagi kerja sama Ki Sedo)
Ucapnya dangan badan yang mulai gemetar.
“Kulo… Kulo wedi keluarga kulo didadikno tumbal selanjutnya..” (Saya… saya takut keluarga saya dijadikan tumbal selanjutnya) Kali ini Badar mencoba menahan sedih.
“Tumbal? Jelasno sing nggenah le.. maksute tumbal opo?” (Tumbal? Jelasin yang jelas nak.. maksudnya tumbal apa?) Raden Arya mulai terganggu dengan cerita Badar.
“Ki Sedo.... kesaktian ki sedo terus bertambah, dan ilmunya itu memakan tumbal dari pekerja dan warga di sekitarnya” Jelas Badar kepada Raden Arya.
Terlihat Raden Arya gelisah mendengar cerita itu , walaupun sudah menduga mengenai hal ini tapi sepertinya kali ini Raden Arya berfikir harus ada yang menghentikan perbuatanya saudara seperguruanya itu.
“Wes sesok tak omongne karo Sedo, Panjenengan mulih istrahat … Sesok Kerjo nang sawahe Karjo ae yo? Keluarga panjenengan di gowo sisan”
(Sudah.. besok saya bilangin sama Sedo, Kamu pulang istirahat… Besok kerja di sawahnya Karjo saja ya? Sekalian keluarga dibawa semua)
Ucap Raden Arya yang terlihat simpatik dengan Badar.
“Njeh..njeh matursuwun sanget Raden..” (Iya.. terima kasih banyak raden ) Mata Badar berbinar mendengar tawaran dari Raden. Ia tidak berhenti bersukur selama pulang meninggalka Rumah Waras.
Besok paginya Raden bersiap Pergi ke desa sebelah menemui Ki Sedo , Ia tidak mengajak satupun dari ke dua belas anaknya dengan harapan Ki sedo dan anak-anaknya merasakan niat baik Raden Arya.
Saat diperjalanan Raden bertemu dengan Broto,
“Tiang Pundi Pak?” (Mau pergi kemana pak?) Tanya Broto anak tertuanya yang heran kemana bapaknya akan pergi dengan pakaian sebagus ini.
“Silaturahmi Ke Ki sedo nang, sekalian mau ada yang bapak bicarakan” Jawabnya dengan singkat.
Tiba-tiba Broto bicara dengan nada yang berbeda,
”Ada perlu apa dan apa yang mau dibicarakan pak? Bapak tau kan Trah balanggawe sangat tidak menyukai keluarga kita?”
“Jangan breburuk sangka dahulu, Tidak baik … bapak pergi dulu kamu kasih tau adekmu si karjo, mulai hari ini Badar kerja sama dia” Ucap Raden Arya dengan tegas.
Tanpa banyak kata Broto menuruti perintah ayahnya itu. Namun dibalik itu ia punya rencana lain untuk melindungi ayahnya itu. Ia diam-diam mengikuti Ayahnya dengan mempersiapkan pasukanya.
…
…
Sebuah sungai terlihat membentang sangat panjang seolah membelah daratan.
Sungai ini adalah batas alam wilayah Trah Balanggawe dan trah Mangkubirawa dengan sebuah jembatan sebagai penghubungnya.
Raden Arya mempersiapkan dirinya, karena saat ia meninggalkan batas desanya , ia sudah ada di wilayah jangkauan ilmu Ki Sedo. Dan Benar…
ketika melewati jembatan Raden sudah dicegat oleh makhluk halus penjaga desa peliharaan Trah Balanggawe.
Terlihat empat makhluk berwujud genderuwo merah yang menghentikan Langkah Raden Arya. Mendapat penghadangan dari keempat makhluk itu,
Raden Arya hanya berhenti tanpa melakuan perlawanan. Sebenarnya jika Ia mau bisa saja ia memanggil seluruh abdi dalem dan menghabisi seluruh demit yang ada di desa itu. Namun karena tujuan Raden Arya hanya ingin berbicara dengan Ki Sedo , ia mengurungkan niatnya itu.
..
Tanpa harus melakukan apapun, Ki Sedo sudah menyadari kedatangan Raden Arya saudara seperguruanya itu.
Seketika udara berubah sangat panas dan angin bertiup sangat kencang. Raden Arya mendengar suara tanpa Wujud,
“Wah..wah.. Kita kedatangan tamu agung, saudara lama saya Raden Arya Mangkubirawa , biarkan dia lewat!” Ucap suara yang terdengar di tempat itu.
Seolah mengerti maksud empunya, ke empat genderuwo itu menyingkir dan membuka jalan untuk Raden Arya.
Di sisi lain , Broto yang memperhatikan kejadian tadi merasa kesal melihat ayahnya dihadang dan diancam. Yang ia tahu ayahnya Raden Arya Mangkubirawa selama ini selalu mendapatkan perlakuan hormat , belum pernah dia melihata ayahnya direndahkan seperti ini.
Raden Berjalan dengan tenang memasuki halaman Rumah Tenung, di tempat itu ia merasa kehadiranya sudah ditunggu . Semua terlihat dari kehadiran Ki Sedo yang sudah menyambutnya di halaman Rumah Tenung.
“Sedo Saudaraku apa kabarmu?” Ucap Raden Arya membuka pembicaraan.
“Hahaha… Sangat baik Raden ” Balas Ki Sedo
”Ada apa gerangan seorang pemimpin Trah Mangkubirawa yang Agung sampai jauh-jauh kemari?”
Raden Arya menghela nafas, Ia harus berhati-hati untuk menyampaikan tujuanya kemari.
“Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu apabila lancang atau menyinggung…” Buka Raden Arya.
“Aku mau meminta ijin agar pekerjamu yang bernama Badar boleh diijinkan untuk bekerja untuk anaku.. Karjo” Raden Arya berbicara dengan sopan.
Raut wajah Ki Sedo terlihat tidak senang , ia menatap raden Arya dengan wajah yang mulai terlihat kesal.
“ Badar? Tidak... Tidak bisa . Pekerjaanya di sini memiliki peran yang sangat penting” Tolak Ki sedo dengan tegas.
Sebenarnya Raden Arya sudah menduga akan hal ini, namun ia masih berharap apabila ia sendiri yang datang menemui Ki Sedo mungkin saja ia bisa mengijinkan.
“Kalau peran penting yang kamu maksud itu untuk menjadikan Badar dan keluarganya sebagai tumbal..
Lebih baik segera kamu urungkan niatmu itu Sedo… Ini nasihatku sebagai saudaramu.” Raden Arya berusaha menyampaikan pesanya dengan bijak.
“Jadi.. sebenarnya apa maksud kedatanganmu?“ Kali ini wajah Ki Sedo sudah benar-benar kesal.
Aku sudah menyampaikan maksudku, berhentilah mempelajari ilmu gelap yang saat ini sedang kau sempurnakan, Ingat Pesan Mahaguru agar kita selalu bisa hidup bermanfaat bagi orang lain”
Raden arya mencoba melanjutkan ucapanya.
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Raden Arya ,
Ki Sedo langsung Berdiri menujuk wajah Raden arya dengan kesal dan berbicara dengan suara yang menggelegar.
“Hei Raden Arya! Kau pikir siapa kamu sudah berani berbicara seperti itu!” Kali ini Ki Sedo tidak lagi menahan sikap sopanya.
“Siapapun yang sudah berani ikut campur urusanku. maka hidup matinya juga adalah urusanku” ucap ki sedo yang terlihat menantang.
Setelah mendengar ucapan Ki Sedo, Tanpa menunggu lama kedelapan anak Ki Sedo segera mengelilingi Raden Arya. Tak hanya itu,
lebih dari dua puluh murid ilmu hitam Ki Sedo juga bersiap mencelakai Raden Arya.
Rupanya entah apapun yang disampaikan Raden Arya, Ki Sedo tetap bertujuan untuk mencelakai saudara seperguruanya itu.
Di tengah ancaman itu Raden Arya terlihat sangat tenang ,
walaupun sebenarnya tanpa bantuan dari anak-anakny ia tidak yakin bisa bertahan dari gempuran Ki sedo dan anak-anaknya.
“Bodoh! Ini adalah kebodohanmu.. Datang ke Rumah Tenung sendirian tanpa perlindungan sama saja seperti menyerahkan nyawa.
Sepertinya anak-anakmu sudak tidak perduli dengan keselamatanmu.”
Ucap Ki Sedo dengan bangga.
Tanpa menunggu lama , seluruh anak buah Ki Sedo mulai mengerahkan ilmunya..
“Rasakan Ini Raden,Nikmati rasa sakit yang sebentar lagi Akan……”
Belum sempat selesai berbicara , ke dua puluh murid ki sedo yang seharusnya melancarakan serangan malah berakhir tergeletak dengan memuntahkan darah.
Melihat itu Ki Sedo dan anak-anaknya panik. Tetapi Bahrun anak tertua Ki Sedo langsung menyadari siapa yang melakukan ini semua.
“Keluar kamu Broto! Berani sekali kamu menumpahkan darah anak muridku?” Ucap Bahrun yang menyadari keberadaan Broto anak tertua Raden Arya.
Mengetahui keberadaanya sudah disadari oleh Bahrun , Broto menampakan diri dan menghampiri Raden Arya.
Menyadari akan keberadaan Broto , Ki Sedo segera memerintahkan demit-demit peliharaanya untuk menyerang Raden Arya. Berbagai demit muncul dihadapan Raden, mulai dari Genderuwo merah yang menghadang di jembatan,
makhluk besar seperti kelelawar,hingga mayat perwujudan prajurit jaman dahulu.
Yang lebih mengerikan, mereka sudah dibekali ilmu hitam yang mana setiap seranganya bisa menghabisi seorang manusia biasa dalam sekejap.
Serentak demit – demit itu menyerang Raden Arya mengikuti perintah ki Sedo. Tetapi sebelum sampai menyentuh Raden Arya , demit-demit itu terpental oleh pukulan sesosok makhluk besar dengan otot dan kulitnya bewarna merah darah memegang sebuah Keris ,
Terlihat sebuah mahkota terpasang di kepalanya.
Itu adalah Ki Ranu Banyuwira ingon terkuat Milik Broto…
Terlihat wajah Broto sudah dipenuhi emosi , ia mencoba membalas perlakuan Ki Sedo pada ayahnya itu.
“Kalian tau Bapak kami? Raden Arya Mangkubirawa… Bapak adalah keturunan murni Mataram yang menjadi pimpinan Trah Agung Mangkubirawa. Dan sekarang kalian berani memperlakukan bapak seperti ini?
Ucap Broto dengan kesal.
“Bajingan kalian! Bersiaplah.. akan kuhabisi kalian semua!”
Anak-anak Ki Sedo pun bersiap, mereka membaca mantra kuno pemanggil demit alas yang menjadi peliharaan mereka. Mereka sangat sadar siapa yang mereka hadapi.
Seorang keturunan Mataram kuno beserta pelindungnya yang terkenal kesaktiannya,
bahkan hanya dengan melihat kerisnya saja mereka sudah tau betapa kejamnya kemampuan ingon Broto yang bernama Ki Ranu,tidak terhitung berapa banyak nyawa melayang di tangan Ki Ranu lewat kerisnya sampai kerisnya pun berwarna merah darah.
Suasana Rumah Tenung semakin mencekam, terlihat demit alas dari seluruh desa dan hutan di sekitarnya berkumpul di sana.. kekuatan hitam dari anak-anak dan murid dari ki sedo terlihat menyelubungi Rumah tenung seolah akan dimulai sebuah perang besar.’
“ Sudah Broto ! Hentikan! Kalian juga..” Teriak Raden Arya dengan wibawa yang mampu membuat mereka semua terdiam.
Rupanya Raden Arya menyadari kehadiran anak-anaknya yang menyusul dengan membawa pusaka dan pengikutnya masing masing.
Padahal dengan keberadaan Broto saja sudah mampu membuat Ki Sedo dan anak-anaknya gentar.
Selama ini mereka memang sudah mendengar kabar simpang siur mengenai kehebatan trah mangkubirawa, Tapi ketika melihatnya sendiri seperti sekarang mereka tak mampu berkata apa-apa.
“Sedo, aku masih anggap Njenengan itu saudaraku..
aku tidak mngerti mengapa kau bisa berubah semenakutkan ini..
Apa yang keluargamu lakukan tadi kuanggap sebagai bentuk penghinaan yang tidak bisa kumaafkan..
Aku memberikanmu waktu untuk berubah, akan kutinggalkan seekor ayam diperbatasan,jika dalam 3 hari ayam itu masih hidup maka aku anggap itu itikad baik darimu..
Tetapi jika dalam 3 hari ayam itu mati maka bersiaplah seluruh anggota Trah Balanggawe akan lenyap dari bumi Mataram ini “
Raden Arya dengan bijak memberikan kesempatan kepada Trah Balanggawe untuk berubah.
Bersamaan dengan kalimat terakhir dari Raden Arya , munculah Sosok Juru Kiting, panglima perang Mataram yang tersohor. Sontak wajah Ki Sedo berubah, ia sadar bahwa ia harus segera memutuskan,
menerima tawaran dari Raden atau tetap pada pendiriannya yang mungkin bisa berakibat fatal bagi Trah Balanggawe.
Setelah kejadian itu , seluruh keluarga Trah Mangkubirawa meninggalkan rumah tenung.
Seekor ayam yang dijadikan sebagain perantara perjanjian ditinggalkan di perbatasan.
Untuk mengamankan desa, sekeliling wilayah Trah Mangkubirawa di kelilingi dengan Pagar Ghaib dan seluruh anggota keluarga mempersiapkan diri untuk hal terburuk.
Tiga hari digunakan untuk melakukan ritual pemurnian batin dengan puasa mutih dan menjalin kekuatan leluhur dan memohon keikhlasan Yang Maha Kuasa atas yang akan terjadi nanti.
Setiap hari Tirakat singkat dilakukan di desaitu bukan hanya untuk mengharapkan perlindungan, melainkan juga berharap agar Trah Balanggawe mau membuka matanya dan bertobat.
Di sisi lain dengan ajian mata elang sakti , Trah Mangkubirawa memantau pergerakan dari Trah Balanggawe.
Dari penglihatanya itu mereka melihat Ki sedo dan Keluarganya terlihat lebih sibuk. Sepertinya ia memutuskan untuk berperang seolah memiliki rencana mengerikan yang ia percaya mampu mengalahkan Raden Arya dan keluarganya.
Tiga hari berlalu…
Seluruh kekuatan besar Trah Mangkubirawa pergi menuju perbatasan , Seluruh warga desa dilarang untuk keluar rumah sejak pagi hari apalagi melewati perbatasan desa yang telah dipasang pelindung.
Sesampainya di pinggir sungai, Broto yang ditugaskan ayahnya sebagai pemimpin Rombongan diperintahkan untuk mencari ayam yang ditinggalkan oleh ayahnya, Namun ayam itu tidak ia temui ditempatnya, melainkan hanya sosok Bahrun Anak tertua Ki Sedo yang menunggu di seberang sungai.
“Broto apa kau mencari ini’? Terlihat Bahrun memegang ayam yang ditinggalkan oleh Raden Arya, dan ayam itu dalam keadaan hidup.
Broto terlihat cukup lega , sepertinya keluarga Balanggawe kehabisan cara untuk menghadapi Keluarga Mangkubirawa dan memutuskan untuk mengurunkan niatnya.
“Keputusan yang tepat Bahrun, aku tahu masih ada kebaikan di hati kalian.
Mari kerumah,kalian semua kami undang dan kami jamu dirumah waras” Ucap Broto dengan senyum di wajahnya.
Ia sangat senang apabila bisa menghindari pertempuran yang pasti akan mengorbankan banyak nyawa.
Mendengar ajakan Broto, Bahrun terdiam … sebuah senyuman muncul dari bibirnya. Bukannya menanggapi ajakan Broto Bahrun justru memotong kaki ayam tersebut ,mengigit lehernya dan menghisap darah ayam itu hingga habis…
…
“HAHAHA! Hei kali Trah Mangkubirawa! Apa kalian pikir kami akan menuruti perintah dari kalian? apa kalian pikir kami takut lalu tunduk kepada kalian?” Teriak Bahrun dengan sombongnya.
“Majulah.. Kami sudah mempersiapkan kematian yang pantas untuk kalian” Lanjut Bahrun.
Merasa dipermainkan , Broto kembali mengeluarkan Keris pusakanya yang diikuti oleh seluruh pasukanya.
“Bajingan Kau Bahrun kau mempermainkan kami , Akan kami perlihatkan neraka kepada kalian” ucap Broto seolah-olah memberi komando kepada saudara-saudaranya.
Di belakang bahrun telah berdiri saudara2nya beserta semua muridnya dan bala tentara demit yang ia tangkap selama ini. dan di belakang Broto berbaris seluruh saudaranya beserta pusaka Para Panglima dan Bala Tentaranya bersiap.
Seolah tahu akan rencana Ki Sedo , Raden Arya tidak turut berperang di tempat itu. Runtutan Santet Watu Kali dikirimkan oleh Ki Sedo untuk menghabisi nyawa Trah mangkubirawa dan Warga desa.
Namun Raden Arya menangkalnya dengan Santet Getih abang yang mampu melumpuhkan musuhnya itu tanpa harus membunuhnya.
Pertempuran sengit terjadi di perbatasan , satu demi satu mayat bergelimpangan dari kedua belah pihak.
Selama tiga hari tiga malam adu ilmu fisik maupun batin terjadi di sana. Air Sungai perbatasanpun mulai menghitam dengan dibanjiri darah korban yang didominasi oleh darah darih Trah Balanggawe.
Kejadian ini disebut dengan nama Perang Rojopati.
Di Malam ketiga , terlihat kemenangan berpihak di sisi Trah Mangkubirawa , Seluruh anak dari Ki Sedo mati di tangan keduabelas anak Raden Arya.
Ki Sedo dan sisa-sisa keluarganya melarikan diri dan mundur ke hutan.
“Lihat Saja! Suatu saat akan kubalas kekalahan ini.. kupastikan seluruh Trah Balanggawe akan mati dengan mengenaskan” Sumpah Serapah diucakan oleh Ki Sedo sebelum meninggalkan Perbatasan.
Setelah memenangkan pertempuran Broto dan pasukanya kembali ke desa dan membersihkan sisa-sisa pertempuran. Walaupun pertempuran telah usai , Broto masih melihat gelagat aneh dari Ki Sedo yang mundur ke hutan.
Kondisi desa berangsur-angsur pulih , tidak ada satupun warga desa yang terluka. Namun mereka membantu merawat anggota keluarga Raden Arya dan pasukanya yang terluka.
Seminggu Setelah Perang Usai, Keluarga Raden Arya Harus Pergi untuk melaksakan Tirakat Mutih Getih selama satu bulan di Lembah Argopuro.
Hal ini dilakukan dikarenakan mereka merasa desa sudah aman dan untuk mempersiapkan kesaktian yang sudah mereka gunakan selama perang agar dapat digunakan sepenuhnya lagi saat ada ancaman lain.
Untuk menjaga desa , Raden Arya memerintahkan kedua anak bungsunya Nyi Murti dan Cak Bahar untuk mengawasi desa dan sisa wilayah keluarga Balanggawe.
Walaupun tidak ada kejadian aneh , Nyi murti dan Cak bahar tetap berjaga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Satu minggu setelah kepergian Raden Arya, satu persatu warga desa terserang penyakit yang aneh. warga yang terserang penyakit ini tidak bisa tidur, n kulit mereka tidak bisa terkena air,
,sehingga banyak warga yang tidak mandi tetapi keringat mereka mengeluarkan bau yang sangat menyengat.
Nyi Murti dan Cak Bahar tidak bisa tinggal diam melihat warga desa yang tersiksa terkena penyakit-penyakit ini.
Mereka sekuat tenaga berusaha menyembuhkan warga dengan ilmu yang mereka miliki. Namun ternyata semua itu berakibat fatal..
Setiap Nyi Murti dan Cak Bahar berhasil menyembuhkan seorang warga , Sebuah luka timbul di tubuh mereka.
Mereka mencoba berhenti, namun tidak tega melihat warga desa yang tersiksa dengan penyakit ini. Sampai akhirnya Nyi Murti dan Cak Bahar Sekarat dengan luka yang ditimbulkan itu.
Ingon Milik Cak bahar pergi ke lembah argopuro untuk memberitahukan kondisi keduanya kepada Raden.
Namun sayangnya Raden Arya belum selesai dari Tirakatnya. Hanya Warjo yang sudah selesai dan segera menggunakan kemampuan penerawanganya untuk mengetahu apa yang terjadi.
“ Santet Walang Sangit”
Warjo menemukan jawaban atas semua kejadian yang menyerang warga desa hingga membuat kedua adiknya sekarat.
Santet Walang Sangit adalah santet dalam bentuk penyakit yang disebaran dalam bentuk wabah. Santet ini sebenarnya tidak mematikan untuk mereka yang berilmu,
namun ketika puluhan santet ini dikumpulkan di satu tubuh, sudah pasti akan berakibat fatal.
Dari kejadian ini Warjo menggambil kesimpulan Trah Balanggawe masih ingin melanjutkan perselisihan ini. Dengan sabar ia menunggu bapak dan saudaranya menyelesaiakn tirakat mereka.
Setelah Bapak dan Saudaranya selesai , Warjo menceritakan semua yang terjadi dan segera bergegas menuju desa.
Di pintu masuk desa , mereka melihat begitu banyak dedemit kiriman yang berkerumun mengepung desa.
Segera Broto menghunus kerisnya dan membiarkan Ki Ranu ingonya menghabisi dan mengusir demit-demit itu.
Di rumah Waras, Mereka melihat kedua adiknya dalam kondisi yang mengenaskan dengan luka-luka yang membuat mereka hampir tidak dikenali.
Tangisan seluruh anggota keluarga pecah begitu menyadari adik-adiknya masih bernyawa namun sukma mereka sudah menjadi santapan para dedemit tadi.
Setelah dimandikan menggunakan Jarik Kuning Nyi Murti dan Cak Bahar pun meninggal dan dikuburkan di pemakamann keramat milik keluarga
Selama seminggu penuh Raden Arya tidak berhenti menangis.
Ia menyalahkan dirinya dan merasa kematian kedua anaknya merupakan kecerobohanya yang membiarkan mereka yang belum memiliki cukup ilmu untuk menjaga desa.
Kondisi Raden Arya yang lemah ini segera dimanfaatkan oleh Ki Sedo untuk mengirim Keris Putu Barong untuk menghabisi Raden Arya.
Sebuah serangan yang tidak terduga menyerang Rumah Waras.
Anak-anak Raden Arya masih sibuk mengurus warga desa yang terserang penyakit tanpa sadar Raden Arya dalam kondisi lemah. Dan ketika melihat adanya serangan mereka bergegas ke Rumah Waras.
Namun yang mereka temukan adalah tubuh Raden Arya yang sudah dicabik-cabik dengan mengenaskan oleh Keris Putu Barong kiriman Ki Sedo itu.
Dengan kondisi itu, Terlihat Raden Arya masih mempertahankan kesadaranya.
Iya sengaja menunggu kesepuluh anaknya yang ia yakin pasti akan datang.
“Le.. dengerin Bapak, Waktu bapak sudah tidak banyak… “Raden Arya mulai berbicara ketika semua anaknya berkumpul.
Beberapa dari mereka mencoba menolong Ayahnya namun terlihat sia-sia.
“Ini titah bapak.. Jaga warga desa , dan j angan Biarkan Sedo melakukan kejahatan lebih jauh dari ini” ucap bapak dengan nafas yang tersengal-sengal.
Seluruh anak Raden Arya mengangguk menyetujui titah ayahnya dengan menahan tangis dari matanya.
“Kamu Karjo.. walaupun kamu bukan yang tertua.. kamu yang akan menjadi pemimpin Trah Berikutnya,Karena Trah ini butuh pemimpin yang bisa berfikir jernih dan tidak Gegabah tetapi tegas sepertimu… Kamu tidak keberatan kan Broto?”
Ucap Raden Arya kepada Karjo sembari meminta persetujuan dari Broto.
“Tidak Bapak.. saya tidak keberata, Karjo memang yang paling pantas mengemban tugas ini..” Broto menyepakati pesan ayahnya.
Mendengar pesan ayahnya dan Kakaknya yang telah merestui , Karo menerima tanggung jawab ini dengan tangan saudara-saudarany di pundaknya dengan maksud memberikan dukungan.
Melihat itu Raden Arya tersenyum.. sekali lagi Ia memaksakan dirinya untuk berbicara
“Bapak pamit,jaga dan lindungi semua saudaramu”,
Tepat setelah kalimat terakhir raden menghembuskan nafas terakhirnya.
Spontan seluruh anggota keluarga menangis meratapi kepergian Raden Arya.
Terlihat Karjo masih terus menunduk menahan rasa sedih dan mecoba menerima seluruh tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya
Hari itu menjadi hari yang kelam, seluruh warga desa sedih kehilangan sosok pengayom yang tidak pernah berhenti memikirkan kondisi meraka.
Namun ketika mereka mengetahui bahwa Karjo yang dipercaya memegang tanggung jawab sebagai pemimpin trah Mangkubirawa warga cukup senang. Selama ini Walaupun seluruh anak Raden sangat perhatian dengan warga, namun Karjolah yang paling dekat dengan mereka.
Saudara-saudara tidak ada yang keberatan sedikitpun atas penunjukan Karjo Sebagai Pemimpin Trah berikutnya. Melihat Karjo masih menangisi kepergian ayahnya, mereka menunggu dengan sabar.
Mereka siap menuruti titah dari Karjo apakah karjo akan menghentikan semua ini atau justru karjo akan menghabisi sisa trah Balanggawe sebagai balasan atas kematian adik dan bapaknya.
Isak tangis yang masih terdengar, Karjo berdiri dengan menunjukan wajahnya yang berwarna merah padam yang terbakar amarah. Air mata terlihat menetes tanpa henti dari matanya.
Namun iya sadar dengan posisinya sekarang, pantang baginya untuk meninjukan kesediah di depan warga dan saudaranya.
Perlahan iya berjalan keluar dari rumah waras.
Sebagai saudara tertua , Broto memberanikan diri mempertanyakan keputusan Karjo.
“Le karjo, piye keputusanmu?”
Semua yang ada disitu diam menunggu jawaban dari Karjo. Ia hanya membalikan badan dan menatap garis langit yang terlihat dari luar rumah waras.
“Kita persiapkan semuanya,Kita akan membalas apa yang sudah mereka perbuat dengan sesuatu yang lebih hitam” Tegas Karjo.
“Siapkan Semuanya,Kita akan membalas apa yang sudah mereka perbuat dengan sesuatu yang lebih hitam” Tegas Karjo.
Semua mata saudaranya tercengang, mereka tidak menyangka Karjo yang selama ini tenang bisa semarah ini.
Dari ucapanya , mereka sudah menduga apa yang akan diputuskan oleh Karjo.
“ Mas Karjo , Santet apa yang akan kita gunakan untuk menghabisi Ki Sedo ?”Tanya Warjo dengan bibir bergetar.
Terlihat Warjo gemetar takut mendengar jawaban yang akan keluar dar mulut Karjo.
Karjo membulatkan niatnya dan menjawab sesuai dugaan mereka.
“ Santet Balung Ireng “
(Nafas dulu....)
Serius, ini part terpanjang dari semua cerita yang pernah saya upload.. sekali lagi saya mengingatkan , cerita ini berhubungan dengan silsilah keluarga narasumber saya Mas Arjuna..
mohon disingkapi dengan bijak.
dan apabila ada kesamaan nama atau sesuatu yang menyinggung dari cerita saya mohon di maafkan.
Semoga dapat menghibur dan selamat bermalam minggu.
Terima kasih.
Mohon maaf kalo ada beberapa yg Typo... trima kasih buat yg sudag koreksi🙏🙏
Next Update
Santet Balung ireng - sabtu 21/8/2021
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..
#bacahorror
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.
"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."
"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.
Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.
"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.
"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."
Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.
"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.
"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."
Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.
"Mas Danan! Mas Cahyo!"
Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.
Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.
"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.
"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.
"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.
"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.
Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.
"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.
"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.
Dharrr! Dharrr!
Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.
"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.
Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.
"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."
Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.
Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.
“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.
Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.
“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”
“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”
Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.
“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”
“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.
Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.
Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.
Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.
"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.
"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."
Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.
Deg!
Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.
"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.
"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."
Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.
“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”
“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.
Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.
“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”
“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.
Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.
“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”
Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.
Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.
Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.
“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.
“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.
Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...
Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.
Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.
“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.
“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.
“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.
Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.
“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.
Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.
Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.
“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.
Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.
Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.
Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.
“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”
Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.
“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.
Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.
“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.
“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.
Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.
“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.
“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.
Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.
“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.
“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.
“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.
“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.
Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.
Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.
Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.
“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.
Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.
Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.
“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”
Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.
Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”
Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”
Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.
Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.
Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.
Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.
“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.
"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.
"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.
Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.
"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.
Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.
Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.
Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."
Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."
Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.
"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.
Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.
Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.
"Tahan, Raksawira!"
Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.
"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.
Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.
Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.
Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.
Srratt!
Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.
Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.
“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.
Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.
Dharrr!!!
Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.
"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.
"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.
Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.
"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.
Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.
"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.
"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.
"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.
Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.
"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.
“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.
Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.