Buto.. Demit ras raksasa dengan kekuatan fisik yang konon dapat memindahkan bangunan dengan tenaganya saat ini berkumpul dengan jumlah yang mengerikan di depan mata kami.
Sayangnya bukan itu ancaman utama yang kami hadapi.
Seorang nenek tua tertawa cekikikan menghadapi kumpulan makhluk itu. Setiap pukulan yang dihujamkan kepada Buto itu memiliki kekuatan yang mampu memporak porandakan tebing batu di sekitarnya.
“Edan Cahyo… Pukulanya hampir sekuat pukulanmu” Ucapku yang masih terheran-heran dengan ilmu dari Nyai Jambrong yang sedang bertarung melawan sekumpulan Buto itu.
“Mungkin… tapi aku belum bisa mengeluarkan pukulan sebanyak itu dengan kekuatan penuh” Ucap Cahyo yang menjadi khawatir seandainya mereka ditakdirkan untuk bertarung.
Mbah Wira… salah satu warga desa sukmajaya yang sempat membuat perjanjian dengan Iblis Brakaraswana kini terlihat dengan tubuh rentanya menggenggam sebuah kujang dan membacakan mantra untuk melindungi Nyai Jambrong yang bertarung di garis depan.
“Mbah Wira ada di sana? Bukanya dia mengaku ingin bertobat dan menebus dosa-dosanya?” Ucap Cahyo.
“Entah… aku tidak bisa mengerti dengan semua kejadian di bawah sana , seandainya kamu bilang ini mimpipun aku pasti percaya.” Balasku pada Cahyo.
Kami menoleh ke arah Paklek berharap mendapatkan petunjuk atas semua ini.
“Jika kalian mengenal orang itu , kita lihat ujung pertarungan ini dan cari kesempatan untuk menarik dan meminta penjelasan dari seseorang yang kalian sebut dengan nama Mbah Wira itu” Perintah Paklek.
Kami setuju, namun entah.. pertarungan ilmu hitam sebesar ini akan memakan waktu berapa lama. Begitu banyak ilmu –ilmu yang dirapalkan di pertarungan itu.
Namun belum ada yang mampu menembus pertahanan demit-demit penari ludruk itu.
Suatu ketika Nyai jambrong terlihat memutarkan tanganya dan badanya seolah melakukan tarian ritual kuno.
Mendadak tanah di tempat itu berubah seperti lumpur dan menarik pasukan demit itu masuk ke dalam tanah.
Tak melewatkan kesempatan, Nyai Jambrong melompati demit-demit yang tenggelam menuju musuhnya yang masih menari dengan tenang di atas panggung.
“Ono tokek menyang Solo…” Pemain ludruk itu memulai tembangnya dengan iringan musik kendang.
“Nenek-nenek dipangan Ulo…”
Seperti mengikuti tembangnya , sesosok makhluk orang tua gondrong bersisik ular dengan mata dan lidah yang hitam keluar dari tubuhnya.
“I.. itu Topo Ulo? Sekarang ia menjadi pengikut Pemain Ludruk itu?” Tanya Cahyo yang terheran heran.
Aku tidak menjawab , dari jenis ilmu Topo Ulo dan serangan Nyai Jambrong sepertinya aku bisa mengetahui hasil pertarungan ini.
“Cahyo.. Paklek… lebih baik sekarang kita mencari posisi untuk menarik Mbah Wira..” Ucapku.
“Di tengah pertarungan ini? “ Tanya Cahyo yang ragu.
“Walaupun tubuh Nyai Jambrong Abadi, tubuh fisiknya tidak akan bisa bertahan dari kutukan Topo Ulo… Hasil pertempuran ini sudah bisa terlihat” Jelasku pada mereka.
“Yowis.. kita turun sekarang, sembunyikan keberadaan kalian dan jangan sampai terpisah” Perintah pakleh yang mengerti dengan strategiku.
Kami menuruni bukit dan mendekat ke pertarungan itu.
Aura yang sangat gelap jelas terasa menyelimuti pertarungan pertarungan di hadapan kami. Jelas, saat ini kami belum bisa mendekat.
Benar dugaanku, Nyai Jambrong yang sebelumnya unggul kini terjatuh setelah kehabisan nafas dan terpengaruh oleh racun dari pertapa ular itu.
Seketika Ratusan demit mengamuk menghabisi orang orang sakti yang sedari tadi membantu Nyai Jambrong.
Termasuk demit berwujud ular yang mencoba menyerang Mbah Wira.
Aku sudah bersiap akan hal ini dan melancarkan mantra pelindung untuk Mbah Wira. Dan ketika menyadari serangan makhluk itu tidak dapat menyentuhnya, Mbah Wirapun mencari keberadaan kami.
“Mbah Wira… Ke sini!” Bisikku sambil mendekat ke jangkauan penglihatanya.
Melihat keberadaanku , Kakek tua itu segera berlari meninggalkan kawananya dan menghampiri kami.
“Mas Danan… Kenapa kalian bisa di sini?” Tanya Mbah Wira.
“Sudah mbah… kita tinggalkan tempat ini dulu” Perintahku pada Mbah Wira yang dengan sukarela mengikuti permintaan kami.
Dari jauh terlihat tubuh nyai jambrong yang keracunan tenggelam oleh tanah yang melunak karena ilmunya sendiri.
Kami bersembunyi di sebuah goa , cukup jauh dari lokasi pertempuran dengan senter yang kami bawa sebagai penerangan.
“Mbah Wira.. bagaimana Mbah Wira bisa ada di sini?” Tanyaku padanya.
“Benar mbah… terus kondisi Mbah Wira sendiri bagaimana?” Cahyo terlihat cemas mengingat saat terakhir meninggalkanya di hutan Mbah Wira sudah kembali ke tubuh renta nya.
“Sudah.. sudah biar saya jelaskan, sebelumnya saya ijin berkenalan dengan Bapak ini..” Ucap Mbah Wira.
“Saya Pakleknya mereka mbah… saya sedikit tau cerita tentang Mbah Wira dari mereka” Jawab Paklek dengan ramah , sepertinya Paklekpun tidak merasakan niat jahat dari Mbah Wira, tidak seperti orang-orang sakti di tempat tadi.
Mbah Wira mulai menceritakan maksudnya. Rupanya Mbah Wira juga mendapatkan potongan kayu seperti yang kami miliki.
Hal itu menyebabkan Hutan tempat imah leuweung berada didatangi orang-orang sakti berilmu hitam yang mencoba menyerangnya.
Ketika orang sakti itu mulai meresahkan Desa Sukmajaya, Mbah Wira meninggalkan hutan hingga giliran nyai jambrong yang muncul berpapasan dengan Mbah Wira.
Rupanya Nenek tua itu sedang mengumpulkan orang-orang sakti untuk mengalahkan Musuh besarnya si penari ludruk itu.
“Menurut saya, satu-satunya makhluk yang bisa mengalahkan penari ludruk itu hanyalah nyai jambrong ini.. saya mengikutinya hingga tiba di pertarungan ini” Cerita Mbah Wira.
“Jadi Mbah Wira sudah tau petunjuk untuk mengalahkan Demit itu?” Tanya Cahyo yang semakin tidak sabar.
Dengan muka yang musam, Mbah Wira mulai melanjutkan ceritanya.
“Ludruk topeng ireng itu dulunya dibentuk oleh sekelompok keluarga yang berisi orang-orang sakti untuk membasmi wabah demit yang menyerang desa-desa.
Namun setelah selesai menjalankan misi itu, sang pemeran ludruk itu malah berbalik menyerang dengan seluruh demit yang berhasil ia kumpulkan dengan tubuhnya sebagai ‘wadah’.
Rupanya pemain ludruk itu merupakan keturunan dari keluarga yang sangat jahat dan menyimpan dendam terhadap keluarga tersebut.
Sebelum sempat mencelakai desa, Kesepuluh orang sakti itu mengalahkan Pemain Ludruk itu dengan menggunakan sepuluh pusaka sakti dengan Ingon dari berbagai alam.
Entah bagaimana ceritanya , tiba-tiba pemain ludruk itu muncul lagi dengan wujud demit.
Untuk mengumpulkan kekuatan kembali ia berkeliling ke desa-desa terpencil dengan kedok pementasan ludruk untuk mencari tumbal hingga kekuatanya sebesar ini.”
Cukup panjang informasi yang didapat oleh Mbah Wira, akhirnya Cahyopun tau asal-usul makhluk yang membantai desa dan orang tuanya.
Aku menepukan tanganku di bahu Cahyo sekedar untuk menenangkanya dari ingatan akan desanya.
“Mbah… lalu kesepuluh pusaka itu?” Tanya Paklek yang penasaran.
“Kesepuluh pusaka itu tidak diketahui keberadaanya, namun tidak menutup kemungkinan ada pusaka lain yang bisa mengalahkanya..” Ucap Mbah Wira sembari mengeluarkan kujang yang berada di ikatan pinggang.
“Ini kujang Lingga Cakra peninggalan keluarga saya, kemampuan tusukanya bisa berlipat ganda ketika saya bacakan mantra leluhur…
seandainya ada kesempatan mendekati makhluk itu, mungkin saja benda ini bisa mengalahkanya” Jelas Mbah Wira.
Aku menunjukan Keris Ragasukmaku pada Mbah Wira.
“Ini keris raga sukma, memiliki wujud fisik dan wujud ghaib.. wujud ghaibnya bisa memisahakan saya dari tubuh fisik dengan membawa serta keris ini.. apa kemampan ini bisa berguna mbah?” Tanyaku.
Belum sempat menjawab , giliran Paklek mengeluarkan kerisnya yang memiliki ukiran khas kerajaan yang mirip dengan keris ragasukma.
“Ini Keris Sukmageni… keris ini bisa merubah tetesan darah saya menjadi api yang bisa menyembuhkan” Jelas Paklek yang ingin mendapatkan informasi lebih dari Mbah Wira.
Mbah Wira memperhatikan pusaka kami dan mencoba mencari cara untuk melawan dengan semua peluang yang kami miliki.
“Nek iki pusakaku… Sarung Rojo Ketek! Ambune iso nggawe demit-demit mabur!” (Kalau ini pusakaku… sarung raja monyet! Baunya bisa bikin setan-setan kabur) Ucap Cahyo yang tidak mau kalah dengan pusaka-pusaka kami.
Paklek mulai tertawa melihat tingkah Cahyo.
“Iyoo.. aku ngerti, diantara pusaka kita ini pusakamu yang paling hebat..! sarungmu itu udah nyelamatin nyawa kami berkali-kali lho” Ucapku padanya.
Aku ingat sekali bagaimana sarung kebanggaanya itu berhasil membantu melawan Lelepah , dan barusan juga sarung itu menyelamatkanku dari demit bocah peliharaan kakek sakti tadi.
Rupanya guyonan Cahyo tadi juga membuat Mbah Wira memikirkan sesuatu.
“Benar.. dengan bantuan kalian dan pusaka yang ada mungkin saja kita punya kesempatan mengalahkan makhkuk itu…” Ucap Mbah Wira.
“Lantas seandainya kita bisa mengalahkan makhluk itu, bagaimana dengan Nyai Jambrong dan pengikutnya” Balas Paklek yang khawatir dengan kebuasan Nyai Jambrong.
“memang pilihan yang sulit, nyai jambrong adalah makhluk yang haus akan kekuatan ia bahkan bisa dengan mudah membunuh siapapun yang mencari masalah denganya… Namun ia masih seorang manusia yang memiliki kelemahan” Jelas Mbah Wira.
Cahyo terlihat memikirkan sesuatu.
“Benar Paklek.. Nyai Jambrong masih memiliki cucu buyut di desa yang saya datangi, sepertinya masih lebih baik daripada membiarkan Setan Ludruk itu menang”
Kali ini Cahyo mencoba menyampaikan pendapatnya.
Ucapan Cahyo membulatkan tekad kami untuk mempertaruhkan nyawa mengalahkan penari ludruk itu dan akhirnya sebuah rencana berhasil kita siapkan.
Dari dalam hutan terdengar suara tertawa nyai jambrong yang telah bangkit kembali setelah dikalahkan oleh Kutukan Topo Ulo.
Kami segera menghampiri mereka dan melihat orang-orang sakti yang membantu nyai jambrong kini telah terkapar..
hanya tersisa Nyai Jambrong sendiri di hadapan Ratusan demit.
“Nyai… kami akan membantumu” Ucap Mbah Wira yang mendekat disusul dengan Cahyo dan Paklek yang berada di belakangnya.
“Kowe!! Kowe Bocah Ketek sing nulungi Arum cucuku?” (Kamu! Kamu anak monyet yang menolong Arum cucuku?) ucap Nyai Jambrong yang masih ingat dengan wajah Cahyo.
“Iyo Nyai.. aku durung sempet bales tendangan Nyai kmarin” Ucap Cahyo yang sudah bersiap dengan Roh Wanasura yang merasuki dirinya.
“Kowe Ra Wedi nek tak pateni sakwise ngalahke demit kuwi?” (Kamu tidak takut jika kubunuh setelah mengalahkan setan itu?) Ancam Nyai Jambrong.
“Yo Wedi… Jelas Takut, Tapi sekarang musuh kita sama.. Pemain Ludruk itu sudah membunuh Orang tua dan seluruh warga desaku.. Pertarungan kita kita urusin nanti” Ucap Cahyo.
Nyai jambrong menoleh ke arah bocah yang berlagak sok kuat di sebelahnya.
“Khi..khi…khi… Aku suka bocah yang terbakar dendam , tapi jangan salahkan aku jika kamu mati” Lanjut Nyai Jambrong.
Mendengar hal itu aku maju mendahului mereka.
“Nyai .. Topo Ulo biar menjadi urusanku, aku sudah pernah mengalahkanya sekali…”
Sekali lagi aku memisahkan sukmaku dari raga. Paklek tetap dibelakang menjaga tubuhku dengan merapalkan Geni Baraloka yang mampu mencegah sukmaku terhisap ke tubuh pemain ludruk itu, begitu juga pada Cahyo untuk menghindari ilmu hitam yang mampu membangkitkan dendamya lagi.
Masih dengan pemandangan ratusan demit yang tenggelam oleh ilmu Nyai Jambrong, aku melayang menuju Topo Ulo Sementara Nyai Jambrong langsung menerjang ke arah pemain Ludruk yang masih menari dengan santai.
Kabut hitam kembali mengelilingiku dengan Topo Ulo yang bersiap menghunuskan keris padaku.
Hantaman keris yang beradu kembali menciptakan benturan besar yang bahkan dapat mementalkan demit-demit yang mencoba ikut campur.
Cahyo seorang diri menahan sisa-sisa demit yang tidak tenggelam dan mencoba membuka jalan untuk Mbah Wira.
Di Satu sisi, Penari ludruk itu sudah sibuk dengan serangan-serangan dari Nyai jambrong terlihat jelas ilmu bela diri mereka hampir mencapai taraf yang sama.
Pertarunganku kali ini cukup mudah, Topo Ulo yang kesadaranya dikendalikan oleh Ludruk itu tidak sehebat saat ia masih hidup.
Tak butuh lama hingga aku berhasil menusuk jantungnya hingga keberadaanya benar-benar menghilang.
Segera setelah mengalahkan Topo Ulo aku kembali ke ragaku dan bersiap maju bersama Paklek untuk membantu Cahyo.
Paklek menggoreskan jarinya pada keris sukmageni dan merubah tetesan darahnya menjadi Geni Baraloka yang cukup besar, Sebuah kobaran api yang mampu menenangkan roh-roh penasaran yang saat ini menjadi pengikut Demit ludruk itu.
Bersama dengan Paklek kami melemparkan serpihan-serpihan api itu hingga semua Roh penasaran diantara pasukan demit itu hilang dan tersisa siluman-siluman yang jadi lawan Cahyo.
Keadaan mulai berbalik, dengan jumlah pengikut yang semakin berkurang Demit ludruk itu semakin kewalahan dengan serangan Nyai Jambrong.
Tak mau melewatkan kesempatan , Mbah Wira menusukan Kujang pusaka Lingga Cakranya tepat di punggung Penari ludruk itu hingga terlihat darah hitam menetes dari luka dan mulutnya.
“AAAaarrrrrhhh…. “ Suara pemain ludruk itu terdengar kesakitan. Sayangnya tak lama setelahnya suara erangan itu berubah menjadi tawa.
“Ha…ha….ha…..
…Wis Wayahe..” (Sudah saatnya)
Ucapnya masih dengan kujang Mbah Wira yang menusuk di punggungnya.
Angin berhembus kencang seolah udara di sekitar kami terhisap oleh sesuatu. Terlihat garis maya tepat dia atas panggung ludruk itu.
Mbah Wira mundur ke arah Paklek meninggalkan pusakanya yang masih tertancap di tubuh pemain ludruk itu.
“Itu… Itu Gerbang Jagad Segoro Demit !” Ucap Mbah Wira.
Paklek menarik Geni Baralokanya dan mencoba menahan retakan dimensi yang memunculkan wujud berbagai macam demit. Sayangnya.. itu sama sekali tidak berguna.
Berbagai macam makhluk keluar dari lubang itu, naluri makhluk halus itu membuatnya tertarik dengan getih anget yang dimiliki penari ludruk sehingga segera bergegas merasukinya.
Dengan banyaknya demit yang merasuk luka yang dibuat oleh Mbah Wira dan Nyai jambrong menutup sepenuhnya dan bahkan meningkatkan tenaganya menjadi berlipat-lipat.
“Danan… ! Jangan biarkan Demit itu masuk ke celah itu!” Teriak Paklek.
Namun terlambat, dengan tubuhnya yang semakin kuat Penari ludruk itu melompat kedalam celah itu untuk mengumpulkan pasukan-pasukan yang lebih mengerikan.
Aku dan Cahyo segera berlari mengejarnya , Namun tiba tiba sebuah pukulan keras dari makhluk yang mengamuk menghalangi kami.
Kami menoleh mencari kebaradaan makhluk yang mampu memberikan serangan sekuat ini.
“Danan.. Itu Nyai Jambrong!” Ucap Cahyo yang kaget.
Tidak seperti tadi, aliran kekuatan dari Celah Jagad segoro demit merasuki tubuh Nyai Jambrong hingga kehilangan kesadaranya. Saat ini Nyai Jambrong mengamuk seperti hewan buas tanpa kendali.
“Itu Ajian Segoro demit… sama yang dimiliki oleh eyang widarpa saat masih hidup” Ucap Paklek.
“Terus kita harus bagaimana Danan?” Teriak Cahyo yang jelas terlihat panik.
“Kalian susul Demit ludruk itu.. biar kami mencari cara menghentikan Nyai Jambrong” Teriak Paklek.
Aku tidak setuju, Kekuatan bela diri Paklek tidak sekuat Cahyo apalagi kondisi Mbah Wira sudah sangat lemah.
“Pergi Danan! Hanya kalian berdua yang punya kesempatan mengalahkan Demit itu.. aku akan mencoba meminta satu bantuan lagi” Teriak Mbah Wira.
Nyai Jambrong yang semakin menggila akhirnya menyadari posisi Paklek dan Mbah Wira. Namun sebelum sempat menyerang, sebuah benda jatuh dari langit dan melukai Nyai Jambrong.
Benda itu terus mengejar menyerang Nyai Jambrong yang kesetanan.
Setelah memperhatikan beberapa lama aku mulai menyadari wujud benda itu.
“Itu mata tombak Candramukti..” Aku tersenyum melihat keberadaan pusaka itu yang ternyata masih mau membantu kami.
Dengan adanya pusaka itu, Aku memutuskan untuk meninggalkan Paklek dan menyusul Demit ludruk itu, Namun untuk memastikan keselamatan mereka ada satu hal yang harus kulakukan.
Aku meletakan Keris Ragasukma diantara dahi dan merapalkan mantra yang diturunkan oleh leluhurku.
..
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...
...
Mendadak langit menjadi gelap , hujan turun begitu deras dan sekarang di hadapan kami muncul telah muncul sesosok mahkluk….
(Bersambung Part Terakhir)
siapa tau ada yang mau baca duluan part akhir atau sekedar support part akhir dari cerita ini di
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap & menggoda, yg konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yg hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
#bacahorror
“Bercintalah hingga tubuhmu lelah meraba gairah yang hampa, mabuklah sampai setiap tegukan menjadi sia-sia, bersenang-senanglah sampai tawa tak lagi meninggalkan gema. Lalui semuanya… hingga yang fana kehilangan maknanya, dan jiwamu terlepas dari jerat dunia. Itulah saat ketika kesempurnaan menampakkan wajahnya yang sunyi.
Sabda Pangiwa bukan sekadar petuah. Ia adalah jalan terlarang, gelap dan menggoda, yang konon bisa menuntun manusia pada puncak kesempurnaan. Namun, tak sedikit yang justru hancur sebelum sampai, tertelan oleh bayang-bayang jalur itu sendiri…”
Sosok pria misterius muncul dengan membawa sebuah keranda. Dengan tubuh yang penuh goresan mantra dan topeng bujang ganong menutupi wajahnya, ia menantang wahah terakhir Triyamuka Kala..
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor
Beberapa saat sebelumnya…
Seorang pemuda berambut gondrong berjalan perlahan dengan ransel tergantung di satu pundak. Matanya menyapu sekeliling, mengamati jalanan tanah yang lengang dan rumah-rumah panggung yang tampak asing.
Di kejauhan, debur ombak terdengar samar, desa ini berada di pesisir timur, namun Tegar sama sekali tidak tahu namanya.
Seorang pria paruh baya dengan kulit legam baru saja menurunkan jaring dari sepeda motornya. Ia mengernyit saat melihat Tegar.
“Lho… jarang-jarang desa kami kedatangan orang baru,” sapa pria itu ramah.
Tegar menggaruk kepalanya, kebingungan. “Saya juga nggak niat ke sini, Pak. Tadinya numpang truk barang ke Surabaya… tapi ketiduran. Tahu-tahu diturunin di jalan besar sana.”
Pria itu tertawa pendek. “Bisa-bisanya nyasar sampai sini. Nama sampean siapa?”
“Tegar, Pak. Asal saya dari selatan Jawa Timur.”
“Wah, jauh juga. Saya Pak Unggul. Ayo duduk dulu. Jalanan sepi kalau siang begini.”
Tegar duduk di kursi panjang dari bambu di depan rumah Pak Unggul. Angin laut bertiup pelan membawa aroma garam dan sesuatu yang lain—bau amis, atau mungkin asap dari tungku pembakaran.
“Kalau mau balik, besok aja, Mas Tegar,” lanjut Pak Unggul. “Kendaraan umum cuma lewat sampai jam dua belas siang. Setelah itu, sepi.”
“Lho, nggak bisa nyegat bus di jalan besar?”
Pak Unggul tersenyum, matanya menatap kosong ke arah hutan. “Coba aja kalau mau nekad. Tapi masnya pasti lihat sendiri tadi, kan? Jalanan sepi, hutan kiri kanan. Malam... gelap total.”
Tegar terdiam. Ia tidak ingin bermalam di tempat asing, tapi kenyataan memaksanya.
“Sudahlah. Nginep aja di sini. Nggak usah sungkan,” ujar Pak Unggul sambil berdiri.
Siang itu, Tegar memutuskan berjalan keliling desa. Ia melihat kehidupan sederhana para nelayan—menjemur ikan, memperbaiki jaring, memanggul ember-ember besar ke perahu. Tapi ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti.
Sebuah perahu kecil merapat ke dermaga, membawa dua ekor ikan tuna raksasa.
Tegar mengernyit. Alat tangkap mereka tampak sangat sederhana. Jangankan alat berat, jala pun tampak rapuh.
Ia mendekat. Di sudut kapal, ia melihat kembang tujuh rupa, kemenyan, dan sebuah tungku tanah kecil. Aromanya menusuk.
“Pak, ikan segede itu ditangkap pakai apa? Nggak mungkin jala, kan?” tanya Tegar, heran.
Seorang nelayan tertawa pendek. “Mas baru pertama kali ke sini, ya?”
“Iya, baru nyasar tadi.”
“Ikan ini nggak bisa dijala atau dipancing, Mas.”
“Lha terus... gimana nangkapnya?”
“Disantet.” jawab nelayan itu tenang sambil menurunkan ikan bersama rekannya.
“Disantet?” Tegar mengulang pelan, tak yakin ia mendengar benar.
“Iya. Disantet dulu, baru ngambang. Habis itu tinggal dinaikkan ke kapal,” jawab nelayan lain dengan nada biasa, seperti menjelaskan cara menanak nasi.
Tegar menyingkir. Tubuhnya merinding. Tapi yang lebih aneh, warga desa tidak tampak takut atau tabu saat menyebut kata ‘santet’. Seolah itu bagian dari rutinitas harian.
Menjelang malam, Tegar kembali ke rumah Pak Unggul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat keramaian menuju pantai. Obor-obor menyala, wajah-wajah warga tegang. Tegar mengikuti mereka.
Sesampainya di tepi laut, Tegar melihat beberapa kapal nelayan terdampar di pasir. Suasana sunyi, hanya suara ombak dan isak tangis yang terdengar.
“Mati... mereka semua mati...” gumam seorang ibu dengan suara gemetar.
“Siapa?” tanya Tegar pelan pada orang di sebelahnya.
“Nelayan yang pergi tiga hari lalu. Baru balik... tapi begini.”
Tegar mendekat. Di depan matanya, jasad-jasad nelayan terbujur kaku. Tubuh mereka utuh, tidak ada luka. Namun... mata mereka, hilang. Hanya rongga kosong yang tersisa.
“Tidak ada tanda pukulan, tidak ada luka. Tapi matanya... dicungkil, entah oleh apa…” bisik salah satu warga.
Paklek tiba di desa Ki Satmo. Kemunculan pusaka kadewatan disana membawa petaka yang mengerikan, namun hanya tempat itu yang bisa menghubungkan paklek dengan Pusakayana...
Cahaya putih menyilaukan mata. Dalam sekejap, lambang mandala yang menyatu di telapak tangan Danan dan Cahyo lenyap begitu saja—dan bersama cahaya itu, tubuh mereka terpental kembali ke zaman di mana ratusan nyawa dipertaruhkan hanya dalam satu kedipan mata.
Langit berwarna kelabu. Udara mencekam.
Di hadapan mereka, samar-samar tergambar satu pertarungan yang bergerak begitu lambat yang berat sebelah.
Bli Waja, berdiri tegak meski tubuhnya mulai koyak, ia berusaha menahan satu wajah dari makhluk terkutuk itu, Sang Triyamuka Kala yang berusaha lepas dari penjara waktu Bli Waja.
Danan mendongak, menatap salah satu wajah yang sebelumnya berhadapan dengannya. Kini ia tahu, wajah itu tak lain adalah perwujudan jahat Sang Hyang Talapraja.
Waktu terhenti saat akar-akar dari wajah itu berhenti tepat saat akan menembus roh Nyi Sendang Rangu.
“Danan… kau berhasil?” Sebuah suara akrab menyela keheningan.
Cahyo. Ia muncul dari sisi lain, tubuhnya terluka tapi matanya bersinar.
“Semoga saja… pusaka ini yang dimaksud,” jawab Danan sambil menggenggam erat belati tulang putih di tangannya.
Kembang Getih… Itulah yang semula Cahyo kira sebagai satu-satunya masalah di desa ini.
Sebuah bunga merah darah yang tumbuh diam-diam dari tanah bekas kematian, dan dengan cara yang mengerikan, menghidupkan kembali roh-roh warga yang mati mengenaskan.
Namun kini, Cahyo mulai sadar, ini bukan sekadar kutukan. Ini adalah luka dari masa lalu yang dibiarkan membusuk terlalu lama.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Cahyo bertanya, suaranya pelan namun tegas, mencoba memecah kebisuan yang menggantung berat di udara pagi.
Kerta berdiri mematung menatap arah desa, sementara Mbah Wongso duduk bersila di tanah, berusaha mengatur napas yang sejak tadi memburu. Ada duka dalam matanya, namun juga tekad yang mulai menyala kembali.
“Kita nggak mungkin kembali ke desa, kan?” Kerta akhirnya bersuara. “Berarti tujuan kita cuma satu.” Ia menoleh ke arah hutan, tempat dimana Kembang getih mekar.
“Jadi… saat ini kita tetap akan cari cara untuk menghentikan kutukan Kembang Getih itu?” tanya Mbah Wongso pelan.
Cahyo menggeleng pelan. Ada sesuatu yang menahannya untuk ikut menyepakati itu.
“Yakin, Mbah? Walaupun kutukannya dihentikan… aku nggak yakin mereka, para warga itu, akan benar-benar berhenti menyembah iblis Raden Reksomayit itu.”
Ucapannya bukan sinis—melainkan getir. Ia tahu betul bahwa dosa manusia lebih dalam dari sekadar bunga terkutuk. Dosa yang lahir dari rasa takut… atau haus akan pemuas nafsunya.
Mbah Wongso terdiam. Lama. Lalu mengangguk, pasrah tapi mantap.
“Lambang mandala Mbah... muncul demi menghentikan kutukan itu. Kalau itu jalannya, maka itu yang akan Mbah tempuh.”
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Cahyo tepat saat ia tersadar. Dadanya sesak, seakan ditindih batu. Napasnya terengah, dan dunia di sekelilingnya berputar perlahan. Dalam kepalanya, gema suara Bli Waja masih terngiang..
“Kau harus mencari cara mengalahkan satu wajah Triyamuka Kala. Waktu di tempat Wanasura akan berhenti—tapi hanya untuk sementara.”
Mata Cahyo menatap ke telapak tangan kanannya. Simbol mandala yang samar-samar berpendar di sana seperti hidup, denyutnya seirama dengan jantung Cahyo. Ia menggertakkan gigi dan berbisik..
“Wanasura... Aku pasti akan kembali sebelum waktu kembali berjalan...”
Cahyo berdiri perlahan. Sekelilingnya gelap dan sunyi. Di balik bayang-bayang pepohonan, rerumputan tinggi bergoyang ditiup angin malam yang dingin menggigit. Jauh di kejauhan, kilauan api samar menyala.
“Desa?”gumamnya, penuh ragu.
Semakin ia mendekat, nyala itu bertambah jelas—bukan cahaya lampu listrik, melainkan obor dan lampu minyak. Cahyo melangkah ke dalam sebuah desa tua yang tersembunyi di antara pepohonan, rumah-rumahnya berjauhan, terhubung hanya oleh jalan tanah setapak yang dipenuhi lumut.
Tak ada kabel. Tak ada suara mesin. Hanya desir angin dan bunyi dedaunan. Cahyo menyadari bahwa ia berada di zaman yang jauh di belakang.
Atmosfer terasa ganjil. Udara seperti lebih berat. Setiap langkah menimbulkan rasa tidak nyaman. Saat itulah ia mulai melihatnya—satu per satu...