KONSISTENSI, KATA ITU LEBIH MUDAH KITA UCAPKAN DIBANDING DENGAN MENJADIKANNYA SEBAGAI MILIK MELEKAT.
.
.
ITU BARANG MAHAL
.
.
.
Bila Budiman Sudjatmiko terlihat selalu konsisten berdiri pada sisi sebarang "jalan milik" Soeharto, Fadli Zon melakukannya pada Jokowi. Keduanya adalah sedikit dari banyak politikus negeri ini yang tahu apa itu makna konsisten.
Keduanya berani berdiri pada sisi benderang sebuah pilihan. Bukan abu-abu warna sebagai iya dan tidak. Bisa kanan bisa kiri. Bisa menjadi siapa saja tergantung ke mana arah angin bertiup.
Bahkan, kadang, seorang politisi pun tak ragu berbicara bahwa dirinya sedang berjalan ke kanan padahal tubuhnya jelas-jelas sedang terlihat mengarah ke kiri. Demi suara, mereka mau menjadi apa saja.
Tidak dengan Budiman dan Fadli.
Bukan pada sosok bernama Soeharto, Budiman tak mau berdamai, pada cara otoriter pemerintahan Orde Baru yang dipimpinnya lah dia mengambil jarak. Dia melawan. Hingga kini, sikapnya tak pernah berubah.
Pada Fadli, ini agak berbeda. Kebalikan dengan Budiman, Fadli justru lebih terlihat tak senang dengan sosoknya belaka. Pilihan kata plonga plongo yang seolah adalah bentuk personifikasi pada sosok tak dia suka adalah bukti.
Anehnya, Fadli tak pernah bermasalah dengan sistem pemerintahan Jokowi. Buktinya adalah partai di mana dia lahir dan besar kini menjadi partai pendukung pemerintah.
Bahwa setelah partainya bergabung dengan pemerintahan Jokowi namun Fadli tetap senang mencacinya, ini tentu konsistensi pada makna yang lain. Dia konsisten untuk tetap tidak konsisten.
"Loh koq??"
Konsistensinya hanya berjalan pada ruang pribadinya. Pada ruang yang lebih besar, dia tak mampu menalar makna itu. Kapasitas nalar yang dia miliki, tak cukup besar bahkan bila hanya untuk dapat menampung logika dasar seperti itu.
"Terlalu bolot, gitu maksudnya?"
Hingga kini, hampir tak pernah kita mendengar Budiman berbicara miring apalagi menghina sosok Soeharto. Musuhnya adalah otoriter caranya memerintah saat beliau berkuasa selama 32 tahun. Konsistensinya terjaga, bahkan hingga saat ini.
Politik adalah keindahan, begitu tuturnya pada suatu saat dulu. Dan maka, tak ada sedikitpun alasan benar bagi masuknya paham kebencian pada caranya berpolitik.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kiamat. Mungkin itulah satu-satunya kata paling sepadan untuk menggambarkan skala luar biasa mengerikannya kondisi Pompeii pada 24 Agustus tahun 79 M. Itu sekitar 2000 tahun yang lalu.
Kota pelabuhan besar dan modern di Italia pada zaman Romawi kuno itu tiba-tiba "dipaksa hilang" dalam seketika. Dalam seketika, kota itu tertimbun material panas debu gunung Vesuvius yang meletus dengan skala luar biasa.
Pada tahun 1748 kota ini digali. Seperti membebaskan jiwa-jiwa terperangkap, bangunan-bangunan berikut segala isinya yang terbebaskan itu segera bercerita.
Tiba-tiba, wayang harus dimusnahkan. Ini jelas kegilaan. Ini kedegilan tak masuk akal yang tak pantas keluar dari mulut orang waras.
Meski kalimatnya seolah hanya saran agar para pemiliknya membuang koleksi wayang tersebut karena terkait satu dan lain hal, pilihan kata "MUSNAHKAN" telah menimbulkan marah.
Wayang adalah salah satu alasan terkait pengakuan resmi dunia internasional pada sebuah bangsa. Bangsa yang sama, dia juga dianggap telah memberi peninggalan luhur dalam rupa bangunan candi.
Deru suaranya saja sudah lebih dari cukup, apalagi saat menyaksikan bagaimana akselerasinya. DNA motor itu adalah balap.
Sebuah motor balap di kelas MotoGP mampu melaju dengan sangat cepat. Rekor tercepat saat ini adalah 362,4 kilometer per jam. Itu dicatatkan oleh unit Ducati Desmosedici GP dengan pembalap Johann Zarco pada 27 Maret 2021 di sirkuit Losail, Qatar.
DNA balapnya sudah langsung bicara sejak pertama mesin itu dinyalakan. Merdu raungan suara mesinnya sudah langsung bercerita tentang tenaga luar biasa besar yang dimilikinya. Dia tak tersanding untuk disejajarkan dengan motor pada umumnya.
WADAS BUKAN KEDUNG OMBO DAN JOKOWI BUKAN SOEHARTO
.
.
.
Kegilaan macam apa telah melanda kaum itu sehingga mereka tergoda membuat narasi seolah Jokowi adalah representasi dari Soeharto pada suatu saat dulu.
Mereka berteriak bahwa paham degil otoritaritarianisme telah hinggap pada sosok Jokowi dan maka dia layak menjadi seperti Soeharto.
Mereka bilang bahwa Wadas adalah Kedung Ombo versi Jokowi.
Benarkah?
Bahkan pilihan kata "NGAWUR", itu masih terdengar amat sangat sopan untuk menggambarkan kedegilan tersebut. Itu seperti Paijo yang beli velg dengan ring 23 inch tapi sudah berasa punya Mercy SL 63 AMG dengan mesin V8 nya.
Ketika muncul cerita bombastis dengan bumbu berlebihan dan kemudian akun seperti tante Mar terserah serah, Beni Kabur hingga Lizal Lamli turut "ndomoleng" di sana, otomatis nalar kita sebagai program, segera akan menyangkal.
Biasanya itu hoax! Demikian kata si nalar.
Pada cerita Wadas, bukankah itu lebih tepat bila ditarik pada reaksi wajar sebuah peristiwa terkait kelompok pro dan kontra warga yang tanahnya mau dibeli oleh negara?
Yang pro pingin kejelasan tanahnya yang sudah ditaksir itu jadi dibeli atau engga dan yang kontra khawatir kalau tanah tetangganya benar dibeli negara, pasti menyulitkan posisinya kelak.
Beruntunglah anda yang berseberangan dengan pemerintah dan namun hidup pada era Presiden Jokowi. Kritik sebagai bagian normal demokrasi, entah kenapa justru berubah menjadi arena bagi hadirnya hujatan dan hinaan.
Hinaan pada fisik dan pribadi Presiden, itu tak membuat anda dipidana. Atas nama kebebasan dan Demokrasi, kita berujar bangga boleh mencaci.
.
.
Jaman pak SBY, sepanjang tak mencaci dan menuduhnya, itu juga masih dapat toleransi. Yang penting, jangan masuk ranah fitnah atau hujatan fisik. Bila ya, itu tak ada toleransi baginya.