Tidak banyak dokumen yang menjelaskan sosok Sutisna Senjaya atau Pak Sutsen. Di antara yang sedikit itu adalah buku Awal Berdirinya NU di Tasikmalaya karya H.A.E. Bunyamin, terbit tahun 2000.
Pada halaman 39-41 buku tersebut, terdapat fragmen mengenai Pak Sutsen. Pada awal 1930-an, Pak Sutsen adalah tokoh terpandang di Tasikmalaya. Ia tokoh Paguyuban Pasundan dan mengajar di HIS Pasundan.
Ia mengelola koran Sipatahoenan yang menjadi corong organisasi pertama orang Sunda itu. Ia juga menjadi anggota Dewan Kabupaten.
Dikisahkan ia tertarik dengan pengajian yang diselenggarakan oleh Ajengan Otong Hulaemi (Pak Emi). Karena ingin belajar lebih mendalam, Pak Sutsen memberi jadwal kepada Pak Emi agar bisa mengajar di HIS Pasundan.
Dengan demikian, ia bisa sering bertemu dengan guru ngajinya itu. Di sela-sela waktu kosong dari mengajar, Pak Sutsen belajar selayaknya santri pemula. Terkadang ia menghafal pelajaran nahwu-shorof dengan suara keras dan terdengar oleh siswa-siswi HIS.
Tetapi Pak Sutsen tidak merasa malu karenanya. Melihat kesungguhan Pak Sutsen belajar ngaji, tokoh-tokoh NU kemudian mendatanginya dan memintanya untuk menjadi Ketua NU Cabang Tasikmalaya.
“Piraku Ketua NU sim kuring, jalma baragajul?” komentar Pak Sutsen. (Masak yang jadi ketua NU orang sembarangan seperti saya?)
Namun para ajengan NU waktu itu bulat menghendaki Pak Sutsen sebagai Ketua dan KH. Syabandi sebagai rais syuriyah.
Pak Sutsen menerima permintaan itu dengan syarat ia dibantu oleh Pak Emi sebagai sekretarisnya. Dengan pengalaman panjang berorganisasi, Pak Sutsen menata kelembagaan NU Tasikmalaya secara modern. .
Setiap anggota mempunyai kewajiban membayar iuran bulanan. Jika tidak lagi membayar, maka keanggotaannya dinyatakan gugur.
Salah satu warisan terbesar Pak Sutsen adalah majalah mingguan Al-Mawaidz yang mulai terbit pada Agustus 1933.
Majalah ini bertahan hingga 1936 dan koleksi lengkapnya masih tersimpan dengan baik di Perpustakaan Nasional dalam empat jilid. Banyak informasi menarik dalam dokumen Al-Mawaidz ini, antara lain perjalanan utusan Tasikmalaya menuju Mukatamar Banjarmasin pada 1936.
Sekalipun kisahnya tidak utuh karena majalah ini tak berlanjut terbit, tetapi tuturan kisahnya sangat hidup. Pada muktamar itu Pak Sutsen menjadi salah seorang notulen persidangan.
Pak Sutsen lahir di Wanaraja Garut, 27 Oktober 1890. Ia menyelesaikan Kweekschool (6 tahun), mengikuti kursus bahasa Belanda (2 tahun) dan mengaji (5 tahun). Dari 1911-1945 ia menjadi guru.
Setelah kemerdekaan, ia sempat menjadi Wakil Kepala Jawatan Agama Negara Pasundan (1949), Kepala Kantor Urusan Agama Jawa Barat (1951), Kepala Kantor Urusan Agama Jakarta Raya (1952).
Dari 1956-59 ia menjadi anggota Konstituante RI mewakili Gerakan Pilihan Sunda. Pada masa kolonial Belanda dan Jepang, ia menduduki berbagai jabatan baik di tingkat Tasikmalaya, Jawa Barat, dan nasional.
Pak Sutsen wafat pada 9 Desember 1961 dan dimakamkan di pemakaman umum Sirnaraga Bandung. Bagi anak muda NU yang ingin mengembangkan jurnalistik, Pak Sutsen adalah salah satu teladan terbaik.
Semoga kita dapat mengikuti jejaknya dalam mengabdi di lingkungan NU melalui kerja-kerja jurnalistik. Amin.
Meskipun bukan tuan rumah, tetapi sebagai daerah penyangga, Sumedang antusias memeriahkan Muktamar dengan menyiapkan hal yang tidak biasa: menyiapkan kuda renggong khas Sumedang untuk menyambut dan mengarak Rois ‘am PBNU, KH Wahab Chasbullah.
Begitu tiba di Stasiun Hall, Rois ‘Aam PBNU KH Wahab Chasbullah dinaikkan dan diarak di atas kuda dengan diiringi gamelan sunda (kuda renggong) sampai ke Tegallega, arena dilaksanakannya Muktamar. Jarak dari Stasiun Hall ke Tegallega lumayan jauh, sekitar 6 km.