Buto.. Demit ras raksasa dengan kekuatan fisik yang konon dapat memindahkan bangunan dengan tenaganya saat ini berkumpul dengan jumlah yang mengerikan di depan mata kami.
Sayangnya bukan itu ancaman utama yang kami hadapi.
Seorang nenek tua tertawa cekikikan menghadapi kumpulan makhluk itu. Setiap pukulan yang dihujamkan kepada Buto itu memiliki kekuatan yang mampu memporak porandakan tebing batu di sekitarnya.
“Edan Cahyo… Pukulanya hampir sekuat pukulanmu” Ucapku yang masih terheran-heran dengan ilmu dari Nyai Jambrong yang sedang bertarung melawan sekumpulan Buto itu.
“Mungkin… tapi aku belum bisa mengeluarkan pukulan sebanyak itu dengan kekuatan penuh” Ucap Cahyo yang menjadi khawatir seandainya mereka ditakdirkan untuk bertarung.
Mbah Wira… salah satu warga desa sukmajaya yang sempat membuat perjanjian dengan Iblis Brakaraswana kini terlihat dengan tubuh rentanya menggenggam sebuah kujang dan membacakan mantra untuk melindungi Nyai Jambrong yang bertarung di garis depan.
“Mbah Wira ada di sana? Bukanya dia mengaku ingin bertobat dan menebus dosa-dosanya?” Ucap Cahyo.
“Entah… aku tidak bisa mengerti dengan semua kejadian di bawah sana , seandainya kamu bilang ini mimpipun aku pasti percaya.” Balasku pada Cahyo.
Kami menoleh ke arah Paklek berharap mendapatkan petunjuk atas semua ini.
“Jika kalian mengenal orang itu , kita lihat ujung pertarungan ini dan cari kesempatan untuk menarik dan meminta penjelasan dari seseorang yang kalian sebut dengan nama Mbah Wira itu” Perintah Paklek.
Kami setuju, namun entah.. pertarungan ilmu hitam sebesar ini akan memakan waktu berapa lama. Begitu banyak ilmu –ilmu yang dirapalkan di pertarungan itu.
Namun belum ada yang mampu menembus pertahanan demit-demit penari ludruk itu.
Suatu ketika Nyai jambrong terlihat memutarkan tanganya dan badanya seolah melakukan tarian ritual kuno.
Mendadak tanah di tempat itu berubah seperti lumpur dan menarik pasukan demit itu masuk ke dalam tanah.
Tak melewatkan kesempatan, Nyai Jambrong melompati demit-demit yang tenggelam menuju musuhnya yang masih menari dengan tenang di atas panggung.
“Ono tokek menyang Solo…” Pemain ludruk itu memulai tembangnya dengan iringan musik kendang.
“Nenek-nenek dipangan Ulo…”
Seperti mengikuti tembangnya , sesosok makhluk orang tua gondrong bersisik ular dengan mata dan lidah yang hitam keluar dari tubuhnya.
“I.. itu Topo Ulo? Sekarang ia menjadi pengikut Pemain Ludruk itu?” Tanya Cahyo yang terheran heran.
Aku tidak menjawab , dari jenis ilmu Topo Ulo dan serangan Nyai Jambrong sepertinya aku bisa mengetahui hasil pertarungan ini.
“Cahyo.. Paklek… lebih baik sekarang kita mencari posisi untuk menarik Mbah Wira..” Ucapku.
“Di tengah pertarungan ini? “ Tanya Cahyo yang ragu.
“Walaupun tubuh Nyai Jambrong Abadi, tubuh fisiknya tidak akan bisa bertahan dari kutukan Topo Ulo… Hasil pertempuran ini sudah bisa terlihat” Jelasku pada mereka.
“Yowis.. kita turun sekarang, sembunyikan keberadaan kalian dan jangan sampai terpisah” Perintah pakleh yang mengerti dengan strategiku.
Kami menuruni bukit dan mendekat ke pertarungan itu.
Aura yang sangat gelap jelas terasa menyelimuti pertarungan pertarungan di hadapan kami. Jelas, saat ini kami belum bisa mendekat.
Benar dugaanku, Nyai Jambrong yang sebelumnya unggul kini terjatuh setelah kehabisan nafas dan terpengaruh oleh racun dari pertapa ular itu.
Seketika Ratusan demit mengamuk menghabisi orang orang sakti yang sedari tadi membantu Nyai Jambrong.
Termasuk demit berwujud ular yang mencoba menyerang Mbah Wira.
Aku sudah bersiap akan hal ini dan melancarkan mantra pelindung untuk Mbah Wira. Dan ketika menyadari serangan makhluk itu tidak dapat menyentuhnya, Mbah Wirapun mencari keberadaan kami.
“Mbah Wira… Ke sini!” Bisikku sambil mendekat ke jangkauan penglihatanya.
Melihat keberadaanku , Kakek tua itu segera berlari meninggalkan kawananya dan menghampiri kami.
“Mas Danan… Kenapa kalian bisa di sini?” Tanya Mbah Wira.
“Sudah mbah… kita tinggalkan tempat ini dulu” Perintahku pada Mbah Wira yang dengan sukarela mengikuti permintaan kami.
Dari jauh terlihat tubuh nyai jambrong yang keracunan tenggelam oleh tanah yang melunak karena ilmunya sendiri.
Kami bersembunyi di sebuah goa , cukup jauh dari lokasi pertempuran dengan senter yang kami bawa sebagai penerangan.
“Mbah Wira.. bagaimana Mbah Wira bisa ada di sini?” Tanyaku padanya.
“Benar mbah… terus kondisi Mbah Wira sendiri bagaimana?” Cahyo terlihat cemas mengingat saat terakhir meninggalkanya di hutan Mbah Wira sudah kembali ke tubuh renta nya.
“Sudah.. sudah biar saya jelaskan, sebelumnya saya ijin berkenalan dengan Bapak ini..” Ucap Mbah Wira.
“Saya Pakleknya mereka mbah… saya sedikit tau cerita tentang Mbah Wira dari mereka” Jawab Paklek dengan ramah , sepertinya Paklekpun tidak merasakan niat jahat dari Mbah Wira, tidak seperti orang-orang sakti di tempat tadi.
Mbah Wira mulai menceritakan maksudnya. Rupanya Mbah Wira juga mendapatkan potongan kayu seperti yang kami miliki.
Hal itu menyebabkan Hutan tempat imah leuweung berada didatangi orang-orang sakti berilmu hitam yang mencoba menyerangnya.
Ketika orang sakti itu mulai meresahkan Desa Sukmajaya, Mbah Wira meninggalkan hutan hingga giliran nyai jambrong yang muncul berpapasan dengan Mbah Wira.
Rupanya Nenek tua itu sedang mengumpulkan orang-orang sakti untuk mengalahkan Musuh besarnya si penari ludruk itu.
“Menurut saya, satu-satunya makhluk yang bisa mengalahkan penari ludruk itu hanyalah nyai jambrong ini.. saya mengikutinya hingga tiba di pertarungan ini” Cerita Mbah Wira.
“Jadi Mbah Wira sudah tau petunjuk untuk mengalahkan Demit itu?” Tanya Cahyo yang semakin tidak sabar.
Dengan muka yang musam, Mbah Wira mulai melanjutkan ceritanya.
“Ludruk topeng ireng itu dulunya dibentuk oleh sekelompok keluarga yang berisi orang-orang sakti untuk membasmi wabah demit yang menyerang desa-desa.
Namun setelah selesai menjalankan misi itu, sang pemeran ludruk itu malah berbalik menyerang dengan seluruh demit yang berhasil ia kumpulkan dengan tubuhnya sebagai ‘wadah’.
Rupanya pemain ludruk itu merupakan keturunan dari keluarga yang sangat jahat dan menyimpan dendam terhadap keluarga tersebut.
Sebelum sempat mencelakai desa, Kesepuluh orang sakti itu mengalahkan Pemain Ludruk itu dengan menggunakan sepuluh pusaka sakti dengan Ingon dari berbagai alam.
Entah bagaimana ceritanya , tiba-tiba pemain ludruk itu muncul lagi dengan wujud demit.
Untuk mengumpulkan kekuatan kembali ia berkeliling ke desa-desa terpencil dengan kedok pementasan ludruk untuk mencari tumbal hingga kekuatanya sebesar ini.”
Cukup panjang informasi yang didapat oleh Mbah Wira, akhirnya Cahyopun tau asal-usul makhluk yang membantai desa dan orang tuanya.
Aku menepukan tanganku di bahu Cahyo sekedar untuk menenangkanya dari ingatan akan desanya.
“Mbah… lalu kesepuluh pusaka itu?” Tanya Paklek yang penasaran.
“Kesepuluh pusaka itu tidak diketahui keberadaanya, namun tidak menutup kemungkinan ada pusaka lain yang bisa mengalahkanya..” Ucap Mbah Wira sembari mengeluarkan kujang yang berada di ikatan pinggang.
“Ini kujang Lingga Cakra peninggalan keluarga saya, kemampuan tusukanya bisa berlipat ganda ketika saya bacakan mantra leluhur…
seandainya ada kesempatan mendekati makhluk itu, mungkin saja benda ini bisa mengalahkanya” Jelas Mbah Wira.
Aku menunjukan Keris Ragasukmaku pada Mbah Wira.
“Ini keris raga sukma, memiliki wujud fisik dan wujud ghaib.. wujud ghaibnya bisa memisahakan saya dari tubuh fisik dengan membawa serta keris ini.. apa kemampan ini bisa berguna mbah?” Tanyaku.
Belum sempat menjawab , giliran Paklek mengeluarkan kerisnya yang memiliki ukiran khas kerajaan yang mirip dengan keris ragasukma.
“Ini Keris Sukmageni… keris ini bisa merubah tetesan darah saya menjadi api yang bisa menyembuhkan” Jelas Paklek yang ingin mendapatkan informasi lebih dari Mbah Wira.
Mbah Wira memperhatikan pusaka kami dan mencoba mencari cara untuk melawan dengan semua peluang yang kami miliki.
“Nek iki pusakaku… Sarung Rojo Ketek! Ambune iso nggawe demit-demit mabur!” (Kalau ini pusakaku… sarung raja monyet! Baunya bisa bikin setan-setan kabur) Ucap Cahyo yang tidak mau kalah dengan pusaka-pusaka kami.
Paklek mulai tertawa melihat tingkah Cahyo.
“Iyoo.. aku ngerti, diantara pusaka kita ini pusakamu yang paling hebat..! sarungmu itu udah nyelamatin nyawa kami berkali-kali lho” Ucapku padanya.
Aku ingat sekali bagaimana sarung kebanggaanya itu berhasil membantu melawan Lelepah , dan barusan juga sarung itu menyelamatkanku dari demit bocah peliharaan kakek sakti tadi.
Rupanya guyonan Cahyo tadi juga membuat Mbah Wira memikirkan sesuatu.
“Benar.. dengan bantuan kalian dan pusaka yang ada mungkin saja kita punya kesempatan mengalahkan makhkuk itu…” Ucap Mbah Wira.
“Lantas seandainya kita bisa mengalahkan makhluk itu, bagaimana dengan Nyai Jambrong dan pengikutnya” Balas Paklek yang khawatir dengan kebuasan Nyai Jambrong.
“memang pilihan yang sulit, nyai jambrong adalah makhluk yang haus akan kekuatan ia bahkan bisa dengan mudah membunuh siapapun yang mencari masalah denganya… Namun ia masih seorang manusia yang memiliki kelemahan” Jelas Mbah Wira.
Cahyo terlihat memikirkan sesuatu.
“Benar Paklek.. Nyai Jambrong masih memiliki cucu buyut di desa yang saya datangi, sepertinya masih lebih baik daripada membiarkan Setan Ludruk itu menang”
Kali ini Cahyo mencoba menyampaikan pendapatnya.
Ucapan Cahyo membulatkan tekad kami untuk mempertaruhkan nyawa mengalahkan penari ludruk itu dan akhirnya sebuah rencana berhasil kita siapkan.
Dari dalam hutan terdengar suara tertawa nyai jambrong yang telah bangkit kembali setelah dikalahkan oleh Kutukan Topo Ulo.
Kami segera menghampiri mereka dan melihat orang-orang sakti yang membantu nyai jambrong kini telah terkapar..
hanya tersisa Nyai Jambrong sendiri di hadapan Ratusan demit.
“Nyai… kami akan membantumu” Ucap Mbah Wira yang mendekat disusul dengan Cahyo dan Paklek yang berada di belakangnya.
“Kowe!! Kowe Bocah Ketek sing nulungi Arum cucuku?” (Kamu! Kamu anak monyet yang menolong Arum cucuku?) ucap Nyai Jambrong yang masih ingat dengan wajah Cahyo.
“Iyo Nyai.. aku durung sempet bales tendangan Nyai kmarin” Ucap Cahyo yang sudah bersiap dengan Roh Wanasura yang merasuki dirinya.
“Kowe Ra Wedi nek tak pateni sakwise ngalahke demit kuwi?” (Kamu tidak takut jika kubunuh setelah mengalahkan setan itu?) Ancam Nyai Jambrong.
“Yo Wedi… Jelas Takut, Tapi sekarang musuh kita sama.. Pemain Ludruk itu sudah membunuh Orang tua dan seluruh warga desaku.. Pertarungan kita kita urusin nanti” Ucap Cahyo.
Nyai jambrong menoleh ke arah bocah yang berlagak sok kuat di sebelahnya.
“Khi..khi…khi… Aku suka bocah yang terbakar dendam , tapi jangan salahkan aku jika kamu mati” Lanjut Nyai Jambrong.
Mendengar hal itu aku maju mendahului mereka.
“Nyai .. Topo Ulo biar menjadi urusanku, aku sudah pernah mengalahkanya sekali…”
Sekali lagi aku memisahkan sukmaku dari raga. Paklek tetap dibelakang menjaga tubuhku dengan merapalkan Geni Baraloka yang mampu mencegah sukmaku terhisap ke tubuh pemain ludruk itu, begitu juga pada Cahyo untuk menghindari ilmu hitam yang mampu membangkitkan dendamya lagi.
Masih dengan pemandangan ratusan demit yang tenggelam oleh ilmu Nyai Jambrong, aku melayang menuju Topo Ulo Sementara Nyai Jambrong langsung menerjang ke arah pemain Ludruk yang masih menari dengan santai.
Kabut hitam kembali mengelilingiku dengan Topo Ulo yang bersiap menghunuskan keris padaku.
Hantaman keris yang beradu kembali menciptakan benturan besar yang bahkan dapat mementalkan demit-demit yang mencoba ikut campur.
Cahyo seorang diri menahan sisa-sisa demit yang tidak tenggelam dan mencoba membuka jalan untuk Mbah Wira.
Di Satu sisi, Penari ludruk itu sudah sibuk dengan serangan-serangan dari Nyai jambrong terlihat jelas ilmu bela diri mereka hampir mencapai taraf yang sama.
Pertarunganku kali ini cukup mudah, Topo Ulo yang kesadaranya dikendalikan oleh Ludruk itu tidak sehebat saat ia masih hidup.
Tak butuh lama hingga aku berhasil menusuk jantungnya hingga keberadaanya benar-benar menghilang.
Segera setelah mengalahkan Topo Ulo aku kembali ke ragaku dan bersiap maju bersama Paklek untuk membantu Cahyo.
Paklek menggoreskan jarinya pada keris sukmageni dan merubah tetesan darahnya menjadi Geni Baraloka yang cukup besar, Sebuah kobaran api yang mampu menenangkan roh-roh penasaran yang saat ini menjadi pengikut Demit ludruk itu.
Bersama dengan Paklek kami melemparkan serpihan-serpihan api itu hingga semua Roh penasaran diantara pasukan demit itu hilang dan tersisa siluman-siluman yang jadi lawan Cahyo.
Keadaan mulai berbalik, dengan jumlah pengikut yang semakin berkurang Demit ludruk itu semakin kewalahan dengan serangan Nyai Jambrong.
Tak mau melewatkan kesempatan , Mbah Wira menusukan Kujang pusaka Lingga Cakranya tepat di punggung Penari ludruk itu hingga terlihat darah hitam menetes dari luka dan mulutnya.
“AAAaarrrrrhhh…. “ Suara pemain ludruk itu terdengar kesakitan. Sayangnya tak lama setelahnya suara erangan itu berubah menjadi tawa.
“Ha…ha….ha…..
…Wis Wayahe..” (Sudah saatnya)
Ucapnya masih dengan kujang Mbah Wira yang menusuk di punggungnya.
Angin berhembus kencang seolah udara di sekitar kami terhisap oleh sesuatu. Terlihat garis maya tepat dia atas panggung ludruk itu.
Mbah Wira mundur ke arah Paklek meninggalkan pusakanya yang masih tertancap di tubuh pemain ludruk itu.
“Itu… Itu Gerbang Jagad Segoro Demit !” Ucap Mbah Wira.
Paklek menarik Geni Baralokanya dan mencoba menahan retakan dimensi yang memunculkan wujud berbagai macam demit. Sayangnya.. itu sama sekali tidak berguna.
Berbagai macam makhluk keluar dari lubang itu, naluri makhluk halus itu membuatnya tertarik dengan getih anget yang dimiliki penari ludruk sehingga segera bergegas merasukinya.
Dengan banyaknya demit yang merasuk luka yang dibuat oleh Mbah Wira dan Nyai jambrong menutup sepenuhnya dan bahkan meningkatkan tenaganya menjadi berlipat-lipat.
“Danan… ! Jangan biarkan Demit itu masuk ke celah itu!” Teriak Paklek.
Namun terlambat, dengan tubuhnya yang semakin kuat Penari ludruk itu melompat kedalam celah itu untuk mengumpulkan pasukan-pasukan yang lebih mengerikan.
Aku dan Cahyo segera berlari mengejarnya , Namun tiba tiba sebuah pukulan keras dari makhluk yang mengamuk menghalangi kami.
Kami menoleh mencari kebaradaan makhluk yang mampu memberikan serangan sekuat ini.
“Danan.. Itu Nyai Jambrong!” Ucap Cahyo yang kaget.
Tidak seperti tadi, aliran kekuatan dari Celah Jagad segoro demit merasuki tubuh Nyai Jambrong hingga kehilangan kesadaranya. Saat ini Nyai Jambrong mengamuk seperti hewan buas tanpa kendali.
“Itu Ajian Segoro demit… sama yang dimiliki oleh eyang widarpa saat masih hidup” Ucap Paklek.
“Terus kita harus bagaimana Danan?” Teriak Cahyo yang jelas terlihat panik.
“Kalian susul Demit ludruk itu.. biar kami mencari cara menghentikan Nyai Jambrong” Teriak Paklek.
Aku tidak setuju, Kekuatan bela diri Paklek tidak sekuat Cahyo apalagi kondisi Mbah Wira sudah sangat lemah.
“Pergi Danan! Hanya kalian berdua yang punya kesempatan mengalahkan Demit itu.. aku akan mencoba meminta satu bantuan lagi” Teriak Mbah Wira.
Nyai Jambrong yang semakin menggila akhirnya menyadari posisi Paklek dan Mbah Wira. Namun sebelum sempat menyerang, sebuah benda jatuh dari langit dan melukai Nyai Jambrong.
Benda itu terus mengejar menyerang Nyai Jambrong yang kesetanan.
Setelah memperhatikan beberapa lama aku mulai menyadari wujud benda itu.
“Itu mata tombak Candramukti..” Aku tersenyum melihat keberadaan pusaka itu yang ternyata masih mau membantu kami.
Dengan adanya pusaka itu, Aku memutuskan untuk meninggalkan Paklek dan menyusul Demit ludruk itu, Namun untuk memastikan keselamatan mereka ada satu hal yang harus kulakukan.
Aku meletakan Keris Ragasukma diantara dahi dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhurku.
..
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...
...
Mendadak langit menjadi gelap , hujan turun begitu deras dan sekarang di hadapan kami muncul telah muncul sesosok mahkluk….
(Bersambung Part Terakhir)
siapa tau ada yang mau baca duluan part akhir atau sekedar support part akhir dari cerita ini di
Sebelum manusia berkuasa di tanah Jawa,
Sebelum batas antara alam manusia dan makhluk gaib tercipta, Sebelum perjanjian pertama dengan penguasa gaib terjadi…
Dua manusia berjalan menembus hutan terdalam. Nafas mereka terengah, namun langkah mereka terus maju, seolah ada panggilan tak kasat mata yang menuntun mereka masuk ke wilayah terlarang itu.
“Aku tidak yakin kita harus meneruskan perjalanan ini, Kurna,” bisik salah satunya, Purwa, dengan suara bergetar.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Purwa,” jawab Kurna lirih. “Tapi ada yang mendorong jantung ini… Sebuah kehendak yang memaksa kita untuk sampai ke sana. Kita harus mengetahui apa yang menunggu.”
Sudah lama mereka meninggalkan suku mereka, mengejar sebuah tempat yang hanya hadir dalam mimpi, tempat yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui namanya, atau wujudnya. Namun panggilan itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Dan akhirnya, mereka tiba.
Di tengah hutan berdiri sebuah pohon beringin raksasa, menjulang angkuh seperti penjaga. Dari dahan-dahannya tergantung kepala-kepala manusia… ada yang telah mengering, ada yang membusuk, dan ada pula yang masih meneteskan darah segar ke tanah.
Di bawahnya, sosok hitam setinggi tiga meter tengah bersila, bermeditasi dalam kekhusyukan yang mengerikan. Rambutnya panjang tak terurus menutupi sebagian wajahnya yang bengis. Tetesan darah dari kepala-kepala itu terus membasahi tubuhnya.
“I—ini… tempat apa?” Purwa terhuyung, seluruh tubuhnya gemetar.
Tanpa menjawab, Kurna mengambil tali hitam dari tas kulitnya. Ia melantunkan mantra kuno, lalu melilitkan tali itu pada tubuh mereka berdua.
“Dengan ini, mereka tidak akan merasakan keberadaan kita,” bisiknya tajam.
Saat mereka semakin mendekat, keduanya tersentak. Makhluk itu tidak sendiri.
Di sekelilingnya berdiri makhluk-makhluk hutan yang bentuknya tidak lagi menyerupai manusia, para setan penguasa belantara, siap memburu manusia kapan saja.
Namun yang lebih memuakkan…
Di antara mereka berdiri manusia-manusia sakti yang telah bersekutu dengan kegelapan. Mata mereka kosong, jiwa telah ditukar dengan kekuasaan.
“Kenapa?” Wajah Panji terlihat panik. “Kenapa Dirga dan Guntur? Ki Gutayar bukan lawan yang bisa mereka kalahkan!”
Cahyo mengepalkan tangannya, Ia pun merasa seharusnya dirinya atau Danan yang menolong Nyai Jambrong.
”Pundra? Apa kau bisa memindahkanku juga?” Teriak Danan.
Pundra mendekat ke pertarungan dengan sebagian tubuhnya berubah menjadi asap hitam.
”Di Puri ini setiap penguasa memiliki wilayah kekuasaannya sendiri, saat ini aku tak sekuat saat berada di wilayahku. Sedangkan dia…” Pundra menunjuk pada sosok patung setan bertaring yang begitu besar di tengah ruangan itu.
”Ini adalah wilayahnya, tempat terkuatnya..”
Cahyo memperhatikan sosok patung setan yang membawa berbagai pusaka itu di tangannya yang banyak. “Berarti pelataran ini adalah wilayah kekuasaan patung itu?”
”Benar..”
Cahyo mendekat ke sisi pertarungan. Lebih dekat. Ia pun hanya duduk dan melipat kedua tangannya sambil memperhatikan pertarungan itu.
”Mas Danan, harusnya ada yang bisa kita lakukan, kan?” Tanya Panji,
Danan hanya menoleh ke arah Cahyo. “Untuk saat ini kita hanya bisa percaya pada Guntur dan Dirga.
Danan, Cahyo, dan Panji berdiri berhadapan dengan sosok mengerikan yang kini mengincar Jagad dan Dirga. Udara di dalam puri begitu padat, seolah setiap napas membawa aroma besi dan darah.
“Wanasura!” teriak Cahyo. Jantung makhluk itu berdentum, terdengar jelas di antara dinding batu puri Jagatsukma yang bergetar pelan.
Cahyo memejamkan mata. Kekuatan Wanasura merasuk ke tubuhnya. Dalam sekejap ia melesat, meninggalkan bayangan, dan tiba tepat di belakang roh perempuan itu. Sebuah tendangan maut siap menghantam.
Namun makhluk itu malah tersenyum.
Tatapannya dingin. Terlalu tenang.
“Cahyo!” teriak Danan, tapi terlambat.
Cahyo spontan menarik diri, mundur dua langkah. Dan hanya sedetik kemudian, dari langit-langit puri, duri hitam raksasa menghantam posisi tempatnya berdiri tadi.
SRAAAT!
Suara retakan dan debu beterbangan.
“Grrrhhh…” Wanasura di dalam diri Cahyo meraung marah, tapi Cahyo merasakan sesuatu yang aneh. Naluri Wanasura gemetar… seolah ia tahu mereka sedang menghadapi kekuatan yang jauh lebih tinggi darinya.
“Panji!” seru Danan memberi isyarat.
Keris Ragasukma langsung melayang dari genggamannya, berputar di udara dan menukik ke arah roh itu.
Makhluk itu menghindar dengan mudah, namun dari sisi lain, Tombak Lembu Warok yang dikuasai Panji sudah menanti, terbakar api ajian merah menyala.
JLEBBB!!
Tombak itu menembus tubuh sang roh, menghantam dinding puri hingga batu-batu raksasa runtuh.
BRRAKK!! “Berhasil?!” Danan menatap penuh harap. Ia menjemput kembali kerisnya.
Roh perempuan itu bangkit perlahan. Tubuhnya tertembus, namun tombak itu bergetar hebat lalu terlepas begitu saja, jatuh ke lantai. Luka di dadanya menutup dalam sekejap, seperti tak pernah ada.
Danan menatap Panji. “Kita tak bisa menahan ini lebih lama. Siapkan semuanya!”
Mereka berkumpul. Jagad menyiapkan ajian Watugeninya, Cahyo memusatkan tenaga bersama Wanasura, Danan menggenggam Keris Ragasukma, Panji mengangkat tombaknya lagi, dan Dirga menyiapkan Keris Dasasukma yang bergetar di udara.
Tapi belum sempat mereka menyerang…
“AAARRRGHHH!!!” Panji berteriak keras.
Tubuhnya melengkung, darah keluar dari hidung dan telinganya. Danan menoleh, namun tiba-tiba matanya juga terbakar panas di sisi kiri.
“Arrghh!! Apa ini?!” Ia mencoba membacakan ajian pemulih, tapi tak berguna.
BRUUGHH!!
Mereka berlima jatuh bersamaan.
Tanah di bawah kaki mereka bergetar. Aura hitam menelan cahaya. Dan saat mereka mendongak, roh itu sudah berubah.
Tubuhnya kini hitam legam, mengerikan. Rambutnya panjang menjuntai seperti asap, di tubuhnya tergantung ratusan perhiasan dan pusaka kuno yang berputar mengelilinginya. Dari matanya menyala api keemasan.
“Aku…” suaranya menggema berat.
“…Dewi Mretya. Penguasa jagat malam. Penghisap napas dari segala makhluk yang berani menantangku.”
PURI JAGATSUKMA
Danan berdiri terpaku di atas bukit kecil di ujung Alas Kedaton. Nafasnya tertahan.
Di bawah sana, di tengah hutan tua yang seharusnya tak mungkin dihuni makhluk bernyawa, terlihat puri raksasa yang hampir sepenuhnya tertutup tanaman merambat. Seolah puri itu sudah lama dikubur waktu, tapi masih bernafas.
Hanya cahaya bulan purnama yang mengungkap bentuknya, dinding puri itu seakan terbuat dari batu yang jauh lebih tua dari sejarah Majapahit sendiri.
Dan dari dalamnya… muncul suara-suara yang tidak wajar. Teriakan.. Rintihan… Tawa yang terlalu panjang, terlalu patah, hingga terdengar seperti seseorang yang tertawa dalam kematian.
“Puri itu hanya akan menjadi kuburan kalian,” ucap Nyai Kunti.
“Apa maksud Nyai?” Tanya Linggar.
Tapi raut wajah Nyai Kunti berubah marah, ia tetap tak mampu menahan emosinya saat melihat wajah Linggar yang membawa darah sasena. Ia pun kembali menghilang dalam kegelapan..
“Nyai…” Guman Linggar.
Linus merangkul Linggar dan berusaha menenangkannya dari kebingungan yang ia alami.
“Aku… gak pernah tahu ada istana sebesar ini di tanah Jawa,” bisik Danan, suaranya hampir hilang ditelan udara dingin.
Cahyo maju pelan, berdiri di sampingnya.
“Justru…” bisik Cahyo tanpa menoleh. “Istana ini memang seharusnya gak pernah ada, Nan.”
Di saat mereka belum selesai menenangkan kebingungan itu, cahaya-cahaya kecil mulai muncul dari ranting-ranting hutan di bawah. Sejumlah obor bergerak dalam barisan panjang. Suara kidung aneh terdengar, semakin lama semakin jelas, sampai akhirnya arak-arakan yang menggotong sebuah keranda bambu itu terlihat.
“Mereka siapa…?” Panji hampir tidak percaya matanya. “Apa ada desa di sini…?”
Tidak ada yang menjawab.
Karena semakin dekat, semakin jelas bahwa rombongan itu bukan rombongan manusia biasa.
Mereka menari. Menggerak-gerakkan obor seperti sedang menyusun mantra. Suara kidung mereka tak memiliki tangga nada yang pernah didengar telinga manusia. Terasa begitu mengganggu saat terdengar.
Dan tubuh yang dibawa dalam keranda bambu itu… bukan mayat. Itu manusia hidup.
Tubuhnya penuh luka robek, kulitnya menghitam seperti direndam lumpur pekat. Kain yang dipakainya terbuat dari lembaran kulit dan potongan organ binatang.. kuku, tanduk, tulang kaki hewan, semua dirangkaikan di tubuhnya seperti ornamen upacara penyembelihan.
Pusaka pisau batu Linus ditemukan membuka celah Pagar Sembagi Wana. Kekacauan itu membawa mereka memasuki hutan yang menjadi pelataran Puri Jagatsukma... Alas Kedaton.
Malam semakin larut, namun tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki kemewahan untuk beristirahat.
Begitu keadaan desa sedikit terkendali, Panji segera membawa Danan, Cahyo, Rengga, dan Mbah Warsono menuju perbatasan hutan dalam, tempat di mana Mbah Widjan terakhir kali menutup diri bersama murid-muridnya.
Cahyo menatap kabut gaib yang berdiri seperti dinding tak kasatmata.
“Kalau hutan ini sudah disegel pakai Pagar Sembagi Wana… kenapa mayat-mayat hidup masih bisa keluar dan menyerang desa?”
Danan maju, meraba kabut itu dengan telapak tangan seolah menyentuh tirai yang sedang bernafas.
“Dua kemungkinan,” jawabnya pelan.
“Pertama, sebagian mayat itu lolos sebelum segel selesai terbentuk.”
“Dan kedua,” napasnya memendek, “ada seseorang di luar pagar ini yang sudah menguasai mereka… dan memerintahkan mereka keluar mencari mangsanya sendiri..”
Panji mengangguk. “Melihat kasus Pak Kasnu, kemungkinan kedua jauh lebih masuk akal. Mereka sedang menambah pasukan.”
“Dan sekarang sedang marah,” timpal Rengga, “karena sebagian pasukan mereka kita habisi.”
Mbah Warsono mendekat ke dinding kabut itu, membaca mantra halus sambil meneliti bentuk pola gaibnya. Sesekali cahaya samar bergerak seperti urat cahaya yang hidup.
“Ritualnya kuat sekali…” gumamnya. “Widjan mengajarkan pagar ini pada murid-muridnya dengan sempurna.”
“Bisa kita buka?” tanya Rengga.
“Bisa,” jawabnya, “tapi butuh waktu. Dan bila terbuka… kita tidak tahu apa yang menunggu kita di dalam.”
Saat itu suasana sunyi sesaat. Hanya desau angin yang terdengar seperti bisikan dari arah hutan terdalam.
Tiba-tiba Danan memicingkan mata, merasakan sesuatu. Ia berjalan menyusuri batas kabut, mencari sumber gangguan spiritual halus itu.
“Kemari! Aku menemukan celah!” serunya.
Mereka segera menyusul Danan ke sela dua pohon beringin tua.
Di sana, seperti belahan tipis pada tirai cahaya, sebuah celah terbentuk. Kecil, namun cukup untuk menembus pagar gaib itu.
Cahyo mendekat, lalu melihat sebuah pisau batu tertancap di tanah, pusaka tua yang memutus garis pagar gaib, menjadi kunci celah itu.
“Ini… pusaka Linus.” Cahyo menelan ludah.
Tanpa berpikir panjang, ia menyentuhnya.
Tubuhnya seketika menegang dan matanya berubah sayu hening… seperti sedang ditempati oleh kesadaran lain.
“Cepat masuk… susul mereka… Linggar dan Linus sudah berada di dalam!!”
suara yang keluar dari mulut Cahyo bukan lagi suaranya sendiri.
Rengga tercengang. “Itu… suara siapa?”
“Pusaka itu memiliki kesadaran, ia bisa meminjam kesadaran siapapun yang menyentuhnya. Pusaka itu memiliki pengetahuan puluhan ribu tahun yang lalu,” Jelas Danan
Danan mendekat dan bertanya,
“Kenapa Linggar dan Linus sampai masuk ke hutan dalam?”
Cahyo, atau lebih tepatnya, Pusaka Linus menjawab lirih, “Karena masih ada keturunan Sasena yang menekuni ilmu terkutuk ini. Mereka membangkitkan mayat-mayat leluhur sebagai pasukan. Dan hanya Linggar… yang tahu bagaimana menghentikannya.”
Panji mengepalkan tangan. “Mas Linggar… dia benar-benar nekat.”
Saat Rizal memberi tahu keadaan ayahnya dan adiknya. Danan dan Cahyo segera bergegas menuju padepokan Mbah Widjan. dan yang menanti mereka adalah pasukan mayat yang kembali hidup...