KAREL DOORMAN PUN MENYELINAP PERGI.
.
.
SEPERTI DI UJUNG SENJA KITA MASIH TERUS BERDEBAT MENCARI JAWAB DAN SESEKALI MELIRIK PADA RUMPUT YANG BERGOYANG. SIAPA TAHU DI SANA ADA JAWABNYA.
.
.
.
.
Janjinya, sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, konon Belanda akan kembali bicara soal Papua barat. Bukan setahun atau dua tahun, bahkan hingga 10 tahun kemudian niat itu tak pernah mereka wujudkan.
Presiden Soekarno pun marah. Ide mengambil paksa beliau gaungkan. Menjadi masalah, negara ini tak memiliki alutsista memadai bagi pengambilan paksa tersebut.
Pilihan pertama, pada AS lah kita utarakan niat untuk membeli alutsista..
Kunjungan ke AS selama 17 hari dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 16 Mei hingga 3 Juni 1956. Bukan hanya dukungan militer, bantuan ekonomi pun beliau ungkap.
Sikap kurang antusias ditunjukkan oleh Presiden Eisenhower. Akhir cerita, kunjungan Presiden Soekarno tidak mendapatkan hasil.
Anehnya, AS justru dikemudian hari diisukan memasok senjata pada pemberontakan PRRI di Sumatera. Tak ada jalan lain, Soviet kita pilih.
Sambutan luar biasa ditampakkan oleh negara itu. Dua bulan setelah kunjungannya ke AS, tercatat Soekarno melakukan kunjungan ke Uni Soviet. Itu terjadi pada 26 Agustus hingga 12 September 1956.
Luar biasanya, kunjungan Presiden Soekarno itu disambut meriah oleh 250.000 penduduk Moskow. Pada setiap sudut kota tampak terpasang spanduk ucapan selamat datang dan sanjungan kepada Presiden Soekarno.
Sebagai balasan Nikita Kruschev pada tahun 1960 menyempatkan diri berkunjung ke Indonesia.
Pembelian dan negosiasi pengadaan alutsista itu dipimpin oleh Jendral Nasution. Itulah salah satu strategi smart Presiden pertama kita saat itu.
Untuk mendapatkan dukungan dari militer, dipilihlah sosok yang sangat beraliran barat dan benci timur. Dan SUKSES.
.
.
Penandatangan pembelian senjata itu pun akhirnya ditandatangani di Moskow pada 6 Januari 1961.
Indonesia membeli berbagai jenis meriam, kapal perang, kapal selam, kapal anti kapal selam, pesawat tempur, pesawat pemburu jet, pesawat angkut, kendaraan berlapis baja, perlengkapan militer dan perlengkapan pendukung lainnya.
Tak sampai satu tahun, pada akhir tahun 1961, alutsista itu mulai berdatangan. Tiba-tiba, kekuatan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) terutama AURI dan ALRI meningkat sangat signifikan. Bagi banyak pihak, itu menakutkan bagi kawasan.
Indonesia tiba-tiba menjadi satu dari 4 negara di dunia yang saat itu memiliki pesawat pembom strategis. Hanya ada AS, Inggris dan Soviet sebelum TU-16 dikirim ke indonesia.
Bukan hanya daya jelajah yang sangat jauh yang dimiliki pembom tempur mutakhir Tu-16, pesawat itu mampu membawa muatan bom dalam jumlah besar.
Atas hadirnya pesawat pembom ini, Australia langsung mingkem. Australia tak lagi berani secara benderang mendukung Belanda pada isu Irian Barat.
Pun HNLMS Karel Doorman yang adalah merupakan kapal induk kelas Colossus milik AL Belanda yang dibeli dari Inggris pada tahun 1948 itu pun harus segera kabur dari Papua.
Konon kapal induk itu kabarnya diminta buru-buru hengkang dari Papua oleh AS karena faktor hadirnya TU 16 KS dan KRI Irian, kapal perang kelas Sverdlov yakni kapal kelas Cruiser paling berbahaya di dunia.
Kapal ini sebanding kekuatannya dengan kapal-kapal tempur terbaik Amerika seperti : USS Iowa, USS Wisconsin, dan USS Missouri dari kelas Battleship terbesar dan tercepat di dunia.
.
.
Dengan bobot raksasa 16.640 ton dan mampu menampung awak kapal sebanyak 1270 orang termasuk 60 perwira, ini adalah kapal perang yang tidak pernah dijual pada bangsa lain di manapun kecuali Indonesia.
Ini jenis kapal penggentar, kapal pembuat bulu kuduk berdiri meski baru namanya saja yang disebut.
Dan benar Belanda memang menjadi tak berkutik. Boleh dibilang, hanya terjadi satu insiden yang mengakibatkan tenggelamnya kapal boat yang menewaskan Laksamana Yos Sudarso. Sisanya, Belanda sudah harus hengkang daripada menghadapi kehancuran total.
Atas dukungan alutsista senilai USD 2,5 miliar dalam rupa Kapal Perang tipe Sverdlov, 12 kapal selam kelas Whiskey, 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed,
maupun 30 unit pesawat MiG-15 hingga pesawat pembom strategis itu membuat Indonesia tiba-tiba menjelma menjadi sosok negara kuat sekaligus menakutkan dalam bidang militer.
.
.
Pada paket itu, Gelora Senayan dan pabrik baja Krakatau Steel turut dibangun.
Namun cerita berbeda terjadi setahun kemudian. Tahun 1963 Inggris dengan ide Negara Federasi Malaysia di mana itu melibatkan negara bagian meliputi Brunei, Singapura, Serawak dan Sabah atau Kalimantan Utara memancing marah Soekarno.
Malaysia yang terganggu dengan kuatnya pengaruh komunis bersatu dalam federasi itu dibantu Inggris.
Di sisi lain, federasi semacam itu dinilai Soekarno sebagai cara-cara Kolonialisme ingin kembali. Marah dan sikap berani Soekarno tentu tak luput dari karena kita kuat pula secara militer. Indonesia berani berhadapan dalam langsung dengan Inggris.
>>>
Namun, ganyang Malaysia tak mendapat respon positif atau dukungan total militer.
Ketika Soebandrio yg sangat kuat beraliran kiri menjabat sebagai menteri luar negeri dan aktif dalam dukungan pada Soekarno dalam peristiwa ganyang Malaysia, masuk akalkah militer mengambil jarak?
Dan bukankah Inggris dalam forum Negara Federasi Malaysia adalah juga tentang perlawanan negara-negara bagian itu pada Komunis?
Di sana, dalam sejarah ganyang Malaysia terlihat tumpang tindih kepentingan. Ada unsur Soekarno dengan imperialisme yang ingin ditolak,
ada persaingan tentara dan PKI, ada kepentingan yang sama antara Inggris dan tentara terhadap satu musuh bersama yakni Komunis.
.
.
Dan terakhir, bukankah terlalu berbahaya bila Indonesia dibawah Soekarno yang untuk sesaat dianggap terlalu toleran pada aliran kiri dan memegang kendali negara yang memiliki kekuatan militer luar biasa besar itu?
Dan sejak saat itu, sejak tahun 1964, sedikit demi sedikit kekuasaan Soekarno tergerus.
Peristiwa ‘65 dan naiknya Soeharto membuat PKI bubar. Dan itu mustahil dapat dilepas dari dukungan barat.
Dan sejak saat itu juga larangan terhadap alutsista berasal dari Soviet dimulai. Cari saja sejarah KRI Irian yang tiba-tiba hilang entah kemana.
"Bukankah gara-gara Presiden Soekarno belanja alutsista gila-gilaan itu negara justru jadi bangkrut?"
Bila cara kita melihat dari sisi sejarah setelah Soeharto tampil, pendapat itu memiliki nilai benar. Sebagai negara yang masih miskin saat itu tapi belanja alat perang dengan nilai fantastis, itu jelas kegilaan. Itu alasan masuk akal sebagai sebab negara ini bangkrut.
Namun, ketika cara pandang kita adalah Papua berhasil kita rebut kembali dengan biaya US$ 2.5 miliar, tentu itu cerita herbeda. Itu harga yang tak pantas kita ributkan demi hakikat Merdeka. Itu justru sangat murah.
"Siapa yang untung?"
Freeport dan banyak blok minyak tiba-tiba berpindah tangan. Mereka juga mendapatkan Indonesia yang serta merta seolah berkiblat pada barat.
Bagaimana dengan hutang kita? Kita tetap harus membayar pengadaan alat tempur itu namun luar biasanya AS dengan mudah dapat meminta rezim saat itu agar tak lagi memakai alat-alat tempur itu.
Konon, alat-alat tempur canggih itu terbuang sia-sia dalam kondisi mengenaskan dan rusak tanpa perawatan.
Itu terjadi hanya dalam jarak kurang dari 3 tahun sejak Papua kembali pada pertiwi. Ajaib bukan?
Lebih ajaib lagi, Freeport sebagai lumbung emas terbesar di dunia entah bagaimana cara nya boleh mereka kuasai hingga kurun waktu sangat panjang. Dan itu terjadi tak lama setelah Soeharto naik. Adakah itu tak meninggalkan tanya?
Bila benar kita bangkrut saat itu karena faktor hutang sebesar US$ 2.5 miliar, tapi gegara hutang itu kita mampu mengusir Belanda, namun hasilnya adalah memberi karpet merah pada kepentingan AS di Freeport, siapakah gerangan yang untung?
Seperti di ujung senja antara mitos dan fakta, kita masih terus berdebat mencari jawab dan sesekali melirik pada rumput yang bergoyang. Siapa tahu di sana ada jawaban.
.
.
.
_______
Gambar diambil dari banyak sumber
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bila ada salah satu negara dari Eropa Barat yang akan segera merespon perkembangan di Ukraina, bukan mustahil itu adalah Jerman. Jerman bagian timur secara geografis sangat dekat dengan Ukraina dan hanya berjarak Polandia di timurnya.
Dan benar, di utara, Jerman langsung melakukan antisipasi dan dikabarkan telah bersiap memimpin 1.610 pasukan. Itu terdiri dari personil tentara Jerman, Norwegia dan Latvia.
Kepada Presiden Latvia Egils Levits, Kanselir Jerman Olaf Scholz berkata, Jerman punya hak untuk berperang. Pernyataan itu dia katakan pada 17 Februari 22 saat menyertai 350 pasukan dari negaranya bergabung dengan pasukan Nato yang terpusat di negara itu.
Sebelumnya, pasukan Yuan tercatat sempat berhenti di Ko-lan atau Pulau Belitung pada bulan Januari 1293. Pada Februari 1293, Ike Mese dan salah seorang komandan bawahannya berangkat terlebih dahulu untuk membawa perintah Kaisar mereka ke Singasari.
Pasukan utama dibawah Ike Mese itu lalu berlayar ke Karimunjawa, dan dari sana mereka berlayar ke Tuban.
Mereka membagi pasukan menjadi dua bagian. Pasukan pertama akan turun ke darat dan pasukan yang kedua tetap menggunakan perahu.
DI LAUT ARMADA MONGOL BUKAN LAWAN SEIMBANG PELAUT NUSANTARA
.
.
.
Ketika lebih dari 500 kapal dan 40.000 pasukan harus dikerahkan oleh Dinasti Mongol saat menginvasi Jepang namun pada invasinya di Nusantara
mereka justru harus perlu menerjunkan armada kapal perangnya hingga jumlah mencapai 1.000 kapal namun pasukan yang disertakannya hanya 20 hingga 30 ribu saja, ini tentu terkait strategi.
.
.
Ini terkait dengan kelebihan lawan yang berbeda-beda yang akan mereka hadapi kelak.
Dan terkait strategi perang, pada saat itu, Mongol adalah jagonya. Buktinya adalah Eropa Timur meliputi Rusia, Ukraina, Polandia, Bulgaria, hingga Asia Tengah dan Asia dimana China, India hingga Pakistan mereka gulung dalam satu libasan saja pada perang yang mereka kobarkan.
Ketika kamu lelah, istirahatlah. Ketika kamu merasa sepi dan sendiri, bukalah lebih lebar pintu hatimu dengan apa itu makna teman.
Ketika penat melanda pikiranmu, ketika semua peristiwa tampak seolah menyatu dalam rumit tumpang tindih jejak yang tak lagi mudah diurai, mundurlah.
Seperti ketika kita berada dalam pusaran air, di sana, hanya ada dinding berputar tertampak & kita lalu terjebak pada pengulangan dan pengulangan. Selalu & selalu, dan hanya peristiwa-peristiwa itu saja yang hadir dalam putaran waktu kita dan kita merasa hilang. Kita terjebak...
Kiroen : "Apa kalo bukan dajal namanya coba? Undang undang dibuat cuma buat jegal orang. Dzolim namanya tahu??"
Parno : "Undang undang apaan?"
Kiroen : " Undang undang Pilkada bego!! Loe tahu ga sih, ini inkonstitusional? Ini rezim dajal, rezim ga tahu diri!! Rezim yang ketakutan kalah makanya main curang."
Parno : "Emang ruginya apa buat loe Roen?"
Kiroen : " jiailaaahh...,ngaca! Ngaca loe sana!! Gubernur gw diikat dua tahun tauk??😡"
KONSISTENSI, KATA ITU LEBIH MUDAH KITA UCAPKAN DIBANDING DENGAN MENJADIKANNYA SEBAGAI MILIK MELEKAT.
.
.
ITU BARANG MAHAL
.
.
.
Bila Budiman Sudjatmiko terlihat selalu konsisten berdiri pada sisi sebarang "jalan milik" Soeharto, Fadli Zon melakukannya pada Jokowi. Keduanya adalah sedikit dari banyak politikus negeri ini yang tahu apa itu makna konsisten.
Keduanya berani berdiri pada sisi benderang sebuah pilihan. Bukan abu-abu warna sebagai iya dan tidak. Bisa kanan bisa kiri. Bisa menjadi siapa saja tergantung ke mana arah angin bertiup.