Ini adalah cerita Pengalaman dari "Sunar", pria yg berasal dari sebuah desa kecil di Temanggung, jawa tengah, yg kebetulan satu kota dengan saya..
Sunar menceritakan pengalaman yg ia alami saat berusia 9 tahun, ini adalah kisah nyata yg dialami oleh Sunar, belasan tahun yg lalu,
Waktu itu dia masih kelas 3 SD, Sunar masih ingat, hari itu ayahnya begitu marah setelah memergoki sunar tengah merokok.
Memang Sunar tumbuh di lingkungan yg sebagian besar orangnya menggantungkan hidupnya dari tembakau, membuatnya mudah untuk mendapatkan rokok, tapi tentu saja para orang tua akan marah melihat anaknya yg belum cukup umur sudah bermain dengan rokok..
Kembali ke cerita, setelah ayahnya memergoki dia merokok, Sunar yg ketakutan langsung berlari sekencang mungkin menuju ujung desa, tepat diantara hutan bambu yg menjadi penghubung desanya dengan desa sebelah terdapat area pemakaman desa yg cukup luas,
Sunar bersembunyi di sebuah "Cungkup" tak jauh dari pintu masuk pemakaman itu, Cungkup adalah tempat keranda dan alat-alat pemakaman diletakkan. Cungkup itu tak begitu luas, hanya sekitar 3x3 meter, berdiri tiang penyangga beton yg berwarna putih di ke empat sisinya,
Tingginyapun tak sampai satu meter, sehingga semua orang dapat melihat isinya dari jauh, apalagi di siang hari, di situlah Sunar bersembunyi, tepatnya di bawah keranda, sunar duduk disitu entah berapa lama sunar berada di sana.
Tapi disitu rasanya ketakutan sunar akan kemurkaan ayahnya sedikit berkurang, entah kenapa sunar merasa lebih tenang, semilir angin dan gemersik daun yg bergesekan membuat sunar mengantuk, dan terlelap.
-------------------
Dan kemudian
“Ngapa kowe nang kene?” — Ngapain kamu di sini?
Samar-samar ada suara yg membangunkan sunar, dia melihat sepasang kaki.
Dari suaranya, Sunar menduga ia adalah nenek-nenek.
Sosoknya membelakangi sunar dan hanya terlihat rambut putihnya disanggul dan dihias tusuk konde.
“Kabur, Mbah. Takut dimarahi ayah.” jawab Sunar.
“Mbok kowe tak jak dolan, ayo.” — Sini kamu kuajak main saja, ayo. Sahut sosok nenek itu.
Sunar mengangguk setuju. Tapi Sejujurnya, dia juga tidak tahu mengapa langsung mengiyakan ajak sosok tersebut, tapi Satu-satunya hal yang dipikirkan sunar : "aku tak mau ditemukan orang tuaku".
Walau Sayup-sayup Sunar mulai mendengar suara warga desa memanggil-manggil namanya.
Menurut cerita Sunar, Nenek itu mengajaknya naik ke atas keranda, Pelan-pelan keranda itu melayang, membubung tinggi dan melaju melewati desa. Terbang ke arah selatan**
Keluar dari gerbang desa, melewati pematang sawah dan terus melaju menuju ke arah gunung sumbing, sesekali sunar mencoba untuk melihat wajah nenek itu tapi tidak bisa, nenek itu selalu menengok ke arah lain, menghindari tatapan Sunar.
Sampai keranda yg dinaiki sunar pun mulai melayang rendah di sebuah desa yg berada di kaki gunung, sunar mendarat tepat di cungkup desa itu, menurut Sunar Awalnya, dari atas, hanya terlihat area pekuburan luas. Namun begitu Sunar mendarat, semuanya berubah menjadi pasar.
Pasar ini terlihat seperti pasar pada umumnya. Orang-orang berlalu lalang seperti biasa. Mereka berjual-beli dan tawar-menawar. Sama sekali tak ada makam-makam yang tadi Sunar lihat dari atas.
Sunar tak turun dari keranda, hanya melihat-lihat sekeliling sebentar.
“Ayo, tak jak nang nggon liyane.” — Ayo, kuajak ke tempat lain. Sosok nenek itu berbicara
Lagi-lagi disini Sunar tak menolak. Dia kembali terbang tinggi menuju arah selatan, ke kaki Gunung Sumbing, ke desa yang letaknya lebih tinggi. Sepanjang jalan, sunar hanya diam.
Dan sesekali Sunar masih berusaha mencuri lihat wajah sosok sang nenek. Tapi selalu gagal. Sunar hanya bisa melihat sanggul dan tusuk kondenya, sampai akhirnya Sunar kembali berhenti di cungkup desa berikutnya. Sama seperti di desa sebelumnya**
** saat mendarat, tiba-tiba area itu sudah berubah. Hanya, kali ini yang Sunar lihat bukan pasar, melainkan perumahan. Nenek itu mengajaknya turun dari keranda dan berjalan-jalan ke perumahan itu.
Nenek itu menyapa seorang ibu warga sekitar. Menurut sunar Tak ada yang spesial dari perempuan itu. Ia terlihat seperti ibu-ibu pada umumnya saja.
“Dik, mau ini? Ada ketan goreng,”
kata ibu itu sambil mengulurkan sepiring gorengan kepada Sunar.
“Emoh, aku wis wareg kok, wis wareg.” — Tidak mau, aku sudah kenyang, Jawab sunar.
Ibu itu tak memaksa. Setelah nenek dan ibu itu mengakhiri obrolan,Sunar & nenek kembali ke keranda dan terbang kembali ke cungkup desa tempat sunar tinggal.
Saat itu hari sudah gelap. Sunar mengira-ngira dia pergi kurang lebih selama tiga jam, karena Sunar kabur dari rumah saat masih sore, dan saat dia kembali belum tampak terlalu malam.
Sunar dan nenek itu duduk-duduk di atas keranda. Diam. Sementara Sunar masih mendengar warga desa memanggil-manggil namanya, tapi Sunar tak mengatakan apa-apa. Seorang tetangga bahkan sempat masuk ke cungkup dan mencarinya di dalam bangunan.
ia menggeser-geser ember yang ada di bawah keranda. memastikan Sunar tak ada di sana, diapun pergi dan lanjut memanggil nama Sunar. Padahal, jelas-jelas Sunar duduk di atas keranda. Sunar juga bisa melihat warga lain yang berlalu-lalang di area pemakaman,
mondar-mandir di depan cungkup. Tapi sepertinya, entah kenapa, mereka tak bisa melihatnya, dan..kemudian
"Jurnalis kumparan berburu Hantu Lampor. Menanyai Sunar, yg semasa kecilnya pernah diculik lampor. mereka juga mengulik asal usul hantu lampor. Bacaan yg menarik sekali!! Baca & berlangganan @kumparanplus untuk konten horor & konten menarik lainya kumparanplus.com
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Semua orang kini berada di halaman depan, yg beberapa saat kemudian, menyelip di antara bau busuk dan kegaduhan itu, suara tangisan yg cukup keras dan jelas, layaknya orang yang tengah merintih-
Mas Panggah dipapah ke atas ranjang, setelah itu istrinya pun keluar, mengunci pintu depan dan mengambil air putih yang segera diberikan kepada Mas Panggah yang kini tampak ling-lung. Kejadian itu terasa seperti mimpi,-
-kedatangan pocong yang ia duga adalah Mbah Darmo di malam ini, lebih ‘Keterlaluan’ dari pada malam-malam sebelumnya. (Sebelumnya bab 2).
4 hari berselang, berarti sudah 6 hari sepeninggal Mbah Darmo, suasana dusun Morotunggo ini pun menjadi mencekam, skala teror pocong yg diduga adalah almarhum Mbah Darmo itu kini meluas, merambah ke rumah2 warga.
Terhitung sampai hari ini tak ada yg tahu apa penyebab dari teror itu, Pak Faruq yg tempo hari juga sempat mengecek riwayat mendiang pun menemui jalan buntu, karena catatan keluarga Mbah Darmo diketahui sudah ikut hilang dalam peristiwa kebakaran kantor desa itu 10thn lalu.
Mbah Darmo yang meninggal, bangkit meneror, mengetuk, merintih dan menangis, mengelilingi dusun..
@menghorror @bacahorror @IDN_Horor
Jawa Tengah 1998,
Minggu terakhir di bulan mei, hampir bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan orde baru kala itu, ada kisah tak lazim yg berlaku di sebuah dusun kecil, sebut saja Dusun ‘Morotunggo’.
Semua berawal dari meninggalnya seseorang di dusun itu, yakni ‘Mbah Darmo’.
Ia meninggal karena penyakit TBC, cukup wajar, lagi pula umur beliau juga sudah cukup tua. Hanya saja, ada satu fakta yg menyedihkan, yakni Mbah Darmo yg meninggal dalam kesendirian, ia tak mempunyai-
Kali ini saya akan menceritakan sebuah pengalaman ganjil sekaligus ngeri dari seorang kerabat, yg bersaksi bahwa ia pernah tersesat di 'Pasar Setan', cerita ini terjadi sudah cukup lampau, yakni kisaran tahun 1994-95, tapi bagi nara-
-sumber, setiap detilnya masih membekas, bahkan menyisakan trauma yg cukup dalam.
*****
Jawa Tengah kisaran tahun 1994-95,
Pada suatu sore..
"Mbok dikirim besok pagi saja to Le". Kata seorang ibu kepada anaknya yg sedang menali 3 ekor kambing di atas mobil baknya.