Diosetta Profile picture
Dec 18, 2021 462 tweets >60 min read Read on X
DESA TANGGUL MAYIT

Kisah mengenai sebuah desa yang hanya memiliki penghuni pada malam hari & menyimpan kenyataan yang sangat mengerikan.

sebuah desa terpencil di perbatasan jawa tengah yang sekitarnya dijadikan proyek tambang batu dan pasir.
@IDN_Horor
@ceritaht
@bacahorror Image
Sebuah bis dari arah ibukota terlihat akan melintas di depanku. Aku menoleh ke arah tulisan tujuan bis itu terpasang. Sebuah kota di perbatasan Jawa tengah dan Jawa Timur sesuai dengan tujuanku. Aku melambaikan tanganku hingga bis itu berhenti tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku menaiki sebuah bis yang cukup tua dengan beberapa kain kursinya yang telah robek.
Yah, aku tidak bisa mengeluh. Saat ini aku harus benar-benar mengatur uangku agar bisa bertahan di kota itu nanti hingga waktunya aku menerima upahku.
Saat telah mendapatkan posisi duduk yang nyaman. Aku membuka lembaran surat yang di kirimkan kepadaku dengan mengatasnamakan sebuah perusahaan.
Gilang mahardika, namaku tertulis dengan jelas di lembaran kertas itu sebagai pertanda bahwa aku diterima untuk bekerja di proyek perusahaan tempatku akan bekerja nanti.
“Wah , Masnya juga mau ke Proyek PT itu?” Tanya seseorang yang baru saja masuk ke bis ini saat berhenti di daerah cikampek tadi.
“I—iya mas, masnya juga?” Tanyaku.
Dengan cepat orang itu membuka lembaran kertas miliknya. Terlihat sebuah nama Wiryanto S.E di sebuah surat yang mirip dengan yang kupegang.
“Kenalin.. saya Wiryanto, panggil saja Yanto.” Ucapnya.
Aku menyambut tanganya sambil memperkenalkan namaku.
“Gilang mas.. Kok bisa kebetulan ya?” Tanyaku.
“Sepertinya memang banyak yang di terima, saya juga mendaftar sama teman saya dia juga diterima kok.. tapi dia terlanjur dapat kerjaan lain, saya duduk di sini boleh?” Cerita Yanto sambil meminta ijin untuk duduk di sebelahku.
Aku mengangguk dan cukup kaget,rupanya cukup banyak yang diterima di pekerjaan ini.
“Tenang, nggak usah takut penipuan. Toh uang sakunya sudah dikirim di depan kan?” Lanjut Yanto.
Ucapan Yanto benar, untuk perjalanan ke lokasi proyek kami sudah dibekali dengan uang saku yang di kirim langsung ke rumah kami setelah melakukan persetujuan Via telepon. Sebenarnya saat itu aku cukup heran.
Seandainya ada yang berniat jahat dengan mengambil uang itu dan tidak berangkat, perusahaan itu pasti akan rugi.
Perjalanan menuju tempat tujuan kami cukup lama , kami bercerita panjang lebar hingga mulai akrab. Rupanya Yanto sering naik bis ini saat masih sering bolak-balik ke Cikampek sewaktu kuliah di Jogja dulu.
Butuh satu malam untuk sampai di tujuan kami dengan bis ekonomi seperti ini, pasalnya hampir di setiap kota bis ini berhenti untuk menurunkan atau menaikan penumpang.
Hingga akhirnya sekitar pukul delapan malam bis kami berhenti di sebuah tempat makan yang terletak di kota Gringsing.
“Aku mau makan di depan saja, di restoran sini mahal..” Ucap Yanto setelah mengamankan barang berharganya saat akan meninggalkan bis.
“Aku ikut.. uangku juga pas-pasan” Ucapku sambil mengikuti Yanto.
Sebuah warung makan yang cukup kumuh dan hanya tertutup tenda biru terletak tak jauh di depan restoran tempat bis kami parkir. Di dekatnya juga banyak truk-truk kecil yang parkir.
Sepertinya warung makan ini juga tempat langganan mereka.
“Bu.. maem bu!” Ucap Yanto seperti sudah biasa.
“Nggih mas.. lawuhe opo?” (Iya mas, Lauknya apa?) Jawab seorang ibu yang segera mengambilkan nasi.
Yanto memilih beberapa lauk yang terlihat menggiurkan. Tak mau kalah, perutku yang sudah keroncongan juga memaksaku untuk memesan menu yang tak jauh berbeda.
Sepiring nasi dengan lauk yang menumpuk memenuhi piringku.
“Edan mas.. porsinya nggak kira-kira” Tanyaku.
“Kaget ya? Nanti kamu lebih kaget kalau udah bayar” Jawab yanto.
Entah mengapa rasa makanan di warung pinggir jalan ini terasa sangat nikmat saat itu. padahal ini hanya warung biasa.
“Unjukane mas” (Minumanya mas)
Ibu warung mengantarkan dua gelas teh hangat di sebuah gelas besar kepada kami dan segelas kopi hitam kepada seseorang di belakang kami. Dan kami baru sadar rupanya ada seseorang yang duduk di belakang kami itu.
Walaupun dengan porsi yang besar , tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan makananku. Sekaligus kami juga mengejar waktu agar tidak tertinggal bis kami.
“Sampun bu.. pinten?” (Sudah bu.. berapa?) Ucap Yanto sambil mengeluarkan uang dari dompetnya.
“sampeyan gangsal welas, nek mase sijine sekawan welas” (Masnya lima belas, mas satunya empat belas ribu) Ucap Ibu itu.
Seketika aku kaget, makanan sebanyak itu hanya dihargai lima belas ribu. Kalau di kota pasti sudah lebih dari dua puluh ribu.
“Tuh.. kaget kan, pokoknya kalo keluar kota cari tempat makan yang banyak truk parkir. Udah enak, porsinya banyak, pasti murah” Ucap Yanto.
Aku menangguk, ini ilmu baru untukku. Dengan segera aku mengeluarkan uang untuk membayar bagianku namun tiba-tiba tangan seseorang menahan lenganku.
“Mas masnya mau ke mana? “ Ucap seorang bapak tua yang sedari tadi duduk di belakang kami dan memesan kopi hitam tadi.
“kami mau ke proyek di jawa timur pak” Jawabku.
“Ini ada apa to pak? ” Tanya Yanto yang maju mendekat berusaha melindungiku.
“Tunggu.. tunggu di sini sebentar.” Ucapnya yang segera pergi meninggalkan kami menuju samping warung tempat motornya terparkir.
“I—itu siapa bu?” Tanya Yanto ke ibu warung.
“Saya kurang tau namanya,tapi dia sering mampir ke sini kalau pulang mengantar bawang merah hasil panenya” Cerita ibu warung.
Bapak itu kembali dengan tergesa-gesa dan membawakan dua buah benda yang terbungkus lipatan kertas.
“Saya ada firasat tidak enak, ini dibawa dulu saja.. kalau firasatku salah, benda ini boleh dibuang” Ucap Bapak itu.
“I—ini apa pak?” Tanyaku
“Sudah Gilang, dibawa saja. Bapak ini berniat baik kok” Ucap Yanto yang entah mengapa bisa langsung percaya dengan bapak itu.
“Bu, duitnya saya titipkan ke bapak ya..” Lanjut Yanto yang segera mengajakku pergi.
Aku menoleh ke arah bapak itu, ia seperti membacakan doa pada uang kami dan memberikanya kepada ibu pemilik warung.
Setelah kejadian itu aku mulai merasakan keanehan di perjalanan kami. Samar-samar aku merasakan ada yang memandangiku jauh dari kursi belakang bis. Pemandangan malam hari di luar jendelapun mulai tidak nyaman untuk dilihat.
Akhirnya aku memutuskan untuk memaksakan diri untuk tidur dan berharap terbangun saat bis ini sudah sampai di terminal.

Duk duk…
Samar-samar terdengar suara dari arah jendela bis di sebelahku.
Sebenarnya rasa kantuku lebih menguasai tubuhku dan membuatku malas untuk membuka mata, namun suara itu terus terdengar tanpa henti dan membuatku kesal.
Aku membuka gorden bis yang sebelumnya kututup untuk menghalau cahaya kendaraan lain yang mungkin saja mengganggu tidurku.
Aku memperhatikan keadaan di luar jendela namun hanya hamparan sawah dan bukit-bukit yang terlihat sangat gelap di malam hari. Sama sekali tidak kutemukan sumber suara itu.
Dengan tenang aku mencoba kembali tidur, namun sebelum sempat menutup mata aku mendengar suara itu lagi dan segera menoleh ke arah suara itu.
Tak bisa kupercaya, dari jendela bis itu terlihat seorang nenek berpakaian kemben jawa memperhatikanku dari luar jendela.
Rambut putihnya terurai acak-acakan tertiup angin. Seluruh bola matanya terlihat putih dan ia tersenyum dengan gigi-giginya yang berlumuran darah.
Anehnya lagi nenek itu bergerak mengikuti kecepatan bis ini. ia melayang…
“Se—setan!” Teriakku mencoba membangunkan Yanto.. namun ia tidak bergerak sedikitpun dari tidurnya begitu juga penumpang bis lain.
Duk duk…
Suara itu terdengar lagi, aku menoleh dan nenek itu masih ada di sana.Ia tertawa sambil mengatakan sesuatu namun sama sekali tidak terdengar olehku.
Seketika aku teringat benda yang diberikan bapak tadi di warung makan.
Sejak menerima benda itulah semua kejadian aneh ini terjadi.
Aku mencari lipatan kertas yang kusimpat di sakuku, mengeluarkanya dan segera merobeknya berkali kali dan membuangnya ke bawah.
Benar.. seketika wujud nenek itu menghilang dan aku tak merasakan lagi sosok yang memandangku dari belakang.
Aku mencoba mengatur nafasku dan menoleh pada Yanto. Dia bisa tidur dengan tenang, mungkin saja dia sudah sadar tentang hal ini dan membuang benda itu sedari tadi.
Tepat menjelang pagi hari bis yang kami tumpangi sudah sampai di terminal tempat tujuan kami. Setelah bertanya-tanya rupanya tempat yang kami tuju masih cukup jauh.
Kami harus menaiki satu kali angkutan umum ke halte proyek dan menaiki bis perusahaan untuk mencapai desa tempat kami akan bekerja nanti.
Aku dan Yanto memutuskan untuk sarapan di terminal sebelum melanjutkan rute yang ditunjukan tadi.
Lewat tengah hari kami sudah sampai di halte proyek dan melihat beberapa orang juga sedang memasuki sebuah bis dengan nama perusahaan yang merekrutku.
“Pak masuk ke dalamnya jauh nggak?” Tanya Yanto pada sopir bis perusahaan yang membawa kami dan beberapa karyawan lain.
“lumayan mas, mungkin sekitar satu jam” Jawab sopir bis dengan wajah yang sudah cukup tua itu.
“Di sana ada sinyal telepon?” Tanya Yanto lagi.
Sopir bis itu menggeleng, “di sana sinyal susah mas,”
Mendengar jawaban sopir itu Yanto segera mengambil handphonenya menyibukan jarinya. Sepertinya ia mengabari orang terdekatnya sebelum kehilangan sinyal. Mungkin ada baiknya aku juga mengabari orang rumah bahwa aku sudah tiba di tujuan.
Bis kecil itu membawa kami masuk melalui celah-celah hutan dan memasuki jalur tanah yang belum di aspal. Mungkin saat hujan , kendaraan roda empat akan sulit melalui jalur ini.
Aku memperhatikan jalanan dan melihat beberapa kali plang menunjukan sektor proyek , banyak truk pengangkut batu dan peralatan berat berada di sana. Namun bis ini tidak menuju ke sana dan berjalan lebih jauh lagi.
Mungkin saja tempat ini tidak hanya digarap oleh satu perusahaan, pikirku.
Bis berhenti di sebuah desa. Ia.. sebuah desa. Tak pernah kupikirkan ada sebuah desa di dalam pedalaman hutan ini.
“Messnya ada di sana, bangunan yang paling besar di timur desa. Nanti malam setelah jam kerja ada petugas yang menghampiri kalian” Ucap Sopir bis itu yang segera meninggalkan kami dengan terburu-buru.
..
“Aneh..” Ucap Yanto tiba-tiba
“Tidak ada orang lain selain kita di desa ini”
Benar juga, hanya kami dan beberapa calon karyawan. Tidak ada siapapun , namun bangunan kayu di sekitar tempat ini masih terawat seolah selalu dihuni.
Aku dan Yanto mengikuti karyawan lainya untuk masuk ke mess dan berharap menemukan orang lain atau petugas perusahaan di mess itu namun ternyata nihil.
Mess ini memiliki dua tingkat dengan dua ruangan di setiap lantai. Satu ruangan di tiap lantai terkunci dan di setiap kamar yang terbuka berisi sepuluh ranjang yang mirip seperti asrama militer.
“Kita sebelahan aja ya, di sini aja deket pintu keluar” Ajak Yanto.
Aku setuju dan segera menaruh barang-barangku sekaligus menunggu bergantian dengan calon karyawan lain menggunakan kamar mandi.
Hening… tanpa adanya suara dari orang-orang di sini desa ini benar-benar terasa tenang namun sangat misterius.
Hal misterius ini semakin menjadi ketika tepat saat pergantian hari, Lampu dari rumah-rumah yang sebelumnya kami kira kosong itu tiba-tiba menyala.
Perlahan suara pintu terbuka dari beberapa rumah. Perempuan-perempuan muda dengan pakaian desa keluar dari rumah tadi,
hal ini jelas terlihat aneh. Sayangnya hanya kami berdua yang melihatnya.
“Yanto.. kok bisa satu desa isinya perempuan cantik semua? Mereka tinggal sama orang tua atau suaminya ya?”
Tanyaku yang heran sekaligus terkesima dengan keadaan ini namun anehnya reaksiku berbeda dengan Yanto. Ia terlihat panik dan ketakutan.
Mendengar suara ramai dari luar mess karyawan lain keluar dan mencari tahu. Rata-rata dari mereka bereaksi sepertiku.
Tak sedikit yang menghampiri warga desa untuk memulai basa-basi.
Suasana malam di desa yang ku kira akan menyeramkan ternyata menjadi ramai tidak seperti yang kubayangkan tadi.
“Mas.. dari kota mana?”
Tiba-tiba terdengar suara wanita menghampiriku. Wanita itu terlihat cantik dengan wajah yang manis namun entah aku samar-samar seperti pernah melihat pakaian jawa yang iya kenakan.
“Saya dari… “
Belum sempat menjawab tiba-tiba Yanto menariku masuk ke dalam mess.
Keanehan pada dirinya benar-benar tidak dapat kumengerti.
“Beresin barang-barang kamu! Kita pergi dari sini!” Ucap Yanto.
“Ma—maksudmu apa?” Tanyaku
Yanto merogoh saku kantung celananya dan mengeluarkan sebuah benda yang sebelumnya telah kubuang.
“Kamu masih nyimpen ini?”Ucapnya sambil menunjukan lipatan kertas yang diberikan oleh bapak yang kami temui di warung tadi.
Aku menggeleng,”Sudah aku buang di bis tadi, ada kejadian aneh.”
Yanto menyerahkan benda itu ke tanganku.
“Sana lihat sendiri apa yang terjadi di luar!” Perintah Yanto.
Aku berjalan perlahan menuju pintu mess, perasaanku berbeda dari yang tadi kurasakan. Hawa dingin menyelimuti seluruh tubuhku dan seketika bulu kuduku merinding.
Bahkan untuk membuka gagang pintupun aku merasa ketakutan.
Sebelum memutuskan untuk keluar aku memutuskan untuk mengintip dari jendela terlebih dahulu. dan sontak aku terjatuh kaget melihat sosok yang ada di depan jendela itu.
“Eh masnya, sini keluar.. ngobrol bareng yang lain” Ucap seorang wanita.. bukan dia bukan wanita.
Wanita yang sebelumnya terlihat cantik kini berubah seperti nenek nenek tua dengan rambut acak-acakan ,matanya yang putih dan senyumnya yang berlumuran darah.
Aku baru ingat , baju yang ia gunakan persis seperti nenek yang kulihat mengikutiku di jendela bis semalam. Bagaimana ini bisa terjadi?
Seketika wajahku pucat , aku menyeret kakiku meninggalkan jendela dan merangkak ke arah kamar tempat Yanto berada.
Yanto sudah siap membereskan barang-barangnya dan aku segera berlari menyusulnya mengambil barang-barangku. Sayangnya sudah ada dua makhluk yang menunggu di depan mess, beruntung mereka tidak mencoba masuk ke tempat ini.
Hari semakin malam, Kami berdua menunggu dengan cemas sementara kami sadar sesekali nenek tua itu menengok ke dalam mess. Satu sisi aku merasa menyesal telah membuang benda yang diberikan oleh seorang bapak di warung tadi. Beruntung Yanto tidak membuangnya.
Tak tahan dengan suasana yang mencekam cukup lama, Yanto mengecek seluruh sisi mess yang mungkin bisa menjadi pintu pelarian kami. Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi saat malam semakin larut.
Satu persatu pintu dan jendela diintipnya. Yanto mencari sisi yang sekiranya aman untuk kami.
“kita keluar lewat jendela kamar belakang..” Perintah Yanto.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menurut.
Kami melempar tas kami keluar sebelum melompati jendela, sepertinya sosok dua nenek yang menghampiri kami tadi tidak menyadari kepergian kami.
Dengan berhati-hati kami berjalan melintasi halaman belakang rumah-rumah kayu di desa itu.
Dari jauh terlihat desa sudah semakin ramai saat sekumpulan pria calon karyawan tadi mulai nyaman duduk di teras rumah-rumah warga.
Tanpa adanya lipatan kertas yang mungkin adalah jimat ini, semua terlihat wajar seolah mereka sedang bercengkrama dengan warga desa.
Sayangnya kenyataanya mereka sedang bercengkrama dengan makhluk berwujud nenek tua yang mengerikan yang keluar dari setiap rumah.
Tepat saat hampir memasuki wilayah hutan kami melihat seseorang yang memasuki hutan juga bersama dengan seorang nenek tua itu.
entah apa yang mereka bicarakan hingga laki-laki itu mau mengikutinya hingga ke dalam hutan.
“Di sini saja..” Ucap laki-laki itu.
Tanpa jimat tadi rupanya nenek itu terlihat berwujud wanita cantik seperti sedang menggoda laki-laki itu.
“emoh… nanti ketahuan yang lain” Ucapnya manja.
Mereka masuk semakin dalam ke arah hutan, kami mengikutinya perlahan hingga sampai ke tempat yang cukup luas.
“Udah di sini aja.. aku udah nggak tahan” Ucap laki laki itu yang segera memeluk tubuh wanita itu dan mencumbui tubuhnya.
Seolah terbakar oleh hawa nafsu laki-laki tiu membuka setiap helai baju yang dikenakan oleh wanita itu dan melampiaskan hawa nafsunya.
“Pelan-pelan mas… malam masih panjang”
Wanita itu memandang laki-laki itu dengan wajahnya yang misterius sementara laki-laki itu menikmati tubuhnya.
Sayangnya aku sudah tahu dengan jelas wujud asli wanita itu..
Samar-samar dari kegelapan hutan terlihat nyala lampu dari lampu teplok bergerak mendekat ke arah mereka.
Laki-laki itu terlalu asik menikmati tubuh setan nenek tua itu itu hingga tidak menyadari ada seseorang di belakangnya.
Seorang pria tua renta berjalan terseok seok membawa lampu minyak di tangan kiri dan sebuah parang di tangan kananya.

Ia meletakan lampunya di tanah dan berjalan dengan kakinya yang terlihat kurus kering mendekati laki-laki itu.
Dengan sekuat tenaga kakek tua itu menjambak laki laki yang seperti terhipnotis dengan tubuh wanita itu.

Laki-laki itu tersentak , namun setan wanita itu menyentuh pipi pria itu memaksanya untuk terus menatap ke arahnya.
Setelahnya kakek tua mengangkat kepalanya dan menebas tanpa ampun hingga terpisah dari tubuhnya.

Hampir saja aku berteriak, namun Yanto berhasil membekap mulutku.
Aku menahan mual saat darah laki-laki itu bermuncratan dari lehernya hingga membasahi tubuh wanita itu.
anehnya wanita itu terlihat menikmatinya dan menjilati semua darah yang ada di tubuhnya.
“Uwis… tugasmu wis rampung”(Sudah tugasmu sudah selesai) Ucap Kakek tua itu.
Nenek tua yang masih menikmati darah di tubuhnya segera berdiri, meraih tangan kakek itu dan menciumnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan hutan dengan senyum puas.
Kakek tua itu kembali mengambil lampu minyaknya , menenteng kepala bersama parang dan pergi ke arah yang berlawanan.
Tubuhku lemas, aku tidak dapat bernafas dengan benar. Yanto jauh lebih tegar dariku seolah ia pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.
“Aku pernah melihat desa ghaib sebelumnya, itu dulu saat tersesat di alas merapi, namun tidak pernah aku melihat yang semengerikan ini” Ucapnya yang ternyata juga berusaha menahan rasa takutnya.
“i—ini berarti kita mau ditumbalkan sama yang mengundang kita?” Tanyaku.
“Bisa jadi, yang penting sekarang kita pergi” Perintah Yanto.
Aku menguatkan diriku untuk berjalan meningglakan desa ini, samar-samar terlihat dari jauh ada lagi orang yang memasuki hutan di sisi lain.
“Lalu, mereka gimana? “ Tanyaku yang merasa khawatir dan tidak bisa membayangkan apabila mereka semua mati seperti tadi.
“Kita saja belum tentu selamat, kenapa harus ngurusin mereka?” Ucap Yanto.
Tidak ada yang salah dari ucapan Yanto, tapi jantung ini terus berdegup kencang setiap membayangkan kejadian itu.

Belum sempat berjalan lebih jauh tiba-tiba muncul seorang wanita dari kegelapan hutan menghadang jalan kami.
“Mas, mau kemana?” Tanya wanita itu dengan tatapan yang sepertinya sedikit marah.
Kami tidak dapat berkata-kata, salah jawab sedikit mungkin nasib kami akan seperti laki-laki tadi.
“kalian melihat apa?” Tanyanya dengan tatapan curiga.
“Oh.. enggak, air di mess mati, kami lagi mencari sungai buat mandi” jawab Yanto.
Rupanya Yanto cukup pintar mencari alasan, jika tidak wanita itu pasti akan menanyakan kenapa kami membawa tas kami keluar dari mess.
“Oh.. pakai sumur di rumah saya saja… ayo saya antar” Ucapnya.
“I—iya, nggak usah repot-repot.. tadi mas itu bilang airnya sudah nyala, makanya ini kita mau kembali” Balas Yanto lagi.
Kami segera berbalik arah kembali ke desa namun saat wanita itu tidak terlihat , kami kembali masuk ke dalam hutan.
“Dia, pasti bisa berbuat sesuatu…”Ucap Yanto tiba-tiba.
“Si—siapa?” tanyaku.
Yanto merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah telepon genggam yang sudah dipastikan tidak ada sinyal.
“Biar kupegang jimat itu! Kamu Gilang, pergi keluar dari tempat ini secepat mungkin. Saat sudah mendapat sinyal, hubungi temanku ini dan ceritakan semuanya..” Perintah Yanto.
“Terus kamu gimana? Dia siapa?” Tanyaku bingung.
Yanto kembali mengenakan tasnya dan mengecek situasi di sekitar.

“Dia teman kuliahku, kalau aku meninggalkan situasi seperti ini dan membiarkan lebih banyak korban mungkin aku akan malu seumur hidup sama dia” Jelasnya.
“Jangan sampai salah, saat dapat sinyal segera hubungi dia. Saat di bis tadi aku sudah menanyakan tentang keanehan tempat ini semoga saja dia sadar.”

Dananjaya Sambara, sebuah nama ditunjukan oleh Yanto di handphonenya.
Terlalu banyak yang kukhawatirkan saat ini, entah apa Yanto bisa selamat sebelum adanya pertolongan atau apakah aku bisa melewati hutan tadi dengan selamat juga?
Aku berpikir sekeras mungkin dan sedikit teringat tentang pertigaan yang menunjukan lokasi proyek dari perusahaan lain tadi. Mungkin saja di sana ada orang yang bisa menolongku meninggalkan tempat ini.
“Ya sudah, aku tinggal dulu.. bawa Danan ke sini secepatnya, nyawa kami di tangan kalian” Ucap Yanto yang segera berjalan menuju desa yang dipenuhi oleh orang-orang yang berbaur dengan makhluk mengerikan di desa ini.
Namun gelagat Yanto terlihat aneh, seperti ada sesuatu yang ia rencanakan.

“Pengumuman! Pak mandor mampir ke mess! Semua di suruh kumpul!”
Yanto berteriak di tengah kerumunan itu. seketika para calon pekerja memperhatikanya dan mengikutinya kembali ke mess.
Hebat , ia bisa berfikir sampai ke sana. Setahu kami makhluk itu tidak berani masuk ke mess entah apa alasanya namun masalahnya apakah mereka bisa bertahan sampai aku kembali.
Di tengah gelapnya malam aku berlari meninggalkan desa mengerikan itu.
Sesekali aku menoleh ke belakang. Dengan jimat yang kupegang sebuah pemandangan mengerikan terlihat dari jauh.
Semua makhluk itu menatap ke seseorang yang menyebabkan calon karyawan atau mungkin lebih pantas disebut sebagai calon tumbal itu pergi meninggalkan mereka.
Sudah jelas makhluk itu mengincar Yanto.

(Bersambung)
Mohon maaf baru bisa update, Semoga cerita ini bisa menemani malam minggu kalian.

Seperti biasa buat yang mau baca kelanjutanya duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..
Terima kasih.

karyakarsa.com/diosetta69/2-d…
Update lg malem jumat 23 desember.. Harap bersabar ya 🙏😊
DESA TANGGUL MAYIT
Part 2 - 100 Tumbal

Nulis cerita ini agak merinding sebenernya.. tapi tetep kita lanjut, kemungkinan tamat 4 part ya.

@bagihorror
@bacahorror
@ceritaht
@IDN_Horor
@threadhororr
@qwertyping

#diosetta #bacahorror Image
“Ini maksudnya apa? Jangan bilang kalau kamu bohong?” Ucap salah satu calon karyawan yang baru saja kukenal bernama Jatmiko.

“Tenang dulu, saya jelasin pelan-pelan” Jawabku yang cukup lega setelah berhasil membawa kembali mereka masuk ke dalam mess .
sayangnya makhluk di luar itu tidak menyerah, masih terdengar beberapa dari mereka mengetuk pintu bangunan ini berusaha memanggil kami keluar.

“Mas… sini, keluar dulu. Sudah dimasakin sama ibu”
Suara itu berasal dari seseorang yang terlihat seperti perempuan muda berpakaian kebaya.

“Iya, sebentar..” Ucap Jatmiko yang bersiap menghampiri perempuan itu.

Tanpa segan-segan aku menahanya dan membawanya ke sisi dinding.
“Kamu mau apa? Ini sudah lewat jam makan malam.. mungkin mereka yang ditugaskan menyiapkan makanan untuk kita” Balas Jatmiko.

Aku tak ingin berkata-kata terlebih dahulu sebelum menunjukkan kenyatanya kepada mereka.
“Ini, pegang ini… lalu liat keluar” Ucapku sembari memberikan lipatan kertas pemberian seorang bapak tua saat perjalananku ke sini kepada Jatmiko.

“Apa ini?”

“Sudah lakukan saja, ngeliatnya dari sini saja.. takut mereka curiga”
Walaupun cukup bingung dengan kelakuanku , Jatmiko masih mau melakukan apa yang kuarahkan.

Secara perlahan ia mengintip melalui balik dinding dan melihat ke arah luar jendela. Di sana terlihat ada beberapa orang yang sudah menanti kami untuk keluar.
Perhatian seluruh pekerja yang ada di mess itu seketika berubah ketika melihat wajah pucat Jatmiko yang berubah seketika.

“i—itu apa? Mereka siapa?” Tanyanya dengan wajah yang tidak percaya dengan yang ia lihat.
“Sebelum aku menjawab, kalian yang masih ingin memastikan silahkan lihat sendiri” Ucapku.

Hampir semua dari mereka bergantian memegang kertas itu dan hampir tidak mempercayai apa yang mereka lihat.

“Jelaskan.. jelaskan pada kami!” Ucap Jatmiko.
Setelah mereka semua melihat wujud asli perempuan-perempuan itu , akhirnya aku mulai berani menceritakan apa yang sebelumnya kulihat.

“Sepertinya, kita dijebak.. “ ucapku membuka cerita.
Aku menceritakan semua yang terjadi padaku sejak perjalananku ke tempat ini. mulai dari seorang bapak tua yang curiga dengan uang yang kubawa dan akhirnya memberikan lipatan kertas itu, rencanaku dan Gilang untuk melarikan diri.
Hingga saat melihat nenek tua berwujud gadis itu membawa seseorang ke tengah hutan dan seorang kakek yang menebas kepala orang itu dan membawanya pergi.

“Nggak, nggak mungkin…” Ucap salah satu karyawan lain yang ku kenal bernama Dadang.
“Terus kita semua teh mau dibunuh seperti orang itu? “ Ucapnya dengan suara yang bergetar.
Aku mengangguk.

“Kalau kami tidak melihat langsung , mungkin kami tidak akan percaya ceritamu.” Ucap Jatmiko.
Aku sadar ceritaku tidak masuk di akal, untungnya jimat ini juga bisa digunakan oleh mereka. Namun sepertinya benda ini masih jauh dari cukup untuk menolong kami.

“Lalu kita teh harus apa?” ucap dadang yang terlihat ketakutan.
“Kita tenang dulu, sepertinya mereka tidak bisa masuk ke bangunan ini.. semoga saja besok pagi kita bisa meninggalkan desa ini”
Mereka mengangguk setuju, namun di satu sisi aku merasakan firasat bahwa malam ini tidak akan bisa dilalui semudah itu hingga kami memutuskan untuk bergantian berjaga.

“Bu… Loro bu…. Sakitttt…”
Menjelang tengah malam, samar-samar aku mendengar suara rintihan yang tidak kuketahui dari mana asalnya. Perlahan aku berjalan keluar , namun suara itu menghilang dan dari luar jendela masih terlihat wanita-wanita itu masih mengelilingi bangunan ini.
Aku melihat dadang yang mendapat giliran jaga masih berjaga di depan bersama seorang lainya . Akhinya memutuskan untuk kembali ke tempat tidurku dan berharap bangunan ini bisa mengamankan kami dari niat jahat mereka yang berada di luar.
Malam semakin larut, terdengar suara petir menggelegar membangunkanku yang tertidur tak mampu menahan rasa kantuku. hujan mengguyur dengan deras hingga angin yang berhembus menggetarkan jendela-jendela kamar.

Aku terbangun dengan dengan kegelapan dari seluruh sisi ruangan.
“Jat... jatmiko, mati lampu!” Ucapku mencoba membangunkanya yang tidur tak jauh dari tempatku.
Jatmiko mengusap matanya dan mengambil telepon genggam dari tasnya untuk menyalakan senter sementara aku mengambil sebuah korek api dari tasku.
Cahaya dari korek apiku memenuhi ruangan dengan remang-remang. Aku melihat sekitar dan terlihat semuanya masih tertidur hingga aku mengarahkan korek apiku ke sudut ruangan.

Sebuah bayangan terbentuk dari seseorang yang berdiri di sana.

Itu Dadang…
Ia berdiri menatapku dan Jatmiko sambil tersenyum dengan aneh.

Jatmiko beranjak dari tempat tidurnya dan mencoba menghampiri Dadang, namun aku tersadar dengan bayangan di balik tubuh dadang.
Itu bukan bayangan Dadang, banyanganya berbentuk wanita berambut panjang dengan tanganya yang panjang hingga menjulur ke lantai.

“Tunggu Jat… ada yang nggak beres” Ucapku sambil menahan Jatmiko.
Jatmiko yang tersadar segera menghentikan langkahnya. Samar-samar terlihat Dadang berkata-kata cukup panjang ke arah kami namun suara petir dan derasnya hujan membuat kami tidak mendengar sepatah katapun darinya.
Khawatir dengan keadaan Dadang, kami memutusan untuk mendekat kearahnya, namun hembusan angin dari celah jendela membuat api yang menyala dari koreku mati dan hanya tersisa cahaya dari telepon genggam Jatmiko yang redup.
Sambil berusaha menyalakan koreku lagi, terdengar suara pintu kamar terbuka. Dan tepat saat koreku menyala Dadang sudah tidak ada lagi di tempatnya dan terlihat daun pintu sudah terbuka.
“Yanto, itu.. Dadang kesurupan” Tanya Jatmiko.
“Nggak tahu, Aku nggak bisa ngasi jawaban apa-apa, aku sama seperti kalian.. orang biasa yang terjebak di situasi ini” Ucapku.
“Terus gimana? Kita ikutin?” Tanya Jatmiko lagi.
Aku mengangguk. Tidak mungkin kami membiarkan dadang celaka seandainya kami bisa mencegahnya.
Tempat yang pertama kali kupikirkan adalah pintu keluar. Mungkin makhluk yang merasuki Dadang bertujuan untuk membawa Dadang keluar dan menemui perempuan-perempuan itu. namun ternyata Dadang tidak ada di sana.
“Apa perempuan-perempuan itu masih menunggu kita di luar?” Tanya Jatmiko.
Aku menggeleng menunjukan ketidak tahuanku. Namun tepat saat kami di sisi jendela sebuah kilatan menyambar dan menimbulkan cahaya yang menyinari tempat ini dengan singkat.
Dan yang kami lihat jauh lebih mengerikan dari sebelumnya..
Cahaya kilatan itu memperlihatkan..
Dari seluruh jendela bangunan ini masih berdiri perempuan perempuan tadi ditengah guyuran hujan menatap kami dengan penuh amarah…
Mereka berdiri mengawasi kami berdua tanpa bergerak sedikitpun.
“Keluar….”
Terdengar salah satu dari mereka memerintahkan kami untuk keluar.
Kali ini bukan dengan bujuk rayu. Melainan dengan ancaman.
Terlihat mata mereka menatap tajam ke arah kami dengan wajahnya yang pucat dibawah guyuran hujan.
“Keluar… atau kalian akan mati dengan lebih mengenaskan..”
Kata-kata itu terdengar dari perempuan di luar jendela yang ada di dekat kami.
Jatmiko terjatuh, kami tersadar sebesar apa bahaya yang sedang kami hadapi. Aku menariknya menjauh dari jendela ke balik dinding.

“To… apa kita bisa selamat?”
Ucap Jatmiko yang perlahan mulai menitikan air mata tak mampu menahan emosinya.
“Aku punya istri dan anak yang baru lahir… aku kira dengan bekerja di sini aku bisa memberi mereka nafkah yang cukup dan gak hidup kekurangan lagi. Tapi kenapa malah jadi begini”
Jatmiko menutup matanya, namun aku masih bisa melihat air matanya masih menetes dengan deras.
“Sabar Jatmiko, kita kesini dengan tujuan baik.. Pasrahkan perlindungan kita kepada Yang Maha Kuasa. Tidak ada entitas apapun yang bisa mengalahkan kehendaknya.” Ucapku berusaha menghibur Jatmiko, walaupun aku sendiri masih tidak yakin dengan keselamatanku.
Kami mengatur nafas sambil meratapi nasib kami, entah apa salah yang telah kami perbuat hingga kami sampai bisa terjebak di situasi ini.

Ditengah kebingungan kami, perlahan terdengar suara seseorang melangkah di lantai atas.
“Dadang..” Ucapku.
Aku segera berjalan menuju ke atas mengikuti arah suara itu. namun lagi-lagi kami tidak menemukan keberadaan Dadang.
Kami tidak menyerah, satu persatu kami menelusuri setiap ruangn di lantai atas hingga terhenti ke sebuah kamar yang sebelumnya terkunci.
Berbeda dengan ruangan sebelumnya, sesuatu seperti firasat mencoba menahanku untuk membuka ruangan itu. seperti ada sesuatu yang sangat mengerikan berada di ruangan itu.
“Yanto..kamu yakin? Perasaanku nggak enak..” Ucap Jatmiko yang sepertinya mendapat firasat yang sama.
“Aku khawatir sama Dadang…” Jawabku yang memang merasa tidak tenang apabila kami tidak memastikan Dadang tidak ada di ruangan itu.

Perlahan aku mencoba membuka pintu itu, suara pintu reyot yang bercampur dengan suara hujan menyambut kami ke dalam ruangan.
“bukanya sebelumnya pintu ini terkunci?” Tanya Jatmiko.
Aku menangguk, namun aku tidak dapat menjawab lebih jauh apalagi setelah aku mencium bau bangkai yang sangat menyengat di ruangan ini.
Ini ruangan yang besar, seukuran dengan kamar yang berisi kasur-kasur tempat kami tidur, namun bedanya tidak ada kasur di ruangan ini. hanya perabotan-perabotan usang.
Tepat ketika kilatan menyambar terlihat sesuatu berayun di ujung ruangan ini. seketika kami tersadar dengan suara gesekan benda yang menjadi tempat tergantungnya benda yang berada di sana.

Rasa penasaran membuat kami mendekat ke arah sesuatu yang berayun itu.
Ketika kilat menyambar sekali lagi, kami mulai menyadari bentuk sosok yang tergantung itu.

Manusia? Entahlah…

Bentuknya seperti manusia namun dengan kulit-kulit yang sudah membusuk.
Kedua tanganya tergantung di langit-langit rumah dengan ikatan tali yang sepertinya terbuat dari akar pohon.
Aku bergidik ngeri melihat sosok itu.
“I—itu mayat?” Tanya Jatmiko yang seharusnya ia juga tahu bahwa akupun tidak mengerti.

“Loro pak… sakit…”
Dari tubuh yang tergantung itu terdengar suara lirih persis seperti yang samar-samar kudengar tadi.
Tu—tunggu makhluk itu masih hidup??
Aku tidak tega melihatnya, dan mulai mencoba melangkah mendekat. Entah orang atau mahluk seperti apa yang tega berbuat sekeji ini terhadap orang ini.

Mungkin aku harus menurunkanya, setidaknya ia bisa terbaring dan mengurangi rasa sakitnya.
“Jauhi makhluk itu…”
Samar-samar terdengar suara yang melarangku untuk mendekat. Aku tidak melihat siapapun di sekitar, namun sepertinya aku mengenal suara itu.
“Temanmu ada di dekat tangga, dia dalam bahaya”
Aku semakin yakin dengan suara itu, dan segera berlari meninggalkan ruangan itu.
“Jat.. kita pergi!” Perintahku.
Tanpa bertanya , Jatmiko segera menyusulku dan berlari ke arah tangga tempat kami naik tadi.
Benar ucapa suara tanpa wujud tadi, Dadang berada di balkon dekat tangga. Dia memanjat dan berdiri menaiki balkon.
“Dadang… kamu mau ngapain?” Teriakku.
Dadang menoleh ke arahku dengan air mata yang bercucuran.
“Tubuh saya bergerak sendiri, tolong mas…” Ucapnya.
“Lawan Dang! Lawan!” Ucapku yang berusaha mendekat. Namun setiap aku mendekat Dadang melangkah sedikit untuk menjatuhkan tubuhnya dari tempat itu.
“Dang baca Doa! Baca semua doa yang kamu bisa! Jangan kalah dari makhluk itu!” Ucap Jatmiko.
Samar-samar hujan mulai reda. Aku tahu aku tidak akan bisa mencapai tempat dadang saat ini. bila aku mendekat makhluk itu pasti akan menjatuhkan dirinya.
“Dang! Lawan… doa apapun pasti bisa menolongmu!” Ucapku berteriak sekeras kerasnya.
Aku dan Jatmiko tidak bisa berbuat apa-apa, namun ada sesuatu yang ku harapkan dengan setiap teriakan kami.
“Mas… tolong sampaikan maaf dadang buat keluarda dadang” Ucap dadang yang terlihat tidak mampu bertahan hingga akhirnya menjatuhkan dirinya dari tempat itu.
“Dadang!” Teriak Jatmiko.
“Tenang Jat..” Ucapku yang terus berusaha berdoa berharap yang terbaik.

Dan benar, saat kami menengok ke bawah dadang sudah berada di bawah di pelukan salah satu teman kami yang lain.

Beruntung tidak ada luka yang berarti di tubuh Dadang.
Rupanya teriakan kami berhasil membangunkan mereka yang masih tidur di kamar hingga mereka bisa menangkap Tubuh Dadang tepat waktu.

Tepat setelah kejadian itu terdengar suara ayam berkokok , dan kegelapan malam perlahan mulai meninggalkan tempat ini.
Kami kembali berkumpul di kamar dan menceritakan semua kejadian semalam. Saat ini tidak ada lagi wanita yang menanti kami di setiap jendela namun kami harus tetap berhati-hati sebelum mencoba meninggalkan tempat ini.
Tak lama setelah matahari terbit samar-samar terdengar suara mobil mendekat ke tempat ini.
Kami yang mengharap pertolongan segera keluar dan mencoba mencari tahu.

Seorang ibu berpakaian jawa dengan kharisma yang sangat memancar turun dari mobil menghampiri seorang kakek.
Aku menahan mereka semua saat melihat sosok kakek tua itu.
“i—itu Jat, itu kakek yang memenggal kepala orang yang kulihat” Ucapku.
“Mundur Yanto.. kalau begitu kita jangan mendekat!” Jatmiko memperingatkanku.
Kami memutuskan untuk menguping dari balik dinding .
“Bagaimana ini mbah, anak saya kesakitan… semalam ia terus merintih di mimpi saya, saya nggak kuat ngeliatnya” ucap wanita itu.
“Sudah! Sabar! Ada salah satu dari tumbal yang kalian kirim ke sini yang memiliki ilmu… tapi malam ini mereka tidak akan bisa selamat” Ucap Kakek tua itu.
“Pokoknya saya tidak mau tahu! Sesuai permintaanmu.. setelah tumbal ke seratus anakku bisa sembuh dari kutukan orang biadab itu! akan kukirim berapapun yang kau mau!”
Rupanya suara perbincangan mereka berdua terdengar jauh sampai ke dalam.
Salah satu dari calon pekerja yang merasa emosi mendobrak lari keluar dan mengepalkan tanganya bersiap menyerang wanita itu.

“Jangan gegabah!!” Ucapku berteriak mencoba menahanya, namun amarahnya sudah membakar akal sehatnya.
“Enak saja menjadikan kami tumbal! Lebih baik kamu yang mati. Rupanya orang itu juga menggenggam sebilah pisau lipat dan bersiap untuk menusuknya.
Aneh… sungguh aneh, entah apa yang wanita itu lakukan sehingga pria itu tiba tiba berhenti. Lututnya terlihat bergetar dan matanya terus memandang dengan takjub ke perempuan itu.

Entah apa yang membuatnya seperti itu hingga ia berlutut dan mencium kaki wanita itu.
Saat itu juga kakek tua itu menarik rambut pria itu dan menebaskan parang yang ada di lenganya hingga kepala pria itu terpisah dari badanya.

Mengerikan… mereka menghabisi satu nyawa tanpa ragu. Mereka lebih dari sekedar pembunuh yang sering kubaca di koran.
Wanita itu menoleh ke arah kami yang terpaku pada kejadian itu dari dalam rumah.
Tatapanya penuh dengan amarah seolah melampiaskan semua kegagalan rencananya kepada kami.
Entah mengapa sepertinya mereka menahan diri untuk tidak memasuki bangunan ini.

“Ningsih!”
kakek tua itu memanggil seseorang, dan seorang perempuan muda segera berlari menghampiri kakek itu.

“iki.. urusono” (ini , sana urusin) Perintah kakek itu.
Terlihat perempuan itu mengeluarkan sebuah mangkok yang terbuat dari batok kelapa dan menampung darah dari kepala orang itu.

Darah itu adalah darah dari seseorang yang semalam masih bertahan bersama kami , dan seharusnya ia masih bisa hidup apabila bisa menahan emosinya.
Dengan mangkok yang penuh darah perempuan itu menghampiri kami ke dalam rumah.

Aku mundur menjauh dan berkumpul bersama yang lainya. Sementara perempuan itu naik ke lantai atas tepat ke kamar yang berisi makhluk mengerikan itu.
Sialnya aku tidak bisa menahan rasa penasaranku dan peergi mengikutinya.

Terlihat wanita itu mengambil kursi kayu, menaikinya meminumkan darah di mangkok itu ke makhluk yang tergantung itu.

“A—apa yang kamu lakukan?” tanyaku penasaran.
“Dengan meminum darah ini, dia bisa menahan rasa sakitnya” Ucapnya.

“Ka—kamu siapa?” Tanyaku.

“Aku sama seperti kalian… hanya saja aku akan menjadi tumbal yang ke seratus” ucapnya dengan tenang.

Bagaimana mungkin seseorang yang akan ditumbalkan bisa setenang ini.
“Tenang saja, tidak akan ada yang memasuki bangunan ini.. siapapun yang pernah memijakan kaki di tempat ini akan terpilih menjadi tumbal mereka” Jelasnya.

Akhirnya satu jawaban terpecahkan. Ternyata itu alasan tidak ada dari mereka yang mau memasuki bangunan ini.
“berarti kamu juga akan mati?” Tanyaku.
Wanita itu tidak menjawab. Ia kembali menutup pintu ruangan itu. berjalan menuruni tangga dan melangkah keluar.

Aku mengikutinya dan terhenti tepat di belakang pintu.

Wanita berkebaya dan kakek tua itu menatapku dengan penuh amarah.
“Metu kowe! Kowe sing nggagalke rencanaku” (Keluar kamu! Kamu yang menggagalkan rencanaku) Ucap kakek itu.

Tidak.. aku tidak akan terpancing. Tetapi sepertinya kakek tua itu tidak menyerah, ia menatapku dan membaca sebuah mantra.
Tiba-tiba sesuatu merasuki tubuhku membuat kakiku bergerak perlahan melangkah keluar.
“Jatmiko! Tolong!” Teriakku.

Dengan segera mereka yang didalam berlarian menahan tubuhku untuk keluar. Namun tenaga sesuatu yang merasukikku terlalu besar hingga mereka kesulitan menahanku.
Saat sebagian tubuhku meninggalkan bangunan ini, terlihat mata wanita berkebaya itu semakin indah, kharismanya membuatku ingin mengabdi kepadanya.

Aku tidak mampu bertahan lagi. Apa mungkin aku juga akan berakhir seperti temanku tadi.
Ditengah kepanikanku samar-samar terdengar mantra di kepalaku seperti ada yang membacakanya dari jarak dekat.

Seketika aku mampu menguasai tubuhku kembali dan segera berlari ke dalam bangunan.

Aku kenal suara seseorang yang membacakan mantra itu.
“Ingat! Bocah itu tidak selamanya dapat melindungi kalian!” Ucap kakek tua itu.

Tunggu siapa orang yang kakek itu maksud. Apa mungkin…

“Jatmiko! Lipatan kertas itu! serahkan padaku!” perintahku.
Jatmiko mengambil benda itu dari salah satu teman kami yang terakhir menggunakanya. Aku menggenggamnya dan samar-samar melihat sesuatu seperti kabut yang berbentuk manusia. Sosok manusia yang kukenal.
“Danan! “ Aku merasa ragu, tapi saat ia menoleh aku sangat kenal dengan wajah itu.

“Bagus… kamu bisa melihatku?” Ucap Danan yang entah bagaimana bisa ia berada dalam wujud apa itu.

“Aku masih dalam perjalanan… bertahanlah sampai aku datang”
Seketika aku merasa lega. Danan adalah teman kuliahku dulu, aku tidak tahu apa yang telah terjadi selama kami tidak bertemu hingga ilmunya bisa sehebat ini.
“bekumpulah di satu tempat di bangunan in,i jangan keluar sampai aku datang. Kamu masih ingat cara bertahan hidup saat masih sering mendaki gunung kan?”
Aku mengangguk, samar-samar aku mengingat saat-saat kami mendaki ke merapi dan beberapa gunung lain bersama Rama.
Ucapan danan benar, aku harus mengatur persediaan logistik kami untuk beberapa hari ini agar bisa bertahan hidup.

“Aku tidak bisa berada dalam wujud sukma ini lebih lama… hafalkan mantra ini, bacakan saat ada kejadian seperti tadi”
Saat itu aku mengingat dengan jelas setiap kata yang diucapkan Danan.

Sebuah mantra yang sebenarnya lebih mirip dengan doa yang memiliki makna bahwa setiap bagian dari jiwa dan raga ini adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa dan semuanya dari milik kami adalah hakNya.
Tak ada satupun entitas yang berhak mengambilnya dariNya.

Setelah mengajarkan mantra itu wujud Danan menghilang, dengan segera aku mengajak semua orang masuk ke dalam kamar dan menjelaskan tentang apa yang terjadi.
Wajah mereka sedikit lebih tenang ketika mengetahui akan ada yang menolong kami dari tragedi ini.
Namun dari Jauh sosok kedua manusia yang lebih pantas disebut setan itu masih memandangku dari jauh seolah tidak akan membiarkan kami untuk hidup lebih dari hari ini.

***
....

Di sebuah bis aku tersadar setelah mencoba menggunakan ilmu rogosukmo yang diajaran paklek. Beruntung hanya sedikit kursi yang terisi sehingga aku bisa bermeditasi sementara Cahyo menjaga Tubuhku.

“Gimana? Temanmu masih selamat?” Tanya Cahyo.

Aku mengangguk.
“Masih, tapi nggak tahu apa yang akan terjadi malam ini..” Balasku.

Cahyo menghela nafas, sepertinya ia juga sudah mendapat firasat yang buruk mengenai apa yang akan kami hadapi.

“Tapi kamu sudah tau sosok apa yang akan kita lawan?” Tanya Cahyo lagi.
“Seorang dukun, dan keluarga bangsawan.. .sepertinya ia berasal dari trah terkutuk. Pokoknya kita harus berjaga agar tidak masuk kedalam pertikaian mereka” ucapku.

Cahyo mengangguk, namun terlihat dari wajahnya sepertinya ia merahasiakan sesuatu.
“Aqua! Tissue! Rokok!”

terdengar suara pedagang asongan menghampiri kami.

“Mas tissue mas” Tawar pedagang itu.

Aku menggeleng, namun entah mengapa pedagang itu seolah memaksa. Aku berusaha membuang muka untuk menghindarinya.
Samar-samar dari pantulan kaca jendela aku melihat wajahku yang penuh coretan.

Seketika aku menoleh ke arah Cahyo yang sudah bersiap mengambil tas dan berjalan ke pintu depan.

“Terminal bang! Terminal!” Ucap Cahyo yang segera direspon oleh sopir bis itu.
Aku segera mengambil tasku dan turun menyusulnya.

“Heh! Asem kowe Panjul! Orang lagi ngerogosukmo malah dicoret-coret… penistaan ilmu itu namanya” Ucapku sambil membersihkan wajahku.
‘Mau ngelawan demit, mukanya jangan kalah serem sama demit” Ucap Cahyo yang masih tertawa terpingkal-pingkal.

Sebelum aku sempat melempat sandalku ke arah cahyo tiba-tiba aku terhenti saat melihat seseorang yang sedang menunggu.
Aku memperhatikan ciri-cirinya persis dengan yang diceritakan seseorang yang menelpon kami.

Yang pasti wajahya terlihat pucat dengan rasa cemas yang terpancar dari wajahnya. Sepertinya ia juga mengalami malam yang mengerikan.

(Bersambung…)
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai.
mohon maaf kalau sudut pandangnya berpindah2 ya... semoga masih bisa dinikmati.

untuk part 3nya sudah bisa dibaca di @karyakarsa_id ya..jangan lupa pake kode Voucher : NINITHOWOK12

karyakarsa.com/diosetta69/3-d…
DESA TANGGUL MAYIT
Part 3 - Penghuni Hutan Keramat

Bacanya tar malem aja ya... part ini ga gitu serem soalnya

@IDN_Horor
@bacahorror
@qwertyping
@bagihorror
@ceritaht Image
Sebuah bis berlogo perusahaan mengantar kami menembus hutan-hutan yang hanya menyisakan sedikit jalur untuk bis ini melintas.
“Pak, wis suwi kerjo ning perusahaan iki?” (Pak, sudah lama kerja di perusahaan ini?)
Tanya cahyo yang terlihat mencoba mengulik informasi dari supir bis yang kami tumpangi.
“suwi mas.. wis puluhan taun”(Lama mas, Sudah puluhan tahun) Jawabnya singkat.
“Wah betah yo? Gajine mesti guede yo..” (Wah betah ya? Gajinya pasti besar ya?) Lanjut Cahyo.
Terlihat bapak itu menghela nafas dengan wajahnya yang terlihat cemas.
“Lumayan mas,tapi gak beda jauh sama pabrikan lainya.. yang penting keluarga saya bisa tetap hidup “
Bis melaju melalui beberapa persimpangan, terlihat plang beberapa logo perusahaan lain menunjukan arah ke persimpangan lain.
“Tempat ini digarap berapa perusahaan pak?” Lanjut Cahyo.
“Seingat saya ada sekitar tujuh, tapi beda-beda bidang ada penebangan, batu, pasir sungai” Jawab supir itu.
Cahyo melihat sekeliling pemandangan di sekitar bus ini. memang terdapat pemandangan beberapa tempat sudah ‘digarap’.
“Semoga saja , sumber daya ini tidak habis dengan sia-sia ya” Lanjut Cahyo.
Sampai di sebuah persimpangan , Gilang yang sedari tadi merasa tegang memperhatikan jalur seolah merasakan ada yang aneh.
“Mas Danan , kemarin jalurnya nggak lewat sini..” Ucap Gilang berbisik.
Aku mengangguk menerima isyarat , namun kami tidak dapat berbuat apa-apa agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Kami tiba di sebuah tempat dengan bangunan-bangunan proyek yang yang di bangun di sekitar sungai dengan tanggul yang dibuat untuk mengatur debit sungai.
Kami turun tak jauh dari sebuah pos yang dijaga oleh beberapa petugas.
“Dulu saya sama Yanto tidak diturunkan di sini mas…” Ucap Gilang.
Aku mengerti, samar-samar aku juga masih ingat lokasi Yanto saat memastikan kondisinya dengan ilmu rogosukmoku.
Mungkin desa tempat Yanto berada saat ini merupakan desa yang memang ditujukan untuk penumbalan.
“Kira-kira mas Gilang tau arah ke desa kemarin?” Tanyaku.
Gilang mengangguk, kemungkinan setelah ini kami akan berjalan kaki menuju desa itu.
“Pos Jaga ada di sebelah sana, silahkan melapor dulu…” teriak sopir itu mengarahkan kami dan beberapa penumpang lain.
Aku dan cahyo melihat sekeliling, tidak ada yang aneh dengan tempat ini. Bahkan dengan mata batin , kamipun tidak menemukan hal-hal yang berbahaya.
“Mas, ning kene wis aman.. lebih baik urunkan niat masnya sebelum bertindak lebih jauh”
Tiba-tiba supir bus tadi menghampiri kami seolah memang sudah curiga dengan kami. Tetapi , terlihat raut muka cemas di wajah supir bus tadi.
Kami sedikit bingung membalas ucapanya.
Walaupun kami tidak melihat apapun, kami tetap merasa bahwa bapak ini juga diawasi oleh sesuatu yang berbahaya.
“Terima kasih pak, selamat bertugas..” Ucap Cahyo membalas ucapan supir itu.
Supir itu berjalan kembali dengan ragu-ragu ke arah bis, namun sampai di tengah jalan ia kembali ke arah kami dengan wajah yang cemas.
“Jalur ke tempat yang kalian tuju sudah tidak sama, sudah banyak orang sakti yang datang, namun mati sebelum sampai ke desa itu.” Ucapnya sambil melirik ke sekitar berharap tidak ada yang mendengar ucapanya selain kami.
“Sudah, bapak kembali saja.. terima kasih atas infonya, setelah semua ini selesai semoga bapak bisa berkumpul sama keluarga bapak lagi” Balasku.
Bapak itu menghela nafas panjang dan meninggalkan kami tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
“Danan jangan biarkan bapak itu mati” Ucap Cahyo dengan wajah yang serius.
Aku mengangguk. Semenjak memasuki hutan raut wajah cahyo berubah drastis, sesuatu yang besar tersembunyi di hutan ini. Sesuatu yang sangat berbahaya.
“Sebentar Mas Danan, maksudnya supir bus tadi membantu kita?” Tannya Gilang.
“Iya, dia menurunkan kita di tempat yang aman.. dan keputusanya itu mempertaruhkan nyawanya” Jawabku.
Gilang terlihat heran, mungkin di perkiraanya bapak supir bis tadi sengaja menjauhkan kami dari desa tadi untuk mencegah kami menyelamatkan Yanto.
“Tapi bagaimana bapak itu bisa tahu soal Mas Danan dan Mas Cahyo punya kemampuan?” Tanya Gilang.
Kali ini Cahyo yang maju mendekat ke mas gilang.
“Bapak itu sudah sering mengantar ke dalam hutan ini, dia sudah bertemu ratusan atau bahkan ribuan orang.
Sekarang ia sudah bisa membedakan mana penumpang yang akan jadi pekerja, penumpang yang akan jadi tumbal, dan mana penumpang bermaksud khusus seperti kita” Jelas Cahyo.
Sepertinya Gilang tetap tidak mengerti, namun ia terlihat berusaha untuk tidak bertanya lebih jauh.
Perlahan kami berhati-hati menjauhi pos jaga dan masuk ke dalam hutan dengan pohon-pohon jati muda yang tertata rapi.
Secepat mungkin kami mejauh dan mencari arah ke jalur kendaraan tadi.
“Desa itu masih jauh, kalau dengan bis bisa sekitar setengah jam lagi.. tapi kalau berjalan kaki bisa dua jam. Dulu saya keluar dari sana dengan menumpang truk pasir” Jelas Gilang.
“Berarti estimasi kita sampai sana menjelang maghrib ya?” Tanyaku.
Gilang mengangguk.
Sebenarnya mungkin sepanjang perjalanan akan ada kendaraan atau truk yang akan melintas. Namun setelah perbincangan dengan supir bis tadi. Kami memutuskan untuk melalui ini dengan berjalan kaki dan bersembunyi setiap ada kendaraan yang melintas.
Hutan di bukit ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan hutan lainya. Apalagi sebenarnya sebagian dari hutan ini sudah digarap jadi seharusnya penunggu-penunggunyapun sudah berpindah atau dipindahkan.

“Danan kita berhenti dulu..” Ucap Cahyo tiba-tiba.
Aku menghentikan langkahku sambil melihat ke sekeliling.
“Kenapa Cahyo?” Tanyaku.
Cahyo mengorek isi tasnya dan mengeluarkan sebungkus plastik.
“Kita Istirahat dulu di sini, sayang bekalnya kalau tidak dimakan” Ucap Cahyo tiba-tiba.
Awalnya aku mengira memang Cahyo yang sudah mulai kumat lagi, , namun aku tidak jadi melemparkan sepatuku saat melihat raut wajah Mas Gilang.
Wajah Mas Gilang terlihat pucat, setelah melalui malam yang mencekam sepertinya ia terus memaksakan diri. Dan bodohnya aku tidak menyadari itu.
“Mas, mereka yang di desa dalam bahaya… apa nggak sebaiknya kita cepat-cepat ke sana?” Tanya Gilang yang khawatir dengan keadaan Yanto dan lainya.
Bukanya menjawab, Cahyo malah mengeluarkan beberapa lemper dan gorengan dari kantong kreseknya ke hadapan Gilang.
“mangan sek.. siapin tenaga, jangan sampe usaha kita gagal gara-gara kualat” Ucap Cahyo.
“Kualat kenapa mas cahyo?” Tanya Gilang.
“Kualat gara-gara gak ngehabisin bekal seenak ini…” jawabnya dengan mulut yang masih penuh dengan gorengan.
Aku tertawa mendengar ucapan cahyo, dia selalu bisa menghilangkan suasana tegang di kondisi apapun. Apalagi saat ini Gilang sudah tidak ragu lagi untuk meletakkan perlengkapanya dan makan bersama kami.
“Mas Gilang, jangan terlalu memaksakan diri ya… setiap manusia punya batasnya masing-masing.” Ucapku sebelum melanjutkan perjalanan.
Gilang mengangguk, kini sepertinya ia mulai mengerti maksud Cahyo yang mengajak kami berisitirahat tadi.
Saat matahari mulai terbenam, suasana hutan berubah drastis. Kami menggunakan senter untuk penerangan kami yang memang telah kami persiapkan. Tanpa cahaya senter ini hampir tidak ada yang bisa dilihat di hutan ini. cahaya bulanpun sulit untuk menembusnya.
Di tengah perjalanan, samar-samar kami mendengar suara kerumunan orang yang berjalan melintasi hutan ini.
“Srek…. srek…” Seperti suara kaki diseret oleh sekumpulan orang.
Pandangan kami mengikuti arah suara itu hingga melihat bayangan segerobolan orang dari jauh sedang berjalan membawa peralatan kerja.

“Ada orang mas..” Ucap Gilang.
Aku dan Cahyo mendekat ke arah mereka penasaran dengan apa yang akan orang itu lakukan di malam hari seperti ini.
Saat semakin dekat tiba-tiba wajah gilang berubah menjadi pucat pasi, tubuhnya terjatuh seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Aku segera menarik tubuhnya dan menutup mulutnya berusaha agar makhluk itu tidak menyadari keberadaan kami.
Srekk… srekkk…..
Suara itu terdengar di hadapan kami dari sosok makhluk-makhluk itu.
Sosok itu ada adalah sekumpulan makhluk menyerupai manusia dengan bagian tubuh yang tidak lengkap. Seluruh kulitnya hitam legam seperti membusuk dengan rongga kosong di setiap lubang di wajahnya.
Mereka berjalan menyusuri hutan ini tanpa arah dengan menyeret kapak, cangkul, dan benda-benda yang biasa digunaakan untuk menebang pohon.
“Danan, apa tidak sebaiknya kita tenangkan roh-roh itu?” Tanya Cahyo.
Aku menggeleng. Sepertinya menenangkan roh itu bukan perkara mudah.
“Mereka bukan makhluk yang mati dengan wajar, kita harus cari tahu penyebabnya dulu..” Jawabku.
Cahyo berjalan ke arah hutan tempat makhluk itu berasal tadi, aku mengikutinya dan tanpa sadar aku dan Cahyo terjatuh oleh sebuah kekuatan mengerikan yang berada di hadapan kami.
Cahyo menoleh kearahku , aku mengangguk mengerti dengan isyaratnya.
“Mas Gilang , tunggu di sini.. jangan tinggalkan tempat ini” Perintahku pada gilang.
Aku dan Cahyo berjalan dengan hati hati menuju hutan yang terletak di sisi barat. Sebuah papan bertuliskan arah yang sudah karatan terlihat menyambut kami.
Semakin jauh kami berjalan terlihat beberapa garis polisi dan bangunan proyek semi permanen yang sudah hancur terbengkalai termakan usia.
Cukup jauh dari sisi hutan kami melihat sebuah bangunan kayu yang sudah sangat tua dengan berbagai papan kayu dipaku menutupi jendela dan pintu itu.
Sebelum sempat mendekat, tiba-tiba dari sisi pohon di hadapan kami muncul seorang nenek tua menampakan sebagian dirinya yang tertutup pohon.

“Ojo kewanen nyedaki omah kuwi..”
(Jangan berani-berani mendekati rumah itu)
Wujud dihadapan kami adalah seorang nenek dengan pakaian kebaya usang yang berantakan dengan rambut putihnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya.

“Opo karepmu? (Apa maumu) Tanya Cahyo.
“Karepku? bocah-bocah kurang ajar! Mustine aku sing takon opo urusanmu ning kene!” (Mauku? Bocah-bocah kurang ajar! Harusnya aku yang bertanya apa urusanmu di sini) Balas nenek itu pada Cahyo.
Aku mencoba mendekat dan menyadari bahwa nenek itu adalah manusia. Dengan segera aku menahan cahyo yang sedari tadi terlihat gelisah.

“Nga.. ngapunten mbah, sepertinya kami tersesat. Kami mencari sebuah desa, teman kami dijebak dan ingin ditumbalkan di sana” Jelasku.
Nenek itu memperhatikanku dengan seksama.
“Deso Tanggul mayit… ono neng arah lor” (Desa tanggul mayit, ada di arah utara) Ucap nenek itu yang ingin segera berpaling dari kami.
“Mbah..mbah tahu desa itu” Tanyaku yang tak puas dengan jawaban nenek itu.
Nenek itu kembali menoleh ke arah kami, dia keluar dari pohon yang menutupinya. Kini kami melihat wujud nenek itu sepenuhnya.
Sebagian tubuh dari nenek itu berwarna hitam seolah sudah membusuk. Bekas luka dengan darah yang dikerubungi lalat terlihat di tangan dan kakinya.
“C—cahyo, tubuh nenek itu… persis seperti makhluk yang tergantung di salah satu ruangan di mess desa itu” Ucapku.
“Nek.. tubuh nenek?! “ Ucap Cahyo yang seketika menjadi khawatir.
“Ini yang akan terjadi pada kalian apabila kalian mendekat ke bangunan itu!” Ucap nenek itu dengan lemah.
Dan tak lama setelahnya nenek itu jatuh pingsan.
Tepat saat nenek itu jatuh perasaan mengerikan muncul dari arah bangunan itu.
“Nggak.. nggak mungkin masih ada makhluk seperti itu di alam ini” Ucap Cahyo yang tidak percaya dengan apa yang ia rasakan dari sosok makhluk yang ada di bangnan itu.
“apa kutukan dari makhluk itu penyebap kematian semua pekerja tadi? “ aku mencoba menanyakan pertimbangan pada Cahyo.
Belum sempat menjawabku cahyo memilih untuk mendekat ke arah Nenek itu dan mencoba memeriksanya.
“Sebagian tubuhnya sudah membusuk, dia bertahan hidup dengan separuh tubuhnya yang dibantu dengan ilmu batin” Ucap cahyo.
Cahyo membacakan beberapa mantra yang kutahu merupakan mantra pemulih. Aku membantunya untuk memulihkan tenaga nenek tadi berharap ia masih bisa tersadar dan menjelaskan tentang semua ini.
Cukup lama, namun nenek itu berhasil tersadar dan mencoba kembali berdiri. Saat itu juga ia membacakan sebuah mantra , meludahi tanganya dan mengusapkanya ke tanah.
Seketika kekuatan mengerikan dari bangunan tua itu mulai mereda sedikit demi sedikit.
“Mbah, Jelaskan pada kami... ada apa dengan ini semua” tanyaku.
Nenek itu memandang kami berdua seolah menemukan sesuatu.
“Akan kuceritakan, dengan satu syarat… “ ucapnya sambil menatap kami.
“Apa mbah?” tanyaku.
“Tinggalkan tempat ini, dan jangan kembali sampai kalian siap”
“Ceritakan nek, mungkin nenek belum tau kemampuan kami” Ucap cahyo.
“Jangan sombong! Turuti ucapan saya… “
Seketika kami tersadar, memang kami telah mampu menyelesaikan masalah sebesar jagad segoro demit sebelumnya, dan ternyata ini membuat kami memandang permasalahan lain dengan lebih enteng.
“Baik nek.. kami berjanji” Ucapku sambil memandang cahyo dan ia mengangguk setuju.
Aku membawa nenek itu ke tempat Gilang menunggu,sangat terlihat wajah cemas di wajah Gilang , dan lagi dia kaget dengan keberadaan nenek mengerikan ini.
“Mas Gilang… kita dengar cerita nenek itu dulu, mungkin kita bisa menemukan petunjuk” Jelasku.
Mas Gilang mengangguk setuju.
“Cerita ini bermula saat terjadi dua bencana secara bersamaan….”
….
Nenek itu bercerita mengenai keberadaan sesosok makhluk terkutuk yang terkurung di bangunan kayu tua itu. Makhluk penuh dendam yang mengutuk dirinya dan telah disegel selama berpuluh-puluh tahun di bangunan itu.
Suatu ketika perusahaan yang menggarap hutan ini menemukan keberadaan bangunan tua itu. Sang nenek ternyata adalah seorang dukun yang menghabiskan hari tuanya untuk mengusir siapapun yang mendekat ke bangunan itu agar tidak ada yang melepaskan makhluk itu.
Sampai suatu ketika, perusahaan itu membutuhkan lahan yang lebih luas sehingga memanggil sekumpulan dukun dan melepaskan makhluk itu tanpa tahu bahayanya.
Saat itu juga seluruh pekerja termasuk ayah dan anak pemilik perusahaan itu mati dengan misterius. Seluruh tubuhnya membusuk tanpa sebab.
Nenek itu mencoba melindungi dirinya dari kutukan itu namun sebagian tubuhnya tetap menghitam dan membusuk. Ia bertahan hidup menunggu amarah makhluk itu mereda dan mengurungnya kembali di bangunan itu. Namun itu hanya sementara sehingga nenek itu harus terus menjaga hutan ini.
Sayangnya kejadian itu menjadi awal permasalahan baru.
Saat itu istri dari pemilik perusahaan memeriksa jasad suami dan anaknya yang mati dan menemukan anaknya masih bernafas dengan tubuh yang sudah membusuk dan penuh luka.
Ilmu medis tidak dapat menjelaskan mengenai kejadian itu. sehingga ibu kehilangan akal sehatnya dan mengambil keputusan yang fatal.
Bersama seorang dukun ia menghampiri sebuah desa , desa yang saat ini sedang kami tuju.
Desa yang diisi oleh makhluk yang tidak bisa disebut manusia ataupun demit. Sebuah desa yang bila dilihat dengan mata batin adalah desa yang dikelilingi oleh Tanggul ghaib sehingga tidak terlihat dan tidak terdeteksi oleh mata manusia biasa.
Dukun itu menjelaskan bahwa anak itu masih bisa diselamatkan. Dukun itu membuktikan dengan menumbalkan salah seorang anak buah ibu pemilik perusahaan itu dan menumpahkan darah ke tubuh anaknya.
Seketika tubuh yang sudah membusuk itu bergerak dan mulai bisa berbicara.
“loro bu…. Aku ra kuat” (Sakit bu… aku tidak kuat)
Dukun itu menjelaskan, anaknya bisa kembali pulih setelah tumbal ke seratus. Setiap darah yang mengalir di tubuhnya akan mengangkat rasa sakit anaknya hingga pulih sepenuhnya.
Melihat kejadian itu ibu itu menutup akal sehatnya dan mulai mengirimkan tumbal ke desa itu setiap waktu yang ditentukan. Kekayaan yang ia miliki dan pengaruhnya sebagai keluarga bangsawan dengan trah keramat membuatnya bisa melakukan hal itu dengan mudah.

Cerita yang sangat sulit kami percaya, seandainya kami berhasil menyelamatkan Yanto , ternyata masih ada hal besar yang sulit kami selesaikan.
“Mbah… apa mungkin sebenarnya anak ibu itu sudah mati?” Tanyaku.
“Bagus, kalau kamu bisa sadar hanya dengan ceritaku” Jawab nenek itu.
Sebenarnya bukan hanya dari cerita nenek itu. aku sedikit tahu karena sudah melihat sosok makhluk itu saat dalam wujud rogosukmo.
“Maksudmu apa Danan?” Tanya Cahyo.
“Anak dari ibu itu sudah mati duluan sebelum terkena kutukan dari makhluk dalam bangunan tua itu, sejak awal tubuh anaknya sudah diisi oleh makhluk lain” Jelasku,
“Maksudmu anak itu sudah di santet ?” Tanya Gilang.
Aku mengangguk.
“Namun sepertinya ibu itu tidak mengetahui atau tidak mau menerima tentang kenyataan ini sehingga dimanfaatkan oleh makhluk di desa itu” Jelasku.
“Maaf nek ,dari mana nenek tau bahwa Ibu pemilik perusahaan itu berasal dari Trah keramat?” Tanya Cahyo.
“Trah Darmowiloyo.. kami berasal dari keturunan yang sama” Jawab nenek itu.
Kami menarik nafas panjang, semakin banyak pertanyaan yang ingin kami tanyakan namun akhirnya kami memutuskan untuk menahanya.
Jangan sampai pertanyaan kami menyinggung perasaan seorang nenek yang sudah sangat menderita ini.

Nenek itu memandangku dan cahyo sesaat sebelum kembali berdiri.
“Sesuai janji kalian, segera tinggalkan tempat ini… “ ucapnya yang segera berjalan kembali ke dalam hutan mengerikan itu.
..
“Mbah!”
Tiba-tiba Cahyo berlari menghampiri nenek itu.
“Opo meneh?!” (apa lagi?) Ucap Nenek itu.
“Iki mbah, Gedang goreng karo lemper buatane bulek pancen uenak… dicobain ya mbah” (Ini mbah, pisang goreng sama lemper buatan bulek bener-bener enak, dicobain ya mbah)
Nenek itu membuka kantong kresek yang diberikan oleh cahyo dengan sebelah tanganya.
Entah hanya perasaanku saja atau memang aku benar-benar melihat senyuman kecil dari wajah mengerikan nenek itu.
Tinggal di hutan sendirian bukan perkara yang mudah.
Entah kapan nenek itu terakhir kali memakan makanan sewajarnya selain biji-bijian dan umbi-umbian yang ada di sekitar tempat ini.
“Ndang lungo o… inget, ojo mati!” (Cepet pergi sana! Ingat, Jangan mati!) Ucapnya.
Setelah nenek itu pergi , kami berjalan ke arah yang ditunjukan.. arah sebuah desa yang disebut dengan nama Desa Tanggul mayit.

Namun sebelum jauh meninggalkan sisi hutan tempat nenek itu berada samar samar aku merasakan keberadaan sesosok makhluk yang memperhatikan kami.
Kami yang merasakan hal itu segera menoleh ke belakang dan dari jauh terlihat sesosok bayangan menyerupai sebuah boneka kayu yang melayang diantara pepohonan. Namun saat kami melihatnya dengan lebih jelas, sosok itu menghilang tanpa petunjuk apapun.
“Sudah Danan.. kita fokus menolong Yanto dulu” Ucap Cahyo.
Aku setuju dan segera meninggalkan tempat itu. Mungkin keberadaan makhluk ini yang membuat tidak ada demit alas lain di sekitar tempat ini. dan mungkin makhluk itu juga yang menyebabkan kematian orang-orang sakti yang datang ke tempat ini seperti ucapan supir bis tadi.
….
Tidak butuh waktu lama hingga kami sampai di tempat yang kami tuju dan mengetahui kengerian dari tempat ini.
Saat ini dari jauh sudah terlihat sebuah bangunan besar di tengah desa tertutup rapat dengan sekumpulan wanita aneh berpakaian kebaya mengelilingi tempat itu.

“Jadi Yanto ada di bangunan itu?” Tanya Cahyo.
Gilang mengangguk , ia sudah bersiap melihat pemandangan ini lagi tapi tetap saja ia tidak akan terbiasa.
Aku melihat sekeliling mencari apa yang diceritakan nenek tadi. Sebuah tanggul , yang konon menyembunyikan desa ini dari mata manusia biasa.
“Danan.. kamu lihat itu!” Ucap Cahyo yang menunjuk ke salah satu jalan masuk desa dari sisi lain.
Dari sana terlihat seorang kakek tua yang berjalan terseok-seok dengan parang di lenganya. Di sebelahnya ada seorang wanita muda yang berjalan tanpa ekspresi.
“I—itu , itu kakek yang memenggal salah satu teman kami di hutan kemarin” Ucap Gilang.

Sayangnya bukan itu yang kami khawatirkan.

Melainkan sekumpulan makhluk yang mengikuti kakek itu dari belakang.
Sekumpulan makhluk yang berjalan tanpa kepala dengan jumlah yang tidak dapat kami pastikan.

“Kalau dari cerita Mas Gilang, bisa jadi mereka adalah roh orang-orang yang dijadikan tumbal oleh kakek itu…” ucapku.
“Sudah matipun masih diperlakukan seperti itu, benar-benar dukun biadab” Ucap Cahyo dengan geram.
Entah apa yang kakek itu rencanakan dengan demit sebanyak itu.
Satu yang pasti, mereka berjalan ke arah bangunan tempat Yanto dan teman-teman lainya berada.
(Bersambung Part Terakhir)
Terima kasih sudah membaca part kisah ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau penulisan dan bila ada bagian cerita yang menyinggung.

mohon diambil positifnya saja dan disingkapi dengan bijak.
Part terakhir akan update Malam jumat minggu depan (Tanggal 6)

Namun apabila ada yang berminat baca duluan atau sekedar mendukung

bisa mampir ke @karyakarsa_id :
karyakarsa.com/diosetta69/4-6…
DESA TANGGUL MAYIT
Part 4 - Mustika Darmowiloyo

Terima kasih buat teman-teman yang sudah setia menunggu, dan yang sudah mendukung di @karyakarsa_id .
Hari ini kita tuntaskan cerita ini

@bagihorror
@bacahorror
@qwertyping
@IDN_Horor
@ceritaht
@RJL5_official Image
O iya, yang lebih suka dibacain bisa mampir ke spotify
podcast @bagihorror , di sini sudah dibacakan sampai tamat.

open.spotify.com/episode/23XACw…
Apa yang kamu pikirkan apabila melihat sekumpulan makhluk tanpa kepala berjalan memenuhi sebuah desa?
Itu yang sedang kulihat saat ini.
Pemandangan ini terdapat di sebuah desa terpencil di tengah hutan dengan gelapnya malam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan.
Sebuah bangunan besar berdiri dengan sangat mencolok di tengah desa itu. yang kami tahu, itu adalah sebuah mess yang dibangun sebuah perusahaan sebagai tempat istirahat untuk karyawanya. Sayangnya kenyataanya tidak seindah itu.
Bangunan itu dikelilingi sosok wanita ghaib yang apabila dilihat dengan mata manusia biasa berwujud wanita cantik berbaju kebaya. Namun tidak dengan apa yang kami lihat.
Di mata kami, setiap jendela dan pintu bangunan itu sedang diawasi oleh wanita itu yang sebenarnya berwujud nenek tua dengan borok hampir di seluruh kulitnya dan rambut putih yang tidak mampu menutupi seluruh kepalanya.
“Kemarin saya keluar lewat jendela belakang yang tertutup semak, jika mereka lengah mungkin kita bisa masuk lewat tempat itu lagi..” Ucap Gilang.
“Berarti harus ada yang mengalihkan perhatian mereka?” tanyaku
Gilang mengangguk, tak lama setelah itu aku segera menoleh ke arah Cahyo.
“sik , sik… maksute aku sing di kon menarik perhatian demit-demit kuwi?”
(Bentar bentar, maksudnya aku yang di suruh menarik perhatian demit-demit itu?) ucap Cahyo dengan wajah yang seolah tidak terima.
Aku mengangguk dengan tegas.
“lha piye? sing iso mlayu kenceng nek dikejar mung kowe” (lha gimana? Yang bisa lari cepat kalau dikejar Cuma kamu) Ucapku sambil sedikit meringis merayunya.
“Iyooo… yowis, ati-ati juga kalian di dalam juga gak aman” Ucap Cahyo yang segera meninggalkan kami sambil mengalungkan sarung kesayanganya di bahu.
Kami memperhatikan Cahyo dari jauh, ia memutar melewati sisi dimana ia tidak dapat melihat sosok demit-demit tanpa kepala itu.
Cahyo memilih sebuah pohon di pinggir desa dan memukul sekuat mungkin hingga suaranya terdengar ke dalam desa.
“Kliwon!! Ning ngendi kowe!” (Kliwon, di mana kamu?) Teriak Cahyo sambil memperhatikan pohon-pohon di hutan itu.
“ayo ndang mulih… ning kene serem, akeh demit” (Ayo cepet pulang, di sini serem banyak setan)
Mendengar suara teriakan itu semua makhluk yang mengelilingi bangunan menoleh mencari arah suara Cahyo.
Aku dan Gilang mengambil kesempatan itu untuk menyelinap melewati belakang rumah-rumah kayu menuju jendela yang tertutup semak di belakang mess.
Perlahan kami memasuki bangunan itu dengan hati-hati tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Sebuah bangunan tua namun sangat terawat. Sekilas aku berfikir apabila semua orang yang memasuki tempat ini menjadi tumbal, lantas siapa yang merawat tempat ini?
Aku mengikuti Gilang yang berjalan perlahan menuju sebuah ruangan. Kami tahu tidak ada orang diluar ruangan selain kami namun sesekali kami melihat bayangan yang melintas dari sudut-sudut ruangan ini.
“Yanto… ini aku, Gilang”
Ucap gilang sambil mengetuk pintu kamar sementara aku mengawasi sekitar.
Tak butuh waktu lama hingga pintu itu terbuka. Wajah seseorang yang kukenal mengintip sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu.
“Danan! Akhirnya!” Ucap Yanto dengan wajah yang cukup pucat. Wajar saja ia sudah dua malam terkurung di bangunan ini bersama berbagai teror yang mengejarnya.
Dengan segera beberapa orang yang terkurung di bangunan itu terbangun dari tempatnya dan berdiri menghampiri kami.
Gilang membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa makanan kecil yang tadi ia beli di terminal.
“ini di makan dulu seadanya, habis ini kita cari jalan keluar dengan bantuan mas Danan” Ucap Gilang.
“Yanto, sana isi perut dulu… abis ini kita bahas rencana kita” Ucapku..
Namun bukanya mengikuti yang lain, Yanto malah mengajakku menghampiri ke sudut ruangan. Terlihat seseorang sedang terbaring terikat dengan tatapan mata yang aneh.
“Dia Dadang… kemarin dia sempat kerasukan, dia sudah mendapatkan kesadaranya namun sepertinya sesuatu masih menguasai tubuhnya.”
Perlahan aku menghampiri pria itu dan memeriksanya dan melepas ikatanya.
“Kang… Kang Dadang” Ucapku
Pria itu mencoba menolehku namun sepertinya tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak.
“Mas… apa aku masih bisa hidup?” Ucapnya dengan lirih.
Aku menyentuh dahinya dan sedikit memberinya senyuman sekedar untuk menghiburnya.
“Yanto, kamu mundur dulu … baca doa sebisanya bersama yang lain” Perintahku pada Yanto.
Aku mengambil sebotol air putih yang ada di tasku dan membacakan sebuah doa. Saat itu samar-samar aku melihat bayangan sesosok makhluk berambut panjang tak jauh dari tubuh kang dadang berbaring.
Tak mau melakukan kesalahan, aku merapalkan ajian pelindung batin untuk ruangan ini agar saat sesuatu yang merasuki Kang dadang berhasil keluar ia tidak berpindah ke tubuh mereka yang ada di tempat ini.
“Ini kang diminum pelan-pelan…” Ucapku sambil meminumkan air yang sudah kubacakan doa kepada Kang Dadang dan membaringkanya kembali.
Seketika nafas kang dadang kembali teratur dan ia mulai menguasai tubuhnya.
“Mas….i—itu mas! Itu yang ngikutin Dadang terus!” Ucap kang dadang sambil menunjuk ke salah satu sudut kamar. Wajahnya terlihat sangat ketakutan.
Saat itu juga terdengar suara beberapa orang terjatuh di tengah kumpulan teman-teman yanto tadi saat melihat sesosok makhluk yang melayang berayun di ujung langit-langit kamar.
“Se—setan!! “ Teriak mereka yang ketakutan.
Yanto segera membantu orang itu berdiri.
“Terus berdoa, jangan sampai putus… Itu bisa melindungi kita” Ucap Yanto.
Sesosok makhluk berwujud wanita berbaju kebaya yang sudah usang melayang terbalik di langit-langit kamar dengan rambut yang menjuntai hingga menyentuh lantai.
Wajahnya yang ternoda oleh darah menatapku dengan penuh amarah.

“Kualat kowe…”
Makhkuk itu mengancamku dengan mendekatkan wajahnya yang dipenuhi darah yang mengalir dari matanya.
Aku membacakan ajian muksa pangreksa yang seharusnya cukup untuk melindungi kami dari niat jahat makhluk ini.
“Khihiki, apik men kowe nganter nyowo… kowe ra ngerti,, sing mbok lawan kuwi dudu mung demit alas”
(Khikhihi, baik sekali kamu mengantar nyawa… kamu tidak mengerti, yang kamu lawan itu bukan sekedar setan hutan) ucap sosok setan yang masih melayang layang di hadapan kami itu.
“Nyowoku nduwene Gusti sing Maha Kuwoso, aku ora bakal wedi yen sing tak lakoni iki bener” (Nyawaku milik Tuhan RangMaha Kuasa , Aku tidak akan takut jika yang kulakukan ini adalah hal benar) Ucapku sambil membacakan amalan pedang untuk menyerang setan itu .
Belum sempat menyelesaikan seranganku, tiba-tiba terdengar suara jendela dan bangunan rumah digedor oleh sekumpulan orang.
Gilang mengintip keluar kamar, dan terkaget melihat apa yang ia lihat.
“Mas Danan, tubuh tanpa kepala itu… mereka sudah sampai ke sini!” Teriak gilang.
Mendengar ucapan Gilang, seluruh orang di ruangan menjadi panik.
“Tubuh tanpa kepala? Kali ini makhluk apa lagi?!” Ucap Salah seorang di ruangan itu.
“Jatmiko, tenang aja… percaya sama Danan” Balas Yanto pada temanya yang bernama Jatmiko itu.
Aku melihat kecemasan di mata mereka. Seketika aku menarik sebuah keris dari dalam sukmaku membacakan beberapa mantra dan segera melompat menusukanya pada tubuh makhluk yang sedaritadi merasuki kang dadang itu.
Ia mencoba menghindar , namun aku berhasil menusukan kerisku dibahunya.
Suara teriakan melengking ke seluruh bangunan hingga terdengar keluar. Entah apa yang terjadi dengan makhluk itu, namun makhluk itu menghilang kedalam kegelapan.
“Makhluk itu mati?” Tanya Yanto.
Aku menggeleng, namun setidaknya rasa keberanian mulai muncul diantara teman-teman Yanto.
“Terus gimana? Kita keluar?” tanya Gilang.
“Nggak, kita bertahan hingga pagi. Melawan mereka di malam hari tidak akan mudah… setidaknya kita harus menunggu setelah pertiga malam.” Jawabku.
“Lalu.. makhluk mahkluk itu?” Tanya Gilang.
“Aku dan Cahyo yang akan menghadapi mereka setelah memasang pelindung di ruangan ini..”Jawabku.
“Oh iya Danan, ada jasad mengerikan di atas… “ Ucap Yanto yang berusaha memberitahukan mengenai keberadaan jasad hitam yang menggantung di ruangan atas.
“Aku sudah tahu.. jangan mendekat ke sana hingga masalah diluar selesai”
Saat itu juga aku membacakan doa-doa, menuliskan beberapa ayat suci di sudut kamar dan memastikan kondisi mereka.
“Yanto, Mas Gilang … aku titip mereka sebentar lagi , siap-siap bahaya sebenarnya akan terjadi saat menjelang subuh” Jelasku.
Mereka mengerti dengan jelas maksudku dan mengantarku ke luar kamar.
Dari sanalah pemandangan paling mengerikan terlihat. Dari semua jendela sudah bersiaga demit berwujud nenek tua dan tubuh tanpa kepala yang menggedor-gedor bangunan ini.
“Danan, kamu serius mau menghadapi mereka?” Tanya Yanto.
“Mereka jauh lebih mengerikan dari makhluk yang kita lihat di merapi dulu”
Aku sedikit tersenyum dan menempuk pundak Yanto.
“Tenang saja, kali ini aku tidak sendirian.. “ Ucapku.
Tak lama setelahnya terdengar suara dentuman tak jauh dari bangunan ini. sontak sosok makhluk yang ada di sekitar bangunan segera berbalik ke arah itu.
“Danan!!! Uwis durung! Ojo kesuwen!” (Danan! sudah belum? Jangan kelamaan!)
Terdengar suara teriakan Cahyo dari luar bangunan. Aku hanya menepukan jidad dan menggelengkan kepala melihat tingkah Cahyo.
“Ya sudah.. aku tinggal dulu, ada yang sudah tidak sabaran” Pamitku pada Gilang dan Yanto dan segera keluar. Kali ini melalui pintu depan.
Anehnya tepat saat keluar dari bangunan aku terjatuh. Sesuatu menekanku seolah ada perbedaan aliran kekuatan di dalam dan di luar bangunan. Semoga saja ini tidak berarti apa-apa.
“Bocah brengsek, sopo kowe?” (Bocah brengsek, Siapa kamu!)
Ucap sesosok kakek tua renta yang menjadi empu dari makhluk – makhluk ini. Ia menggenggam sebuah parang yang sudah penuh dengan karat dan mengacungkan kepada Cahyo.
“Aku akan membalas apa yang kalian Trah Darmowiloyo lakukan pada anggota keluargaku!” Ucap Cahyo yang maksudnya sama sekali tidak aku mengerti.
Saat itu juga aku bingung , aku segera menghampirinya dan menanyakan maksudnya.
“Kowe ngomong opo to Jul?” (kamu ngomong apa to jul?) Tanyaku berbisik.
“Mbuh.. wis rapopo , ben ketok keren” (Gak tau, udah biarin gpp.. biar keliatan keren) Jawabnya dengan wajah yang datar.
Sekali lagi aku tidak bisa menebak tingkah laku Cahyo yang tidak pernah kehabisan akal.
“Cuh…” Kakek itu meludah ke tanah.
“Bocah ingusan koyo kowe arep balas dendam? Ojo ngimpi kowe!” (anak ingusan kayak kamu mau balas dendam? Jangan mimpi kamu!” Ucap Kakek itu.
Saat itu juga ia memerintahkan seluruh demit yang berada dibawah kuasanya untuk menghampiri kami. Mulai dari makhluk berwujud manusia tanpa kepala dan nenek tua yang berwajah mengerikan.
Namun dengan sigap Cahyo mencopot sarungnya , membacakan sebuah mantra dan mengibaskan sarung kebanggaanya itu hingga sebagian dari mereka terhempas menjauh.
“Uwis kek , menyerah saja…” ucap Cahyo.
“Kurang ajar… dari trah mana kalian berani menantang keluarga Darmowiloyo?!” Ucap Kakek itu.
Cahyo menoleh ke arahku sambil berbisik.
“Trah opo Danan? Nganggo trahmu piye?” (Trah apa Danan? Pake trahmu gimana?)
“Emoh.. amit-amit, trah sambara ki isine wong ganteng… ra cocok karo kowe” (Jangan, amit-amit, trah sambara itu isinya orang ganteng.. nggak cocok sama kamu) Jawabku iseng.
“Asem.. maksudmu aku ra ngganteng?” (Sial.. maksudmu aku ga ganteng?) Balas Cahyo dengan mukanya yang kecut dan segera menjawab Kakek itu.
“Inget namaku kakek peyot! Saya Panjul dari Trah Rojobedes…” Ucap Cahyo dengan sombongnya.
Kakek itu tertawa kecil.
“Jangan sombong bocah…”
Sang kakek melepaskan baju lusuhnya dan melemparkanya ke tanah. Ia tertawa cekikikan memamerkan giginya yang hitam dan memanggil salah satu wanita berwujud nenek tua yang merupakan pengikutnya.
Dengan sebuah tatapan nenek tua itu berlutut di kakinya. Seketika ia menjambak rambut putih nenek itu dan menebas lehernya hingga terpisah dari tubuhnya.
“uwong edan…” (Orang gila) ucap Cahyo.
Aku berusaha menahan mual melihat hal itu. apalagi saat sang kakek mengangkat kepala nenek tua itu dan mengalirkan darah dari lehernya ke mulutnya dan membasahi tubuh rentanya.
Seketika kekuatan hitam mengalir dari dalam tubuh kakek itu. Makhluk-makhluk disekitarnyapun menyingkir ketakutan saat merasakan hawa mengerikan yang muncul dari tubuh kakek itu..
“Ajian getih demit… Hati-hati Cahyo, dia bukan manusia lagi… atau mungkin memang sejak awal dia sudah bukan manusia”
Saat itu juga aku dan Cahyo segera melangkah mundur.
Sayangnya kami terlambat, tiba-tiba sebuah sabetan parang sudah menyayat punggung Cahyo tanpa dapat kami lihat.
“Cahyo, Mundur…” Ucapku sambil menarik Cahyo dan mencabut Keris ragasukma bersiap memantau segala arah.
Kami tidak melihat keberadaan kakek itu, namun dari kegelapan kami melihat pergerakan dan setiap kami menoleh sosok itu segera menghilang.
“Sial.. demit-demit ini memang receh, tapi siapa sangka mereka hanya mangsa untuk dukun tua itu…” Ucap Cahyo yang berusaha menahan sakit luka di punggungnya.
“Pulihkan dulu lukamu, biar aku yang menahan dukun itu..” Ucapku.
Cahyo mengambil posisi meditasi dan membacakan mantra penyembuh untuk memulihkan lukanya sementara aku berusaha melindunginya.
Entah, Kakek itu tidak hanya bertambah kuat tapi seolah ia bisa melintasi suatu dimensi dan muncul di titik buta kami.
Beberapa kali aku membaca posisinya dan mencoba menahan seranganya namun tetap gagal sehingga beberapa luka sayatan kembali menghiasi tubuhku dan Cahyo.
Aku melihat Cahyo sedang membacakan doa-doa sambil menahan lukanya.
Aku merasa sepertinya ia sedang menjalankan sebuah siasat.
“Kamu punya keris pusaka yang hebat, tapi itu hanya jadi sampah di tangan bocah sepertimu” Ucap Kakek itu menggema di sekitar kami.
Kata-kata kakek itu berhasil membuatku kesal, sebenarnya aku ingin menggunakan kekuatan keris ini saat terdesak saja.
Aku memperhatikan dengan baik arah kemunculan kakek itu, dan sesuai dugaan ia akan muncul dari sisi kanan Cahyo dengan menyabetkan parangnya.
Namun tepat sebelum menahan seranganya dengan kerisku, kakek itu menghilang dan tiba-tiba sudah muncul di hadapan Cahyo dengan parang yang siap memenggal lehernya.
Saat itu Cahyo masih dengan tenang membacakan doa-doa yang ia lafalkan tanpa bergeming sedikitpun.
Sepertinya ia sudah sadar dengan siasatku.
Saat itu juga…
Tepat sebelum parangnya melukai Cahyo.
Keris ragasukmaku sudah menusuk tepat di punggung kakek itu dengan wujud sukmaku yang menggenggamnya.
Kakek itu terjatuh dan segera menjauh melepaskan tubuhnya dari keris ragasukma.
“Bocah brengsek, bagaimana mungkin benda itu bisa mengenaiku?” Ucap kakek itu tidak percaya.
“Makanya jangan sombong kek, keris ragasukma memiliki dua wujud… wujud sukma dan raga, saat ragaku tertipu dengan seranganmu, aku melepas sukmaku dengan membawa wujud sukma keris ini untuk menghentikan seranganmu berikutnya” Jawabku.
Kakek itu memuntahkan darah hitam tak mampu menahan lukanya. Sepertinya Ajian getih demit yang ia miliki belum sempurna. Seandainya ia menguasai sepenuhnya , mungkin kami akan kewalahan.
Ia memanggil sekali lagi demit nenek tua yang menjadi pengikutnya. namun kali ini tidak ada yang mendekat.
Kakek itu menoleh ke sekeliling. Semua tubuh nenek tua itu sudah terbaring tak berdaya di tanah seolah tak bernyawa. Ia mencari keberadaan roh tubuh tanpa kepala namun semua sudah menghilang.
“Apa yang sudah kalian lakukan?” Ucap Kakek itu dengan kesal.
Saat itu juga Cahyo berdiri dengan lukanya yang sudah hampir pulih.
“Roh itu sudah tenang, tidak akan menjadi tumbal kalian lagi… dan demit yang merasuki tubuh nenek tua itu juga sudah pergi ketakutan ke tempat yang jauh” Ucap Cahyo sambil membersihkan sarungnya.
Rupanya sedari tadi Cahyo membacakan doa-doa penenang untuk menenangkan roh pengikut dukun tadi sekaligus mengusir demit yang mengisi tubuh nenek-nenek yang bergelimpangan di sekitar kami ini.
“Kalian benar-benar sudah memulai masalah besar… Kanjeng Nyai tidak akan tinggal diam!” Ucap Kakek itu yang segera berjalan menjauh dan masuk ke dalam hutan.
“Bilang sama dia, Kami tidak akan kemana-mana… kami tunggu sampai dia datang!” Ucap Cahyo menantang.
Ini memang rencana kami. Dukun itu bukanlah masalah utamanya, walaupun kami bisa mengalahkan dukun itu , Wanita yang dipanggil Kanjeng Nyai itu pasti akan mencari dukun lain untuk mencari tumbal.
Aku dan Cahyo kembali memasuki bangunan tempat Yanto dan yang lain berada. Sekali lagi aku merasakan distorsi kekuatan saat memasuki bangunan ini seolah sesuatu yang mengerikan tersembunyi di bangunan ini.
“Gimana Danan, kita sudah bisa keluar?” Tanya Yanto.
“Sebenarnya sudah aman, tapi kita tunggu sebentar lagi biar masalah ini benar-benar selesai..” Jawabku.
Kini suasana di bangunan ini tidak semengerikan sebelumnya. Yanto dan teman-temanya menunggu di ruang tengah sementara beberapa dari mereka menyempatkan ke kamar mandi setelah cukup lama menahanya selama kejadian tadi.
Walaupun begitu, kami tetap harus waspada dengan keberadaan makhluk berwujud jasad busuk yang tergantung di sebuah ruangan di lantai atas.
“Mas Danan… Hatur nuhun ya mas, Dadang sudah sehat lagi” Ucap Kang dadang yang tiba-tiba menghampiriku.
“Eh, iya kang… santai saja, tapi Kang Dadang hebat.. bisa bertahan dari makhluk itu” Balasku.
“Kang Dadang teh hanya teringat keluarga di kampung, jangan sampai kang dadang pulang Cuma jasad saja” Ucap Kang dadang.
Aku tersenyum mendengar ucapanya. Kadang memang keberadaan keluarga yang menanti di rumah mampu memberikan kekuatan dan menjadi semangat untuk seseorang.
“Kang Dadang boleh bercerita sedikit?” Ucapnya.
“Boleh kang, cerita aja.. kita masih banyak waktu kok”
Saat itu Kang Dadang mulai bercerita tentang perasaanya saat dirasuki makhluk itu, bahkan ia sadar saat aku mengikutinya dalam wujud sukma. Setidaknya perbincangan ini bisa membuatku menahan kantuku hingga subuh nanti.
“Ini kita menunggu apa Danan?” tanya Yanto.
“Kamu ingat wanita yang kemarin datang? Aku masih harus menghadapinya” Jawabku.
Mendengar ucapanku, Sontak Yanto merasa khawatir.
“Yang benar kamu Danan? Dia berbahaya… orang yang kmaren mencoba melawan saja langsung bertekuk lutut” Ucap Yanto panik.
Aku menghela nafas, sepertinya Yanto lupa saat itu aku juga ada di sana dalam wujud sukma.
“Tenang Yanto, kalau kita tidak menyelesaikan masalah dengan orang itu kalian juga belum tentu bisa pergi dengan selamat” Jelasku.
Sepertinya ia mengerti , sementara Gilang membantu Cahyo merawat lukanya aku dan Yanto sedikit bernostalgia dengan masa lalu kami saat masih satu kampus di Jogja.
Ia juga bercerita soal Rama yang sudah mendapat pekerjaan tetap namun masih sering mengajaknya melaksanakan hobi mereka untuk mendaki gunung.
Beberapa menit menjelang subuh terdengar suara sebuah mobil yang terparkir di depan mess tak jauh dari jasad nenek tua itu bergelimpangan.
Saat ini aku dan Cahyo sudah bersiap di dalam bangunan menyambut kemunculan seorang wanita berumur yang sangat menawan yang kami tahu dengan jelas betapa berbahayanya dia.
Seorang pria keluar dari pintu supir, berlari ke arah samping dan membukakan pintu dengan hati-hati.
Cantik.. kami tau umur wanita itu pasti sudah hampir dua kali umur kami. Namun tidak ada yang bisa membantah kecantikan dan keanggunan dari wanita itu. Rambutnya disanggul dengan menawan, kebaya yang ia gunakanpun terlihat mewah walau tanpa perhiasan yang mengelilinginya.
“Danan… Jaga kesadaranmu” Ucap Cahyo.
Aku mengangguk, aku bukan hanya sedang mengagumi kecantikan wanita itu. Saat ini aku sedang mencari keberadaan sesuatu yang membuat wanita itu begitu berbahaya.
“Panggil dukun tidak berguna itu!” Ucap Wanita itu pada supir yang tadi mengantarnya.
Tanpa bertanya sedikitpun pria itu segera merunduk dan masuk ke dalam hutan.
Wanita berjalan dengan anggun ke hadapan kami namun masih tidak mau masuk ke dalam mess ini.
Ia menatap kami satu per satu dengan berusaha menahan amarahnya.
“Jadi kalian pembuat onarnya?” Tanyanya kepada kami.
Aku tidak menjawabnya, begitu juga dengan Cahyo. Kami masih ingin mencoba membaca situasi ini.
Sayangnya amarah wanita itu sudah memuncak, ia mundur dan mengambil sebuah benda menyerupai tungku kemenyan yang sudah menyala. Mengasapi beberapa kelopak bunga dan menatapku sambil memakan salah satu kelopak bunga itu.
Saat itu juga rasa sakit muncul dari dalam tubuhku, aku tidak mampu menahanya hingga cairan merah keluar dari mulutku.
“Danan.. kamu kenapa?” Tanya Cahyo.
Aku mengayunkan tangan untuk menahan Cahyo sambil mengambil posisi meditasi.
“I—ini ilmu santet, tapi tidak mungkin bisa semudah ini…” Ucapku yang memulai membacakan mantra untuk melindungi diri.
“Brengsek!” Ucap Cahyo yang segera menerjang keluar.
Sayangnya saat semakin dekat dengan wanita itu Cahyo terhenti, sesuatu seperti menahanya untuk menyerang wanita itu.
“Cahyo! Kembali!” perintahku sambil mencoba menahan rasa sakit yang muncul setiap wanita itu mengunyah kelopak bunga itu.
Bukanya kembali, Cahyo seperti terkesima dengan keanggunan wanita itu dan berjalan ke arahnya.
“Jangan bodoh!” Teriakku.
Wanita itu tersenyum melihat Cahyo yang mulai terpengaruh.
“Cah Bagus, ke sini… ra usah takut” Ucap Wanita itu.
Aku ingin menyusul Cahyo namun sepertinya kemampuan wanita itu akan membuatku bertingkah sama seperti Cahyo.
“Wanasura! Bawa Cahyo kembali”
Kali ini aku memisahkan sebagian sukmaku dan berteriak berharap wanasura yang berada di dalam tubuh Cahyo mendengarkanku.
Beruntung, sebelum sempat menyentuh wanita itu sauara auman terdengar ke seluruh desa. Cahyo terhenti dan tubuhnya seperti terpental ke arah bangunan mess.
Dengan segera aku menarik Cahyo dan membawanya kembali ke bangunan ini.
“Cahyo sadar!” Ucapku sambil menepuk pipi Cahyo.
Cahyo yang sudah tersadar menepis tanganku dan berusaha membangunkan tubuhnya.
“Iyo.. uwis, aku ra nyongko ono kekuatan koyo ngono” (iya.. sudah, aku tidak menyangka ada kekuatan seperti itu) Ucap Cahyo.
Kami kembali bersiaga, entah bagaimana cara kami bisa selamat dari wanita ini. Namun sepertinya aku menyadari keanehan pada mustika yang ia kenakan di lehernya.
Dari jauh kami melihat wanita itu masih berusaha tersenyum dan menatap kami. kali ini ia mengambil sebuah kelopak bunga lagi dan memakanya.
Saat itu sekali lagi aku merasakan seperti ada sesuatu yang membakar bagian dalam tubuhku hingga sekali lagi aku memuntahkan darah dari mulutku.
“Wanita tengik! Hentikan!” Teriak Cahyo. Namun mendengar ucapan itu, ia merasa semakin kesal dan mengunyah kelopak bunga itu hingga membuatku tak mampu menahan rasa sakit ini.
“Awas kowe!” Teriak Cahyo sambil menunjuk wanita itu dan berlari ke dalam bangunan.
Aku sekuat tenaga menahan serangan santet yang dikirimkan ke tubuhku melalui perantara kelopak bunga itu. Seandainya ia memiliki sehelai saja bagian tubuhku, mungkin wanita itu bisa membunuhku dengan mudah.
“Menyerah saja, cepat atau lambat kamu juga akan mati…” Ucapnya.
Sekali lagi wanita itu mencoba memasukan kelopak bungan ke dalam mulutnya. Namun tiba-tiba ia terhenti saat terdengar suara dar dalam bangunan itu.
“Sakiiit!!! Bu…. Loro bu!!!!”
Terdengar suara seseorang yang menangis lirih dari dalam bangunan. Saat itu juga wanita itu terlihat panik.
“Hentikan! Jangan macam-macam kalian!” Ucapnya yang melihat kedatangan Cahyo dengan menggendong jasad busuk yang sudah menghitam namun masih bernafas dan berbicara.
Saat itu juga supir yang diperintahkan oleh wanita itu datang bersama dukun kakek tua tadi yang masih terlihat kewalahan dengan lukanya. Kali ini ia datang bersama seorang wanita muda dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali.
“Mereka! Mereka bocah yang menggagalkan ritual ini! Jangan salahkan aku Kanjeng Nyai!” Ucap Dukun itu yang segera merunduk sesopan mungkin.
“Kalau bukan gara-gara kebodohanmu mereka tidak akan berani-berani melukai anaku!” Ucapnya yang mulai lepas kendali.
Cahyo yang terlihat kesal segera maju ke depanku dengan membawa jasad yang wanita itu akui sebagai anaknya.
“Lihat sendiri! Apa ini anakmu!” Ucap Cahyo.
Wanita itu bertambah panik dan mengengabaikan sekitarnya.
“Jangan! Jangan sampai tubuhnya menyentuh tanah!” Ucapnya.
“Hentikan! Kalian kubiarkan hidup, kembalikan ia ke tempatnya”
Sayangnya tujuan kami tidak sependek itu. saat itu juga Cahyo keluar membawa jasad itu dan mendekatkanya kepada keempat orang yang ada di depan mess bangunan ini.
“Kamu? Bagaimana kamu bisa tidak terpengaruh lagi dengan kekuatanku?” wanita itu bertambah panik.
Melihat rencanaku berhasil, aku menyusul keluar sambil menunjukan sebuah benda yang sebelumnya berada di leher wanita itu.
“Mustika ini kan sumber kekuatanmu?” Ucapku yang berhasil menyelinap dengan wujud sukmaku dan mengambil benda berbentuk liontin batu yang dihiasi ornamen kuningan dengan ukiran jawa.
“Kanjeng Nyai! Mereka sudah keterlaluan… pinjamkan aku pusaka warisanmu biar kuhabisi mereka semua” Ucap Kakek tua itu.
Tanpa banyak bicara, Kanjeng Nyai melepaskan sebuah cincin dengan batu berwarna hitam dan memberikanya ke kakek tua itu tanpa melepaskan padanganya dari Cahyo.
“Khekhekeh… habis kau bocah!”
Kakek itu mengenakan cincin itu pada salah satu jarinya.
“Bu.. tolong bu… sakit bu….”
Wanita anggun yang dipanggil Kanjeng Nyai itu segera menghampiri makhluk itu dan berusaha memeluknya.
“Biadab kalian! Apa salah keluarga kami dengan kalian” Ucapnya yang mulai terlihat lemah dengan air mata menetes tak sama dengan yang sebelumnya terlihat begitu anggun.
“Buka matamu dan perhatikan ini… “ Aku berjalan ke arah jasad itu sambil memberi isyarat pada Cahyo untuk memperhatikan dukun itu.
Dengan menggenggam Keris Ragasukma aku membacakan sebuah doa dan menorehkan ujungnya ke bagian leher makhluk itu.
Dari jauh aku melihat raut muka panik di wajah dukun itu.
“Tidak mungkin kau tidak tahu tentang benda ini…” ucapku yang mengeluarkan sebuah patahan kayu hitam yang terukirkan seton dan nama seseorang yang diakhiri dengan marga Darmowiloyo.
Tepat saat benda itu keluar, jasad itu tak lagi bersuara dan tidak bernafas sama sekali.
“Apa yang kalian lakukan!” Ucap wanita itu yang mulai menangis dengan histeris sambil memeluk jasad yang sudah membusuk itu.
Yang kutakutkan terjadi, kemungkinan wanita ini sudah tahu mengenai kenyataan ini namun ia masih belum mau menerimanya dan lebih mempercayai perkataan dukun itu.
“Harusnya anakmu sudah tenang, ia sudah mati terlebih dulu dengan santet kiriman seseorang ini” ucapku sambil melemparkan kepingan kayu itu.
“Tak hanya itu… anakmu sudah jauh menderita sebelumnya” Sekali lagi aku membacakan mantra dan menari beberapa benda dari jasad itu.
Paku, pecahan kaca, hingga bilah besi tertanam di tubuh itu.
Tangisan wanita itu semakin histeris saat menghadapi kenyataan ini.
“Ia sudah mati , dan tubuhnya diisi dengan sosok yang dikirim oleh seseorang untuk memperdaya kalian”
“J—jangan dengarkan perkataan mereka! Mereka hanya ingin membalas dendam!” Ucap Dukun itu namun ia tidak berani macam-macam dengan keberadaan Cahyo dan bayangan wanasura di hadapanya.
Tangisan wanita itu terdengar tanpa heni hingga gelapnya malam berganti saat matahari mulai mengintip menerangi desa yang sudah dipenuhi dengan jasad yang bergelimpangan.
Ingon yang dipanggil dengan pusaka itupun menghilang bersamaan dengan putusnya jari dukun itu yang sudah menghitam.
“Sudah… pergi, pergi kalian!” Ucap wanita itu.
Aku tidak mempedulikan ucapanya.
“Seharusnya bukan jasad busuk itu yang kamu perjuangkan, dia yang rela mengorbankan nyawanya untukmu sebagai tumbal yang seharusnya kamu jaga” Ucapku sambil menatap seorang wanita yang selama ini terus mengikuti dukun itu.
“Apa maksudmu?” tanya wanita itu.
“roh yang mengikuti wanita itu, yang merasuki tubuh seseorang diantara kami memberi petunjuk pada kami” jawabku.
Saat itu tiba-tiba Yanto , Danang, Gilang keluar dari dalam bangunan itu. Sepertinya ia sudah mendengar semua perbincangan kami.
“Wanita itu teh, anaknya ibu kan?” ucap Kang dadang. “Kang dadang tahu dari makhluk yang merasuki kang dadang”
Aku tahu cerita ini saat mengobrol dengan kang dadang tadi. Namun aku masih harus memastikan.
“Jangan sembarangan kalian! Mana mungkin perempuan kotor itu anakku!” Ucapnya.
Aku menoleh ke arah anak anita itu khawatir akan ucapan dari wanita itu melukai perasaanya namun ia tidak bersedih sedikitpun seolah perasaan anak perempuan itu sudah mati.
Tak lama dengan cepat supir itu segera menghampiri anak wanita itu.
“Sudah hentikan… semua ini sudah selesai, pergi kalian” Ucapnya.
Kami tidak bergeming mendengar ucapanya, sebaliknya kang dadang melanjutkan ceritanya.
Kang dadang menceritakan sesuatu yang tidak bisa dipercaya. Rupanya anak wanita itu adalah hasil hubungan gelap antara Ibu itu dengan supir itu yang terjadi saat ia gelap mata.
Hal itu terjadi saat suaminya tidak pulang berbulan-bulan saat mengerjakan proyek perusahaanya.
Kanjeng Nyai yang sedang dipengaruhi kekuatan dari mustikanya merasakan nafsu birahinya yang memuncak. Saat itu yang selalu ada di sisinya hanyalah pegawai yang bekerja sebagai supir kepercayaan keluarga yang selalu menemaninya bepergian.
Sang pegawai yang selama ini hanya mampu mengagumi kecantikan Kanjeng Nyai tidak mampu menahan permintaan Kanjeng Nyai dan mengiyakan permintaanya untuk memenuhi kebutuhan nafsunya setiap saat ia membutuhkan.
Hingga suatu ketika Kanjeng Nyai hamil tanpa sepengetahuan suami dan anaknya yang bekerja di penebangan hutan.
Awalnya ia berniat menggugurkan kandunganya , namun pegawainya itu melarangnya dan berjanji akan merawat anak itu sebagai anaknya tanpa harus mengakui Kanjeng Nyai sebagai ibu. Anak itu diberi nama Tika.
Ia berhasil menyembunyikan kehamilanya karena suami dan anaknya jarang sekali pulang. Dan penyesalan terbesarnya terjadi saat sebuah radio menceritakan mengenai tragedi yang menimpa seluruh karyawan perusahaan termasuk Istri dan anaknya.
Mereka mati dengan misterius dengan tubuh yang menghitam dan membusuk.
Saat itu ia menangis tanpa henti dan mulai kehilangan akal sehatnya untuk menghidupkan kembali anaknya dan menutupi penyesalanya.
Awalnya ia tidak peduli dengan anak yang ia lahirkan dan menyerahkan sepenuhnya pada supirnya itu. Namun saat dukun itu memberi tahu bahwa anak itu berguna sebagai tumbal ke seratus. Kanjeng Nyai mengambil anak itu dan menyerahkanya pada dukun itu.
Mendengar Kanjeng Nyai mau mengakuinya sebagai anak dan menyayanginya apabila ia mau menuruti perintah dukun itu. anak wanita itu menyetujuinya bahkan walau harus mati sebagai tumbal.
Supir itu tidak mampu berbuat apa-apa karna menyadari akan kedudukanya dan bahaya yang ia dapat.
“Kamu tahu apa yang direncanakan dukun itu?” Lanjutku berbicara pada Kanjeng Nyai.
“saat tumbal ke seratus Ia akan mengisi jasad anakmu itu dengan roh wanita ini… itu sama saja kamu sudah membunuh kedua anakmu”
Mendengar ucapanku seketika wanita itu tertegun dan menghentikan tangisnya. Ia menoleh ke arah dukun itu.
“Apa benar perkataan bocah ini?” Ucapnya pada dukun itu.
Dukun itu tidak menjawab, sebaliknya ia mundur ke dan mencoba berlari meninggalkan kami.
Cahyo yang sedaritadi mengawasi dukun itu memanggil kekuatan wanasura di kakinya ,melompat mengejar dukun kakek tua itu dan menendangnya hingga terpental.
“Danan belum selesai ngomong!” teriak Cahyo pada kakek tua yang hampir kehilangan kesadaranya itu.
“Sudah.. sudah Kanjeng Nyai, kita hentikan ini semua… biar Tika saya yang jaga” Ucap Supir itu sambil memohon dengan tangisnya.
Tatapan Kanjeng Nyai menjadi kosong dengan sisa riasanya yang luntur sudah membuat wajahnya terlihat menyedihkan.
Melihat emosinya mulai mereda aku mulai mencoba mendekatinya dan berkata dengan lebih sopan.
“Kalau Kanjeng Nyai berkenan, biar kami yang kuburkan jasad anak nyai dengan layak di sini..” Ucapku.
Kanjeng Nyai menatap dengan sedih jasad mengerikan itu. kali ini supirnya memberanikan diri untuk menarik Kanjeng Nyai dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ia mengikutinya tanpa berkata sepatah katapun.
“Ini Kanjeng Nyai.. saya kembalikan benda ini” ucapku sambil menyerahkan mustika miliknya yang kekuatanya sudah kuputihkan kembali dengan doa-doa.
“dan satu lagi.. seandainya masih ada kesempatan , ada seorang nenek tua di hutan barat yang semasa hidupnya tinggal di sana menjaga hutan itu dari kutukan… “
Ucapku mencoba menyampaikan keberadaan nenek tua di hutan barat yang kami temui kemarin.
“sekarang aku baru teringat, mungkin yang ia jaga adalah anak dan suami Kanjeng Nyai.. karena ia juga mengaku sebagai bagian dari keluarga Darmowiloyo”
Mendengar ucapanku Kanjeng Nyai menoleh ke arahku sekilas sebelum kembali berjalan memasuki mobilnya.
Cahaya matahari pagi mengantarkan kepergian mereka bersama seorang anak wanita bernama Tika yang selama ini hidup bersama dukun tua. Entah penderitaan apa yang telah ia rasakan hingga ia bisa menurut dan tak membantah apapu yang diperintahkan padanya seperti itu.
Setelah kepergian mobil itu aku menoleh ke arah dukun tua renta itu. ia berjalan dengan tergopoh-gopoh sambil mengancam kami.
“Akan aku ingat! Kalian keturunan keluarga Trah Rojobedes! Akan kucari seluruh keluarga kalian dan akan kuhabisi mereka” Ucapnya .
Aku dan Cahyo tak bisa menahan tawa mendengar ucapan dukun itu.
“Kok iso wong goblok kaya ngono dadi dukun..” (kok bisa orang bodoh kaya begitu jadi dukun) Ucap Cahyo yang masih tertawa.
Pagi itu kami habiskan dengan menguburkan jasad-jasad yang bergelimpangan di tempat itu. Kami tak berniat melaporkan kejadian ini kecuali memang sudah ada polisi yang mau menginvestigasi ini… maksudnya kejadian yang berhubungan dengan hal ghaib ini.
Untungnya Semua calon karyawan yang dijebak itu sudah siap saat diminta sebagai saksi seandainya hal itu terjadi.
Tepat saat tengah hari, terdengar suara bis yang berhenti di depan desa ini. Itu supir bis yang mengantarkan kami kemarin.
“Loh mas.. kok bisa sampai di sini? Nganter siapa?” Tanya Gilang pada supir bis itu.
“Ngapunten mas… tadi saya melihat Kanjeng Nyai sudah pergi. Entah saat saya melihatnya saya tidak merasakan perasaan intimidasi seperti sebelumnya.
Saat itu saya langsung inget sama mas-masnya dan segera kesini” Jelasnya.
“Wah Matur nuwun lho mas… kita boleh nebeng kan sampe keluar?” Tanya Cahyo.
“Ya jelas mas, saya memang berniat menjemput mas-masnya..
Justru saya yang berterima kasih, sepertinya kami sudah tidak perlu takut lagi dengan Kanjeng Nyai bila ingin mengundurkan diri” Jawabnya.
Setelah selesai membersihkan diri Aku, Cahyo, dan Yanto segera kembali menaiki bis kembali menuju kota.
Dalam hitungan detik Cahyo sudah tertidur saat mendapatkan posisi nyamanya di bus itu
“Danan… terima kasih banget ya, aku ngerepotin kamu sampe segininya.. hutang nyawa aku sama kalian” Ucap Yanto.
“Ya ampun Yanto, orang yang nggak kenal aja aku bantuin.. apalagi temen sendiri. Kalau ada masalah beginian gak usah sungkan, Yang Maha Kuasa menitipkan kami kelebihan ini kan memang untuk membantu orang lain” Jelasku.
“Yah yasudah, pokoknya kalau kamu butuh bantuan apapun dari aku bilang aja ya.. jangan sungkan” Ucap Yanto.
“Saya juga, kalau mas Danan butuh bantuan saya bilang aja” Ucap Gilang yang duduk di belakangku.
Aku tersenyum mendengar ucapan mereka. Dan mulai mencari posisi nyaman untuk bisa tidur dengan nyenyak seperti Cahyo.
Saat melewati hutan di sisi barat yang terdapat bangunan tua misterius itu aku melihat sebuah benda berbentuk kalung kuningan tergantung di salah satu ranting pohon.
Itu adalah mustika yang tadi kukembalikan kepada Nyai Kanjeng.
Saat melihatnya aku tersenyum dan berharap semoga saja nenek tua kemarin bisa menemukan benda ini.
Mungkin kami akan memastikanya nanti, saat kami sudah siap berhadapan dengan makhluk yang menghuni bangunan tua di tengah hutan itu.

TAMAT
Catatan penulis :

Terima kasih sudah mengikuti cerita ini hingga akhir. Mohon maaf apabila masih banyak kekurangan atau bagian cerita yang menyinggung.

saya sadar masih banyak typo di tulisan saya.

Mohon diambil positifnya saja dan dianggap sebagai hiburan.
sedikit spoiler :

Kisah ini masih akan terus berlanjut dengan judul lain yang lebih berfokus pada kisah Tika, atau Mustika Darmowiloyo yang masuk dalam perseturuan kedua trah.

cincin yang digunakan dukun itu akan digunakan oleh Tika untuk menyatakan keberadaan dirinya.
sambil menunggu puzzlenya lengkap dan selesai ditulis , akan kita jeda dengan beberapa cerita dulu ya.

di @karyakarsa_id sudah ada cerita baru yang mungkin bisa menemani teman-teman terlebih dahulu.

karyakarsa.com/diosetta69/ter…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Dec 19
PERANG TANAH DANYANG
Part 11 - Angkarasaka

Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..

#bacahorror Image
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.

"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.

"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."

"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.

Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.

"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.

"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."

Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.

"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.

"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."

Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.

"Mas Danan! Mas Cahyo!"

Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.

Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.

"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.

"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.

"Tolong, jangan ular!" potong Cahyo cepat.
"Tumben, kamu trauma sama ular?" sindir Danan.
"Bukan, Nan," jawab Cahyo sambil menunduk.
"Terus kenapa?"

"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.

"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.

"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.

Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.

"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.

"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.

Dharrr! Dharrr!

Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.

"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.

Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.

"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."

Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.

"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.

Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.

“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.

Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.

“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”

“Kami mengerti!” Danan seketika memotong penjelasan Abdi Jinten.

“Tidak kalian harus…”

“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”

Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.

“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”

“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.

Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.

Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.

Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.

"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.

"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."

Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.

Deg!

Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.

"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."

Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Read 16 tweets
Dec 12
PERANG TANAH DANYANG
Part 10 - Tanah Perjanjian

Sosok-sosok danyang misterius mulai bermunculan. Entah kawan atau lawan... Image
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.

“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.

“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”

“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.

Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.

“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”

“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.

Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.

“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”

Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.

Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.

Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.

“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.

“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.

Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.

***
Read 12 tweets
Dec 6
PERANG TANAH DANYANG
Part 9 - Roro Mayit

Dosa itu terjadi antara Dananjaya Sambara, dan sosok Danyang yang bermain-main dengan nyawa...

#bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...

Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.

Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.

“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.

“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.

“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.

Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.

“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.

Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.

Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.

“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.

Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.

Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.

Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.

“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”

Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.

“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.

Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.

“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.

“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.

Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.

“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.

“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.

Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.

“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.

“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.

“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.

“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.

Yang ia tinggalkan hanyalah... rasa bersalah.

***
Read 10 tweets
Nov 28
PERANG TANAH DANYANG
Part 8 - Rayuan Kegelapan

Perang Tanah Para Danyang berakhir dengan tragis. Empat manusia yang berjuang untuk keseimbangan kini tidak lagi bernyawa...

#bacahorror Image
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.

Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.

Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.

“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.

Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.

Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.

“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”

Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.

Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”

Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”

Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.

Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.

Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.

Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.

“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***
Read 14 tweets
Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(