Karomah Kiai Hasan Abdillah: Hadir Langsung di Dunia Nyata, Padahal Sudah Wafat
Ada beberapa cerita yang tidak mungkin terjadi jika dipandang secara akal. Akan tetapi, apa yang Allah SWT berikan pada kekasihnya tentu bisa saja terjadi.
Seperti yang diceritakan para alumni santri almaghfurlah KH. Hasan Abdillah. Para alumni santri tersebut mengaku kejadian semacam ini adalah bukti bahwa Kiai Hasan mengakui/ngakoni para santrinya dunia akhirat.
Diceritakan oleh Muhammad Sulhan, bahwa suatu malam ia pergi mengaji
di Barat pasar Glenmore, sedangkan istrinya di rumah. Tiba-tiba ada Kiai Hasan Abdillah datang ke rumah Muhammad Sulhan dan berpesan pada istrinya:
“Wengi iki ojo turu (malam ini jangan tidur)” pesan Kiai Hasan.
Ketika Muhammad Sulhan pulang ngaji sekitar jam 02:00 dini hari,
ia penasaran mengapa lampu ruang tamu rumahnya masih menyala. Sang istri pun langsung menceritakan perihal kedatangan Kiai Hasan pada Sulhan.
“Sektas enek Abah Yai, teko mrene (Barusan ada Kiai (Hasan Abdillah) kesini)” tutur istrinya.
“Gak pesen opo-opo, cuma lek kene sewingi iki gaoleh turu (Tidak pesan apa-apa, cuma malam ini kita tidak boleh tidur)”.
Kemudian istri Sulhan melanjutkan ceritanya
bahwa setelah Kiai Hasan berpesan demikian, beliau langsung keluar dari rumahnya. Ketika sampai di pintu rumah, seketika beliau menghilang. Sontak istri Muhammad Sulhan baru sadar bahwa sebenarnya Kiai Hasan sudah wafat dua belas hari yang lalu.[1]
Pernah juga hal yang serupa dialami oleh Muhammad Nasihin (alumni santri Kiai Hasan). Pada malam satu suro, istri Muhammad Nasihin ketika itu mempunyai masalah, lalu ia keluar dari rumah. Setelah membaca do’a awal dan akhir tahun, seketika itu istri Muhammad Nasihin melihat
Kiai Hasan lewat dan seketika ia terkejut. Padahal Kiai Hasan sudah wafat sebelumnya.
“Kiai (Hasan Abdillah) ini kalau sudah ngakui pada santrinya, kejadian apa yang terjadi pada santri, itu langsung hadir” tutur Muhammad Nasihin.[2]
Diceritakan pula oleh Muhammad Nasihin di kejadian lain, bahwa ada salah satu alumni pesantren Ash-Shiddiqi bernama Husni, dan ia bekerja di Batam. Karena ada persaingan kerja, Husni mendapat musibah terkena ilmu hitam semacam sihir/ilmu magis. Dalam riwayatnya,
terdapat beberapa orang bergabung untuk menyerang Husni.
Ketika Husni tidak berdaya dengan serangan ilmu sihir tersebut,. Kemudian ia menyambung fatihah dan bertawassul kepada Kiai Hasan dan Nabi Muhammad saw. Tak lama kemudian, tiba-tiba Kiai Hasan datang, dan Husni diberi sorban berwarna hijau dengan dikalungkan padanya
sembari berkata:
“Enjek tak parapah bekna jieh, slamet (Sudah tidak apa-apa kamu itu, pasti selamat)” tutur Kiai Hasan.
Setelah itu, Kiai Hasan juga memberikan amalan doa yang dibaca Nabi Khidir dan Nabi Ilyas ketika hendak berpisah, dengan sedikit ada tambahannya kepada Husni.
Doa tersebut sebagai berikut.
Bismillahi ma sya-allah la yasuqul khoiro illallah
Bismillahi ma sya-alla la yashrifus su-a illallah
Bismillahi ma sya-allah ma kana min ni’matin fa minallah
Bismillahi ma sya-allah la ya’ti bil hasanati illallah
Bismillahi ma sya-allah la hawla wala quwwata illa billahi ‘aliyyil ‘adzim.
“Tambeih riah yeh (bismillahi ma sya-allah la ya’ti bil hasanati illallah), dinah makla bennyak (tambahkan ini ya “bismillahi ma sya-allah la ya’ti bil hasanati illallah” insyaallah selamat),
biarpun banyak yang menyerangmu)” tutur Kiai Hasan Abdillah.[3]
Setelah mengamalkan apa yang Kiai Hasan Abdillah ijazahkan, Alhamdulillah atas ijin Allah SWT, Husni sembuh dari penyakit kiriman dari saingan kerjanya yang berupa ilmu hitam itu. Wallahu a’lam
[1] Muhammad Sulhan (Alumni Santri KH. Hasan Abdillah), Wawancara, Glenmore, 26 Agustus 2020.
Baca juga: Sketsa Singkat Pangeran Diponegoro Sebagai Muslim Jawa
[2] Muhammad Nasihin (Alumni Santri KH. Hasan Abdillah), Wawancara, Glenmore, 29 Agustus 2020.
Rais Am Jam'iyah Ahlith Thariqah Mu'tabarah An-Nahdliyiah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya mengingatkan, jangan pernah tinggal muthalaah (mengkaji). Selain itu, seorang santri meskipun telah menjadi ulama terkenal tetaplah bersikap sebagaimana santri di depan guru-gurunya.
Berikut tiga pesan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan:
1. Gemarlah Mengkaji Kitab (Muthalaah)
"Ya, saya ingatkan agar kita jangan bosan muthalaah dan jangan bosan mengulang-ngulangnya walaupun kitabnya cuma sekali. Karena kalau rajin muthalaah dengan berkah mu’allif,
insya Allah difutuh (dibuka) oleh Allah SWT," tuturnya.
"Imam-imam kita itu karya-karyanya luar biasa, Imam Ibnu Hajar tiap malam baca shalawat sebanyak 20 ribu, Imam Nawawi 40 ribu, dan Syaikh Abi Zakariya al-Anshari tiap malam baca shalawat sebanyak 30 ribu,
Suatu ketika Mbah Yai Hamid turun dari mobil dan disambut kerumunan ribuan umat islam..
Dari agak kejauhan ada seseorang mbatin dalam hatinya, "wah enak ya jadi kiai, kemana mana dikasih amplop, coba satu hari 3 tempat saja,
pasti sudah banyak itu"
Tiba2 mbah yai Hamid memanggil orang tersebut, orang tersebut pun kaget, wah kok bisa beliau memanggil saya diantara ribuan orang, kenal saya juga tidak.. Wah jangan2 saya itu wali.. 😅
Akhirnya orang itu mendekat ke kiai Hamid, lalu kiai Hamid bilang "nanti ikut saya ya!!"
Betapa bahagianya orang itu merasa dispesialkan kiai Hamid..
Ikut saya ya, nanti naik mobil bersama saya..
Tp ada syaratnya, kamu bawa gelas isi air ini dan jangan sampai tumpah..
Suatu ketika ada salah satu cucu Kiai Umar bin Abdul Mannan asal Mangkuyudan, Solo, yang sangat rewel. Bahkan, setiap hari orang tuanya harus begadang hingga dini hari karena ulah sang bayi yang selalu menangis tersedu.
Penyebabnya pun tak diketahui dengan jelas dan berbagai cara yang telah dilakukan orang tua dalam rangka menenangkan sang buah hati, juga tak menuai hasil sama sekali.
Merasa tak tahan terhadap sikap sang anak, orang tua tersebut berinisiatif
untuk sowan kepada Kiai Umar agar disuwuk, didoakan supaya sang bayi mendapat ketenangan. Ia kemudian matur kepada kiai, “Mbah niki pripun,putra kula kok rewel sanget (Mbah ini bagaimana, kok anak saya rewel sekali)?” Mendengar aduan orang tua sang bayi, Kiai Umar malah tersenyum
“Kalau ente tanya, siapa yang paling berpengaruh di antara guru-guru besar yang telah menempa saya. Wah, sulit bagi saya untuk membedakan.
Sebab semua berpengaruh di bidangnya masing-masing," tutur KH. As’ad Syamsul Arifin dalam Memoar Tempo edisi 2 September 1989.
Kalau ente tanya," lanjut Kiai As'ad, "berapa puluh kitab yang saya pelajari di pondok ketika itu. Saya juga sulit menjawabnya.
Tapi yang jelas, kitab-kitab yang pernah saya pelajari itu, serasa masih melekat dalam pikiran saya.”
Pernyataan Kiai As’ad tersebut, jika kita merujuk kepada tulisan KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua LBM PBNU, yang berjudul “Nasab Ilmu KHR As’ad Syamsul Arifin”,
KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi (1951-2009), merupakan mursyid thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang juga seorang pengasuh Ponpes Al-Fithrah Kedinding, Kota Surabaya. Beliau putra dari KH. Utsman Al-Ishaqi.
Ulama kharismatik yang juga pemimpin Majelis Dzikir Al Khidmah tersebut, tercatat pernah belajar di Ponpes Darul Ulum Jombang, Al Hidayah Kediri, Al Munawir Krapyak dan Buntet Cirebon.
Selain mengasuh Al Khidmah, KH. Asrori awalnya hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama.
Lambat laun, semakin banyak jamaah yang menitipkan anaknya untuk belajar. Kiai Asrori kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya
Rasa tawadlu dan hormat yang demikian besar KH. Hasan Mangli (Mbah Mangli) kepada para kiai dan gurunya, sudah menjadi cerita yang banyak diketahui publik.
Salah seorang kiai pernah bercerita, bahwa dirinya melihat sendiri Mbah Hasan Mangli saat sowan ke ndalem KH. M. Arwani Amin, mulai dari teras sudah bersimpuh dan masuk ke ndalem sambil ‘’ngesot’’ saking tawadlu kepada kiainya.
Cerita soal sikap tawadlu dan hormat yang demikian besar Mbah Hasan Mangli kepada kiai dan gurunya, juga diceritakan salah satu puteranya, Gus Ahmad Ridho. ‘’Bapak Saya beberapa kali bilang, "(Saya bisa begini karena barokah dari kiai dan guru,