"Lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan", begitu katanya. Iya saya setuju, hikmah ada dimana saja, siapa saja.
Tapi beda urusannya jika perkara agama. Seorang guru bilang, "ilmu agama menentukan hidupmu jadi apa, maka lihatlah dari siapa kamu mengambilnya."
Lebih spesifik lagi, sebenarnya ribuan tahun lalu Tabi'in Muhammad bin Sirin rahimahullah menasihati, "sesungguhnya ilmu merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana engkau mendapatkannya." (Termaktub dalam Shahih Muslim)
Kalau hikmah tentang pengalaman, manajemen, spesialisasi dan profesionalisme kita tidak dilarang untuk belajar pada yang lebih muda, atau bahkan mereka yang beda keyakinan.
Namun perhatikan kawan, tidak mungkin kita mengambil ilmu dari mereka yang bukan ahlinya; apalagi agama.
Itulah mengapa, nasihat Imam Ibnu Hajar Al Asqalani related sekali, "siapapun yang mengatakan sesuatu yang bukan keahliannya, maka ia datang dengan keanehan."
Yaaa seperti kita lihat sendiri hari-hari ini. "Nikah beda agama gapapa yang penting value sama." Hiyaaa hiyaaa hiyaaa
Mari kita banyak-banyak berdoa dengan doa ini, "Ya Allah, tunjukkan pada kami bahwa yang benar adalah benar, lalu anugerahkan kami kemampuan untuk mengikutinya...
"Dan tunjukkan pada kami bahwa yang batil adalah batil, lalu anugerahkan kami kemampuan untuk menjauhinya."
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mau ngajak teman-teman mereview dari manakah asal muasal kalimat "nikah membuka pintu rezeki"?
Salah satu jawabannya adalah QS An Nur ayat 32, dan redaksi yang mengilhami ungkapan itu ada di "...Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.."
Nah, masalah kita adalah suka banget mendefinisikan rezeki sebagai materi/uang. Padahal para ahli tafsir tidak memandangnya sesempit itu.
Maksudnya "dimampukan", kata Imam Al Qurthubi adalah "dicukupkan dengan yang halal agar tak macam-macam dengan zina." (Tafsir Al Qurthubi)
Ada juga Ulama yang menafsirkan kekayaan di ayat tersebut bukan kaya harta, tapi kaya hati, alias "qana'ah."
Qana'ah? Imam As Suyuthi menjelaskan, "Ridha atas apa yang dirasa kurang, tak membahas apa yang telah berlalu dan hilang, dan merasa cukup dengan apa yang ada."
Jika kamu merasa suaramu di media sosial tak bermakna untuk Palestina, kamu salah.
Bayangkan ketika seorang pejuang di sana lelah, lalu ia berniat mundur dan menyerah; tapi ia melihat di gawai dan berita lokalnya bahwa dunia Islam mendukung perjuangannya. Itulah napas barunya!
Hashtag, tweet, caption, story Instagram; meskipun kita bukan influencer dengan berjuta followers, tapi jika kita lakukan bersama-sama ia akan jadi gelombang yang membuat dunia sadar dari sihir media zionis.
Perasaanmu bahwa suaramu tak akan didengar, adalah harapan musuh.
Salah satu fakta nyata zionis adalah anggaran besar mereka untuk media. Selain untuk menutup yang terjadi di Palestina, mereka ingin perjuangan bebaskan Al Aqsha hilang dari pikiran bangsa Arab serta Umat Islam.
Dan diammu, pesimismu, punya saham buat keberhasilan mereka.
Hari ini 3 Maret 2020, hari di antara hari-hari yang Allah anugerahkan buat kita. Tapi kalau melihat lembar akhir Surat Al Hasyr, jadi teringat bahwa kita perlu lihat sejarah untuk mengelaborasi masa depan.
3 Maret 96 tahun lalu adalah hari resmi jatuhnya Negara Utsmaniyah.
Negara yang kata catatan sejarah pernah memiliki kuasa di 3 benua. Luas wilayahnya lebih luas 3 kali dari apa yang pernah ditaklukkan oleh Alexander The Great. Sebesar dan semegah itu bisa runtuh.
Di masanya, Utsmaniyah ini menjadi benteng sosial politik bagi Dunia Islam.
Negara berusia 625 tahun itu sejak awal menjadikan Islam sebagai napas perjuangannya. Sepertinya mereka memahami betul apa kata Negarawan Abbasiyah Abdullah bin Mu'tazz, "negara yang dikuatkan agama akan bertahan. Agama yang dikuatkan negara akan kokoh."