Nana is me Profile picture
Aug 20, 2021 574 tweets >60 min read Read on X
--KOST--

Gadis itu berubah menjadi penyendiri. Tanpa kami sadari, dia telah membawa sesuatu yang mengerikan di hunian ini.

A Horror Thread

@bacahorror #bacahorror
@ceritaht
@IDN_Horor
@bagihorror #bagihorror Image
Bantu Re-tweet ya @ItsQiana @Gumballwee @pakdhe_beja @qwertyping @Rioo43317016
Kata Pengantar dulu..

Haiiii… ada yang kangen thread kentang Nana?
Iya mon maaph buat para follower lama Banana yang udah digantungin thread “Kost” sampe jamuran. Dah banyak yang lupa kali ya 😭. Karena itu buat penebusan dosa kali ini, cerita bakal author posting sampai tamat.
Fyi, kali ini Nana gak bakal nerusin part 2, tapi author mau rekontruksi thread “Kost” biar lebih runut lagi tanpa part-part edition.

Dari satu tahun Nana vakum menulis, semoga story board thread kali ini tidak terlalu mengecewakan para reader.
Sekali lagi Nana hanya ingin berbagi sekian dari pengalaman mistis yang pernah dialami.

Sebenarnya thread ini bukan bercerita tentang kost yang berhantu, namun lebih ke dampak dari suatu kejadian yang menyebabkan tempat ini mengalami banyak peristiwa mistis pada penghuninya.
Oh iya, perlu diingat semua nama tokoh, waktu atau mungkin daerah asal sudah Nana samarkan dari aslinya.. Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang kurang berkenan.
Say Bismillah ...

Cerita ini terjadi saat aku masih menginjak semester awal perkuliahan di salah satu kota Pendidikan di Jawa Timur. Yang mana aku mengambil Jurusan Teknik di Perguruan Tinggi Swasta yang cukup terkenal di kota Malang.
Kebetulan aku mendapatkan tempat kost dibelakang kampus dengan harga sangat murah, yang mana terletak di area perkampungan penduduk.

Sebelum melanjutkan, aku ingin menjabarkan sedikit. Jadi daerah kos yang kutempati ini mayoritas dihuni oleh orang-orang dari luar jawa.
Tepat dibelakang bangunan kosku terdapat kos putra. Seperti ini kurang lebih denahnya. Image
Fyi, penghuni kos putri dan kos putra ini bisa dibilang sudah sangat akrab karena memang saling mengenal dan berasal dari satu daerah yang sama, bahkan beberapa diantaranya masih berkerabat.
***
AWAL MULA

Senja waktu itu, langit mulai menggelap. Qiro’ah menjelang adzan maghrib sudah mulai terdengar sayup-sayup.

Aku berjalan lelah menyisiri jalanan kampung yang lumayan sepi. Kulihat rumah tua sederhana tak jauh beberapa meter saja dari hadapanku.
Rumah tua itu adalah kosku. Dikursi teras yang lapuk, mataku menyipit menatap sesosok gadis berambut panjang duduk termenung.

Semakin dekat langkahku, semakin jelas penglihatanku. Gadis itu menatap jalanan dengan pandangan kosong.
Dia Ayu teman satu kosku. Aku mengernyit. Ayu masih menatapku datar tanpa membalas sepatah katapun. Tampaknya ia berada dalam mood yang kurang baik atau mungkin saja sedang PMS.

Tapi tetap saja gadis ini harus kuajak masuk ke dalam rumah kan?
Kalau tetap dibiarkan melamun diwaktu sekarang, berada diluar, apalagi jika benar dalam kondisi haid. Bukankah lebih berbahaya lagi?! Bisa-bisa kesurupan dia.

“Masuk yuk.” Ajakku sekali lagi.

“……..”
Kali ini mata itu menatapku intens. Baru kusadari tatapannya begitu aneh dan… sedikit menyeramkan. Beberapa kali kupanggil masih tak kudengar sepatah katapun keluar dari bibirnya.

'Ojo-ojo wes kelebon.’ (Jangan-jangan udah kesurupan). Batinku khawatir.
Tampak sesungging senyum di sudut bibirnya. Senyum yang sedikit dipaksakan.

“Mboten kok mbak.” (Tidak kok mbak). Jawabnya kemudian

“Oh ya sudah. Aku masuk ke dalam dulu ya.” Jawabku sembari membiarkannya.
Baru beberapa langkah, kakiku terhenti. Otakku yang sudah sangat lelah karena perkuliahan dipaksa berpikir karena menyadari sesuatu.

‘Tunggu! Bagaimana dia bisa menjawab apa yang kupikirkan? Dan sejak kapan dia bisa berbahasa jawa?’
Kupikir semenjak sore itu awal mula dari keanehan-keanehan yang mulai ditunjukkan Ayu.

***
DIA MULAI BERBEDA

Malam hari, tepat pukul Sembilan..

Aku sudah bersiap-siap di depan televisi dengan camilan di atas meja. Kubenahi cara dudukku untuk menghindari busa kursi yang sudah bolong-bolong.
Maklum kursi tua. Meski kayu jatinya masih kokoh, namun kondisi lainnya sudah tak tertolong lagi. Bahkan lantainya pun belum berkeramik. Masih berlapis semen yang kadang dibeberapa bagian sudah berlubang dan bercampur pasir.
Aku mulai memencet tombol remote lalu menatap layar TV tabung dengan tak sabar. Menunggu drama korea yang sedang hits kala itu.

Saat sedang asyik-asyiknya menonton sendiri, tiba-tiba saja seseorang duduk tak jauh dari tempatku berada. Aku menoleh.
“Kamu ngikutin drama ini juga Yu?”

Ayu mengangguk, menatapku sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangan ke layar televisi. Aku yang sedang asyik mengunyah wafer menawarinya. Tak enak juga kan makan-makan sendiri kalau ada orang lain disekitar kita.
Ayu menggeleng. Lagi-lagi dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Hal itu semakin terasa aneh.

Awal mula kupikir dia sedang sakit gigi atau sariawan, karena sejak tadi sore jarang menyahut saat kuajak berbicara.
Namun setelah kuamati diam-diam, gelagatnya masih sama seperti sebelumnya.

Gadis itu menatap layar tv, hanya saja masih dengan pandangan kosong. Ku ajak berbicara sesekali, ia hanya menjawab dengan anggukan atau menggeleng saja.
Sepertinya Ayu memang menyadari aku yang sempat mencuri-curi pandang. Tak lama kemudian mata kami saling bersibobrok.

Disaat yang sama bulu halus ditengkukku meremang. Aku makin merasa tak nyaman. Tak khayal tiba-tiba saluran yang sedang kutonton malah menghilang,-
aku sedikit terkejut. Ya mungkin karna TV tabung usang ini sudah berumur tua, pikirku saat itu.

Sempat kuketok beberapa kali sisi kotak TV, berharap mendapat sinyal cerah lagi. Dan benar saja, layar memang menjadi jernih. Aku mendesah lega, lalu kembali mengarahkan-
pandangan lagi padanya. Namun ternyata gadis itu sudah menghilang dibalik daun pintu kamarnya.

Mungkin kalian pikir ini hanya suatu kebetulan. Awalnya aku berpikir demikian meski indra sensitifku sudah memperingatkan.

***
SIAPA YANG MENGETUK JENDELA?

Pernah suatu malam saat tidur, aku harus terjaga karena mendengar suara ketukan. Awalnya kupikir suara orang yang mengetuk pintu depan.

Tapi setelah kudengar dengan seksama, ternyata berasal dari jendela kamarku sendiri.
Seperti suara kuku yang diketuk-ketukkan.

“Sopo se iki bengi-bengi ganggu wong turu.” (Siapa sih ini malam-malam ganggu orang tidur). Gerutuku malas.

Suara ketukan kuku itu masih terdengar
“Siapa?” Sahutku setengah berteriak.

Tuk Tuk Tuk..
“Siapa sih??” Tanyaku lagi setengah jengkel.

‘Iki pasti kerjaane arek-arek kampung sing jahil.’ (Ini pasti kerjaan anak-anak kampung yang iseng). Batinku kesal.
Oh iya, rumah kosku tidak memiliki pagar, jadi orang luar tentu bisa bebas kapan saja memasuki pekarangan. Dan kebetulan letak kamarku memang berada di bagian paling depan.

Tiba-tiba suara ketukan itu makin cepat hingga membuatku sempat terlonjak.
Ragu-ragu aku mendekati jendela yang tertutup gorden meski suara ketukan kuku itu masih tak berhenti.

‘Buka … nggak … buka … nggaak..’ Batinku menimbang.

Karena kesal kuberanikan saja menggeser tirai gorden secara spontan, namun tak menemukan siapapun dibalik sana.
Hanya teras kosong yang diterangi cahaya lampu saja. Untuk memastikan lagi, aku sampai menempelkan wajah ke kaca menelisik sekitar.

Tapi orang secepat apa yang bisa menghilang begitu saja.

Yang jelas itu bukan orang.

***
AKU TAU KALIAN SEDANG MEMBICARAKANKU

Ini minggu ketiga dimana kelakuan Ayu makin aneh. Bahkan bukan aku saja yang merasakan, tapi beberapa penghuni kost.

Salah satunya Putri. Kebetulan si Putri ini teman satu sekolah sekaligus tetangga Ayu di daerahnya sana.
Biasanya tiap pulang kuliah, Putri sering nongkrong ke kamar Ayu. Tapi sekarang, boro-boro mau masuk kamarnya, ngeliat Ayu aja dah bikin Putri keder.

Sebelumnya aku akan mengenalkan nama-nama penghuni kos melalui denah dibawah ini agar kalian lebih mudah memahami. Mon Maaph denahnya jelek :(
“Gak main ke kamar Ayu? Biasanya jam segini kalian dah asik gosip”. Celetukku iseng saat gak sengaja berpapasan di Lorong depan kamarnya.

“Gak kak, lagi banyak tugas.” Jawa Putri singkat dan langsung menutup pintu.
Awalnya aku tak terlalu memikirkannya. Tapi lama-kelamaan sampai juga kasak-kusuk kurang mengenakkan ditelinga.

Tak sengaja kudengar mbak Rere dan mbak Mela saling berbincang sambil berbisik dengan bahasa daerah mereka.
“Opo mbak? Opo?” Kepoku sambil mendekati mereka yang sedang duduk di kursi dapur.

“Ihh kepooo..”

“Ssssttt….” Tegur Mbak Mela pada kami.

“Na… kamu ngerasa aneh gak si sama kelakuan Ayu sekarang?” Tanya Mbak Rere padaku.
Aku menggeleng pura-pura, sekedar memancing apa yang mereka ketahui.

“Jadi, aku tuh sering denger dia ngobrol sendiri dikamar, pas coba kudengerin lagi emang gak ada lawan bicaranya.” Sahut mbak Rere

“Ah yang bener.”
“Iya Na, Aku juga sering denger dia ngobrol sendiri pas kubuka emang gak ada siapa-siapa di kamarnya.” Kali ini mbak Mela menimpali

“Lagi telpon kali.” Bantahku sekali lagi

“Gak ada. Orang dia gak lagi pegang HP. Pas kutanya dia malah diam aja sambil senyum ngeri.”
“Dan si Putri juga pernah mergokin dia nyanyi lagu Bahasa jawa di pojokan kamarnya. Kadang kayak lagi bercanda sama orang mana tengah malam pula.”

Aku manggut-manggut mengerti. Dari yang kutangkap melalui cerita mereka, kelakuan aneh Ayu terjadi sejak 2-3 minggu-
sejak aku memergoki gelagat anehnya sore kala itu.

Gak lama kemudian terdengar engsel pintu dibuka, sontak Mbak Rere dan Mbak Mela yang sadar bahwa suara itu berasal dari pintu kamar Ayu pun langsung berpamitan dengan dalih main ke kost putra dibelakang.
Aku yang masih duduk di bangku panjang bambu di dapur sempat terpaku tatkala mata kami tak sengaja beratatapan, meski hanya sepersekian detik.

Wajah itu datar, namun dalam sekejap berubah ekspresi.
Ayu menyeringai dengan mimik muka sedikit mengerikan. Kali ini hampir semua bulu kuduk di tubuhku langsung berdiri.

“Mbak..” Sapanya kalem.
“Oh iya yu.”

“Mbak Rere dan Mbak Mela di kost belakang ya?” Ucapnya sambil membelakangiku saat memasuki pintu kamar mandi.

“Iya..” Jawabku singkat namun aku menyadari sesuatu, darimana Ayu tahu bahwa mbak Mela dan mbak Rere tadi yang berada di dapur.
Padahal keduanya sudah ngibrit sebelum Ayu menampakkan diri. Setelah pintu kamar mandi tertutup. Aku mendengar suaranya bersenandung, hanya saja dengan intonasi yang serak dan lebih berat.

***
KESURUPAN

Keesokan harinya menjelang isya’ aku berjalan pulang dari perkuliahan menapaki jalan perkampungan. Keadaan tampak lengang, lampu-lampu jalanan menerangi jalanan aspal yang cukup sepi.

Tiba depan rumah sudah dikejutkan dengan suara riuh dari dalam.
Aku pun berjalan mengintip ke salah satu kamar yang terbuka. Di dalamnya tampak Putri, Sinta, Mbak Mela, dan Mbak Rere berdiri dihadapan Ayu.

“Ayu, Ayu!” Panggil Putri setengah berteriak.

Kulihat gadis itu hanya duduk diam membatu diatas ranjangnya.
Hanya dengus nafasnya yang terdengar sedikit kasar.

“Mbak… ada apa ini?” Tanyaku kebingungan.

“Ssstt..” Tegur Mbak Mela menyuruhku diam

Tiba-tiba Ayu meliukkan bahu dengan leher menggeleng cepat, membuat rambutnya panjang itu mengembang dan menutupi sebagian mukanya.
Gelagat Ayu yang spontan itu membuat kami cukup ketakutan.

Kembali Ayu terdiam, mematung.

Sekian menit berlalu dan Ayu tetap diam dengan sebagian rambut panjangnya menutupi muka. Muka Ayu nyaris tak kelihatan.
Perlahan Ayu mengubah posisi duduknya sambil memeluk kedua kakinya diatas ranjang.

“Yuuu… Ayuu…” Panggil mereka bergantian meski ragu-ragu.

Aku yang sudah menangkap gelagat aneh itu sedari awal mulai melafadzkan ayat kursi secara berulang-ulang.
Ayu masih diam, namun beberapa detik kemudian tiba-tiba dia menangis dengan suara lantang, lebih menyerupai jeritan.

“Diaaaamm! Diaaaam kamu!!!”
Suara Ayu terdengar melengking, memecah kesucian malam itu.
Sontak Mbak Mela mengode Mbak Rere yang berada disebelahnya untuk memnta bantuan dari anak-anak kost pria dibelakang.

“TAK KANDANI MENENGO KOWE BANGS*T!!” (Sudah saya bilang.. diam kamu!!)

“Kamu siapa?” Tanyaku spontan.
“GAK USAH MELU-MELU KOWE! AKU NEK NGONGKON MENENG YO MENENGO!!!” (Gak usah ikut campur kamu! Kalau aku bilang diam ya diam!)
Suara Ayu semakin kencang.

“Hiiii… Hiiii… Hiiii..Hiii”

Aku sadar amarahnya memang ditujukan padaku.
Meski ketakutan kami berempat berusaha memegangi Ayu sekuat tenaga, yang mana tiba-tiba mengamuk dan mulai melukai diri sendiri.

Tak beberapa lama terdengar deru suara beberapa langkah kaki dari arah pintu dapur.

“Ini gak apa-apa masuk?”
“Iya gak apa-apa.” Sahut mbak Rere dari kejauhan.
Kudengar suara mereka datang mendekat kearah kami.

Kudapati empat orang pria berjalan, yang mana sosok paling depan memakai peci dan sarung.
Sepertinya memang baru pulang shalat berjamaah di masjid.
Mas Arfan, anak pemilik kost putra di belakang. Tak heran jika mereka memanggil bantuan mas Arfan, karena selain lulusan pondok pesantren, katanya ia juga memiliki ilmu kebatinan.

Mereka sempat tercekat melihat pemandangan tersebut.
Ayu berhasil memontang-mantingkan kami berempat dengan enteng. Masih dengan suara tangis dan tawa bergantian, memekakkan telinga siapapun yang berada disana.

“Mas Arfan, tolongin Ayu. Kayaknya kesurupan.” Teriak mbak Mela disela-sela suara tawa Ayu yang masih membahana.
Lalu mas Arfan menyuruh beberapa anak kos cowok yang ikut untuk membantu kami yang terlihat sangat kewalahan memegangi Ayu.

Mas Arfan mulai mendekat, melafalkan doa-doa rukiyah sembari memegang kening Ayu. Ayu makin memberontak, bahkan berhasil membuat pegangan kami-
sempat terlepas. Seperti bukan dari tenaga yang keluar dari satu manusia, apalagi seorang gadis mungil.

Mas Arfan masih melafalkan doa hingga tak lama kemudian berhasil membuat gerakan Ayu makin melunak.
“Siapa Kamu?” Teriak Mas Alfan kencang
“Hiiii.. Hiiii… Hiiii”
Suara Ayu terdengar mirip tawa kuntilanak.

***
Pastikan jendela kalian tidak ada yang mengintip ya.... Image
SOSOK SINDEN MISTERIUS

Disuatu malam yang terasa begitu sunyi, lampu kamarku sudah berganti menjadi lampu tidur, bunyi jangkrik mulai menemani.

Tapi ada suara yang sedari tadi cukup mengganggu, suara kucing yang terus mengeong tiada henti.
Awalnya kupikir wajar, mungkin saja kucing-kucing itu sedang melangsungkan pesta reproduksi bersama.

Tapi sudah hampir setengah jam suaranya tak kunjung berhenti. Sampai-sampai ku ketuk-ketuk jendela dengan sedikit keras, mengusir mereka agar segera pergi dari samping kamarku.
Namun tak kunjung berhasil. Sempat kusingkap sedikit gorden dan mengintip melalu jendela, tampak dua ekor kucing duduk berjejer diluar pekarangan.

Satu berwarna hitam dan satu lagi berwarna putih dengan ekor panjang kuning. Keduanya melihat kearah kosku.
“Husssh! Husssh!”. Usirku dari balik jendela.

Hanya saja mereka tak menggubris dan mengeong makin histeris.

Tak bisa kupungkiri, alasan kucing-kucing itu mengeong mungkin saja karena mereka melihat apa yang tidak bisa mata orang awam lihat.
Segera kutepis jauh-jauh pikiran itu. Aku tak ingin mengalami insomnia, karena besok harus bangun pagi-pagi buta. Jam setengah tujuh ada praktikum PLC di lab, yang mana asisten labnya adalah pacarku sendiri.

Masa iya aku telat? Tapi ini tak ada hubungannya dengan itu. Sungguh.
Karena dipraktikum kali ini aku harus lulus untuk memperbaiki nilai PLC yang lumayan hancur.

Aku kembali berbaring dan membungkus tubuhku dengan selimut hingga kepala.

Kupasang headset di kedua telinga, lalu menyetel musik dari ponsel agar bisa segera tertidur.
Dan benar saja cara itu berhasil. Aku bisa memejamkan mata dengan sempurna.

Tak sampai lima menit kurasa. Sayup-sayup kudengar suara orang bersenandung. Awalnya lirih, namun lama-kelamaan terdengar semakin jelas. Kudengar lebih seksama, itu suara wanita sedang nyinden.
Kulirik sekitar, aku masih di dalam kamar dalam kondisi yang sama.

‘Sopo iki nyanyi bengi-bengi. Opo tekan suara TV yo?’ (Siapa ini nyanyi malam-malam? Apa berasal dari suara TV ya?). Batinku kemudian.
Ntah kenapa rasa penasaran begitu besar menggelayuti, hingga kuputuskan untuk mengecek saja darimana asalnya suara tersebut.

Begitu keluar kamar, aku tak menemukan siapapun di ruang TV, bahkan TV-nya saja masih mati.
Otakku sudah mengirim sinyal tak beres, hanya saja tubuhku bergerak sebaliknya. Suara sinden itu terdengar tak jauh dari kamarku.

Kulirik lorong menuju arah dapur, yang mana disamping kanan-kirinya terdapat kamar anak-anak kost yang lain. Karena penasaran kudekati saja.
Firasatku langsung mengarah ke kamar pintu pertama yaitu kamar Ayu. Tebakanku benar, kulihat pintunya memang sedikit terbuka dan menampakkan celah.

Kudorong pintu kayu itu secara perlahan. Jantungku mulai berdegup kencang. Diatas ranjang tampak sesosok wanita dengan-
kebaya panjang berwarna putih seperti penganten. Ia sedang menyisir rambut panjangnya.

Hanya saja itu bukan Ayu, sekilas wajahnya terlihat lebih tua dengan postur badan tinggi nan kurus.

Wanita itulah yang sedang menyenandungkan sinden dengan merdu.
Meski tak begitu tampak bagaimana raut wajahnya karena punggungnya membelakangiku, sosok itu tetap saja terlihat cukup menyeramkan.
‘Aja sira andaleming
lah age sira malesa
aja katon lanang dewe
yo le ya nang wong jentara
sun tan nedya nglawana
sak karsanira sun lumuh
mrih aja nganiaya’

(Kurang lebih seperti itu ia menyanyikannya)

Aku tertegun beberapa saat, sempat terhipnotis dengan suaranya.
Namun tiba-tiba saja, wanita sinden itu berhenti bernyanyi, seolah menyadari kehadiranku. Lalu terdengar suara merintih seperti menahan sakit yang menyayat hati.

Tak lama kemudian wanita berkebaya putih itu menoleh ke arahku. Aku tersentak.
Wanita itu memiliki wajah yang sangat menyeramkan. Mata gelapnya runcing memanjang, bibir penuh luka borok, wajah sedikit berkeriput, namun anehnya memiliki kulit berwarna abu-abu.

Aku memundurkan langkah dan langsung berlari ke kamarku. Sontak kukunci kamar dengan segera.
Tak lama kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu kamarku kasar.

“Buka! Buka! Buka!”

Aku mulai melantunkan ayat suci, anehnya lidahku jadi kelu. Aku membaca surat tersebut terbata-bata, bahkan beberapa ayatnya saja banyak yang lupa.
Padahal aku sudah hafal betul dengan doa itu.

“Buka! Buka nduk! Buka! Hihihihihi…”
Aku masih berdoa dengan terbata-bata meski sudah berusaha. Otakku mulai berpikir, kulihat diatas ranjang diriku yang lain sedang berbaring.

“Loh? Iku aku.”
Aku mulai menyadari bahwa sukmaku tak sengaja berkeliaran lepas dari raga? Ataukah ini yang disebut sleep paralyse? Entahlah.

BRAK! BRAK! BRAK!

“Bukak!” Teriak wanita itu makin marah. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung menyungsur saja ke arah diriku yang lain.
“Astaghfirullahal’adzim.” Ucapku saat membuka mata.

Kulirik sekitar kamar. Sepi. Jika ini mimpi rasanya seperti nyata sekali.

Bahkan masih bisa kurasakan degup jantung yang menderu kencang. Kuusap sekitar dahiku yang berkeringat dingin.
Segera saja kunyalakan lampu utama kamarku agar menjadi terang. Aku meraba ponsel, kulihat jam sudah menunjukkan angka tiga. Mungkin saja ini teguran agar melaksanakan sholat malam.

Setelah menenangkan diri, akupun beranjak dari tempatku dan berencana mengambil wudhu.
Lalu berpikir lagi untuk kekamar mandi yang mana lokasinya berada diujung didapur. Itu berarti aku harus melewati kamar Ayu juga. Bagaimanapun sosok hantu sinden itu masih melekat di dalam pikiran.

Tapi yasudah, mungkin saja itu memang mimpi buruk.
Aku harus memberanikan diri. Bukankah dengan shalat bisa mengusir keberadaan jin-jin jahat.

Meski ragu aku terus berjalan dan melewati kamar Ayu yang ternyata masih tertutup. Aku menghela nafas lega.
Namun saat berjalan kembali menuju kamar, kulihat pintu kamar Ayu terbuka setengah. Yang mana ia sudah duduk tegap dipinggiran ranjang dengan posisi menghadap kaca.

**
TEROR MEREKA

Sejak kejadian itu, aku tak berani menceritakan pada siapapun apa yang telah kualami karena tak ingin membuat penghuni lain menjadi ketakutan.

Hawa kos entah mengapa berubah menjadi lebih mencekam. Suhunya pun terasa berubah-berubah.
Bahkan malam hari yang biasanya dingin, bisa sewaktu2 berubah menjadi pengap dan panas. Belum lagi suara ketukan kuku di jendela yang kadang masih mengganggu di malam tertentu.

Kupikir hanya aku yang mengalami, karena memang indra perasaku cukup sensitif dgn hal-hal demikian.
Tapi aku salah.

Pernah suatu ketika Putri tiba-tiba menerobos pintu kamarku sembari menangis ketakutan. Aku yang saat itu selesai shalat maghrib sempat terkejut, karena kupikir ia bertemu dengan orang jahat atau semacamnya.
Tubuhnya bergetar ketakutan sembari menutup diri dengan selimut yang ada ada di ranjangku. Beberapa menit sempat kubiarkan saja dia, karna beberapa kalipun ku tanya ia tak sanggup menjawab.

Setelah sedikit tenang dan memberikannya sebotol air, akhirnya Putri mulai mengeluarkan-
beberapa kata.

“Mbak.. aa..ada pocong di kamar mandi?”

“Hah?” Sahutku setengah percaya.

Putri menceritakan bahwa saat itu posisi pintu kamar mandi sedang tertutup. Awalnya ia berpikir ada seseorang didalamnya, yang mana juga terdengar suara samar air kran yang mengucur.
Kurang lebih 10 menit Putri menunggu dan sesekali mencoba memanggil dari luar.

Setelah beberapa kali memastikan dan tak ada pula jawaban, ragu-ragu ia sedikit mendorong papan pintu yang ternyata tidak terkunci.

“Ah sialaan ternyata gak ada orang.”Gerutunya.
Belum sampai terbuka sepenuhnya, iris matanya menangkap sosok yang berdiri dengan balutan kain putih lusuh terikat lima, diatas wc jongkok dengan posisi melayang.

Wajahnya separuh hancur, menampakkan sebagian rongga tulang dengan daging yang mengelupas.
Tubuh putri sempat kaku sepersekian detik, ingin berteriak pun tak bisa. Untunglah kakinya masih bisa digerakkan dan mendorongnya berlari menjauhi pocong tersebut.
Aku yang mendengarnya ikut jiper juga. Akhirnya malam itu ia minta ijin tidur di kamarku bahkan sempat tidak berani kembali ke kamarnya sendirian.
Jika kalian membaca cerita ini. Pastikan bahwa tidak ada siapapun yang menunggu kalian... di kamar mandi saat ini :) .
Lanjut upload besok lagi ya guys. Sekalian nemenin weekend kalian.

Terima kasih atas apresiasinya. Jangan lupa like dan RT sebanyak2nya ...
---Update today 21/8/21---

Ada satu cerita peristiwa mengerikan lain. Kamis malam kami semua dikejutkan dengan kondisi mbak Rere yang ditemukan pingsan di area dapur begitu saja.

Setelah siuman, ia sempat shock saat melihat beberapa dari kami mengerumuninya.
Setelah tenang, mbak Rere akhirnya menceritakan apa yang dialaminya.

Saat akan bermain ke kos belakang melewati dapur, tak sengaja ia melihat sosok nenek bertubuh bungkuk sedang memasak sesuatu di atas tungku (di dapur kos kami memang masih memiliki-
alat tradisional ini, meski ada kompor gas juga di sebelahnya).

Kebetulan posisi nenek itu memunggunginya, awalnya mbak Rere mengira itu ibu kost. Yang mana pasangan pemilik kos kami memang sudah berusia tua renta.

“Masak apa bu?” Tanya mbak Rere berbasa-basi.

“……….....”
Dua-tiga kali mbak Rere mengajukan pertanyaan yang sama namun tetap tak ada jawaban, bahkan dengan suara setengah berteriak pun sosok itu tetap tak menggubrisnya.

Ia pun sempat menoleh sekitar. Suasana saat itu hening, hanya terdengar sayup-sayup suara TV dan penghuni kos lain-
di depan sana. Lalu mbak Rere mencium bau wangi yang sangat menyengat hingga sempat membuatnya mual.

Tak lama kemudian sosok itu terkekeh, lalu tertawa lantang dengan suara mengerikan. Mbak Rere mulai menyadari ada yang tidak beres.
Hingga akhirnya nenek itu berbalik dengan memutar kepalanya saja hingga 180 derajat.

Lidah si nenek menjulur panjang sampai dada dengan mata melotot tajam, yang mana langsung membuat mbak Rere pingsan seketika.
Jika kalian pikir hanya kami bertiga yang mendapat gangguan, kalian salah.

Hampir seluruh penghuni kos kami, bahkan kos putra di belakang pun terkena imbas.

Salah satunya sosok penampakan kuntilanak yang akhir-akhir ini suka nongki diatas pohon jambu.
Jika ada pejalan kaki yang terlihat masih melewati jalan sempit setapak diatas jam 9 malam, maka bisa dipastikan kuntilanak dengan mulut robek pun akan sering menyambut mereka.

Padahal sebelumnya halaman belakang kos kami terbilang aman dari penampakan-penampakan semacam itu. Image
***
SOSOK-SOSOK YANG MENDIAMINYA

Selama beberapa pekan Ayu masih mengalami kesurupan, bahkan seminggu bisa 2 hingga 3 kali.

Para penghuni kosku merasa hal ini makin tidak beres. Tiap selesai proses rukiyah yang dilakukan pada Ayu, semakin menjadi-jadi pula
gangguan yang kami alami.

Mulai dari ustadz, orang pintar, hingga dukun yang dipanggil tak pernah bisa benar-benar mengusir jin-jin yang merasuki tubuh Ayu.

Sedang Mas Arfan sendiri sudah angkat tangan dari awal, setelah mencoba merukiyah Ayu beberapa kali.
Suatu hari Mas Arfan mencoba membantu dengan memanggilkan salah satu guru spiritualnya dari pondok, Gus Farid Namanya.

Waktu itu sudah memasuki ba’da ashar. Gus Farid mulai melaksanakan proses rukiyah pada Ayu dengan duduk bersila saling berhadapan.
Tampak beliau meminta segelas air yang mana sebelumnya sudah dibacakan doa-doa. Awalnya ekpresi Ayu biasa saja, namun saat beliau memintanya meminum air tersebut tampak ekspresi kekhawatiran diraut wajahnya.

“Saya sudah nggak apa-apa ustadz. Saya sudah sembuh.” Elak Ayu.
“Yang bener? Coba diminum airnya kalau begitu.”

“Nggak mau. Saya nggak haus!”

“Kalau mau cepat sembuh harus diminum airnya.” Bujuk Gus Farid.

“Tapi saya nggak mau. Jijik ih. Airnya habis diludahin situ.” Jawab Ayu dengan ekspresi jijik.
Kami semua saling berpandangan. Padahal kami tau benar Gus Farid hanya membacakan doa dan meniup pelan air dalam gelas itu.

Tapi dalam pandangan Ayu berbeda, Gus Farid tampak sudah meludahi air itu berkali-kali.
Karena bujukan dengan cara halus tak pernah mempan, dengan terpaksa Gus Farid meminta beberapa dari kami memeganginya, agar air itu bisa diminum Ayu.

Sontak Ayu yang tadinya kalem berubah beringas dalam sekejap. Ia menggeram dan menutup mulutnya rapat-rapat.
Ntah doa apa yang dibacakan Gus Farid hingga akhirnya berhasil membuat Ayu membuka mulutnya meski setengah berteriak.

“Kurang ajar kowe! Wani padu karo aku?”
(Kurang ajar kamu! Berani menantangku?)
Teriak Ayu dengan suara yang berubah menjadi berat dan serak.
Gus Farid kembali melafalkan doa beberapa saat, lalu mencipratkan air baskom berisi daun bidara yang ternyata sudah disiapkan Mas Arfan.

Ayu semakin kelojotan tak terkendali. Tiga orang yang sedari tadi memegangi Ayu langsung kewalahan, bahkan Ardi dan Danna yang membantu-
sempat terbanting ke tembok karena hentakan yang sangat kuat. Mau tak mau beberapa dari kami ikut membantu memegangi Ayu yang hendak menyerang Gus Farid, untungnya berhasil dihindari beliau.

“Tolong tahan sebentar. Pegang mbak Ayu lebih kuat.” Perintah Gus Farid kemudian
Aku yang mana ikut membantu memegang tangan sebelah kirinya seketika takjub dengan kekuatan tenaganya.

6 Orang berhasil dipontang-pantingkan Ayu hingga kewalahan. Padahal Ayu lebih pendek dariku meski badannya lebih berisi.
Tapi aku merasa sedang menahan orang bertubuh besar yang sangat kuat.

Tiba-tiba rasa panas menjalar ditelapak tangan. Berbekal pengalaman pernah membantu para ustadz saat merukiyah beberapa anak dipondok dulu. Akupun ikut melafalkan doa-doa rukiyah yang pernah kuhafal-
sembari memencet ibu jarinya. Hal itu berhasil membuatnya jatuh terduduk. Tak khayal Ayu semakin menjerit lalu memelototiku.

‘Waduh..mati aku. Jin e ngamok’. Batinku was-was

Untunglah beberapa saat kemudian Ayu semakin melunak.
Lalu badannya mulai lemas, namun masih kokoh dalam posisi duduknya. Kepalanya menunduk hingga rambutnya yang panjang mulai menutupi wajah.

Entah air dan doa apa yang dibaca Gus Farid, tapi hal itu berhasil mengontrol jin yang ada dalam tubuh Ayu berhenti melakukan perlawanan.
Kemudian Gus Farid meminta beberapa dari kami untuk meninggalkan kamar Ayu. Hanya meninggalkan Mas Arfan dan aku saja, untuk menghindari fitnah saat melakukan proses rukiyah selanjutnya.
Awalnya aku nggak tahu apa alasan Gus Farid malah memintaku untuk tinggal, padahal biasanya mbak Mela atau putri yang menemani Ayu. Tapi kata beliau auraku lebih kuat, jadi nggak gampang kerasukan.
Beberapa dari kami menunggu diluar kamar, sebagian lagi duduk di ruang TV.

Sayup-sayup terdengar Gus Farid membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ayu hanya menggeram namun tak bisa berontak. Lalu Gus Farid mulai menginterogasi sosok yang mendiami Ayu.
“Opo tujuanmu ngleboni arek iki?”
(Apa tujuanmu merasuki anak ini?)

“Yo garai arek iki matek lah. Hihihihihi.”
(Ingin membuat anak ini matilah)

“Ben lapo? Arek iki due salah opo?"
(Untuk apa? Anak ini punya salah apa?)

Sosok yang merasuki Ayu tertawa mengejek.
Sopo sing ngirim kowe?”
(Siapa yang mengirimmu?)

“Duduk urusanmu.” Jawab Ayu dengan suara lebih berat, sekilas mirip suara laki-laki dewasa.

“Jenengmu sopo?” (Namamu siapa?) Tanya Gus Farid.

“Aku yo Ayu. Hihihihihi”
Tampaknya jin yang mendiami Ayu tak hanya satu namun ada beberapa. Dilihat dari suaranya yang berubah-ubah setiap menjawab pertanyaan dari Gus Farid.

Terlihat jin-jin ini sengaja ingin mempermainkan kami. Ayu meracau tak karuan.
Dalam racauannya, Ayu meminta kopi hitam, gorengan, dan sebungkus kembang 7 rupa yang biasa buat nyekar/ ziarah.

Namun kami hanya diam saja, tak meng-iya-kan satupun permintaannya.
Hal itu membuatnya marah, sampai mengeluarkan suara-suara melengking yang sempat membuat nyaliku menciut.

Karena tak juga mendapatkan informasi siapa yang mengirim buhul sihir pada Ayu, Gus Farid sedikit melakukan tindakan pemaksaan agar Jin itu mau menyebutkan siapa orang-
yang mengirim mereka. Namun tiap ditanyai, Jin-jin itu tetap menolak sekuat tenaga.

Jika mereka dipaksa kembali kepada pemiliknya, hal itu akan membuat mereka mati. Karena ternyata jin-jin itu sudah menyatu dalam darah dan nadi Ayu.
Nah kok bisa? Nanti diakhir cerita akan Nana jelaskan.
Akhirnya Gus Farid hanya berhasil mengeluarkan sebagian dari ‘mereka’. Namun sepertinya tidak terlalu membuahkan hasil.

Karena nyatanya sebagian dari mereka tetap bisa kembali ke tubuh Ayu, seperti sebuah magnet yang menarik besi-besi di sekitar.
Kulihat bulir-bulir keringat menetes dari kening Gus Farid. Wajahnya sudah sangat kelelahan. Sedangkan hawa dikamar Ayu waktu, tak perlu dijelaskan lagi.

Panas dan pengap, seolah kami sedang berada di ruangan kedap udara dengan tungku api yang sangat besar.
Bahkan energiku serasa ikut terkuras, padahal sedari tadi aku hanya membantu dengan melafalkan ayat kursi saja.

Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang, tepat di saat itu Gus Farid sudah bisa menenangkan Ayu. Lalu kami pun membaringkannya di atas ranjang.
“Fan, ini sulit. Yang ngirimi pakai ilmu jawa kuno. Tak lihat tadi salah satu jin terkuat yang mendiami mbak Ayu sudah tua berumur ratusan tahun.”

“Trus bagaimana Gus?” Tanya Mas Arfan

“Hmm.. ini sudah tak pagari mbak Ayu ne. Hanya bisa mencegah jin-jin baru yang ingin masuk-
Tapi jin-jin yang sudah terlanjur ada sebelumnya, gak bisa tak keluarkan, mesti balik lagi. Kalo nggak ditangkal dari yang ngirim ya susah. Mbak Ayu sekarang ibarat cangkang yang kosong. Dan itu sangat berbahaya. Jika dibiarkan bisa-bisa jiwanya juga ikut hilang."
Gus Farid pun bilang dia akan mencari solusi lain. Menurut beliau, kami harus mencari tahu sumber buhul sihir.

Apakah ditanam di sekitar rumah, dibawa dalam bentuk sebuah benda oleh Ayu, atau media lain. Yang jelas sihir itu sangat terikat dan ikut kemanapun Ayu pergi.
Minggu-minggu pun berlalu hingga berganti bulan. Beberapa dari kami yang ikut membantu mencari buhul sihir yang dimaksud, namun tidak juga membuahkan hasil. Ayu pun yang ditanyai juga tak ingat apa-apa.
Bahkan dia cenderung linglung, sering melamun dengan tatapan kosong. Akhirnya Ayu jadi sering absen dari kuliahnya.

Mbak Mela sudah mengabari kondisi Ayu pada keluarganya. Karena Mbak Mela, Mbak Rere, dan Putri memang berasal dari daerah yang sama dan mengenal keluarga Ayu.
Keluarga Ayu menyerahkan semua urusan pada Mela, bahkan bersedia mengirimi berapapun uang yang dibutuhkan untuk pengobatan Ayu.

Ntah kenapa saat itu mereka tidak bisa langsung ke Jawa, Mbak Mela pun tak mengerti.
Karena peristiwa ganjil yang sering kami alami, Sinta pun jadi jarang pulang ke kos dan lebih banyak menghabiskan waktu menginap di tempat temannya yang lain.

***
PERJALANAN PULANG YANG MENCEKAM

Hingga disuatu sabtu pagi, mbak Mela dan dua orang anak kos belakang putra (Rahman dan Danna) berniat mengobati Ayu ke orang pintar lain. Siapa tahu berhasil, karena katanya orang pintar yang direkomendasikan teman si Rahman ini cukup terkenal.
Memang lokasinya tak sampai keluar wilayah kabupaten, hanya saja jalanan menuju kesana lumayan ekstrem. Karena terletak di daerah pedalaman di pinggiran kota.

Akhirnya berangkatlah mereka berempat (bersama Ayu) menggunakan motor, bermodal mengandalkan GPS sebagai petunjuk arah.
Sesampainya ditempat tujuan tak disangka ternyata antrian pasien si orang pintar sudah banyak sekali.

Ternyata mbak Mela dan kawan-kawan berangkat kurang pagi, hingga mau tak mau harus menunggu hampir seharian karena mendapat nomor antrian belakang.
Naas hari itu mbak Mela dkk terpaksa harus menempuh jalan pulang menjelang malam. Tak sebanding dengan ritual pengobatan yang hanya berjalan 15 menit saja.

Setelahnya Ayu hanya dibekali dgn kertas bertuliskan rajah yang dibungkus kain putih, Ayu harus membawanya kemana-mana.
Disinilah perjalanan pulang yang cukup mengerikan dimulai. Mereka berempat membawa dua motor yang mana Rahman membonceng Ayu, sedang Mbak Mela dibonceng Dana.

Mereka menempuh medan aspal sempit yang cukup sulit dan berkelok-kelok.
Yang mana di satu sisi terdapat jurang dan tebing yang dikelilingi pepohonan lebat. Belum lagi pencahayaan minim karena lampu jalanan yang masih jarang.

Awalnya masih ada beberapa kendaraan lain yang menyertai, namun lama kelamaan tinggalah rombongan motor mereka saja.
“Dan… sepi banget ya? Kok nggak ada barengan kendaraan lagi ya?” Tanya Mbak Mela kemudian, namun Danna tak menjawab apapun.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara klackson sesekali. Namun anehnya tak terlihat cahaya lampu dari arah belakang maupun kendaraan yang menyalip.
Hal itu membuat mbak Mela sedikit penasaran.
“Jangan noleh mbak. Pokoknya jangan menoleh!” Seru Danna tiba-tiba.

“Emang kenapa Dan?”

“Pokoknya jangan menoleh mbak. Percaya kata saya. Dan tolong banyakin baca doa.” Jawab Danna dengan suara sedikit bergetar.
Mbak Mela pun menurut meski kepalanya terasa sangat ingin menoleh saat itu juga.

Sudah hampir dua jam perjalanan mereka lalui dalam keheningan. Mbak Mela mulai merasakan kejanggalan lain. Ini sudah ketiga kali mereka melewati gubuk warung yang sama.
Gubuk warung kosong yang hanya bercahayakan lampu minyak temaram tergantung diluaran sisi pintu kayunya.

“Dann.. Dannn.. kita gak nyasar kan?! Kok kita bolak-balik lewatin gubuk itu terus sih?” Tanya Mbak Mela khawatir.

“Astaghfirullah. “ Dana tampaknya baru menyadari juga-
bahwa mereka sengaja diputar-putar oleh sesuatu yang ghaib.

“Mbak gawat ini mbak. Pokoknya jangan putus baca doa ya mbak.”

“Hah? I.. iya Dan”
Lain cerita dengan Rahman yang berada di depan motor Dana.

Beberapa kali dia mengajak mengobrol Ayu agar gadis itu tidak melamun, meski hanya dijawab singkat-singkat saja. Jiper juga dia mengingat kondisi Ayu yang sering kesurupan.
Rahman mulai merasa tak nyaman saat menyadari bahwa ia sudah melewati gubuk yang sama beberapa kali.

Tiba-tiba sepasang tangan kurus pucat merangkul perut rahmat. Terdengar suara merdu berbahasa jawa dilantunkan lirih dari belakang punggungnya.
‘Aja sira andaleming
lah age sira malesa
aja katon lanang dewe
yo le ya nang wong jentara
sun tan nedya nglawana’

Seketika bulu kuduk di sekitar leher Rahman meremang. Sudut matanya melirik kearah spion.
Benar saja, ada sosok wanita berkulit pucat dengan rambut panjang tergerai sedang memeluk dirinya. Dan itu bukan Ayu.

Hal itu sempat membuat motornya sedikit oleng.

Wanita itu terkekeh.

Hanya beribu istighfar dan doa yang bisa ia panjatkan dengan bibir yang bergetar.
Untunglah tak lama kemudian, sebuah truk yang entah datang dari mana tiba-tiba menyalip motor mereka.

Meski terkejut dengan laju truk tersebut, mereka tetap mengucap beribu rasa syukur masih diberi keselamatan.
Karena sebelumnya tak ada tanda-tanda lampu sorot apapun dari belakang.

Saat itulah terlihat deretan pujasera yang ramai di sepanjang pinggir jalan, yang mana akhirnya berhasil menuntun mereka kearah pusat kota.

“Rahman.. Rahman… tadi kamu nanya apa?” Tanya Ayu tiba-tiba.
Rahman yang cukup familiar dengan suara itu, akhirnya memberanikan diri kembali melirik ke arah spion.

“Ayu? Kamu beneran Ayu kan?” Ucap Rahman memastikan.

“Iyalah aku Ayu. Tadi kamu nanya apa? Kok tiba-tiba jadi diem.”
“Nggak, Nggak apa-apa kok Yu.” Sahutnya dengan nada sedikit lega.

Diliriknya angka digital jam di tangan sebelah kiri, Rahman baru menyadari bahwa sudah empat jam perjalanan yang dilalui, yang mana harusnya bisa ditempuh dengan waktu 1.5 jam saja.

***
Bersambung dulu ya...
Ada yang masih penasaran kelanjutannya?

Pokoknya jangan lupa di Re-tweet ato like aja deh, biar nggak ketinggalan notifikasi updatenya (*maksa 😂).
See yaa..
----Update today 12 Sept 21----
Gegara capek ditagih 😒....
Jadi mo spoiler dulu. Masih ngegantung karena dah menuju chap terakhir.

Buat yang gak mau digantung, skip dulu gak usah dibaca. Ntar pasti Nana kasih notif lagi kalo udah 'Tamat'.
Awkwk...
Ga bole mara2. Suka2 author.
***

RAJAH PEMBAWA PETAKA

Disatu shubuh saat melewati lorong menuju kamar mandi belakang, aku sempat mendengar sesuatu menggaruk-garuk sekitar.

Suaranya samar namun cukup menyakitkan telinga. Awal kupikir seekor kucing yang mungkin sedang menajamkan kuku di pintu kayu.
Namun setelah kutelisik lebih jeli, suara itu berasal dari kamar Ayu.

Mungkinkah dia kumat bertingkah aneh lagi? Pikirku.

Ragu-ragu langkah kudekatkan, sembari menoleh sekitar namun masih tak sesiapapun.

Apa hanya aku yang mendengar suara garukan ini?
Akhirnya kuberanikan diri mengetuk pintunya.

TOKK TOKK!

Hening.

Namun tak ada jawaban apapun dari dalam setelah kulontarkan panggilan beberapa kali. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya kuputuskan saja melanjutkan niat ke kamar mandi.

Aku harap dia tak apa.
Seusai melaksanakan shalat shubuh tepat disalam terakhir.

Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh sebuah teriakan yang cukup keras. Spontan aku bergegas keluar kamar meski masih memakai mukenah.

Di sana, di depan kamar Ayu, aku melihat putri menutup mulutnya dengan-
kedua telapak tangan. Matanya mendelik seolah tak percaya dengan apa yang dilihat.

Tak lama kemudian, beberapa pintu kamar lain ikut terbuka, menampakkan wajah-wajah setengah mengantuk yang berubah menjadi raut kebingungan.
Aku pun tak mampu berkata-kata melihat pemandangan yang cukup mengerikan di depan mata.

Kulihat Ayu duduk bersimpuh sembari menggigit buku-buku jarinya hingga berdarah. Rambut panjangnya acak-acakan hingga menutup sebagian wajah.
Setelah mengatasi rasa keterkejutan selama beberapa saat, sontak kami langsung mendekati Ayu demi menghentikan tindakan berbahayanya.

“Astaghfirullahal’adziim Ayu istighfar.” Ucap mbak Mela.

“Astaghfirullah.. astaghfirullah… hihihihi.” Jawab Ayu dengan nada mengejek,-
namun tetap berusaha menggigigit jari-jarinya meski sudah kami tahan.

“Aduh, kok bisa kemasukan lagi si Ayu. Katanya kemarin sudah dibawain jimat?” Tanya mbak Rere pada mbak Mela.

Mbak Mela yang kebingungan hanya bisa menggelengkan kepala.
“Yaudah, tolong dong salah satu dari kalian panggilin mas Arfan. Minta bantuan.” Pinta mbak Mela.

Lalu Sinta pun mengajukan diri, berlari ke arah kos belakang. Aku pun yang memegang tangan kanannya sembari membaca doa-doa, tak sengaja melihat beberapa kuku Ayu-
yang ternyata sudah terlepas dari jemari. Sebagian patah separuh dan hilang, yang tersisa hanya kuku di jari telunjuk, yang mana kukunya saja tampak sudah menganga memperlihatkan daging dalam yang berdarah.

Sontak memoriku kembali beberapa waktu lalu.
‘Apa mungkin suara garukan itu berasal dari kuku Ayu hingga terlepas?!’ Batinku.

Rasa bersalahpun sedikit menyusup ke relung batin, karena tidak nekat saja memasuki kamarnya tadi.

Lalu terdengar derap langkah mendekat, yang mana segera membuyarkan lamunanku.
Singkatnya Mas Arfan berhasil membuat Ayu kembali tertidur.

Kami semua khawatir melihat kondisi Ayu yang ternyata menjadi lebih kurus, dengan kantung mata hitam yang cekung.

Sejak kapan dia jadi sekurus ini?

Mas Arfan pun bertanya apa yang sebernarnya terjadi?
Bukankah beberapa waktu lalu kondisinya tidak separah ini, bahkan sekarang Ayu sampai melukai diri sendiri. Akhirnya mbak Mela menceritakan tentang perjalanan mereka ke orang pintar yang lain.

Mas Arfan mendesah berat lalu bertanya “Apa yang diberikan dukun itu?”
Mbak Mela sedikit terkejut, bagaimana bisa mas Arfan bisa tahu bahwa dukun itu memberi mereka sesuatu. Sebuah jimat yang konon katanya bisa membelenggu makhluk-makhluk yang ingin menguasai tubuh Ayu.

Lalu mbak Mela melepaskan sebuah kalung tali dengan bandul berbentuk ketapel-
yang dibungkus kain mori dari leher Ayu. Dibukanya kain tersebut, didalamnya terdapat sebuah kertas bertulis rajah (arab gundul), pasir, dan bunga melati yang sudah kering. Sempat tercium aroma wangi yang cukup menyengat dari sana.
Lagi-lagi mas Arfan mendesah sembari menggelengkan kepala.

“Justru jimat ini malah memancing kedatangan makhluk lain. Karena unsur yang ada didalam jimat malah disukai oleh makhluk-makhluk ghoib. Lihat? Bahkan beberapa perewangan dukun itu jadi ikut kesini.” Jelas Mas Arfan.
Kulihat mata sipit itu memicing beberapa kali ke beberapa sudut ruang. Pantas saja sedari tadi aku merasakan hawa sedingin es di tengkuk leher. Kupikir karena cuaca pagi yang dingin. Tapi ternyata…
Kratakkk..

Tiba-tiba kaca di meja rias Ayu retak sendiri. Kami semua kembali terkejut.

Lalu terdengar senandung lirih bahasa jawa yang biasa dinyanyikan oleh sinden. Suara itu terdengar dari mulut Ayu yang bergumam meski dengan mata terpejam.
Mas Arfan kembali berkomat-kamit, lalu telapak tangannya memegang kening Ayu. Terdengar suara tawa disela-sela nyanyiannya.

“Kowe cah bagus wingi sore ora bakal iso tundung aku! Hihihihi. Sukmane bakal dadi paricaraka nang kerajaanku. Getihe wes terikat karo aku.”
(Kamu bocah kemaren sore tidak akan bisa mengusirku! Hihihihi. Sukmanya akan menjadi salah satu abdi dikerjaanku. Darahnya sudah terikat denganku).

“Maksudmu opo?” Tanya Mas Arfan
(Apa maksudmu?)
“Arek iki wes dadi wadal gae pangilmu. Syarat e wes tak trimo. Kowe kabeh lan guru-gurumu ora bakal iso ngalangi dalane. Hihihi.”

(Gadis ini sudah menjadi tumbal untuk kesaktian seseorang. Syarat sudah diterima. Kalian semua maupun guru-gurumu tak akan bisa mencegahnya. Hihihi)
“Mung Gusti Allah sing iso nentukne umur e manungso. Kowe mung makhluk kafir gak luwih mulyo katimbang manungso. Nek ketentuane sing gae urip ora ngijini, Inshaa Allah kowe lan kerajaanmu bakal lebur.”

(Hanya Allah yang bisa menentukan umur manusia. Kamu hanya makhluk kafir-
yang tidak lebih tinggi derajatnya dari manusia. Jika ketentuan-Nya tidak mengijinkan, Inshaa Allah kamu beserta kerajaanmu akan dihancurkan dengan mudah)

Ayu pun menggeram. Terlihat kemarahan yang mendalam dari raut wajahnya. Kali ini mata mas Arfan ikut terpejam.
Keningnya berkerut seakan tertarik oleh sesuatu. Aku melihat keduanya seolah sedang bertarung satu sama lain di dimensi lain.

Ntah seperti ada suatu bisikan dari dalam batin yang tiba-tiba mendorongku menyentuh tangan Ayu, sembari membacakan sholawat beberapa kali.
“Ayu, aku tau kamu masih di dalam sana. Kalau kamu bisa mendengarku. Kamu harus bisa melawan mereka. Kamu lebih mulia daripada mereka. Minta pertolongan Gusti Allah. Jangan sampai kalah ….”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku tiba-tiba Ayu berteriak kencang.
“Mbak tolong akuuu… tolong akuu… Huhuhuhu sakit.” Rengek Ayu dengan tangisan disela-sela matanya yang terpejam.

“Baca istighfar Yu, astaghfirullahal’adziim.. astaghfirullaha’adzim.”
“Mbaaakkk, sakiit mbak. Kakiku dimakan.. huhuhu,,, sakit mbak. Kuku mereka panjang-panjang. Aku dicakari mbak. Aku gak kuat.”

Kulihat mbak Mela dan kawan-kawan lain ikut menangis, memandang tak tega pada penderitaan Ayu.
Kuminta pada mereka untuk ikut membantu dengan membaca ayat kursi agar bisa meringankan siksaan jin yang berada di dalam tubuh gadis itu.

Namun tak selang beberapa lama mas Arfan tiba-tiba terpental kebelakang, seperti ada sesuatu yang mendorongnya kuat.
Tak khayal Ayu yang bangun dari tidurnya langsung mencekikku. Aku yang tak siap, hanya bisa menahan kedua sendi tangannya agar tidak mencengkeram leher lebih erat.

Tapi sepertinya tak terlalu berhasil. Ayu mendelik tajam kearah aku.
“Mati kowe! Mati kowe cah pengganggu! Khodammu yo tak pateni pisan”

(Mati kamu! Mati kamu anak pengganggu! Akan kubunuh penjagamu juga)

Mataku berkunang-kunang karena mulai kehabisan nafas. Kurasakan energi dalam tubuh semakin tersedot melalui cengkeraman tangannya.
Untung saja Mas Arfan dan beberapa anak lain berhasil menarik Ayu dariku. Ayu kembali meronta dan berteriak sekencang-kencangnya.

Ditengah pandanganku yang sedikit kabur, kulihat Ayu dibaringkan paksa diatas ranjang sembari tangan-kakinya yang dipegang.
Mas Arfan membacakan doa-doa namun kali ini dengan suara lantang.

Tak beberapa lama kemudian Ayu berteriak dengan lolongan panjang hingga akhirnya kembali tak sadarkan diri. Sinta dan Putri membantuku berdiri.

Aku bilang aku tak apa.
Kulihat mas Arfan mengusap peluh-peluh keringat disekitar wajah dengan nafas ngos-ngos an. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu beberapa kali, hingga bapak kos membukanya.

Sepertinya teriakan Ayu yang kencang terdengar hingga sekitar-
dan membuat para warga penasaran dengan apa yang terjadi.

Disela-sela pandanganku yang belum pulih jelas seutuhnya, tak sengaja aku melihat sesosok wanita berkebaya putih berdiri disela-sela pojok lemari kayu sembari menatap ngeri pada kami.

***
PRAKTIKUM MALAM

Aku menyesap malas kopi susu botol melalui sedotan. Sesekali ku gigit dan kuputar batang plastik berwarna putih itu dengan pandangan menyisir sekitar, melihat para mahasiswa yang sedang berlalu lalang di area lantai 3.5.
Sebuah area tongkrongan kampus dengan fasilitas hotspot wi-fi khusus mahasiswa yang terletak di antara lantai 3 dan 4.

Yang mana juga menyediakan out-outlet makanan-minuman disekitarnya.
Beberapa ada yang asik berdiskusi, bermain laptop, dan makan-makan seperti apa yang kami lakukan saat ini.

“Woyyy Na. Ngelamun ae. Disamber demit mengko.” (Woyy Na. Ngelamun aja. Ntar kesurupan loh) Ucap salah temanku sambil menepuk bahuku keras.
Aku yang terkaget berdecak kesal, lalu mengusap-usap bahu yang sedikit kesakitan.

“Ngemeng epe kowe Ta?!” (Ngomong apa kamu Ta?!) Sahutku malas malah pada Hatta.

“Ehh, btw inget ya. Ntar kita ada praktikum sampe malem loh di lab.” Sahut Jordi si anak Jakarta mengingatkan.
“Jadi hari ini Jo praktikumnya? Bukannya diundur lusa.” Tanyaku memastikan.

“Yoi, tadi si Fahmi ngasih tau gue. Bu Ismi yang ngasih tau dia pas ketemu di lab kemaren.”

Fahmi adalah teman sekelasku yang pintar sekaligus asistan lab di departemen teknik.
Fyi, dia juga pacarku saat itu.

“Kok aku gak dikasih tau ma Fahmi?!”

“Lupa kali dia.”

“Ya tapi kan aku belom belajar.”
“Kok bisa gak dikasih tau? Emang lu berdua lagi bertengkar?”

“Ya kagak sih.”
Lalu Jordi mengedikkan bahu dengan ekspresi tak tahu menahu.

Sore menjelang maghrib beberapa rombongan anak kelasku berjalan menuju gedung lab.
Aku tak tahu mengapa angin kala itu berhembus sedikit kencang dengan hawa yang kurang mengenakkan.

Saat melewati tempat hotspot wi-fi disamping sungai dengan deretan pohon bambu, yang mana didekatnya ada sebuah jembatan gantung.
Ada suatu perasaan yang tiba-tiba saja mendorongku menoleh ke arah sana.

Lalu aku melihat sosok mahasiswi berkulit pucat berdiri mematung ditengah-tengah jembatan.

Diwaktu sore apalagi malam, memang jarang sekali ada mahasiswa yang berani melewati-
jembatan yang katanya angker itu. Mahasiswi itu memeluk sebuah buku besar sembari tersenyum lebar menatap kearah kami. Untuk memastikan, akupun bertanya pada seorang teman.

“Bro, arek iku ayu tenan yo?” (Bro, cewek itu cantik bener ya?)
“Endi? Endi?” (Mana? Mana?) Tanya temanku yang langsung refleks mendengar kata cewek cantik. Kepalanya menoleh kesana dan kemari.

“Iku loh iku? Mosok ra ketok?” (Itu loh? Masa nggak keliatan?) Tunjukku dengan mengajukan dagu.
“Endi se cuk! Sing genah ta nek ngekek i weruh.” (Mana sih njir! Yang bener kek kalo ngasih tau)

“Iku loh Diiiiiii... sing ngadek nak tengah jembatan.” (Itu loh Diiiii … yang lagi berdiri ditengah jembatan)
“Kowe gendeng tah? Ra ono sopo-sopo nang kunu.” (Kamu gila ya? Nggak ada siapa-siapa di sana)

“Oh yowes.” (Oh yaudah)

Lalu kutinggalkan saja Adi dengan langkah cepat.
“Wuoooo arek gendeng. Dancuk! Kowe nge prank aku ta!” Sambat Adi dengan nada kesal.
(Wuoooo cewek gila. Anjir! Kamu ngerjain aku ya!)

Akhirnya adzan maghrib berkumandang. Menurut jadwal, praktikum akan dilaksanakan pukul 18.30 WIB.
Hal itu memberi kami waktu agar bisa melaksanakan ibadah shalat maghrib terlebih dahulu. Aku meletakkan tas lalu mengeluarkan dompet mini berisi mukena.

Beberapa ada yang memutuskan shalat di masjid utama kampus, ada juga yang shalat di musholla gedung lab.
Akupun memutuskan shalat di musholla lab, mengingat jarak ke masjid utama kampus terbilang lumayan jauh dan bisa memakan waktu. Sedang aku butuh jeda lebih agar bisa belajar lebih dulu sebelum praktikum dimulai.
Kulihat Fahmi dan asisten lab lain melaksanakan shalat diruangan khusus aslab, sebab setelahnya mereka harus mempersiapkan segala peralatan untuk praktikum.

Mungkin hanya 6-7 orang saja yang memutuskan shalat di musholla, sisanya memang tidak sholat.
Aku berjalan menapaki anak-anak tangga menuju lantai dasar. Suasana sangat sepi, mengingat lantai dua dan satu jarang digunakan saat malam hari.

Katanya lantai satu memang digunakan untuk praktikum bedah mayat oleh anak fakultas kedokteran.
Yang mana rumornya mayatnya di simpan diruangan khusus yang ada di belakang gedung. Aku jadi sedikit merinding mengingat rumor tersebut karena kejadian sore yang telah kualami tadi.

“Heh rek? Enteni aku yo. Engko balik e nang duwur kudu bareng-bareng pokok e.”
(Genks? Tungguin aku ya. Ntar kalau mau balik ke lantai atas harus bareng-bareng pokoknya) Ucapku sambil memasang mukenah.

Kebetulan aku di kloter kedua karena ruangan musholla yang sempit cukup muat hingga empat orang saja.

“Iyoooo…” Sahut beberapa dari mereka.
Tak lama kemudian aku yang usai melaksanakan salam terakhir, melanjutkan dengan dzikir pendek sebelum berdoa.

“Na.. Naaa… Kowe rung mari ta?”
(Na.. Naaa.. Lum selesai kah?) Tanya seorang temanku dari belakang, yang mana kubalas dengan sebuah isyarat tangan ‘sebentar lagi’.
“Naaaaa.. ayoo ndang. Arek-arek wes podo balik nak duwur loh.”
(Naaa… ayo buruan. Anak-anak lain udah pada balik ke lantai atas) Ucap Hatta dengan nada sedikit cemas.

Karena tak tenang, akhirnya kuputuskan saja menghentikan dzikir dan langsung berdoa.
Belum selesai aku melipat mukenah, tiba-tiba terdengar derap langkah lari dari arah tangga.

Disela-sela keributan itu, kami mendengar teriakan kecil yang menyebut kata ‘POCONG’, yang mana langsung membuatku dan Hatta ikut berlari terpontang-panting menyusuri tangga.

***
MEREKA YANG MULAI MENGIKUTI KAMI

Tepat pukul sembilan malam, akhirnya aku sudah pulang ke kos. Dengan langkah gontai kulewati saja ruang TV tanpa memperhatikan sekitar akibat lelah yang mendera.

Kebetulan aku masuk lewat pintu samping, karena diatas jam 8 malam biasanya-
pintu utama sudah dikunci. Saat mulai memasukkan kunci pintu kamar, tiba-tiba seseorang memanggilku.

“Na?”

Spontan aku menoleh dan baru kusadari ternyata seluruh penghuni kos sedang berkumpul di ruang tamu, minus Ayu, ibu dan bapak kos.
Dikarenakan ibu dan bapak sering pulang ke rumah anaknya.

Fyi aja buat kalian yang nanya keberadaan pemilik kos yang jarang terlihat saat peristiwa kesurupan yang sering menimpa Ayu.

“Sini… sini …” Panggil mbak Rere.

“Kalian lagi pada ngapain?”
“Ada yang pengen kami omongin.” Lanjutnya kemudian.

“Uhm.. Okay. Tapi aku naruh tas dan ganti baju dulu ya.” Jelasku.

Tak lama kemudian aku ikut nimbrung di ruangan itu bersama mereka. Meski masih lelah, aku cukup penasaran dengan hal apa yang ingin dibicarakan.
“Na, kamu ngalamin hal aneh nggak akhir-akhir ini diluar kos. Misal di kampus atau pas lagi di tempat lain gitu?” Tanya mbak Mela tanpa basa basi.

Aku mengangkat sebelah alis “Uhm. Emang kenapa mbak?”

“Jawab dulu atuh…”

Aku menghela nafas sejenak “Ya.. ada sih…”
“Tuh kaaaan bener!!!!” Sahut Putri spontan.

“Emang kenapa? kalian ngalamin juga?” Tanyaku kemudian.

Hal ini langsung mengingatkanku akan semua kejadian selama praktikum di lab hari ini.nMereka semua mengangguk serentak.

“Serius?”
Lagi-lagi mereka mengangguk.

“Dua hari lalu pas lagi ikut kelas malam, pulangnya aku melihat seorang gadis yang terjun dari gedung 1A lantai 6. Tidak! Bukan hanya aku, tapi beberapa teman sekelasku juga. Kami semua berteriak histeris bahkan sampai memanggil satpam. Tapi anehnya-
saat kami mencari di lantai dasar, tidak ada siapapun disana. Bahkan bekasnya pun tak ada. Bekas darah misalnya.” Jelas Putri.

“Tapi bukannya rumor hantu gadis yang bunuh diri itu sudah lama?” Tanyaku penasaran.

“Iya. Tapi kemaren aku melihatnya sendiri. Padahal sebelumnya-
aku tak pernah melihat penampakan-penampakan apapun seumur hidupku. Bahkan aku sampai tak berani ke kamar mandi kampus sendirian. Karena jika sendirian, aku sering mendengar suara dengkuran laki-laki dari salah satu biliknya.-
Mengingatkanku pada suara po.. pocong yang pernah kulihat. Dii.. sini.”

Kami semua sempat terdiam. Okey, aku mulai merinding.
Tiba-tiba mbak Mela ikut menimpali “Aku juga mengalaminya. Aku sering melihat sosok berdaster putih tanpa kepala mengikutiku.”

“Di kampus aja?”

Mbak Mela menggeleng “Dimanapun a.. aku berada.”

“Maksudnya?”
Mbak Mela mulai memaparkan awal mula sosok mengerikan yang mengikutinya.

Disuatu malam ia harus mengerjakan tugas kelompok di kontrakan teman yang lain. Kebetulan lokasinya juga terletak di area perkampungan, hanya saja jarak antar rumah satu dan yang lain terbilang cukup jauh.
Karena masih berada di lingkungan pedesaan yang asri, dimana kebun dan sawahlah yang mendominasi.

Untuk menuju kontrakan temannya, mbak Mela harus melewati TPU desa. Biasanya tidak ada kejadian apa-apa, sebab area TPU itu masih ramai orang nongkrong dan-
berlalu lalang meski diatas 20.00 malam. Namun saat itu baru pukul 19.00, entah kenapa suasana begitu sepi.

Mbak Mela tak melihat siapapun. Bahkan Mang bakso udin yang biasa mangkal tak jauh dari sana juga tak nampak, padahal malam itu weekend.
Meski sedikit mengganjal mbak Mela tak mau terlalu ambil pusing. Ia tetap melajukan motor dengan tenang berboncengan bersama temannya yang bernama Andrea.
Tiba-tiba saja motornya mogok ditengah-tengah depan gerbang TPU. Distater berapa kali pun motor tetap tak mau hidup.

Akhirnya mbak Mela berusaha memancal kick stater, tapi tak kunjung berhasil juga. Suasana langit malam terlihat makin gelap,-
terdengar samar gemuruh petir dari atas sana. Tak bisa dipungkiri suasana hati mereka mulai tak tenang.

Mau tak mau keduanya harus mendorong motor, siapa tau ada bengkel pinggiran jalan yang masih buka.
Sebelumnya Andrea sempat menelpon teman sekelompok mereka, tapi yang aneh sinyal ponselnya buruk saat itu. Hingga selalu gagal menyambungkan panggilan.

“Gimana?” Tanya mbak Mela

Andrea menggeleng kesal
“Gak nyambung-nyambung. Jaringan T*******L gini amat ya. Mahal padahal.”
Mbak Mela pun ikut mengeluarkan ponsel dari tas, ternyata baterainya ngedrop.

Angin semakin bertiup dingin, membuat bulu-bulu halus disekujur tubuh merinding. Suara jangkrik dan kicauan burung malam mendominasi suasana hening malam itu. Membuat keduanya saling menatap getir.
“Dorong aja lah yuk! Jangan di sini.” Tegas mbak Mela yang mana langsung dijawab anggukan oleh temannya.

Belum sempai mereka berhasil keluar area TPU, tiba-tiba terdengar suara kemrasak dari semak-semak seperti ada seseorang yang berusaha melewatinya.
‘Kucing ituuu.. pasti kucing …’ Batin Mbak Mela menenangkan diri.

Tapi suara itu semakin jelas terdengar dan mendekat. Mbak Mela pun mempercepat langkah sambil mendorong motornya sekuat tenaga.

“Rea… kamu denger sesuatu?”
“……………”
“Rea? Kok diem aja sih?”
“……………”
Perasaan mbak Mela makin tak enak karena Andrea tak segera menyahuti. Dengan ragu ujung matanya pun melirik spion.

Betapa terkejutnya Mela saat melihat ada sosok berdaster putih tanpa kepala dengan darah kental yang mengucur berjalan dibelakangnya.
Sontak ia berteriak histeris, lalu melepaskan stang motor begitu saja demi menjauhi sosok tersebut. Saat berlari pun ternyata sosok tanpa kepala itu tetap mengikutinya sambil terbang melayang.

Disela-sela nafas yang terbatas Mbak Mela berteriak meminta tolong.
Siapa tau ada warga sekitar yang mendengar, namun hanya hening yang bersambut beserta suara tawa mengerikan dibelakangnya.

Tak disangka kakinya malah tersandung batu, yang mana langsung membuatnya jatuh pingsan.
“Pas bangun, aku udah ngeliat orang-orang pada berkerumun. Ada Andrea juga di sana. Katanya sebelum pingsan warga yang berada di pos kamling dekat TPU, sempat ngeliat aku berlari sendiri sambil berteriak. Sebelum akhirnya terjatuh.-
Tapi yang membuatku heran, saat itu aku nggak ngeliat siapapun di depan sana.”

Mbak Mela sedikit mengatur nafas membuat jeda.

“Lalu Andrea menceritakan bahwa aku tiba-tiba saja berlari dan menjatuhkan motor begitu saja. Hal itu membuatnya kebingungan sekaligus kesal.-
Andrea bilang, dia tak mendengar aku berbicara apapun padanya selama mendorong motor. Padahal aku sempat bertanya soal suara aneh dari semak-semak. Aneh sekali bukan?”

“Tunggu.. tunggu… jadi maksudnya kalian semua jadi diikutin makhluk-makhluk ghaib gitu?"
Mereka berempat saling mengangguk.

“Sejak kapan?” Tanyaku lagi.

“Kami rasa sejak kejadian aneh yang dialami Ayu.” Sahut Putri ragu-ragu.

“Mbak Rere dan Sinta juga?”
Mbak Rere mendesah berat “Kurasa aku jadi sering melihat nenek-nenek kepala terbalik yang sempat menghantuiku di dapur kemarin. Bahkan….”

“…..….”

“Bahkan kurasa.. dia sedang mengintip kita sekarang. Di .. sana.” Tunjuk Mbak Rere dibalik kaca jendela ruang tamu.
Kami serentak menoleh, namun hanya gelap dan lampu teras saja yang menerangi. Meski tak begitu jelas, aku seperti melihat sepasang mata menyala di sana. Spontan Putri langsung menutup gorden jendela yang memang separuh terbuka.

“Kalau kamu Sin?”
“Kalian tau kan kalau aku sering menginap di tempat teman-teman yang lain daripada di sini. Tapi dimana pun berada, aku tak pernah bisa tidur dengan tenang karena mendengar suara-suara aneh. Aku juga sering ketindihan. “

“Lalu kamu Na?”
Aku meringis “Yaa aku juga melihat sesuatu yang ganjil sih mbak di kampus hari ini. Tapi tak terlalu penting untuk dibahas, karena intinya sama seperti yang kalian alami. Satu-satunya jalan, kita harus segera menemukan solusi agar bisa menjalani masa perkuliahan dengan tenang.”
“Jadi gimana solusinya?”

“Tentu saja. Ayu harus sembuh dan lepas dari pengaruh buhul sihir di dalam tubuhnya.” Jawabku kemudian.

“Kamu tahu kan, kita juga sudah berusaha semaksimal mungkin buat bantuin Ayu. Nyari rekomendasi orang pintar kemana-mana.” Sahut Mbak Rere.
“Apa perlu kita pindah kos?”

“Kurasa hal itu tak terlalu berhasil. Kau saja tetap mendapat gangguan kan meski menginap di tempat teman-temanmu?!” Bantah Putri pada Sinta.

“Menurutmu kenapa makhluk-makhluk itu jadi ikut mengganggu kita?” Tanya Mbak Rere padaku.
“Aku juga tak begitu mengerti. Tapi kurasa sesuatu yang dialami Ayu seperti parasite yang menular. Jadi, parasite itu akan mencari inang-inang yang cocok untuk menyebarluaskan dominasinya.-
Ibarat seperti para penjajah yang ingin menguasai wilayah yang didatangi. Aku pernah mendapat penjelasan seperti itu dari guruku dulu.” Jelasku.

Malam itu aku hanya bisa memberi saran agar semuanya lebih memperkuat ibadah, mendekatkan diri pada Tuhan untuk membentengi diri.
Karena sejatinya sesuatu yang menempati Ayu memiliki energi negatif yang sangat kuat. Apalagi kami semua perempuan yang secara ilmiah, psikologi mentalnya lebih lemah dari kaum adam, serta lebih berpeluang dimasuki hal-hal demikian.
Satu pekan kemudian, kos kami kedatangan tamu penting yang tak lain adalah salah satu kerabat Ayu dari kampung halaman.

Dari yang kudengar beliau adalah paman Ayu dari pihak ayah.
Paman Sarno dikenal memiliki ilmu kebatinan yang cukup mumpuni. Beliau datang karena dimintai tolong oleh keluarga Ayu untuk mengobati anaknya.

Tak disangka kedatangannya justru membuat keadaan tak seperti yang kami harapkan.

***
Bersambung kuyyyyy...

Nggak boleh ngamok ye kalo lom update. Author juga punya kesibukan real life 😷. Jadi mohon pengertiannya. Tapi tetep diusahain update secepetnya ye sampe tamat.

Makanya nyalain notif biar tau kalo pas update.
Phayyy phayyyy...
---Update today 13 Sept 21---

RITUAL

Seorang laki-laki paruh baya tampak sedang duduk mengobrol bersama ibu-bapak kos di ruang tamu.

Sekilas bapak itu terlihat alim dengan tampilan kemeja panjang berwarna biru, celana kain dan kopyah hitam yang bertengger diatas kepala.
Sesekali ia menyeruput tenang kopi dalam cangkir dengan asap yang masih mengepul. Tak sengaja kami beradu pandang saat aku keluar dari kamar.

Ada perasaan ganjil ketika bapak itu malah menunjukkan tatapan tak suka, meski senyum tersungging di wajah.
Yang mana hanya bisa kubalas dengan ekspresi kikuk sembari menganggukkan kepala.

Apa hanya perasaanku saja?

Kutepis jauh-jauh rasa suudzon yang sempat menghinggapi, agar bisa fokus menghadapi kelas perkuliahan hari ini. Kusampirkan tas ransel dan berjalan menuju pintu samping.
Namun tak sengaja malah berpapasan dengan mbak Mela yang sedang melangkah menuju ruang tamu, sembari membawa piring berisi jajanan pasar.

“Mbak?” Aku menahan lengannya sebentar.

“Ya?”

“Mau kemana?”

“Kedepan. Mau ngasih ini ke paman Sarno.” Jawabnya kemudian.
“Mbak kenal? Beliau siapa?”

“Oh kamu udah ketemu. Beliau pamannya Ayu.”

“Kesini mau menjenguk Ayu? Terus kenapa nggak sama orang tuanya?”

Mbak Mela menggeleng.
“Justru paman Sarno datang karena diberi tugas buat nyembuhin Ayu. Beliau orang pintar yang cukup terkenal di daerah kami.” Bisik mbak Mela padaku.

“Hah? Apa nggak sebaiknya kita menunggu kabar dari Gus Farid? Bukankah beliau juga sedang mempersiapkan-
hal-hal untuk mengobati Ayu di pondoknya sana?!”

Mbak Mela menghela nafas “Jujur saja. Aku udah nggak betah dengan keadaan ini. Aku benar-benar gak sanggup kalau harus terus dihantui hantu tanpa kepala itu. Aku percaya ilmu paman Sarno lebih mumpuni dari Gus Farid.”
Aku pun terdiam, tak lagi meneruskan pembicaraan.

Yah bagaimana pun juga Mbak Mela masih berkerabat dengan Ayu. Semua itu terserah dari keputusan keluarganya. Yang jelas aku hanya bisa mendoakan yang terbaik.

*
Siang hari aku pulang ke kos untuk beristirahat sejenak. Karena akan ada kelas lagi sekitar pukul 15.00 sore.

Sesaat sebelum memasuki pintu samping, tak sengaja aku menginjak sekumpulan bubuk putih seperti garam.
Setelah kuamati, hampir diluaran rumah sudah dibubuhi bubuk berwarna putih tersebut.

Aku pun melongok ke dalam, posisi kamar Ayu masih tertutup. Pandanganku mengarah kearah dapur yang mana terdengar suara orang-orang yang cukup ramai.
Ternyata dihalaman belakang, paman Sarno sedang menyiramkan air bertabur bunga.

Setelah itu ia mengambil sebuah kendi kecil dari tanah liat, di dalamnya mengepul sekumpulan asap putih berbau menyan yang sangat menyengat.
Beliau mengibas-ngibaskan asap dari kendi ke sekitar sambil berkomat kamit.

Lalu menyuruh beberapa penghuni kos kami, bahkan penghuni kos pria untuk menghirup asap tersebut secara bergantian. Mbak Mela pun menyuruhku untuk mendekat, namun aku menggeleng tak mau.
Karena dari kejauhan saja aroma asap itu sudah membuat mual dan pusing. Kulihat Mas Arfan hanya berdiri di depan kos pria sambil bersedekap dengan tatapan tak suka.

Paman Sarno mendekatiku, menyuruhku untuk menghirup asap itu juga.
Namun ku tolak dengan halus sembari memencet hidungku rapat-rapat.

“Kamu itu ada jin. Asap ini akan meruwatmu agar jin yang bersarang ditubuhmu pergi.” Kata Paman Sarno dingin.
“Eeee.. shaya ngghak phapa pak. Ngghak adha jinh yhang sukka shama shaya. Shaya juga udha shering ruhiyah mandhiri. Shaya phermisi dulu phak.” Jawabku sambil lari menjauhinya.

Sekilas aku menoleh ke belakang, namun paman Sarno sudah tak terlihat lagi.
Di dalam kamar, aku langsung berbaring seusai melaksanakan shalat dhuhur. Sebenarnya rasa capek menggelayuti dan ingin beristirahat sejenak meski hanya 1-2 jam. Tapi entah kenapa mata sulit sekali terpejam.

Benar-benar menyebalkan!
Sudah setengah jam hanya bisa membolak-balikkan badan. Kali ini benar-benar kupaksakan mata untuk terpejam.

Tak disangka sesuatu menarik alam bawah sadar. Aku bangun namun dengan raga yang masih tertidur.

Kenapa lagi-lagi mengalami hal ini tanpa bisa dikendalikan?
Rasanya ingin sekali kembali lagi ke ragaku yang sedang berbaring itu. Namun ada suatu perasaan aneh yang menuntunku kearah lain. Aku penasaran, lalu memutuskan keluar kamar.

Bukan suasana kos yang biasa kudapati sama seperti sebelumnya.
Tapi malah ruangan berdinding kayu dengan dekorasi barang-barang antik disekitar. Aku berjalan melewati kursi kayu yang ripuh, sambil mengikuti kemana bisikan-bisikan itu menuntun.

Hingga akhirnya mendapati sebuah kamar dengan pintu terbuka.
Mungkin hanya sebatas 5 meter, aku tak benar-benar berani masuk. Ruangan itu tampak temaram karena hanya mengandalkan cahaya lilin kekuningan.

Didalamnya terlihat seorang pemuda bertelanjang dada sedang bersila dengan mata terpejam.
Dadaku berdegup kencang saat melihat ada ribuan bayangan hitam dengan aura mengerikan dibelakangnya.

Didepannya berdiri samar sosok seorang wanita berpakaian kemben bak putri bangsawan jaman dulu dengan hiasan mahkota diatas kepala.
Hanya saja aura wanita itu lebih mengerikan. Kulitnya berwarna abu-abu pucat. Aku tak bisa melihat dengan jelas karena sosok itu membelakangiku.

Tak lama kemudian mata pemuda itu terbuka dan langsung melihatku tajam.
Kulihat wanita berpakaian putri itu juga pelan-pelan menggerakkan kepala, seolah akan menoleh kepadaku.

‘LARI!’

Bentak suara yang ada dalam kepalaku. Tanpa pikir panjang, intuisi kuat mendorongku untuk segera lari meninggalkan tempat tersebut.
Hingga akhirnya aku terbangun dengan keringat dingin dan jantung yang menderu kendang. Aku sudah dikamar. Bahkan untuk memastikan, kucubit kecil salah satu lenganku.

Sakit!

Aku mengatur nafas, entah itu mimpi atau sebuah pertanda tapi terlihat nyata sekali.
Namun aku masih berusaha berfikir positif. Biasa kalau tidur siang pasti sering dapetin mimpi ngaco. Jam layar di ponsel sudah menunjuk angka 14.30.

Aku harus segera kembali ke kampus untuk mengikuti kelas selanjutnya.

***
-----Update tonight 23 Sept 21----

TRAGEDI MALAM KESURUPAN MASSAL

Malamnya aku pulang dari perkuliahan seperti biasa, namun ada yang berbeda. Kulihat sudah banyak orang berkerumun di depan kos.

Dengan langkah buru-buru kuhampiri keramaian tersebut,-
lalu berusaha menyeruak kumpulan manusia diantaranya.

“Ada apa pak? Kok ramai-ramai begini?” Tanyaku setelah berhasil mencapai baris terdepan kerumunan.

“Ono wong kesurupan dek?”
(Ada orang kesurupan dek)

“Hah?”
“Kesurupan massal nang njero kos iki.”
(Kesurupan massal di dalam kos ini)

“Loh? Kok bisa?”

Kulihat sebagian warga sudah membuat barikade di depan kos, sepertinya untuk mencegah beberapa orang yang sekedar ingin tahu masuk kedalam.
Tanpa ragu akupun berjalan berusaha melewati barikade, namun langsung dihadang.

“Saya penghuni kos ini pak.” Ucapku menjelaskan.

“Tetap nggak boleh dek. Soalnya berbahaya!”

“Berbahaya gimana pak?”
“Kesurupannya bisa nular. Kamu nggak lihat itu orang-orang yang lagi berusaha disembuhin.”Tunjukkan dengan dagu.

Akupun menoleh dan melihat beberapa orang sudah terkapar. Sebagian lagi seperti sedang melakukan ritual pengusiran di teras depan rumah tetangga.
“Pak, nggak apa-apa. Biarin aja dia masuk. Mungkin bisa membantu kami.” Teriak sebuah suara dari dalam kos yang ternyata adalah Mbak Mela.

Bapak itu menoleh lalu melonggarkan hadangan tangannya. Akupun segera berlari menghampiri kating kosku itu.
“Katanya ada kesurupan massal dikos? Kok bi…”

Belum sempat aku menyelesaikan pertanyaan, Mbak Mela sudah menyeretku masuk melalui pintu samping kos.

Aku pun ternganga melihat pemandangan yang ada.
Tampak beberapa penghuni kos pria dan orang-orang yang tak kukenal sedang memegangi teman-temanku.

Ada mbak Rere yang berteriak histeris duduk dikursi tv, yang mana sudah dipegangi dua orang. Putri yang menggeliat di atas ubin lantai seperti seekor ular sambil mendesis.
Sinta yang tertawa cekikikan di dalam kamarnya.

Lalu yang parah berasal dari kamar Ayu. Tak hanya suara teriakan histeris, namun aku juga mendengar suara dentuman yang cukup keras beberapa kali.
Kupandangi mbak Mela yang ternyata sudah kepayahan dengan bulir-bulir keringat menempel didahi. Wajahnya pucat dengan mata sedikit teduh.

“Naa… aku udah nggak..ku..at.” Sahutnya lemas, lalu mendadak pingsan.

“Loooh… loh? Mbak?”
Aku berusaha menahan badannya yang ternyata sangat berat. Aku menoleh ke sekitar sambil meminta pertolongan, karena tak mampu jika harus mengangkatnya sendirian.

Tak lama kemudian Rahman dan Danna menghampiri, mereka terkejut mendapati badan mbak Mela yang sudah menindihku.
“Loh Na mbak Mela kenapa?”

“Nggak tau. Tiba-tiba saja pingsan.” Sahutku singkat sembari sedikit mendorong tubuh mbak Mela untuk mengurangi beban. Lalu keduanya mengangkatnya ke kamar.

Setelah itu aku bergegas menaruh ransel serampangan, sesegera mungkin berjalan kearah-
kamar mandi belakang untuk mengambil wudhu.

Tak perlu ditanyakan lagi bagaimana hawa mencekam menelusup keseluruh rumah. Aku tak bisa menjelaskan secara detail. Hanya saja terasa berat dan sangat pekat.
Ntah bagaimana, tiba-tiba saja aku bisa mendengar keramaian lain yang bukan berasal dari manusia.

Setelah keluar dari kamar mandi, aku langsung dihampiri beberapa penghuni kos pria yang mana langsung kucegah untuk mendekat agar tidak membatalkan wudhu.
Mereka meminta bantuan untuk mengatasi yang kesurupan. Sejujurnya aku sedikit bingung, karena tidak pernah merukiyah orang secara personal. Hanya sekedar membantu saja beberapa kali prosesnya.

“Siapa aja yang sudah bantu proses rukiyah?” Tanyaku spontan.
Kulihat Danna tampak mengingat sambil menggumam

“Kurasa ada sepuluh orang. Tujuh dikamar Ayu termasuk Mas Arfan dan Paman Sarno.”

“Hah? Sepuluh orang?”
“Iya, beberapa didatangkan dari kenalan warga sekitar? Namun tidak ada yang benar-benar bisa mengusir ‘mereka’. Kesurupannya malah menyebar. Bahkan selalu kembali merasuki yang lain meski sudah diusir.”

Aku terdiam sejenak, berpikir.
“Yaudah. Kalian bantu sebisa kalian dengan bacakan surat Yasin. Jangan lupa wudhu dulu, kalo bisa jangan batal.” Ucapku kemudian.

*
Ntahlah hanya langkah itu yang terpikir dari dalam kepala. Aku bergegas berjalan ke arah kamar, mengambil kunci dari tas untuk mengambil-
sesuatu yang pernah dikasih alm bapak.

Kutelusuri nakas-nakas dalam lemari. Tak lama kemudian sorot mataku menemukan sebuah tasbih kayu berwarna hitam berbau wangi Kasturi. Meski bertahun-tahun anehnya wangi ini itu tak pernah hilang.
“Pake nggak ya .. pake nggak ya…” Gumamku menimang-nimang.

Tiba-tiba suara debuman keras terdengar dari atap rumah. Aku terlonjak kaget hingga tasbih pun terjatuh dan malah masuk ke kolong ranjang yang cukup sempit.

“Asem!” Umpatku spontan, bukan malah beristighfar.
Mau tak mau aku menyungsur ke samping ranjang sembari merogoh ke dalam kolong. Ku picingkan mata kedalamnya, namun hanya gelap yang membutakan netra.

Akupun memasukkan tangan semakin kedalam. Hingga akhirnya berhasil menyentuh tasbih kayu dan mulai menggenggamnya.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menahan. Beberapa kali pun mencoba untuk kutarik namun tak kunjung berhasil.

Sejujurnya jantungku berdegup kencang. Seperti ada tangan sedingin es yang mencengkeram punggung tanganku kuat-kuat.
Dengan sedikit bergetar aku mulai melafalkan doa-doa mencoba melawan, namun kuku-kuku tajam itu makin menancap dalam.

Beberapa saat berada dalam posisi demikian, membuat jengah juga. Hingga akhirnya, aku mencoba berkomunikasi dengan apa yang ada dalam diriku yang lain.
Meminta bantuan.

Aku mulai memejamkan mata, memusatkan pikiran dengan menyalurkan energi sebanyak mungkin keujung tangan.

“Audzubillahiminassyaitonirrojiim.” Bacaku yakin.
Dan benar saja tangan dingin itu tiba-tiba saja lenyap, lalu dengan mudahnya aku bisa mengambil tasbih begitu saja tanpa kesulitan berarti.

“Nana… Nanaa…” Panggil Danna yang ternyata langsung membuka pintu kamar.
Ia sempat melongo melihat posisiku yang sedikit absurd disamping ranjang.

“Kamu habis ngapain?”

Aku meringis sambil bangkit dari posisi semula.

“Nggak apa-apa. Cuma ngambil barang yang terjatuh.”
“Yuk bantuin. Kali ini mbak Mela udah kesurupan.” Ucapnya tanpa basa-basi.

Kamipun segera bergegas menuju kamarnya. Tak lupa, aku menyambar ‘Majmu Syarif’ kecil diatas meja.

*
Sesampainya disana, kulihat mbak Mela sudah dipegangi oleh tiga orang dengan posisi setengah duduk diatas ranjang.

Ia menggeram dengan mode gahar, mencoba mengempaskan orang-orang yang memegangi.
Akupun mengambil posisi duduk disamping kanan dan membaca surat yaasin. Mbak Mela makin berteriak histeris. Matanya langsung melotot tajam kearahku.

Aku melantunkan surah itu semakin keras, hingga diayat terakhir tubuh mbak Mela langsung mengejang dengan geraman mengancam.
Aku pun meminta diambilkan segelas air. Setelahnya kucelupkan tasbih hitam sambil dibacakan doa, lalu meniupnya.

Kuambil tasbih yang sudah basah dan segera kuusapkan ke wajah mbak Mela. Ia makin berteriak histeris lalu memohon ampun.
Ntah bagaimana terasa ada suatu energi panas yang tertarik ke dalam tasbih. Hingga akhirnya mbak Mela pun langsung pingsan seketika. Kami serentak menghela nafas lega.

“Nanti kalau udah sadar langsung minumkan air ini ya. Untuk sementara, segera pindahkan mbak Mela dari sini-
biar nggak kemasukan lagi.” Jelasku pada salah seorang dari mereka.

Tiba-tiba saja kepala Rahman menyembul dari balik pintu.

“Na… udah kelar kan sama mbak Mela?” Tanyanya, lalu matanya menoleh ke arah gadis yang sudah tertidur lelap disampingku.
“Ayo sekarang bantuin kami ngatasin Putri.”

“Hah?”

Tanpa basa-basi Rahman hendak menyeret tanganku namun segera kuhindari.

“Eits.. aku nggak boleh batal wudhu Man.”
“Eh iya sorry, lupa. Dahlah ayok cepet bantuin. Si Putri udah nempel-nempel ke tembok kayak cicak gak mau lepas.”

Akupun bergegas ke tempat Putri. Kali ini aku meminta Rahman mengambil sebuah kain atau tali.
Ia sempat terheran, namun segera kutepis keraguannya agar bertindak lebih cepat. Tak lama kemudian ia membawa sebuah pashmina panjang berwarna merah entah milik siapa.

Segera saja kupinta mereka agar mengikat kedua tangan Putri kebelakang.
Terdengar aneh mungkin, namun aku hanya mengikuti sebuah instruksi yang tiba-tiba saja muncul di dalam pikiran.

Putri masih mendesis, sesekali mengeluarkan lidah seperti ular. Sama seperti sebelumnya, kubacakan doa-doa yang ada di maj’mu syarif, kuikatkan tasbih disepanjang-
telapak hingga punggung tangan. Lalu kucengkeramkan dibagian tengkuk belakang Putri.

Gadis itu makin menggeliat saat aku mencoba menarik energi negatif tak kasat mata ke dalam tasbih. Hingga akhirnya ia pun pingsan sama seperti mbak Mela.

Rahman menatapku takjub.
“Katanya nggak pernah ngerukyah orang. Kok ini bisa? Sakti kamu Na.”

Aku pun tersenyum keki, tak tahu bagaimana menjelaskan karena memang tindakan yang kulakukan terjadi secara spontan. Mengikuti intuisi.
“Aaaaarrgghh!”

Kali ini teriakan mbak Rere yang ada dibelakang kembali mengejutkan kami.

“Sekalian mbak Rere Na.” Sahut Rahman enteng.

Aku mendesah lelah.

Kulihat mata mbak Rere melotot ketakutan disertai dengan teriakan, namun suaranya terdengar-
lebih serak seolah pita suaranya sudah mulai habis.
“Jangan! Jangan mendekat! Pergi! Pergi kalian!”

Aku melihat netra mbak Rere yang semakin melebar melihat arah belakangku. Aku merasa hawa panas disekujur punggung, namun dingin seperti es dibagian depan.
Seperti ada energi kuat yang saling bertabrakan.

Akupun menoleh, namun tak ada sesiapapun kecuali Rahman. Saat tak sengaja bergesekan dengan kulit mbak Rere akupun terlonjak. Karena tiba-tiba saja ada sengatan listrik yang langsung menelusup ke kulit.
‘Kamu harus menyentuhnya agar bisa melihat apa yang ia lihat!’ Bisik sesuatu dari dalam kepala.

Dengan ragu akupun meminta mereka melepas salah satu tangan mbak Rere, lalu kugenggam eram telapak tangannya yang sudah sedingin es.
Aku pun terkejut dengan penglihatan yang ada di depan mata.

Sosok kuntilanak merah berwajah hitam berdiri dihadapan kami. Disamping kiri-kanannya ada dua penjaga, makhluk hitam bertubuh kurus setinggi atap dengan tangan-tangan panjang menjuntai hingga ke tanah seperti akar.
Iris mata berwarna merah darah itu pun menatap kami tajam. Ia mencoba memajukan langkah, namun kembali terhentak mundur seperti ada sesuatu yang menghalangi. Sosok bergaun merah itu terlihat sangat kesal

Mendapati hal yang jarang kulihat sejelas itu cukup membuat begidik ngeri.
Sepertinya kuntilanak merah mencium aroma ketakutanku, dilihat dari seringainya yang makin melebar. Spontan akupun melepaskan pegangan tangan dari mbak Rere. Rahman yang menangkap gelagat tak beres dariku langsung mendekat.

“Na? Kamu nggak apa-apa?”
Aku yang sedikit terengah-engah mencoba mengatur napas kembali, hanya bisa membalas dengan anggukan.

Tiba-tiba terdengar dentuman keras dari berbagai penjuru rumah. Akupun menutup kuping karena tak tahan dengan suaranya.

“Man,, ada bom ya?” Teriakku asal.
“Hah? Bom apaan?” Tanya Rahman yang terdengar samar karena teredam dengan suara ledakan yang kudengar.

“Apa petasan sih?” Tanyaku lagi dengan suara setengah berteriak.

“Aku nggak denger apa-apa selain suara teriakan.”

“Hah?”
“Aku nggak denger apa-apa selain suara teriakaaaan!!!!!” Jawab Rahman ikut berteriak.

‘Apa ini suara-suara ghaib yang gak bisa didengar semua orang ya?!’ Batinku bertanya-tanya.

Aku masih menutup telinga dengan kedua tangan.
Tak lama kemudian tampak sosok Mas Arfan yang keluar dari kamar Ayu dengan baju basah karena keringat.

Ia melihatku, seolah tau apa yang sudah kudengar. Dengan langkah sedikit terhuyung pemuda berpeci putih itu pun mendekat.
“Kamu denger suaranya?” Tanyanya mendekat ke telinga, lalu ku jawab dengan anggukan.

“Lepasin tangannya.”

“Nggak mau mas. Budek aku ntar.” Jawabku masih setengah berteriak.

“Nggak apa-apa. Sini aku bantu biar kamu nggak denger suaranya lagi."
Mas Arfan sempat menoleh kebelakang, lalu spontan berucap istighfar. Sepertinya Mas Arfan juga mendapati sosok apa yang barusan kulihat tadi.

“Hehe.. Serem ya mas.” Ucapku setengah bercanda untuk mengurangi ketegangan.

“Bukan serem lagi. Tapi bahaya!.”
“Aku nggak sanggup mas kalo ngatasin yang itu.”

Mas Arfan mendesah berat.

“Yaudah. Biar aku aja yang ngatasin. Tapi sini kamu yang tak bantu dulu. Belum kuat sok-sok an lagi.”

Lalu Mas Arfanpun membuktikan perkataannya, hingga aku tak mendengar ledakan2 dahsyat itu lagi.
Kemudian ia melanjutkan rukyah ke mbak Rere hingga setengah sadar. Tak benar-benar pingsan.

“K…kk..kunti meraaah.” Gumamnya berulang-ulang dengan nada setengah bergetar.

“Kuntinya udah pergi?” Tanya Mas Arfan

“Iii…iya.” Jawab mbak Rere.
Namun ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Yang mana kembali terdengar suara teriakan penghuni kos lain saling bersautan.

Kamipun bergegas untuk mengecek ke kamar masing-masing.

“Loh? Mbak Mela kok belum dipindahin?” Tanyaku pada orang-orang yang menjaganya.
Kulihat kating kos ku kini tertawa cekikikan.

“Kan belum sadar. Jadi ya belum sempet kami pindahin.”

“Yaaa.. maksudnya buruan pindahin langsung tadi. Kan keburu masuk lagi demitnya.”

‘Aku kan nggak bisa bikin pager ghaib ke orang kek bapak.’ Gerutuku dalam hati.
Mau tak mau aku melakukan pengusiran dengan cara yang sama. Belum sempat aku menyelesaikan bacaan doa, tiba-tiba saja Najib (salah satu penghuni kos pria belakang) memasuki kamar dengan raut cemas.

“Na … tolongin Sinta sekarang.”

“Lha ini mbak Mela belum kelar…”
“Dia lebih urgent! Udah bentur-benturin kepala ke tembok.” Sahut Najib memotong perkataanku.

Aku yang kebingungan menatap mbak Mela yang tertawa cekikikan, nggak ngamuk kayak tadi sih.

“Mas Arfan mana?”Tanyaku lagi
“Dia lagi bantuin Ayu yang makin parah.”
“Haduooh..”
Mau tak mau aku mengikuti Najib.

Peristiwa kesurupan itu terjadi berulang-berulang, bahkan menulari hingga yang lain.

Dan kini malah Najib dan Danna yang ikut kesurupan. Jujur saja, aku sudah sangat kelelahan menghadapi peristiwa kesurupan massal semalam suntuk.
Sudah berkali-kali pula aku mengambil wudhu hingga sebagian bajuku basah dan berganti dua kali.

Tepat saat jam menunjuk angka tiga dini hari kondisi mulai kondusif. Tak terdengar lagi suara anak-anak lain yang kesurupan semenjak Ayu sudah berhasil ditenangkan.
Aku terduduk loyo dikursi ruang TV bersama Rahman dan yang lain.

Lalu beberapa pria keluar dari kamar Ayu dengan wajah kelelahan serupa, termasuk Mas Arfan dan Paman Sarno.
kulihat sorot mata tak suka Mas Arfan ke arah Paman Sarno. Namun laki-laki paruh baya itu masih bersikap acuh seolah tak terjadi apa-apa.

***
KACA BENGGALA (Another side story)

Aku baru bisa terlelap seusai shubuh. Kupaksakan mata untuk sedikit terbuka, namun masih terasa perih karna silau sinar mentari yang sudah membumbung tinggi yang masuk di celah-celah jendela.

Kepalaku pening bukan main.
Tubuh serasa remuk seolah habis diinjak berton-ton kaki gajah. Mungkin terdengar sedikit hiperbola, tapi memang seperti itu kenyataannya.

Berperang melawan hal-hal tak kasat mata lebih banyak menghabiskan energi fisik-batin yang sangat melelahkan.
Coba saja, jika memang ingin mengetahuinya.

Sayup-sayup aku mendengar sedikit keributan diluar kamar.

“Paman. Paman mau pulang sekarang? Trus Ayu gimana? Kami gimana?”

“Maaf Mel. Paman nggak sanggup. Ini diluar kendali paman. Permisi!”

“Paman? Paman?”
Aku mengintip dari setengah celah pintu kamar yang terbuka.

Sekilas mbak Mela mengusap wajah, sesekali memijat lengan-lengannya. Ia pun menoleh yang mana hanya kusambut dengan senyuman kecut, tak tahu harus menanggapi apa. Kami sama-sama terdiam beberapa saat.
Hingga akhirnya perempuan berambut sebahu itu mulai angkat bicara.

“Aku nyesel nggak dengerin pendapat kamu.”

“Uhm… memang paman Sarno kenapa mbak?”

“Dia pulang begitu saja tanpa bertanggung jawab setelah apa yang terjadi. Dan…”
Kembali ia terdiam, seperti ada sesuatu yang berat mengganjal ditenggorokan.

“Kamu juga pasti menyadari. Setelah ritual yang diadakan kemarin, kondisi Ayu dan kos semakin parah. Malah kita semua yang kena. Aku nggak tau ritual apa yang dilakukan paman Sarno-
hingga memancing setan-setan dari Ayu sampai menyerang kita semua.”

Aku menghela nafas berat. Pikiranku menerawang kembali ke masa lalu.

*
Aku ingat ritual yang dilakukan paman Sarno, mirip-mirip tipis dengan kejadian yang pernah kualami dulu sewaktu SMP.

Yang mana saat itu beberapa teman-teman sekolah datang berkunjung ke rumah. Waktu itu aku pun iseng bermain sebentar dengan ponsel kakak, yang mana pada-
saat itu 'ponsel' terbilang benda langka dan mewah.

Hingga saat mereka semua pulang, ternyata ponsel kakak juga ikut menghilang. Jangan ditanya bagaimana aku mendapat amukan hebat dari Kak Tika.

Kami sekeluargapun ikut mencari diseluruh rumah. Namun tak kunjung menemukan.
Aku pun yang ketakutan merasa sangat bertanggung jawab.

Lalu keesokan hari, salah seorang pegawai bapak yang mendengar kejadian itu memberi sebuah saran. Katanya dia kenal dengan satu orang pintar yang bisa mencari barang-barang hilang.
Setelah kutimang-timang, akhirnya aku mencoba mengikuti saran Pak Wadi. Dengan merogoh tabungan yang ada sebagai mahar.

Lalu diam-diam meminta pak Wadi untuk diantarkan dikediaman si orang pintar itu.
Tempatnya memang masih satu daerah, hanya saja lokasinya terbilang cukup jauh.

Kami harus menjangkau dataran tinggi di area pegunungan, dengan jalan sempit dan jurang-jurang samping yang cukup terjal.
Belum lagi sepanjang perjalanan hanya rimbunan hutan jati dan mahoni yang menemani.

Sampailah kami disebuah desa asri, yang mana jarak rumah satu dan yang lain masih jarang-jarang.
Kulihat kuil-kuil bebatuan hitam dibalut kain bercorak hitam putih disetiap rumah, yang mana didepan pelataran terdapat nampan-nampan sajen.

Ya, kawasan ini memang terkenal dengan mayoritas penduduknya yang masih memeluk kepercayaan agama hindu.
Sebelas dua belas dengan desa di bali. Yang tau dimana, tolong skip aja ya. Nggak usah review!

Hingga tibalah motor tua Pak Wadi di sebuah rumah kayu di dataran paling tinggi, yang mana sekitarnya hanya dikelilingi ladang kebun dan pepohonan bambu.
Di samping timurnya menjorok langsung ke sungai bawah. Meski hari masih siang, namun entah kenapa suasana disekitar rumah itu malah terlihat gelap.

‘Ah, mungkin karena pengaruh pepohonan lebat disekitarnya’. Pikirku saat itu.
Seorang bapak berpakaian hitam dengan sarung bercorak jarik menyambut kami. Tanpa basa-basi beliau langsung mengajak masuk ke dalam rumah.

Beliau dan istrinya menjamu kami dengan baik. Tak lama kemudian dua cangkir teh dalam gelas bening terhidang di atas meja.
Sebagaimana umumnya keramahtamahan tuan rumah yang menyambut tamu, ia pun mempersilahkan kami untuk mencicipi teh buatan sang istri. Sebelumnya aku membaca bismillah terlebih dahulu, lalu menyeruput pelan.
Tapi baru sampai diujung lidah, indera perasaku spontan menolak. Ada aroma aneh didalamnya, seperti bau menyan.

Mbah Sapto sempat menangkap gelagat anehku, namun karena merasa tak enak terpaksa kuseruput sedikit teh aneh tersebut.
Herannya aku melihat Pak Wadi malah sudah menghabiskan lebih dari separuh cangkir.

“Enak sekali mbah tehnya. Ada rasa melatinya.”

“Hah?” Sahutku spontan.

‘Kalo teh aroma melati mah enak. Lah ini aroma menyan? Yang bener ae.’ Batinku menolak.
Mbah Sapto menatap tehku yang hampir utuh.

“Rasanya nggak enak ya nduk?”
“Ohh. Bukan begitu mbah. Enak kok, cuma masih panas. Lidah saya nggak kuat. Hahaha.” Sahutku dengan tawa keki.

Mbah Sapto manggut-manggut namun tatapan matanya seperti menyadari sesuatu.
Untunglah ia tak terlalu mempermasalahkan. Nggak penting juga kayaknya. Lalu Pak Wadi mengungkap kepentingan kami. Mbah Sapto manggut-manggut lagi, lalu beranjak dari kursi kayunya.

Tiba-tiba orang tua itu mengambil sebuah kendi dari tanah liat dan-
sebuah piring berornamen berwarna kuning perunggu. Mbah sapto menyebutnya ‘Kaca Benggala’.

Kaca itu dipercaya sakti dan mampu melihat hal-hal yang sulit ditemukan. Jujur saja aku sedikit menahan tawa. Namun segera kukendalikan, mengingat sudah terlanjur sampai di tempat ini.
Gawat juga kalo mbah Sapto sampai tersinggung.

Tak lama kemudian ia melakukan ritual. Dengan asap putih yang keluar dari kendi dan aroma menyan bercampur bunga-bungaan yang sangat menyengat. Digosoklah kaca benggala itu dengan ujung jari telunjuk seusai ditempa asap kendi.
“Coba sampeyan perhatikan baik-baik. Kaca benggala ini menunjukkan siapa yang sudah ngambil hp mbaknya.”

Aku memperhatikan piring berwarna kuning perunggu itu. Buram. Hanya itu yang ada dalam penglihatan.

“Sampeyan bisa lihat kan mbak? Siapa?”
Akupun menggeleng lalu menoleh ke Pak Wadi, namun laki-laki itu ikut menggeleng juga.

“Hmmm.. sebentar.”
Mbah sapto kembali menggosok si kaca. “Coba lihat lagi.”

Anehnya aku hanya melihat siluet putih bekas asap yang menempel. Mbah Sapto menangkap kebingunganku.
Lalu berkata dengan dengan nada berat, menyebutkan salah satu ciri-ciri pencurinya. Aku pun mengingat siapa saja yang mirip dengan deskripsi si mbah.

“Namanya siapa mbah. Langsung sebutin aja.” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Maaf nggak bisa. Kaca Benggala hanya bisa memberitahu ciri-ciri. Dan sepertinya ponsel mbak sudah mau dijual ke orang lain.”

“Hah? Trus gimana dong mbah?”

“Jangan khawatir.”
Lalu mbah Sapto meletakkan kaca berbentuk piring itu diatas meja, beranjak dari tempat duduknya memasuki sebuah ruangan tak berpintu yang hanya ditutupi hordeng.

Tak lama kemudian beliau keluar lagi sembari membawa sebungkus daun pisang yang dipincuk (kayak bungkus pecel)-
dan sebotol air.

“Ini nanti tolong disebarin di sekitaran rumah ya. Biar pencurinya nanti mau balikin ponselnya.” Serahnya padaku.

“Serius bisa balik mbah?” Tanyaku sekali lagi.
“Iya nduk. Nanti pencurinya akan merasa nggak tenang dan mau mengembalikan ponsel mbaknya nggak sampai 7 hari.”

Akupun mengangguk ragu. Tapi apa salahnya dicoba kan?!

Malamnya aku membuka bungkusan yang diberi mbah Sapto yang ternyata isinya adalah bunga setaman.
Mirip bunga buat orang nyekar ke makam. Awalnya aku tak yakin dengan apa yang akan kulakukan.

Batinku berperang antara syirik dan bukan, tapi lagi-lagi amukan wajah kak Tika tergambar jelas dalam pikiran. Yang mana akhirnya kusebarkan diam-diam tanpa sepengetahuan orang rumah.
Dan benar saja malam itu bapak terlihat mondar-mandir, katanya barang-barang antik dan pusaka peninggalan leluhur di dalam rumah mengalami pergolakan.
Dan selama empat hari tiga malam aku mengalami sawan demam.

Bahkan lebih dari tujuh hari hingga sekarang, nyatanya tak ada seorang pun yang mengembalikan ponsel ke rumah kami.

*
“Hey!”
Teriak mbak Mela membuyarkan lamunan.

“Kayaknya kamu masih capek. Mau istirahat dulu?”

“Mbak, nggak ada salahnya mencoba cara yang disarankan mas Arfan. Kita coba mengobati Ayu dipondok Gus Farid.” Ucapku tiba-tiba.
Mbak Mela menatapku intens “Kamu.. yakin?”

“Nana sih lebih percaya pengobatan yang diajarkan Rasul, melalui metode rukiyah. Lebih bisa diandalkan dari pada yang lain-lain. Karena sejatinya tak ada kekuatan yang lebih besar dari kekuasaan Allah.-
Tapi semua kembali pada keputusan mbak”

“Baiklah. Aku bakal bicarain hal ini ke keluarga Ayu.” Sahutnya kemudian.

“Nanti aku coba temui mas Arfan deh, kalau mbak Mela masih gak enak sama dia. Karena kedatangan Paman Sarno.”

***
PEMUDA ITU

Sore harinya aku janjian ketemu dengan mas Arfan, di warkop lesehan tak jauh dari kost. Sejujurnya aku penasaran akan sesuatu. Dan kurang enak juga membicarakan hal-hal ini jika terdengar anak-anak kost.
“Gimana keadaan Ayu dan penghuni kos cewek. Baik?” Tanya Mas Arfan sambil menyesap kopi hitamnya.

“Alhamdulillah baik.”

Akupun mencomot beberapa piscok dan jajanan lain yang tersedia. Mas Arfan tampak membiarkan kegiatan ngemilku sejenak.
Ia tersenyum setelah mendengar sendawa kedua.

“Ehh maaf. Ndak sopan.” Ucapku sambil menutup mulut.

“Opo sing arep mbok omongne Na?” (Apa yang ingin kamu bicarain Na?) Tanya Mas Arfan mengacuhkan attitude tak sopanku barusan.
Ia seolah tahu ada yang mengganggu pikiranku sedari tadi.

Aku terdiam beberapa saat. “Mas, mbak Mela dan keluarga Ayu setuju untuk meneruskan pengobatan rukiyah Ayu ke pondok Gus Farid. Jadi, apa masih bisa?”

“Loooh. Katanya Paman Sarno yang bakal menangani semua.”
“Paman Sarnonya udah pulang ke kampung halaman tadi siang.” Sahutku lirih.

“Owalah yooo.. yooo… Bar nyoba-nyoba nambah perewangan. Malah ngaleh saiki.”
(Owalah yaa.. yaaa.. Setelah nyoba-nyoba nambah pasukan ghaibnya. Sekarang malah pergi gitu aja)
Aku pun tersentak akan penuturan laki-laki bermata sipit dihadapanku kini.

“Hah? Gimana? Gimana?”

Mas Arfan sempat terdiam sambil mengetuk-ketuk ujung kukunya diatas meja. Lalu menatapku serius.
“Mas minta tolong rahasiakan hal ini pada mbak Mela dan yang lain. Bukannya suudzon, tapi dari awal kamu pasti menangkap rasa ketidaksukaan saya sama paman itu kan. Semenjak ia melakukan ritual di halaman belakang?!”

Aku mengangguk pelan.
“Mas melihat paman Sarno membawa banyak perewangan bersamanya. Dan ritual yang dilakukan juga memancing makhluk-makhluk lain karna suatu tujuan. Dari apa yang dilakukan, ia memasang jebakan pada inang-inang yang ditanam pada…”

“Pada siapa mas?” Tanyaku makin penasaran.
“Pada kalian semua.”

“Buat?”

Lagi-lagi mas Arfan menyesap kopi hitam yang tinggal separuh, lalu meletakkannya diatas lepek.

“Nambah perewangan dia. Buat memperkuat ilmunya. Semakin banyak melakukan perjanjian dengan mahkluk halus, semakin bertambah besar juga kekuatannya.-
Dengan kata lain ia ingin merampas makhluk terkuat yang ada di dalam Ayu.”

“Ya harusnya bagus kan mas?! Kalo jin yang mendiami Ayu diambil paman Sarno. Kan Ayu bisa terbebas dari buhul sihirnya.”
“Nggak semudah itu Na. Ayu sudah dijadikan wadal oleh orang lain. Jika ada seseorang yang merebutnya paksa dari si empu, daripada mengembalikan. Bisa berakibat makin fatal dan berimbas pada yang lain.-
Karena tentu saja si empu dan penguasa yang memiliki makhluk tersebut akan sangat murka, tahu-tahu apa yang dimiliki malah direbut orang seenaknya.”

Aku berpikir keras, mulai mencerna satu persatu perkataan mas Arfan.
“Ohhh… apa mungkin yang punya pemuda dan putri itu ya?!” Gumamku sambil menerawang ke atas-atas langit.

“Hah? Siapa?”
Ragu-ragu aku pun menceritakan akan suatu penglihatan yang pernah terjadi siang itu.
“Mimpi ngawur siang bolong kali yak e mas?!”

Lagi-lagi Mas Arfan terdiam. “Kayaknya bukan deh. Karena di saat kami semua melakukan perang ghaib semalam, aku juga melihat sosok persis seperti apa yang kamu ceritakan.”
“Trus gimana mas?”

“Kamu harus mencari tahu soal pemuda ini dari Ayu.” Ucap Mas Arfan kemudian.

*
Keesokan harinya, aku membicarakan persoalan ini pada mbak Mela (kecuali tentang Paman Sarno).

Disaat itu juga, kami semua sepakat menginterogasi Ayu. Mumpung kondisi Ayu jauh lebih sadar dari sebelum-sebelumnya.

“Mbak tau dari mana.. soal dia?” Tanya Ayu was-was.
“Namanya siapa? Apa saja yang udah dia lakuin ke kamu. Jawab yang jujur ya Yu.. Nggak apa-apa. Soalnya dia yang udah ngebuat kamu jadi gini.”

Ayu tampak meremas-remas kain di bajunya.
“Pandhu. Pandhu mbak.”
Aku terkesiap lalu menggumam ragu “Pandhu .. Wicaksono?”

Lalu kulihat netra coklat itu membelalak tak percaya padaku.

***
Dah malem... inshaa Allah lanjut besok lagi ya.
Phay.. phay...
---Update 10 Oct 21---

Untuk part selanjutnya, author akan membawakan dalam tiga sudut pandang (Ayu, Mbak Mela, dan Mas Arfan).

Namun untuk part sudut pandang mas Arfan hanya akan author ceritakan di karyakarsa.
NYAI BASRAWATI

((POV AYU))

‘Bagaimana? Bagaimana Nana tahu tentang Pandhu?’ Batinku kebingungan.

Kutatap netra coklat dihadapanku sekali lagi. Masih dalam siluet tajam yang sama, mencoba menembus pertahanan batinku yang paling dalam. Mencari kejujuran akan kebenaran.
Lalu tangan itu mulai menggenggam kedua tanganku yang gemetaran.

Aku takut!

Aku takut akan bayangan samar yang selalu berdiri dibelakangnya. Bayangan yang selalu membuat Nyai enggan.

Bayangan itu ikut mendekat dan membuat energi aneh dalam diriku saling tarik menarik.
Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikannya.

Yang jelas aku mendengar Nyai menggeram. Namun yang aneh, aku tak bisa melihatnya dimana-dimana. Mataku menelisik seluruh ruang sedari tadi. Tapi tak bisa menemukan Nyai dimanapun.
Biasanya dia akan duduk diatas lemari jati dengan punggung membungkuk sambil menggoyang-goyangkan kaki.

Kalau tidak berdiri dipojok ruangan menghadap tembok sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam.

Yang paling sering Nyai lakukan adalah duduk disamping ranjang,-
mengelus-elus rambutku sambil bersenandung merdu.

Ah.. aku benar-benar rindu kidung dan aroma tubuhnya yang bau melati. Tapi dimana dia sekarang?

“Ayu? Hey? Kamu dengerin aku kan?” Tanya suara cempreng itu yang berhasil membuyarkan lamunan.
“Ahh… i..iya mbak. Dia adalah temanku. Mbak kenal dengan Pandhu?”

Nana menggeleng.

“La..lalu bagaimana mbak bisa tau namanya?”

Ku lihat ia sempat terkesiap. Apa benar gadis ini mengenal Pandhu? Ada hubungan apa mereka?
Sungguh hal itu tiba-tiba membuat membuat perasaanku bergejolak. Ada amarah yang tiba-tiba meluap dari dalam hati.

Jika benar mereka memiliki hubungan, maka aku tak akan segan-segan membuat perhitungan meski dia adalah teman satu kosku.
Sungguh aku tak rela jika Pandhu jatuh juga ke pelukannya. Pandhu adalah milikku seorang!

“Aku .. hanya kebetulan tau saja.” Jawabnya sambil tersenyum kikuk.

‘Pembohong! Dasar wanta jalang! Bukankah kalian sudah pernah bertemu.’
“Jangan berpikir aneh-aneh ya Yu. Ceritakan semua tentang dia. Bagaimana kamu mengenalnya? Sejauh apa hubungan kalian? Dan… apa saja yang sudah dia lakukan sama kamu. Ehmm.. maksudku..”

“Dasar wanita jalang!” Gumamku spontan.

“Apa?”

Aku gelagapan. Apa yang sudah kuucapkan?
Kulihat teman-teman yang lain cukup terkejut atas sikapku barusan.

Ah masa bodoh! Mereka semua juga sama munafiknya!

Nyai pernah memberitahu, bahwa mereka sering membicarakan keburukanku dibelakang. Mereka tak pernah benar-benar menyukaiku.
Bahkan sering apatis, padahal aku sedang membutuhkan teman bicara. Teman berkeluh kesah.

Hingga Nyai akhirnya datang dan selalu ada untukku. Bahkan Nyai selalu melindungiku dari ‘mereka’.

Sosok-sosok aneh bermata mengerikan yang selalu mengintip dari balik jendela.
Meski Nyai sering bilang tak apa.

‘Mereka’ tak jahat. ‘Mereka’ hanya ingin berteman.

Mereka hanya menungguku untuk bermain bersama. Karena mereka juga kesepian, sama seperti aku. Tak ada siapapun yang peduli.

Akhirnya Nyai berhasil meyakinkan, turut mengikutsertakanku-
dalam permainan. Meski setelahnya aku merasakan rasa sakit yang luar biasa disekujur tubuh. Dan kupikir hal itu adalah sesuatu yang wajar.

“Ayu? Fokus! Coba dengarkan aku. Jangan dengarkan mereka!” Ucap mbak Nana tegas.
Tunggu! Apa dia juga bisa mendengar dan melihat teman-teman Nyai?

Aku mendengar dentingan gending nokturnal yang biasa mengiringi suara tembang Nyai. Lantunan nadanya begitu menyayat hati.

Tapi anehnya aku masih tak mampu melihat sosoknya.
Apa karena bayangan penjaga dibelakang gadis ini?

Bayangan samar yang mencoba menutupi pandanganku akan kehadiran Nyai.

Aku berkelit berusaha mendorongnya. Tapi ternyata bayangan ini mencengkeram kuat kedua lengan, berhasil menahan gerakan. Aku menatap Nana tajam.
Dia tak gentar. Sungguh bagaimana bisa dia membuatku tak berkutik sama sekali.

Lantunan tembang Nyai masih terdengar jelas dan semakin mencekam. Ntah apa yang terjadi, sayup-sayup suara nyai semakin menghilang.
Lalu berganti menjadi suara qiroah dari habib-habib yang biasa terdengar di audio Mekkah.

Oh rupanya Putri menyalakan murrotal dari ponselnya.

Kenapa Putri tiba-tiba melakukan hal demikian? Apa dia pikir aku sedang kesurupan?
“Coba kamu pikir. Apa kamu tak merasa aneh akan kondisimu akhir-akhir ini?” Tanya Nana sekali lagi,

Apa yang ingin coba ia katakan?

Aku menggeleng masih melindungi diri. Tiba-tiba ia mengangkat kedua punggung tanganku, menunjukkan sesuatu.
“Lihat ini? Kuku-kukumu banyak yang hilang. Apa kamu ingat apa yang terjadi?”

Aku mengangguk “Oh. Ini karena aku banyak bermain.”

“Bermain? Bermain dengan siapa?” Tanyanya kembali menyelidik.

Aku mengatupkan bibir rapat-rapat.
Mengingat pesan Nyai untuk tak membicarakan tentang teman-temannya.

“Mereka bukan manusia! Mereka adalah sesuatu yang jahat yang ingin mencelakaimu.”

Aku menggeleng. TIdak mungkin! Dia pasti berbohong.
Yang kulihat mereka seperti manusia biasa meski berkulit pucat dan banyak memiliki garis keriput.

Ahh… aku sendiri juga sanksi. Apa yang kulihat selama ini nyata atau bukan. Semua hal yang terjadi terasa tumpang tindih.
“Aku.. aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.” Jawabku kemudian.

“Hey! Dengarkan aku. Lihat seluruh tubuhmu. Liat semua ini dalam tiga bulan belakangan ini..”

Tunjuknya lagi sembari menghadapkan kami ke kaca, yang mana langsung membuatku tersentak.
Aku melihat hampir sekujur tubuh dipenuhi luka lebam, kantung mata hitam yang besar, serta siluet postur yang sangat kurus.

Siapa dia?

Tidak mungkin! Baru tiga hari yang lalu berkaca dan melihat diriku yang masih sama seperti sebelum-sebelumnya.
“Siapapun yang kau temui akhir-akhir ini dia bukanlah orang baik. Dia yang sudah membuatmu begini.”

Aku menggeleng tak percaya “Tidak mungkin. Nyai adalah orang baik.”

“Nyai? Nyai siapa?”
“Nyai Basrawati! Dia yang selalu menemaniku. Menyanyikan kidung-kidung merdu disaat sepi menggelayuti hati.”

“Waduh. Yo iki ternyata demit e sing ngetutke.” (Waduh. Ya ini jinnya yang mengikuti)
“Demit? Nyai bukan demit! Dia itu salah satu pamongnya Pandhu sejak kecil.” Bantahku kemudian.

Nana menghela nafas panjang. Lalu mencoba mengulas senyum. Aku tau itu hanya senyum palsu.
“Oke. Gini deh. Aku akan tau Pandhu orang baik atau bukan setelah mendengar ceritamu tentang dia.”

Aku terdiam sejenak. Menatap teman-teman kosku bergantian. Tak bisa kupungkiri, ada sorot-sorot kekhawatiran dari mata mereka. Ntah bagaimana hatiku menjadi tersentuh.
Sejujurnya aku sendiri cukup bingung. Rasanya sedari tadi perasaan saling berkecamuk. Berubah-ubah begitu cepat.

Hingga akhirnya aku kembali memikirkan ucapan Nana barusan.

Setelah termenung beberapa saat, mungkin apa yang diutarakan ada benarnya juga.
Sejujurnya aku menyadari kondisi batin yang mulai menjadi tak statis setelah mengenal Pandhu. Atau lebih tepatnya setelah kepulanganku dari rumahnya.

Aku pun mengambil nafas dalam-dalam “Baiklah. A… aku akan menceritakan perkenalanku dengan Pandhu pada kalian.”

***
MALAM PLAKAT WADAL

((POV AYU))

Awal perkenalan dengan pemuda bernama Pandhu karena ketidaksengajaanku yang iseng menelpon nomor secara random.

Hal itu kulakukan sekedar untuk mengusir rasa suntuk dan bosan.
Mengingat tadi pagi aku menerima hasil IP yang kurang memuaskan di kelas Kalkulus.

Aku memencet angka-angka kombinasi secara acak, lalu menyentuh simbol berbentuk gagang telpon dilayar ponsel. Jika tersambung akan langsung kumatikan.
Kadang ada juga yang kusahuti secara asal bahkan sempat berpura-pura sebagai penagih pinjol yang galak.

“Halo..” Jawab suara wanita dari sebrang ponsel.

TUT!

“Hmm… suara cewek. Gak Asyik! Coba lagi ah.” Gumamku.

Aku kembali menekan angka-angka secara asal.
Tiba-tiba saja terbesit sebuah angka ganjil dalam otak. Konon katanya angka ini adalah kombinasi angka yang disukai iblis. Terinspirasi dari film horror yang pernah kutonton sebelumnya.

Aku akui ide jahilku benar-benar keterlaluan hari itu.

xxxxxxxx666

Tuuuut… Tuuut …
“Halo?” Jawab laki-laki bersuara bass.

Refleks aku terbangun dari posisi rebahan.

“Ha.. halo.”

“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

Aku terdiam beberapa saat. Jujur saja aku sedikit gugup mendengar suaranya.. ntah kenapa.
“Saya Lina dari aplikasi pinjaman Online Galiduit sekedar mengingatkan saudara untuk segera membayar tagihan pinjaman yang sudah jatuh tempo dari 3 bulan yang lalu.” Ucapku berpura-pura tegas.

“Lalu?”
“Saya peringatkan kepada saudara untuk segera membayar tagihan paling lambat jam tujuh malam nanti. Jika tidak, maka petugas kami akan datang ke tempat anda meski dengan cara tegas. Jadi jangan main-main apalagi mencoba mangkir ya!”
Aku kembali menahan tawa sambil membayangkan bagaimana ekspresi gugupnya diseberang sana.

Siapa yang tak terkejut jika tiba-tiba saja mendapat telpon dari tagihan pinjaman online yang disertai ancaman?
Tak seperti orang-orang sebelumnya reaksi yang ditunjukkan pemuda ini sangat berbeda. Dia tetap tenang seolah ancamanku tak pernah mengusiknya.

“Baik. Saya tunggu ya mbak kedatangannya.”

“Hah? Kok gitu doang sih jawabnya.” Ucapku spontan.
Lalu aku segera menutup mulut menyadari kebodohan. Terdengar tawa renyah dari seberang sana. Anehnya, aku menyukai tawa itu begitu saja.

Seolah ada suatu magnet yang berhasil menarik hormon endorphin dalam diri.
“Kalau mau kenalan ngomong aja. Suntuk kok dipendam sendiri.” Ucapnya santai seolah tau kekalutan apa yang kualami.

Namun aku menganggapnya hanya suatu kebetulan. Tak disangka obrolan kami pun berlanjut menjadi suatu kenyamanan.
Tak terasa aku dan Pandhu sudah menjalin komunikasi secara intens selama satu bulan. Dia pemuda dengan pribadi yang sangat menyenangkan meski banyak memiliki sisi misterius.

Bagaimana ya aku menjelaskan?!
Seperti di suatu malam saat kami sedang asik bersenda gurau di telpon, tiba-tiba saja aku terdengar suara laras slendro penyeru ganjil dalam cengkok jawa di balik suara Pandhu.

Suara-suara ramai seolah ada acara perayaan yang besar.

“Wah? Di sana lagi ada acara ya?”
“Ehmm.. iya. Nyai dan Ratu sedang bersiap menyelenggarakan pesta besar-besaran untuk menyambut bulan suro.”

“Nyai dan Ratu? Siapa?”

“Orang terdekatku disini.” Jawab Pandhu singkat.
Mulutku membentuk huruf ‘O’ tak melanjutkan pertanyaan meski merasa-
sedikit ganjil dengan nama itu. Kemudian mencoba mengingat-ingat akan sesuatu.

Ah, kampung sini juga ada acara seperti 'takir berkatan' dimusholla atau masjid dalam rangka menyambut tahun baru islam.
Seperti acara adat istiadat yang biasa diselenggarakan oleh mayoritas orang-orang jawa.

Tapi sedikit aneh karena yang terdengar di belakang Pandhu seperti suara ludruk dan gamelan, bukan shalawatan.

“Acaranya dimana? Masjid atau musholla?”
Pandhu tersenyum kecil “Di pendopo rumah. Kenapa? Mau ikut?”

'Apa mungkin ayah Pandhu salah satu perangkat penting di desa sampai acara besar seperti itu diadakan dirumahnya?!' Pikirku.

“Kalau memang mau ikut. Nanti ada yang jemput.” Ucapnya lagi.
Lagi-lagi aku tertawa saja menanggapi dalam guyonan.

“Iya. Boleh.” Jawabku asal.
Malam harinya aku bermimpi berjalan-jalan seorang diri disebuah padang rumput ilalang yang lapang.

Kutatap langit hitam pekat yang hanya disinari rembulan berwarna kemerahan. Angin bertiup pelan namun dinginnya berhasil menembus balik kulit.
Aku mendengar bisikan nan ramai, namun anehnya tak melihat siapapun. Bisikan-bisikan itu terus berbicara, hingga akhirnya mengarahkan langkahku sampai di suatu sendang.

Tak jauh dari lokasi sendang dengan air berwarna biru tua dihadapanku, berdiri satu bangunan joglo setengah-
panggung yang besar. Di sekitarnya ada sebuah keramaian, hiruk pikuk orang-orang berlalu lalang yang saling melewati tanpa peduli.

Di depan halaman rumah joglo itu, berdiri dua baris penari wanita berpakaian kemben dengan selendang warna merah.
Serentak mereka meliukkan badan secara gemulai mengikuti alunan nada gamelan.

Seorang sinden berkebaya putih tulang dengan rambut disanggul berhiaskan kembang, mengidungkan tembang-tembang jawa kental dengan merdu.
Lingsir wengi…
Sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas ojo ketoro…

(Menjelang malam…
Bayanganmu mulai sirna
Jangan terbangun dari tidurmu
Awas jangan sampai memperlihatkan diri)
Aku takjub sekaligus merinding melihat pemandangan itu. Seperti sedang melintasi fase waktu jaman dahulu.

Bagaimana aku tidak berpikir demikian?

Pemandangan dan dandanan orang-orang ini mengingatkanku akan pakaian orang dari film-film jaman kerajaan kolosal.
Hanya saja ini lebih tua dari masanya.

Tak lama kemudian sinden wanita itu berjalan kearahku, namun masih dengan bibir yang melantunkan tembang.

Para penari semakin laras dan semangat meliukkan tubuh. Serentak mereka semua memandangku namun tak berpindah dari tempatnya.
Mereka hanya menatap lurus mengikuti lajur si penyanyi sinden yang semakin mendekat.

Aku menahan nafas tegang. Ingin berbalik menjauhi, namun entah kenapa menggerakkan badan sedikitpun tak bisa. Seolah ada sesuatu yang mengikat kencang seluruh sendi tubuh
‘Nduk, akhire kowe tumeko mrene yo. Hihihihi’ (Nak, akhirnya kamu datang kesini juga ya. Hihihihi)

Aku tak mengerti apa yang sinden itu katakan. Hanya bisa pasrah akan jalannya mimpi aneh ini.

‘Ayo nduk, melu kene. Plakat serah sajen e wes wayahe remba.’
(Ayo nak, ikut sini. Acara Plakat mangkok saji sudah waktunya dimulai) Ucap sinden wanita itu sambil menarik tanganku.

Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menurut dan mengikutinya.

Lalu disinilah mimpi buruk itu dimulai. Aku diikat disebuah tiang dengan tali-tali tambang.
Orang-orang yang tadinya berjalan berlalu lalang kini berhenti, lalu berpindah posisi mengelilingi sekitar. Suara tembang gamelan yang ramai sempat terhenti begitu saja.

Tak lama kemudian lima orang laki-laki membawa seekor ayam cemani hitam di masing-masing tangan.
Tanpa ragu mereka memelintir leher ayam hingga patah lalu langsung menggigitnya. Mencuatlah darah berwarna hitam disela-sela nadi yang sudah robek, bukan warna merah seperti darah pada umumnya.

Setelahnya darah ayam itu diperas pada suatu wadah mangkok kuningan hingga kering.
Aku menggigil ngeri melihatnya. Wajah mereka tampak dingin tak berekspresi.

Tiba-tiba saja mereka menyiramkan darah ayam hitam itu disekujur tubuhku. Aku ingin berteriak namun lidah menjadi kelu tanpa sebab.
Setelah ritual siram darah, beberapa dari mereka kini melemparkan kayu-kayu disekitarku.

Firasatku menjadi buruk. Apa mungkin mereka ingin membakarku?
Bersambung dulu ya guys...

Sinyal inetnya dari tadi kurang stabil 😢.
---Update 11 Oct 21---

Suara tembang dan sinden kembali berpadu. Meramaikan lagi suasana yang sempat sepi.

Dan benar saja, salah seorang dari mereka membawa obor lalu menyulut apinya ke kayu-kayu.
Sekali lagi aku mencoba berteriak, namun hanya udara kosong saja yang keluar dari mulut.

Rasa panas api mulai menjalar disekujur tubuh. Disela pandangan mata yang mulai mengabur aku melihat para penari wanita itu berjalan diatas kayu bara api.
Mereka melenggang sambil menari seolah tak merasakan panas sepertiku.

Dibalik hamparan api yang mengelilingi, tampak sosok laki-laki bertubuh tegap berjalan beriringan bersama seorang wanita berpakaian bak putri kerajaaan. Mereka manatap tajam kearahku.
Yang menjadi pertanyaan, aku tak mengenal siapapun dari mereka.

Lidah-lidah api mulai mengoyak kulit ariku lalu menjalar hingga bagian daging terdalam.
Panasnya terasa sampai ke ulu hati, sangat menyakitkan hingga menyulutkan rasa ingin mati saja.

Tak lama kemudian pandanganku berubah menjadi gelap seketika.

***
MALAM BULAN PENUMBRA

((POV AYU))

“Itu hanya mimpi buruk.” Ucap Pandhu menenangkan. Tapi aku tetap saja gusar akan mimpi itu meski tujuh hari sudah berlalu.

“Entahlah. Rasa sakitnya begitu nyata sampai sekarang.”
“Hey… Jangan merusak suasana. Hari ini aku akan membuat harimu menjadi menyenangkan. Mau dijemput jam berapa?”

“Sesuai janji … jam dua siang ini. Oke?”

Hari ini untuk pertama kali Pandhu akan mengajakku mengunjungi rumahnya. Awalnya kupikir Pandhu tinggal bersama keluarganya.
Namun ternyata ia tinggal seorang diri menjaga rumah peninggalan kakeknya agar tidak rusak.

Sedangkan orang tua dan saudara-saudaranya yang lain berada di kota yang berbeda tepatnya di sebuah kota ujung paling timur pulau Jawa.
Sudah satu jam menunggu di kursi teras depan, ntah berapa kali aku melongok ke sisi kanan jalan sekedar memastikan kedatangan Pandhu dari jauh.

Tak lama kemudian sebuah sedan Toyota Corolla putih keluaran tahun 1993 berhenti di depan kos.
Seorang laki-laki berkaca mata hitam berusia 23 tahunan menoleh kearahku sembari menurunkan kaca jendela mobil.

Aku tak bisa menyembunyikan senyum sumringah saat melihat wajah manis itu.

“Masuk yuk.” Ajaknya tanpa basa-basi.
yang mana langsung kujawab dengan anggukan sambil berjalan ke arah mobil.

“Ayuuuuu…”

Aku menoleh ke arah teriakan yang memanggilku. Kulihat Nana setengah berlari keluar dari pintu samping kos.

“Ya mbak?” Tanyaku keheranan.

“Mau kemana?”
Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. “Ehm.. itu… mau main ke rumah teman.”

“Arah mana? Lewat jalan besar di depan kan?”

“Iya sih.. mau ke daerah selatan mbak.”

“Kalau nggak keberatan boleh nebeng nggak?” Tanyanya kemudian.
Jujur hal itu membuatku sedikit kebingungan. Akupun melirik sungkan kearah Pandhu.

“Mbaknya mau kemana emang?” Tanya Pandhu tiba-tiba.

Nana menundukkan kepala kearah jendela “Cuma mau ke daerah sana sih mas. Ada tugas besar kelompok soalnya.-
Mau jalan kedepan dan nunggu angkot takut telat banget.”

“Yaudah nggak apa-apa. Bareng kita aja.”

“Serius nggak ngerepotin?”

“Iya nggak ngerepotin. Ayo Yu, segera masuk, Kasian mbaknya.”

“Eh. Makasih banget ya mas.”
Mau tak mau aku membiarkan saja teman kosku nebeng, karena Pandhu sendiri sudah memberi ijin.

Di sepanjang jalan alunan musik lawas dari penyanyi ‘The Beatles’ menemani perjalanan kami. Band musik ini adalah satu penyanyi favorit Pandhu.
Dia memang sedikit eksentrik karena cukup berbeda dari sekian banyak pemuda seumurannya.

Pandhu menyukai hal-hal berbau lawas salah satunya tentang selera musik.
Meski demikan tak membuat pemikirannya ikut konservatif. Penampilannya cukup modis bahkan masih mengikuti informasi perkembangan jaman.

Pandhu menyanyikan lirih mengikuti lirik si vokalis bahkan sesekali mengetuk-ketuk jari telunjuk diatas setir tanda sedang menikmati lagunya.
‘Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better’

Lalu terdengar suara lirih dari kursi belakang. Kulirik dari spion atas, ternyata Nana juga ikut bersenandung-
dengan pandangan kearah luar jendela.

“Wah… nggak nyangka mbak juga tau lagu ini.” Celetuk Pandhu tiba-tiba.

“Ehh.. iya. Kebetulan tau aja mas. Hehe.”

Dan benar saja mereka terlibat obrolan didunianya sendiri. Sungguh aku tidak menyukai situasi ini.
Tak bisa kupungkiri hal itu membuat hatiku terbakar melihat keakraban mereka. Ada sedikit kekhawatiran yang menelusup takut kalau-kalau Pandhu juga tertarik pada Nana.

Bukan tanpa alasan mengapa sampai berpikir demikian.
Tapi karena cukup tau, kalau teman satu kosku ini memang tipe mudah akrab dan lumayan populer di fakultasnya.

Untunglah perjalanan yang kami lalui bertiga cukup singkat karena memang lokasi yang dituju Nana tak begitu jauh dari kampus.
“Makasih ya Yu dan masnya udah ngasih tumpangan.” Ucap Nana tersenyum lalu melambaikan tangan kearah kami.

Mataku sempat melirik ke spion lagi saat ia sudah berada dibelakang. Dari kejauhan senyum Nana yang tadinya ramah-
mendadak berubah menjadi tatapan penuh penasaran ke arah mobil kami.

“Kamu jangan berteman terlalu dekat ya sama dia. Aku tidak suka!” Celetuk Pandhu tiba-tiba dengan nada dingin.
Aku sempat terkejut dengan perubahan sikapnya. Kupikir setelah apa yang terjadi mereka memiliki ketertarikan satu sama lain.

Rupanya perkiraanku salah, Pandhu tidak begitu menyukai Nana. Sudah kuduga dia memang laki-laki yang berbeda.
“Oh. Kami tidak seakrab itu kok. Hanya sebatas teman satu kos saja.” Jawabku senang.

“Baguslah!”
1,5 jam kemudian sampailah kami disebuah daerah dengan dataran tinggi yang mana kanan-kirinya masih di dominasi lahan sawah dan perkebunan.

Desa itu menampakkan wajah yang sangat asri, mungkin karena terletak lumayan jauh dipinggiran kota.
Hangat, tentram, dengan gapura-gapura khas yang menghias di pekarangan. Kepadatan penduduk yang tak seberapa membuat rumah-rumah terlihat berjarak dengan halaman luas.

Beberapa ibu-ibu terlihat menyapu pekarangan dari guguran daun-daun pepohonan.
Tak lama kemudian mobil kami terparkir di depan rumah bergaya jawa kuno.

Rumah itu terlihat kokoh dengan tiang-tiang kayu jati dan tembok bata berwarna merah tua. Terdapat pelataran luas yang mana banyak ditanami tanaman hias dan pepohonan buah.
Namun ada yang cukup menarik perhatianku, sebuah pohon beringin besar tertanam ditengah-tengah halaman menambah kesan rindang di sana.

“Wah antik banget ya rumah kamu.”

“Jadul maksudnya?”

“Nggak. Malah bagus sih. Langka!” Pujiku tulus.
“Kamu belum liat pemandangan indah lainnya.”

Akhirnya kami berdua turun dari mobil. Pandhu mengajakku masuk ke rumah. Ternyata didalamnya terdapat banyak perabot antik dan lukisan-lukisan tua.

Aku berdecak kagum seolah seperti sedang memasuki museum dari peradaban masa lampau.
“Aku mau nunjukin sesuatu.”

Pandu menarik tanganku ke bagian lain dalam rumah yang ternyata sangat besar. Butuh beberapa menit bagi kami hingga akhirnya sampai di sudut paling belakang.
Aku melihat sebuah halaman luas kosong kali ini.
Namun lagi-lagi aku terpukau saat melihat pemandangan laut dan deburan ombak menggulung.

Ternyata rumah ini terletak di tepian pantai yang berada diatas tebing.
Pantas saja sedari tadi aku melihat banyak pohon kelapa serta mencium aroma garam di sekitaran.

“Wow. Keren banget.”

Namun saat sedang asyik menikmati pemandangan sekitar mataku menangkap sebuah bangunan pendopo di belakang rumah.
Di samping kanan kirinya terdapat dua gapura kecil dengan patung batu penjaga.

Ada juga payung kain berumbai berwarna hijau yang biasa dipakai untuk acara pemakaman menancap di sana. Sebuah piring sajen tergeletak masing-masing di depan patung penjaga.
Pandhu yang menangkap gelagat keterkejutanku berusaha menjelaskan.

“Almarhum mbah termasuk orang lama yang masih mengikuti adat dan kebiasaan dari leluhur. Jadi mau tak mau hal seperti ini harus tetap dilestarikan. Beliau percaya bahwa setiap rumah memiliki penjaga.-
Bagaimanapun si pemilik rumah harus menjamu ‘mereka’ karena hidup kita saling berdampingan bukan?”

Aku mengangguk mencoba mengerti. Sepengetahuanku sebagian masyarakat jawa memang masih memegang kepercayaan animisme dan adat istiadat dari para leluhurnya.
Tapi yang membuatku sedikit terganggu, pendopo kayu itu seperti mengingatkanku akan sesuatu. Tapi dimana?

Tak lama kemudian Pandhu mengajakku kembali memasuki rumah karena gerimis hujan yang datang tiba-tiba. Akhirnya kami pun mengobrol santai di ruang tamu.
“Oh maaf. Aku sampai lupa belum menyajikan apa-apa sama tamu.”

“Ih… nggak apa-apa. Santai aja kali.”

“Mau minum apa? Teh atau kopi?”

“Teh aja deh.” Ucapku kemudian.

Tak lama kemudian Pandhu membawakan dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap putih.
Dengan semangat aku meraih cangkir yang sudah tertata diatas meja kayu berukir di hadapan. Aku mencium aroma unik teh berwarna merah kehitaman dari cangkir yang kugenggam.

Seperti bau bunga kenanga, cengkeh, dan jinten bercampur jadi satu.
Sejujurnya aku sedikit enggan untuk meminumnya. Karena tak ingin menyinggung Pandhu pelan-pelan aku pun mulai menyeruputnya.

Aku agak tercekat saat air berwarna pekat itu mulai melewati tenggorokan. Terasa serik diawal namun berubah menyegarkan setelahnya.
Sedikit aneh bukan? Teh macam apa ini? Seperti ramuan herbal saja. Pikirku saat itu.

“Gimana rasanya?”

“Uhmm.. unik dan enak. Ngomong-ngomong ini teh merk apa?” Tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.
“Ini teh herbal racikan turun menurun dari keluarga. Ada campuran rempah-rempah di dalamnya. Tapi bagus buat kesehatan kok. Nyatanya alamarhum mbah yang rajin meminumnya sedari dulu sampai bisa berumur panjang.”

“Memang sampai berumur berapa?”

“120 tahun.”
“Hah?” Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Pandhu sampai tersenyum kecil melihat ekspresiku barusan.

Tak terasa waktu berlalu, sayup-sayup aku mendengar suara adzan maghrib dari kejauhan.
Aku pun ijin melaksanakan shalat ibadah maghrib’ sambil bertanya, apakah ia memiliki simpanan mukena di rumah karena aku sendiri lupa membawanya tadi.

“Ada sih punya saudariku.” Jawabnya kemudian.

Lalu ia mengarahkan ke sebuah kamar untukku agar bisa shalat.
Aku pun mulai melaksanakan shalat seperti biasa.

Disaat melakukan gerakan bangkit dari ruku’ di rakaat pertama, tiba-tiba saja aku seperti mendapati sosok wanita dalam balutan kemben sarjan lurik, berdiri disudut tembok sebelah kiri.
Rambutnya terurai berantakan menutupi hampir sebagian wajah berdiri dengan postur sedikit bungkuk.

Cahaya lampu yang temaram membuatku mengira sosok itu mungkin hanya sekedar imajinasi belaka.
Karena saat bangun dari sujud kedua setelah takbiratul ikhram wanita itu sudah tak ada lagi ditempatnya.

Di dalam sujud ketiga aku mendengar suara bisikan begitu cepat dalam bahasa jawa, lalu diakhiri dengan suara cekikikan yang seolah mengejek.
Namun saat bangun dari sujud, lagi-lagi tak ada siapapun di sana.

Peristiwa itu langsung membuat shalatku menjadi tak khusyu’ dan berganti menjadi rasa takut. Membuat cepat-cepat ingin mengakhiri shalat agar bisa segera menemui Pandhu.
Namun tak disangka saat menoleh di salam terakhir, sebuah wajah penuh luka sayatan nan berdarah-darah menghadap tepat beberapa centi di depanku.

Wajah itu tersenyum lebar dengan sudut bibir panjang yang mana hampir mencapai telinga kiri kanannya.
Aku pun bangun dari posisi dan segera melipat mukena dengan cepat.

Tak disangka rasa pening yang teramat sangat tiba-tiba saja menyerang disertai mual yang membuat isi dalam perut bergejolak. Aku pun terduduk di dipan yang ada disebelah sambil memijat pelipis sesekali.
Sakit kepala itu terasa semakin parah membuat pandangan makin mengabur.

“Pandhu? Pandhu? Pandhu tolongin dong”

Tak lama kemudian aku melihat sosok Pandhu membuka pintu kamar menuju ke arahku.
Hanya saja penglihatan buram yang makin tak tertolong membuat kesadaranku menghilang seketika.
*
Saat membuka mata, aku dihadapkan dengan langit hitam tanpa awan dengan bulan berwarna kemerahan.

Baru kusadari ternyata aku berada di atas tanah dalam posisi tidur terlentang. Aku pun terbangun sambil melihat sekeliling, lagi-lagi mendapati sendang-
dengan air berwarna biru tua tepat di depan mata.

Hal ini langsung mengingatkanku akan mimpi buruk yang pernah terjadi, membuat badan gemetar hebat karena ketakutan.

Tapi sekitaran sendang terlihat sangat sepi, tak ada keramaian sama seperti sebelumnya.
Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tegap datang mendekatiku. Cahaya bulan kemerahan menerangi suasana sekitar, namun anehnya aku tak bisa melihat jelas wajah laki-laki yang sekarang meraih tanganku.
Ia pun menuntunku ke sebuah batu hitam seperti altar yang dikelilingi oleh lampu-lampu obor yang menancap disekitar.

“Berbaringlah.” Ucapnya dengan suara menggema.

Akupun menurut saja tanpa mempertanyakan maupun menolak kehendaknya.
Seolah tubuhku seperti dikendalikan oleh sesuatu. Suasana begitu hening bahkan tak terdengar suara binatang-binatang malam yang biasa ada.

Situasi ini seharusnya menjadi sesuatu yang sangat ganjil bukan? Namun aku lebih penasaran dengan apa yang akan dia lakukan.
Jantung berdegup kencang saat tak ada sehelai kainpun yang menutup tubuhku lagi.

Desiran angin dingin pelan-pelan menyapu pori-pori kulit mengakibatkan bulu-bulu halus menegak. Indera penglihatanku masih tak bisa menangkap jelas rupa yang sekarang berada diatasku.
Tapi sungguh mendebarkan saat laki-laki itu mulai merengkuh tubuh polosku. Sepasang tungkaiku dikuak lebar-lebar, menguak himpitan rapat bagian sensitif yang telah basah.

Hingga perasaan menggelora yang menggebu-gebu pun bangkit saat perhelatan dua tubuh-
saling bergesekan satu sama lain.

Sejak kapan? Ntahlah. Yang jelas hal itu terjadi begitu saja. Aku hanya mengikuti ritme yang sedang berlangsung. Merasakan kenikmatan yang tak pernah kualami sebelumnya.
Hingga saat akan mencapai puncak kenikmatan, tanganku yang merengkuh punggungnya tiba-tiba saja merasakan guratan sisik seperti ular.

Akupun shock ingin segera menghentikan, namun laki-laki ini semakin gencar melakukan pergerakan membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
Hingga akhirnya aku melihat bagian dari tubuh ular berwarna hitam yang sangat besar sudah mengelilingi kami.

Dengan cepat ular hitam besar tanpa kepala itu tiba-tiba saja sudah melilitku. Aku berteriak kesakitan saat lilitan ular itu mulai meremukkan tulang satu persatu.
Lagi-lagi hanya suara hampa yang keluar dari bibir. Karena tak tahan akan rasa sakitnya, akupun memejamkan mata.

Namun saat membuka mata aku sudah berada disituasi yang berbeda lagi. Kulihat langit-langit kamar yang terbuat dari kayu bukan langit berwarna hitam.
“Hey? Kamu udah bangun?” Ucap Pandhu sembari mengusap rambutku.

“A.. aku dimana?” Ucapku tertatih.

“Kamu masih dirumahku. Tadi aku mendengar suara minta tolong lalu sudah mendapatimu pingsan.”

Aku mengernyit mencoba mencerna.Apa hal mengerikan yang barusan kualami hanya mimpi?
Disebelah Pandhu ada sesosok wanita paruh baya berkebaya putih dengan rambut hitam yang digelung menatapku lurus.

Pandhu yang menyadari tatapanku pada wanita disebelahnya pun menjelaskan.
“Kelihatannya kondisi badanmu kurang fit. Kamu menginap saja ya disini? Biar nyai yang merawatmu sampai sembuh.”

“Apa?”
“Jangan khawatir. Aku sudah ngasih kabar lewat chat diponselmu kok sama teman satu kosmu yang bernama… Mela? Pokoknya kamu pulihin kondisimu dulu baru nanti kuantar pulang. Ya?”

Karena kondisi badan yang benar-benar lemas, akhirnya akupun mengangguk menyetujui saran Pandhu.
Nyai dan Pandhu merawatku dengan baik malam itu.

Namun saat aku kembali memejamkan mata dalam posisi tertidur, lagi-lagi aku kembali ke sendang itu. Bertemu dengan laki-laki bertubuh tegap dan mengalami hal serupa yang mengerikan.
Tiap terbangun dan membuka mata ternyata aku masih berada di kamar rumah Pandhu.

Hal ini terjadi terus-terus menerus dan membuat kesadaranku menjadi tumpang tindih. Aku menginap dirumah Pandhu selama empat hari tiga malam.
Yang mana akhirnya kujawab dengan alasan menginap di kos teman karena sedang sibuk mengerjakan tugas pada mbak Mela.
Untungnya daya ingat Nana akan seseorang termasuk cukup payah. Sehingga tak ada seorang pun yang mencari tau lebih lanjut kemana aku menginap selama empat hari itu.

***
Bersambung lagi....

Mo ngebut POV Mas Arfan mumpung besok libur. Moga nggak ngeblock 😂.

Sampai ketemu di update selanjutnya ya. Phay.. phay..
TERBUKANYA MATA BATIN

((POV MBAK MELA))

Aku melongo mendengar cerita Ayu yang mencengangkan. Lalu tatapanku beralih ke Nana yang sedang menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Na jadi kamu pernah ketemu Pandhu?”
“Uhm.. aku nggak yakin. Eh? Itu kapan sih Yu? Suer aku lupa.” Tukas Nana keki.

“Iya. Mbak Nana nebeng sampai ke Dinoyo aja.” Jawab Ayu datar.

Nana tampak mengingat-ingat kembali, tapi aku tahu daya ingatnya yang payah akan seseorang berakhir dengan gelengan kepala.
“Trus nyai nyai itu jadi ngikutin kamu sampe kesini semenjak dari rumah Pandhu? Sekarang dia dimana?” Tanya Nana kembali menginterogasi.

“Ndak tau.”

“Kamu yakin kalau nyai itu manusia? Kok kita nggak pernah liat dia?”
Ayu sempat terdiam, menunduk, lalu pandangannya mengitari sekitar.

“Barusan nyai habis nembangin kidung. Dia nggak suka sama mbak Nana. Ayu jadi nggak bisa ngeliat Nyai karena penjaga dibelakang mbak Nana.”
Kulihat Nana langsung menoleh ke belakangnya, namun memang tak menemukan siapapun.

Tak beberapa lama kemudian Ayu kembali melamun. Ia pun menekuk kedua lutut, bibirnya menggumam sesuatu, lalu menggoyang-goyangkan sedikit badannya.
“Mbak, kita harus memberitahukan semua ini sama mas Arfan. Takutnya kalau dibiarin semakin lama kondisi jiwanya makin tak tertolong.”

Aku pun mengangguk mengikuti sarannya tanpa ragu.
Sorenya kami berdua menemui mas Arfan untuk membicarakan masalah ini. Mas Arfan pun menganggut mengerti.

Sejenak kulihat ia memejamkan mata. Aku dan Nana saling berpandangan namun tetap membiarkannya.
“Mbak, saya akan membicarakan hal ini kepada Gus Farid terlebih dahulu. Setelah mendengar keputusan beliau, mbak Mela akan saya kabari.” Ucap Mas Arfan kemudian.

Dua hari kemudian mas Arfan memberitahuku untuk segera mempersiapkan barang-barang Ayu.
Aku juga diperkenankan untuk ikut menemani Ayu dalam proses pengobatannya di pondok Gus Farid selama beberapa hari.

Aku sempat mengajak Nana, karena bagaimanapun dia juga termasuk sekian dari beberapa orang yang lumayan mengerti mengenai kondisi yang menimpa Ayu.
Sayangnya Nana tidak bisa ikut karena akan ada banyak quiz dalam minggu-minggu ini, ia tidak bisa meninggalkan perkuliahan begitu saja. Akupun mencoba memaklumi.

**
Tepat pukul 19.00 malam sebuah mobil MPV hitam sudah datang terparkir di depan kos. Aku, Nana, Putri terpaksa sedikit menyeret tubuh Ayu yang memberontak menolak masuk ke dalam mobil.

Beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar terdengar bersahut-sahut membicarakan kami.
Dari dalam mobil tampak beberapa pemuda pemudi turut membantu, yang mana rupanya para santri dari pondok pesantren Gus Farid.

Setelah beberapa saat perlawanan Ayu yang lumayan ulet, akhirnya kami berhasil mendudukkannya ke dalam kursi mobil di baris kedua meski terpaksa-
harus mengikat kedua tangannya. Tak beberapa lama yang lain mengikuti, dimana Mas Arfan duduk di kursi paling depan bersama Gus Farid yang bertugas sebagai pengemudi.
Ayu yg duduk disebelahku mendelik ke semua orang. Wajahnya menatap marah dan mencaci-maki seluruh penumpang dalam mobil. Tentu saja tak ada yang menggubris.

Tak lama kemudian Ayu terdiam. Akupun melirik ke arahnya, namun ternyata Ayu juga menatapku sambil tersenyum ngeri.
“Nduk, ono sing pengen melu.” (Nak, ada yang mau ikut) Bisik Ayu dengan sedikit mendekat ke telinga.

Seketika bulu kuduk diseluruh tubuh merinding. Aku yang memang sedikit paham Bahasa Jawa mengambil respon tak menanggapi.
Tapi sepertinya sosok dalam diri Ayu masih menangkap rasa ketakutanku.

“Nek gak percoyo coba delengen kui samping jendelo. Hihihihi.” (Kalau nggak percaya coba lihat kearah samping jendela) Ucap Ayu lagi.
Ntah kenapa kali ini aku malah refleks menoleh kecarah jendela samping kanan.

Dan benar saja, sosok berdaster putih tanpa kepala sudah berada di depan jendela samping kananku.
Lehernya yang buntung dan mengeluarkan darah sengaja ditempelkan kaca, lalu kedua tangannya yang kurus dan berkuku panjang menggaruk-garuk secara bergantian. Menimbulkan suara derik yang cukup menyakitkan telinga.
Sontak aku yang shock langsung menjerit sambil menutup kedua mata. Semua orang di dalam mobil berusaha mencoba menenangkan. Ayu tertawa nyaring membahana.

Sepertinya mas Arfan meminta salah satu santriwati yang berada di sebelah Ayu untuk membacakan doa.
Sayup-sayup aku mendengar lantunan qiroah merdu yang menenangkan hati. Disusul dengan hilangnya suara garukan kuku yang tak terdengar lagi. Santriwati itu mencoba melepaskan kedua tangan yang menutup wajahku secara perlahan.
“Sudah tak apa mbak. Jinnya sudah pergi.” Ucapnya lembut.

Perlahan aku mulai memberanikan diri membuka kedua mata. Dan memang penampakan mengerikan itu sudah tak terlihat lagi. Ku lihat Ayu kini mendelik menatap santriwati itu dengan suara menggeram.
Namun gadis itu tampak tenang, tak merasa takut akan tatapan Ayu yang mengancam.

TOKKK! TOKKK!

Kulihat Nana mengetuk jendela sampingku. Aku pun tak langsung menekan tombol pembuka jendela karena sedikit ragu.
“Itu memang Nana mbak. Buka aja nggak apa-apa.” Sahut Mas Arfan kemudian. Setelah mendengar ucapan Mas Arfan, akhirnya aku berani menekan tombol menurunkan kaca jendela mobil.

“Mbak nggak apa-apa?”
Aku mengangguk pelan. Sepertinya Nana sempat mengetahui apa yang barusan terjadi. Kemudian ia meraih salah satu tanganku dan menyerahkan sebuah tasbih hitam ke telapak tangan.
“Banyakin baca dzikir dijalan ya mbak. Maaf ndak bisa nemenin mbak sama Ayu.”

“I... iya Na makasih.”

“Tolong jaga tasbihnya jangan sampai hilang. Semoga bisa membantu.” Ucap Nana kemudian sebelum akhirnya aku harus segera menutup jendela kembali,-
dikarenakan Ayu mulai berteriak marah kearah Nana.
Mobil mulai melaju meninggalkan kos.

Dari sini kulihat seluruh penumpang mulai menggumam doa tanpa henti. Ayu yang sempat terdiam mulai menembang kidung-kidung jawa sekali lagi.
Suara doa dan kidung yang saling bertubrukan membuat perasaan tak nyaman disepanjang jalan. Aku sudah merasa bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.

Diperjalanan aku melihat hal-hal tak kasat mata yang biasanya tak pernah bisa kulihat.
Bahkan beberapa dari mereka tampak mengikuti laju mobil kami, seolah tertarik akan sesuatu yang ada di dalam sini.

Aku merasakan hawa sedingin es mulai melingkupi tangan dan kaki.
Saat memasuki tol yang sepi, di beberapa tepi jalan aku melihat sosok-sosok mengerikan seperti bekas korban kecelakaan.

Suara-suara mereka yang meminta tolong terdengar menyayat hati. Aku sempat tertegun melihat sosok gadis kecil yang memegang sebuah boneka.
Matanya hilang satu dengan baju bersimbah darah. Tangannya menggapai kosong kearahku. Namun setelah melewati sudut samping posisinya, baru kusadari bahwa kepalanya sudah hilang separo. Menampakkan batok kepala yang bolong dengan daging dan darah yang jatuh berceceran ke tanah.
Seketika rasa mual menyerang lambung, membuat isi makanan yang ada didalam ingin berontak keluar. Untungnya masih bisa kutahan tak sampai muntah.

Apa jadinya jika mobil terpaksa berhenti mendadak di tengah jalan tol. Meski terbilang sepi, namun kita tidak tahu jika ada-
kendaraan lain yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah belakang. Resiko rentan kecelakaan bisa terjadi kapan saja, karena bagaimanapun jalanan ini adalah jalan bebas hambatan.
Hingga akhirnya mobil melaju sampai dipinggiran kabupaten ‘B‘ yang mana samping kiri kanan terdapat pepohonan tinggi seperti hutan. Gelap tanpa lampu penerang jalan, mereka hanya mengandalkan cahaya dari lampu sorot mobil saja.
Lalu terdengar decitan rem berbunyi, mobil mendadak berhenti mengakibatkan dorongan kuat ke depan menghentak pada badan para penumpang.

“Astaghfirullahal’adziim.” Gus Farid beristighfar beberapa kali.
“Ke.. kenapa Gus?” Tanyaku penasaran setelah beberapa saat keheningan menyergap kami karena keterkejutan barusan.

“Di depan ada jurang. Hampir saja mobil ini menerabas ke depan sana.” Sahut Mas Arfan.

Kulihat dengan seksama, tak ada pembatas apapun yang menghalangi.
Hanya gelap dan kabut yang menyelimuti. Sontak jantungku kembali menderu kencang, tak kuasa membayangkan bagaimana jika mobil kami benar-benar terperosok ke dalam sana.

Apakah masih bisa selamat?
Ataukah Tuhan akan langsung mengirim malaikat mautnya menjemput kami?
Tak ada yang tahu seberapa dalam jurang yang ada di depan sana.

“Kok bisa nggak kelihatan?” Tanyaku lagi

“Ada yang sengaja menutupi penglihatan.” Jawab Gus Farid singkat.
“Sakjane kowe kabeh mati ae yo. Hihihihi” (Seharusnya kalian semua mati saja ya) Sahut Ayu tiba-tiba dengan suara berat mengerikan.

Terdengar suara helaan nafas panjang sesaat. “Bismillah. Ayo kita lanjutkan lagi perjalanan.”

**
Lanjut besok lagi ya gaes...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Nana is me

Nana is me Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @chillbanana313

Oct 15, 2021
God Damn it! Sial kesel banget gw 😡. Baru dapet berita ponakan gw yang lagi di pesantren mengalami kekerasan fisik dari kakak kelasnya. Dipukulin sampe babak belur bareng ke 6 temennya.

Please, ini pesantren loh ya. God! Rasanya pgn gw samperin kesono liat kondisi dia 😭.
Fyi, dia baru kelas 3 SMP. Dia di pondok tahfidz. Disana emg diwajibkan berbahasa inggris/arab sbg conversation sehari².

Masalah pemukulan sepele sebenernya. Hanya karena ponakan gw ga sngaja ngmg bhs jawa-indonesia ma temen²nya pas di kmr asrama.
Terus gak sengaja ketahuan ma pengurus OSIS nya.

Nah si OSIS nya ini melakukan hukuman fisik yg bener2 keterlaluan sih. Sumpah! Kenapa lo sampe mukulin anak org woy! Padahal lo aja masih teenager.
Read 4 tweets
Aug 22, 2021
--PENGALAMAN MISTIS SELAMA MENULIS THREAD HOROR--

Apa kalian tau? Mereka suka jika dibicarakan...

@bacahorror @ceritaht
@IDN_Horor @Penikmathorror
Hai para pecinta cerita horror..

Gw nulis ini sambil nyicil thread “KOST” kuy lah. Gak usah khawatir bakal digantungin ya.

Jadi gini, gw mau berbagi sedikit pengalaman mistis selama menulis thread horror. Sekaligus menjawab rasa penasaran kalian yang sering nanya…
“Eh nulis thread horror gitu sering dapet gangguan nggak sih?”.

Sekarang gw jawab”IYA sluuuuur. Diganggu gw!”

Nggak tau lagi deh kalo threader yang lain. Tapi gw pastiin hampir kebanyakan sih, ya iyaa pasti ngalamin suatu kejadian. Nggak mungkin adem ayem aja.
Read 53 tweets
Aug 13, 2020
-- K O S T (Part 1) --

A Thread
.
Aku selalu merinding jika harus menceritakannya. Mengingat kenangan seram yang pernah terjadi. Peristiwa-peristiwa ganjil yang kualami saat masih menjadi mahasiswa kost dulu.
.
#bacahorror @bacahorror
@ceritaht @IDN_Horor Image
Cerita akan saya posting saat penulisan sudah selesai.

Doakan semoga nanti malam sudah bisa update ya...

📝📝📝
Halooo...
Selamat malam ...
Nana udah siap menemani malam jum'at kalian..
Read 62 tweets
Mar 19, 2020
(Based from True Urban Legend)

M O N T I A N A K
a.k.a "MatiAnak"
.
.
@bacahorror #bacahorror
@ceritaht #threadhorror
.
.
A Horror Thread Image
P R O L O G

Suara nyaring kentongan yang dipukul berulang-ulang berhasil memecah keheningan malam hampir di seluruh pelosok desa. Warga yang mendengar sontak terbangun, sebagian besar langsung keluar dan menghampiri sumber suara.
Sedang yang lain hanya berani mengintip dari pintu dan jendela rumah masing-masing.

Meski rasa penasaran menggelayuti, namun anak-anak dan wanita yang mengetahui kodratnya tetap berada dibalik rumah. Pasalnya, malam tak pernah ramah bagi mereka,-
Read 270 tweets
Jan 16, 2020
(Based On True Story)
"TEROR POCONG KIRIMAN"
.
.
-Sebuah Utas Pendek-
@bacahorror #bacahorror
.
@bacahorror Tak ada yang spesial malam ini, tak terkecuali hari ini malam jum’at legi dan jarum jam masih bergantung di angka 22.00.

Suasana malam yang sesekali diiringi suara jangkrik saling bersahutan di luaran rumah.
Bu Sri yang kala itu terjaga dari tidurnya melangkah gontai ke arah dapur, tenggorokannya dirasa kering karena haus.

Untuk menuju ke dapur, Bu Sri harus melewati Lorong gelap yang melewati ruang tamu bercahayakan temaram. Sesaat kepalanya tak sengaja menoleh, matanya-
Read 203 tweets
Nov 15, 2019
(Based on true story)
.
.
Ini kisahku saat mengikuti Jumbara, disalah satu tempat yang sangat angker. Tempat bekas pembantaian PKI terbesar yang pernah terjadi dikotaku.
.
-A Thread-
.
.
@bacahorror #bacahorror #threadhorror
@bacahorror Apa kalian termasuk siswa/i yang dulu atau sekarang pernah aktif dikegiatan ekstrakulikuler sekolah? Bukankah kegiatan ekstrakulikuler begitu menyenangkan?

Harusnya sih. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita mau mengikutinya bukan?
Aku termasuk anak yang gemar mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan diluar jam wajib pelajaran sekolah. Salah satunya PMR. Aku terbilang aktif saat menginjak bangku SMP.
Read 352 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(