[Utas] Kisah Gus Miek dan Masuk Islamnya Orang Tionghoa
Dulu, ada seorang warga Tionghoa bercerita kepada ayah, "Gus Miek itu luar biasa..." begitu kalimat yang pertamakali ia ucapkan. Kemudian ia melanjutkan ceritanya:
"Saya dulu pernah menderita sakit komplikasi. Semua rumah sakit unggulan di Indonesia angkat tangan. Sampai saya mencoba berobat ke beberapa tempat di luar negri, namun hasilnya sama. Semuanya angkat tangan. Tak sedikit biaya yang saya keluarkan."
"Bahkan saya sudah putus asa, tak tahu lagi mau berobat kemana. Namun, di tengah keputusasaan saya, ada salah seorang tetangga yang menyarankan saya untuk mendatangi orang pinter di Jawa Timur. Antara yakin dan tidak yakin, saya berangkat mencari alamat yang ditujukan,"
kenang orang tersebut.
Lanjutnya, "Sesampainya di sana, dan bertemu orang pinter yang dimaksud, saya mengutarakan semua keluhan saya. Beliau hanya menyarankan beberapa hal yang menurut saya tak ada hubungannya dengan penyakit yang saya derita. Setelah itu saya pulang,
dan mempraktekan apa yang diperintah orang pinter itu. Meskipun sedikit tidak percaya."
"Beberapa bulan kemudian, saya ceck up ke dokter. Dan, betapa kagetnya dokter itu, tidak percaya bahwa penyakit saya sembuh total. Saya bahagianya bukan main," tuturnya sembari tersenyum.
"Kemudian, saya datangi lagi orang pinter tersebut dengan maksud berterimakasih. Setelah bertemu, saya tawarkan kepada beliau. 'Kiai, mau minta apa? Rumah? Mobil? Atau nominal uang? Terserah Pak Kiai'. Namun, beliau hanya berucap:
'Saya tidak membutuhkan apa yang Panjenengan tadi sebutkan. Saya hanya minta satu, Panjenengan masuk Islam. Bersyahadat'. Dan, dengan disaksikan beliau, saya bersyahadat dan mengikrarkan bahwa saya masuk Islam sampai sekarang."
Jarak setahun pasca didirikannya Nahdlatul Ulama (16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M), yaitu 1927, terdengar musibah besar yang menimpa Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Menantu yang sangat dicintainya telah kembali kembali ke Rahmatullah, Kiai Ma’shum Ali Kwaran. Wajar saja, jika Kiai Hasyim Asy’ari sangat bersedih sebab Pesantren Tebuireng semakin ramai kajian keilmuannya semenjak Kiai Ma’shum Ali bergabung dalam mengajar.
Ialah orang yg menggagas berdirinya Madrasah Salafiyah Syafi’iyah yang menelurkan ribuan ulama pada waktu itu.
Dengan meninggalnya Kiai Ma’shum Ali maka secara otomatis Nyai Khairiyah menjadi janda. Kiai Hasyim Asy’ari tidak ingin putri tertuanya tersebut larus dalam kesedihan,
[Utas]
Di Hadapan Mbah Kholil, Orang Sembuh Tanpa Sadar
Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit.
Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon).
Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.
Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata:
JAS HIJAU YG HILANG DI ORDE BARU
TKR pertama, Yang nanti menjadi TNI. Dan komandan divisi pertama TKR itu bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga masih Kyai, yakni kolonel KH. Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya).
Sampai tingkat resimen Kyai juga yang memimpin.
Fakta, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis. Di batalyon pun banyak komandan Kyai. Komandan batalyon TKR Malang misalnya, dipimpin Mayor KH. Iskandar
Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Suriyah NU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional, ada Sekretariat Negara dan TNI.
Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran Kyai.
1. “Apabila kalian ingin agar anak2 kalian menjadi anak yg cerdas dalam berfikir (tangkas), maka lazimkan agar banyak bergerak.” 2. “Apabila kalian ingin agar mereka menjadi anak yg sehat maka lazimkan agar bangun akhir malam.”
3. “Apabila kalian ingin agar mereka bercahaya hatinya dan pemahamannya terbuka, maka lazimkan agar sedikit makan dan rasa lapar.” 4. “Apabila kalian ingin agar mereka berakhlaq bagus maka lazimkan untuk berteman dgn teman yg bagus serta kalian jaga dari teman2 yg jahat.”
5. Apabila kalian ingin agar mereka memiliki rasa kasih sayang, maka lazimkan mereka untuk mencari ilmu di selain kampungnya dan carikanlah guru selain kalian.” 6. Apabila kalian ingin agar mereka menjadi anak yg shaleh, maka jgn kalian agungkan urusan dunia di hadapan mereka.”
Mbah Dullah (KH Abdullah Salam) Sewaktu akan memberi sambutan, tiba2 turun dari panggung, padahal didepan panggung sudah duduk para kiai, pejabat pusat maupun daerah dan ribuan santri maupun tamu undangan,
Mbah Dullah turun dan ngeloyor pergi menemui penjual dawet dipinggir jalan. Mbah Dullah dg ta’dzim menyapa penjual dawet dan mencium tangannya.
Ribuan pasang mata menyaksikan peristiwa itu, mereka bertanya-tanya siapakah penjual dawet ini, sampai mbah Dullah seorang kiai sepuh
dan kesohor waliyullah dari Kajen-Margoyoso, Pati, Jwa Tengah ini mencium tangannya. Setelah mencium tangan penjual dawet, mbah Dullah kembali lagi ke panggung dan berpidato dg singkat :
” Tawasul itu penting untuk nggandengkan taline gusti Allah,” sembari mensitir ayat .
G u s , adalah istilah Pesantren untuk menyebut anak kiai yang belum pantas dipanggil k i a i (walau sudah tua sekalipun, seperti halnya gus mus).
Boleh jadi setelah fenomena Gus Mik (KH. Hamim Jazuli) dan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), rahimahumãLlãh,
istilah/ sebutan itu menjadi berubah atau kacau. G u s menjadi semacam gelar yang sering dianggap lebih tinggi ketimbang k i a i . Maka hingga dukun pun --yang dulu suka menyebut diri sebagai Kiai atau Ki-- kemudian lebih suka dipanggil Gus. 😅
Dalam gambar: gus mus sedang nggedobos, membual, di hadapan putra-putra kiai yang mulai 'membingungkan' panggilan mereka (dipanggil g u s atau k i a i): Yahya Cholil Staquf bin KH. Cholil Bisri (PP. Leteh Rembang); Ahmad Sa'id bin KH. Asrori Ahmad (PP. Wonosari Magelang);