Padang Pariaman, Prokabar -Mungkin banyak diantara kita bertanya tanya siapa foto kakek yang terpajang disetiap warung nasi Padang. Tak sedikit juga kita penasaran siapa orang yang ada di foto tersebut.
Foto tersebut adalah foto Ungku Saliah, seorang ulama yang terkenal shaleh dan ‘dikeramatkan’ sebagian masyarakat. Ungku Saliah, berasal dari Lubuak Bareh, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Setiap rumah makan yang memajang foto Ungku Saliah tersebut sudah dipastikan pemiliknya berasal dari Piaman (Padang Pariaman dan Kota Pariaman) atau orang Minang.
Ungku Saliah lahir sekitar 1887 M. Belum diketahui tanggal maupun bulan kelahirannya secara pasti.
Beliau anak dari pasangan Tulih (Ayah) dan Tuneh (Ibu). Dilahirkan di Pasar Panjang Sungai Sariak, dan merupakan anak tertua dari empat bersaudara.
Ungku Saliah dipanggil oleh kedua orang tuanya dengan sebutan Dawat. Sementara teman dan keluarganya memanggilnya Dawaik.
Cerita yang berkembang, sejak kecil Dawaik sudah banyak menunjukkan keistimewaan dan kecerdasan. Dawaik belajar ilmu agama Islam diusia 15 tahun, di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi yang dipimpin Syekh Muhammad Yatim Tuangku Mudiak Padang.
Di surau itu, ia menempuh pendidikan pertamanya hingga mendapatkan gelar Tuanku Saleh atau Ungku Saliah.
Menurut sejarahnya, Ungku Saliah juga sempat berguru kepada dua ulama besar lainnya Seperti Syekh Aluma Nan Tuo di Koto Tuo,
Bukittinggi dan memperdalam ilmu tarekat kepada Syekh Abdurrahman di Surau Bintungan Tinggi. Ungku Saliah wafat pada 3 Agustus 1974.
Berdasarkan catatan sejarah, Ungku saliah juga pernah ikut berjuang dan membantu tentara kemerdekaan RI dalam perang melawan penjajahan Belanda.
Salah seorang pedagang di Padang Pariaman menyebutkan, memajang foto Ungku Saliah merupakan sebuah bentuk penghormatan. Beliau juga sebagai contoh keteladanan orang Piaman yang telah berjasa mengajarkan ajaran islam kepada masyarakat.(rud) (sc: prokabar)
Ikuti terus @SejarahUlama untuk lebih dalam lagi mengenal sejarah ulama di Indonesia.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Kang Said, nanti kalau di Madinah tolong temani saya, ya. Saya mau mencari makam Ali al-Uraidhi,” tutur Gus Dur kepada KH Saiq Aqil Siradj yang sedang mengenyam pendidikan S-2 di Ummul Quro’, Makah, pada tahun 1989.
Pertemuan tersebut merupakan perkenalan pertama kali Kiai Said dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu, Gus Dur sedang menunaikan ibadah umroh bersama rombongan, termasuk KH. Nur Muhammad Iskandar.
Karena Kiai Said berdomisili diMakah, maka beliau tak begitu hafal seluk beluk Madinah.Kiai Said kemudian meminta bantuan Zainuddin,salah satu temannya dari Cirebon yang berada di Madinah dan dia dengan senang hati berkenan menghantarkan GusDur mencari posisi makam yang dimaksud.
KH. Humam Bajuri adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Imdad, yang terletak di Dusun Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Beliau lahir pada tahun 1937 dari pasangan R Bajuri dan Arsiyah. Wafatnya tepat pada hari jum’at, 14 Juni 1996, dalam usia 59 tahun.
Semasa hidup, Kiai Humam nyantri di berbagai pesantren. Salah satunya adalah Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada tahun 1955. Di Pesantren tersebut, Humam muda berguru kepada KH. Ali Maksum (Rais Syuriah PBNU 1981-1984),
serta berguru kepada KH. Zainal Abidin Munawwir dan KH. Ahmad Warson Munawwir, yang merupakan putra dari KH. Muhammad Munawwir.
Di Pesantren Krapyak, Kiai Humam menamatkan pendidikan Madrasah Tsanawiyah 6 tahun, dan Madrasah Aliyah 4 tahun.
4 Oktober 1934, atau 87 tahun lalu, di Semarang, sekelompok anak muda peranakan Arab mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab: 1. Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; 2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri;
3. Peranakan Arab harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.*)
Sumpah tersebut selanjutnya diberi arti dan dimaknai sebagai Hari Kesadaran Bangsa Indonesia Keturunan Arab dan sempat diperingati beberapa kali setiap tahunnya di seluruh Indonesia.
Sumpah tersebut diikuti keesokan harinya pada 5 Oktober 1934 dengan pendirian sebuah organisasi yang disebut “Persatuan Arab Indonesia” atau disingkat dengan PAI dimana A.R. Baswedan menjadi ketua dan pimpinannya. PAI akhirnya berubah menjadi Partai Arab Indonesia pada 1940.
Rais Am Jam'iyah Ahlith Thariqah Mu'tabarah An-Nahdliyiah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya mengingatkan, jangan pernah tinggal muthalaah (mengkaji). Selain itu, seorang santri meskipun telah menjadi ulama terkenal tetaplah bersikap sebagaimana santri di depan guru-gurunya.
Berikut tiga pesan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan:
1. Gemarlah Mengkaji Kitab (Muthalaah)
"Ya, saya ingatkan agar kita jangan bosan muthalaah dan jangan bosan mengulang-ngulangnya walaupun kitabnya cuma sekali. Karena kalau rajin muthalaah dengan berkah mu’allif,
insya Allah difutuh (dibuka) oleh Allah SWT," tuturnya.
"Imam-imam kita itu karya-karyanya luar biasa, Imam Ibnu Hajar tiap malam baca shalawat sebanyak 20 ribu, Imam Nawawi 40 ribu, dan Syaikh Abi Zakariya al-Anshari tiap malam baca shalawat sebanyak 30 ribu,
Suatu ketika Mbah Yai Hamid turun dari mobil dan disambut kerumunan ribuan umat islam..
Dari agak kejauhan ada seseorang mbatin dalam hatinya, "wah enak ya jadi kiai, kemana mana dikasih amplop, coba satu hari 3 tempat saja,
pasti sudah banyak itu"
Tiba2 mbah yai Hamid memanggil orang tersebut, orang tersebut pun kaget, wah kok bisa beliau memanggil saya diantara ribuan orang, kenal saya juga tidak.. Wah jangan2 saya itu wali.. 😅
Akhirnya orang itu mendekat ke kiai Hamid, lalu kiai Hamid bilang "nanti ikut saya ya!!"
Betapa bahagianya orang itu merasa dispesialkan kiai Hamid..
Ikut saya ya, nanti naik mobil bersama saya..
Tp ada syaratnya, kamu bawa gelas isi air ini dan jangan sampai tumpah..
Karomah Kiai Hasan Abdillah: Hadir Langsung di Dunia Nyata, Padahal Sudah Wafat
Ada beberapa cerita yang tidak mungkin terjadi jika dipandang secara akal. Akan tetapi, apa yang Allah SWT berikan pada kekasihnya tentu bisa saja terjadi.
Seperti yang diceritakan para alumni santri almaghfurlah KH. Hasan Abdillah. Para alumni santri tersebut mengaku kejadian semacam ini adalah bukti bahwa Kiai Hasan mengakui/ngakoni para santrinya dunia akhirat.
Diceritakan oleh Muhammad Sulhan, bahwa suatu malam ia pergi mengaji
di Barat pasar Glenmore, sedangkan istrinya di rumah. Tiba-tiba ada Kiai Hasan Abdillah datang ke rumah Muhammad Sulhan dan berpesan pada istrinya:
“Wengi iki ojo turu (malam ini jangan tidur)” pesan Kiai Hasan.
Ketika Muhammad Sulhan pulang ngaji sekitar jam 02:00 dini hari,