Meskipun bukan tuan rumah, tetapi sebagai daerah penyangga, Sumedang antusias memeriahkan Muktamar dengan menyiapkan hal yang tidak biasa: menyiapkan kuda renggong khas Sumedang untuk menyambut dan mengarak Rois ‘am PBNU, KH Wahab Chasbullah.
Begitu tiba di Stasiun Hall, Rois ‘Aam PBNU KH Wahab Chasbullah dinaikkan dan diarak di atas kuda dengan diiringi gamelan sunda (kuda renggong) sampai ke Tegallega, arena dilaksanakannya Muktamar. Jarak dari Stasiun Hall ke Tegallega lumayan jauh, sekitar 6 km.
”Hadrotus Syaikh Wahab Chasbullah naek kuda renggong ti Statsion Hall dugi ka Tegallega. Nu ngigeulan na bapa si Endi (KH Abdul Karim) jueng Ajengan Ukhri ti Sumedang namah...
Ngan pinuh weh urang Bandung ge ngilu ngigeul. Mama syatibi, bapa urang (KH Falah), jeng Urang keprok nuturkeun ditukang,” kenang KH Idad Isti’dad sambil tertawa.
(Hadrotus Syaikh Wahab Chasbullah dinaikan ke kuda renggong (Kuda yang diiringi tabuhan dan tarian/Kesenian khas Sumedang) dari Stasiun Hall Bandung sampai ke Tegallega. Yang nari bapak nya endi, Didi Suhrowardi, (KH Abdul Karim) dan Kiai Ukhri. Mama Syatibi, bapak saya,..
dan saya tepuk tangan, mengikuti irama gamelan dan tarian dari belakang.)
Awal mula pengiriman kuda renggong ke Arena Muktamar NU tersebut diwarnai perdebatan di antara pengurus NU di Sumedang. Ketua Tanfdziah NU pada saat itu, KH Ahmad Falah (Mama Falah) kurang setuju.
Namun dengan kebijakan dari KH Mohammad Syatibi, semua pengurus bisa sepakat untuk mengirimkan Kuda renggong untuk memeriahkan Muktamar NU di Bandung.
“Aya rapat dua kali persiapan Muktamr ka Bandung jaman harita. Rapat kahiji di MIS (Madrasah Islamiah Sumedang, Madrasahnya Mama Syatibi). Nu kaduana di Cikoneng, Al Falah.
Pondok pesantren Mama Falah. (Ada rapat dua kali persiapan muktamar ke Bandung pada saat itu. Rapat pertama di MIS dan Yang Kedua Di Al Falah Cikoneng),” sambung Kang Idad.
Kang Idad saat itu baru kelas 2 SD dan selalu diajak Mama Falah dalam setiap kegiatan karena kenakalan masa kecilnya selalu mengganggu dua adik perempuannya.
Berada dalam pangkuan Bapaknya selama rapat, Kang Idad masih ingat bagaimana perdebatan yang terjadi dalam rapat tersebut
“Wa Ima : Nyumbang naon nya Mama urang teh Muktamar NO teh?. Tadina mah abdi teh Hoyong nyumbang kuda renggong (Kira-kira menyumbang apa ya Mama untuk Muktamar NO? Kalau menyumbang kuda renggong bagaimana?)”
“Mama Falah: ah sia teh, barang bere sagala ngewa teuing si teh Ima, jeung kuda renggong sagala deih era. (Ah kamu Ima, mau ngasih segala tidak perlu, apalagi mau nyumbang kuda renggong, malu).”
“Mama Syatiby: Tah Alus eta kuda renggong. Taroskeun ka ketua Lesbumi anjeuna gaduh kuda renggong di Talun. (Nah itu bagus, coba tanyakan ke ketua Lesbumi yang punya kuda renggong di Talun).”
Dan berangkatlah pengurus NU Sumedang ke Muktamar Bandung dengan membawa kuda renggong. Muktamar Bandung sendiri adalah muktamar terakhir yang dihadiri KH Wahab Chasbullah.
Sedianya Muktamirin memilih KH Bisri Syansuri, tetapi beliau mundur karena merasa tidak pantas dan menyerahkan jabatan Rois ‘am kepada yang lebih tua yaitu KH Wahab Chasbullah.
“tah ieu mah kisah nu masih terngiang dina sirah (Ini adalah kisah yang masih terus terngiang di kepala),” Kang Idad menutup kisahnya.
Tidak banyak dokumen yang menjelaskan sosok Sutisna Senjaya atau Pak Sutsen. Di antara yang sedikit itu adalah buku Awal Berdirinya NU di Tasikmalaya karya H.A.E. Bunyamin, terbit tahun 2000.
Pada halaman 39-41 buku tersebut, terdapat fragmen mengenai Pak Sutsen. Pada awal 1930-an, Pak Sutsen adalah tokoh terpandang di Tasikmalaya. Ia tokoh Paguyuban Pasundan dan mengajar di HIS Pasundan.
Ia mengelola koran Sipatahoenan yang menjadi corong organisasi pertama orang Sunda itu. Ia juga menjadi anggota Dewan Kabupaten.