Ada orang punya buku, orang lain meminjamnya dengan izin. Tanpa izin, namanya bukan peminjaman, tapi pencurian.
Klir, ya?
Usulan kubu “fraksi relijius” adalah menghapus frasa “tanpa persetujuan”. Jadi, SEMUA aktivitas seksual adalah kriminal.
Ada dua bantahanku di sini. Pertama soal logikanya:
Jika Anda punya buku, dan orang lain membawanya (baik izin atau tidak), maka itu masuk pidana pencurian.
Karena ini buku, jadi tidak ada bobot moralnya. Coba kita pindahkan ke aktivitas seksual:
“Jika pria-perempuan melakukan aktivitas seksual, baik dengan persetujuan atau tidak, maka masuk kategori kejahatan seksual.”
Ini tafsir sederhana jika frasa “tanpa persetujuan” dihapus.
Bantahanku:
Permendikbud itu soal kekerasan seksual, dimana sebuah tindakan disebut kriminal jika melewati batas persetujuan (ada korban & kerugian).
Selain itu, Permendikbud tidak akan menjawabnya.
Kenapa?
Bukan wilayah Permendikbud untuk menjawab.
Benar kata Ari Kriting semalam, seharusnya di Permendikbud ada pasal spesifik:
“Ini Permen tentang kekerasan seksual dimana sebuah aktivitas disebut kriminal jika tanpa persetujuan. Apabila ada persetujuan, maka BUKAN URUSAN GUE. HARAP PINDAH KE PRODUK HUKUM LAIN”.
Oke?!
👍🏻
Kedua, jika Permendikbud ini menghapus frasa “tanpa persetujuan”, lantas apa tolok ukur aktivitas seksual dianggap kriminal?
Gak ada. Permen ini jadi kehilangan ruhnya yang bersifat “proteksi”.
Semua aktivitas seksual itu kriminal. Semua pengambilan buku itu kriminal.
Nah, tepat di sini, yaitu ketiga:
Ketika Permendikbud menghilangkan “tanpa persetujuan”, artinya seks bebas (meski consent) bisa disebut kriminal.
Lantas apa kekeliruannya?
Permendikbud melangkahi KUHP yang jelas-jelas tidak memidanakan seks bebas yang consent.
Lex Superior Derogat Legi Inferior.
Hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior).
Dan bagaimana bisa sebuah Permen mengkriminalisasi perbuatan dimana KUHP (hukum yang lebih tinggi dari Permen) tidak memidanakannya?!
👍🏻
Jika Anda keberatan kenapa KUHP tidak mempersoalkan (pidana) seks consent?
Bentar, bikin kopi dulu~
Lanjut!
Permen itu secara hukum berada di bawah KUHP.
Ketika Permen berisi pasal kriminalisasi aktivitas dimana KUHP tidak memidanakannya, ini jadi kekeliruan yang kedua (kekeliruan pertama: logika), yaitu:
“Menyalahi aturan hierarki hukum!”
👍🏻
Aku mengapresiasi ikhtiar Akmal yang mengajukan Judicial Review di MK, dan mengajukan permohonan pengubahan pasal (Pasal 284 KUHP).
Ini sistematika demokrasi yang harus didukung penuh.
400an halaman Judicial Review-nya udah aku share semalam, silakan dibaca.
Pokoknya semua aktivitas seksual di luar nikah, harus dikriminalisasi.
Dan ini ditolak.
👍🏻
*Ralat: infografis dari CNN Indonesia (bukan Detik)
(Sori, Detik)
Jadi dari sudut pandang keislaman udah klir:
Tidak ada kriminalisasi praktik perzinahan!!!
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Keputusan negara menghapus segala usulan yang berbeda darinya.
👍🏻
Ini sekaligus memberikan deklarasi kepada kalian semua bahwa saya menangkap dengan baik perpektif fraksi religius yang berupada mengkriminalisasi perzinahan (consent sekalipun).
Jika mereka masih mengira saya tidak mengerti perspektif mereka, mohon mereka kalian tegur.
👍🏻
Lantas, jika negara tidak mengkriminalisasi perzinahan, artinya kamu mendukung perzinahan & negara ini melegalkan perzinahan, dong?
Lagi-lagi ini soal apa?
Yak, betul: mindset!
(niru Patopiq)
👍🏻
Untuk konteks ini, tugas negara hanya ada pada tindak kriminal.
Bisa disebut kriminal jika terdapat dua syarat: korban & kerugian.
Tanpa itu, meskipun secara teori negara “membiarkan” suka-sama-suka, negara tidak memiliki hak untuk ikut campur.
Bahkan ketika negara ikut campur memidanakan suka-sama-suka, tahun 2019 aku sudah memberikan perpektif kontra dalam segi pelaksanaannya.
(Ini sekaligus bukti bahwa dialektika sedang aku bangun sejak lama, dan tidak menutup diri untuk berdiskusi, ya)
Waktu sudah pagi. Setelah Dusril, ada empat orang yang ngomong panjaaang sekali. Makanya saya usul untuk bikin Space ulang dengan mengajak Dusril berbicara lebih lama.
Akmal itu nganggep aku menutup diskusi (padahal tidak). Untuk diskusi, harusnya di MK (bukan di Twitter).
*sampai halaman 13 pencarian Google di Rubrik News, masih belum nemu Amerika harus studi ke Timur Tengah untuk belajar penanganan kasus kekerasan di sana*
Santri Gayeng (@gayengco) juga pingin bikin animasi (makanya saya ambil kelas online desain grafis & motion graphic).
Sayangnya pendapatan adsense & sponsor cuma cukup untuk makan bulanan. Dan bulan inipun telat, karena invoisnya masih antrean untuk dibayar.
😂
Gus Baha tidak pernah sekalipun menanggapi Buya Syakur. Tapi channel lain bisa sangat kreatif memanfaatkan isu viral ini untuk mengunggah pengajian Gus Baha.
Penontonnya banyak. Dan @gayengco masih buncit karena gak berani melangkah sejauh itu.
Jadi nDak usah digiring ke “ntar kalau consent apakah diperbolehkan?”, karena permen tentang kekerasan artinya CUMA tentang perlindungan terhadap kekerasan.
Jami’-Mani’
Sekarang tinggal ributin saja: sikap negara terhadap perzinahan diKUHP perzinahan.
👍🏻
Kubu masih ada dua:
Pertama, perzinahan harus dikriminalisasi, meskipun consent.
Kedua, selama ada consent, negara tidak bisa mengkriminalisasi pelaku perzinahan.
Yuk, mulai~
Kubu Pertama:
Indonesia adalag negara relijius, landasannya Pancasila (Sila Pertama). Tolok ukurnya ialah kesepakatan imani bahwa perzinahan—meskipun consent—harus diurus negara (pidana) karena semua agama melarangnya.