Kisah Soeharto Tentara Kesayangan Soedirman dan Gatot Subroto
Sewaktu Yogyakarta diserbu Belanda, dan Pak Dirman harus pergi ke luar kota untuk gerilya, dia minta agar Soeharto tetap menjaga keamanan Yogyakarta sebagai ibu kota negara.
(UTAS)
"To kamu di sini saja. Jaga Yogyakarta!'' kata Pak Dirman.
Siap Pak,'' jawab Soeharto.
"Kamu tahu risikonya To?"
"Siap Pak. Tahu. Paham,'' jawabnya.
Soeharto tahu itu perintah Panglima dan taruhannya adalah nyawanya sendiri. Soeharto siap.
Setelah itu Panglima Soedirman pergi ke luar kota Yogyakarta untuk bergerilya.
Soeharto yang merupakan komandan teritorial wilayah (Wekhresie III) Yogyakarta dan sekitanya ditinggal.
Tapi hubungan dengan Pak Dirman jalan terus. Ini karena semenjak sebelumnya Soeharto adalah kepercayaan Pak Dirman,
termasuk ketika Pak Dirman berkomunikasi dengan surat dengan Kartowusiryo yang waktu itu tetap berada di Jawa Barat dan wilayah itu ditinggalkan Pasukan Siliwangi yang harus pindah atau Long March ke Yogyakarta.
Selanjutnya, di kemudian hari, Pak Dirman dan Sultan Yogyakarta dan Bambang Sugeng itulah yang menyusun serangan umum 1 Maret 1949.
Dimana Soeharto bertindak sebagai pelaksananya.
Seorang veteran yang kemudian menjadi maestro pelukis, Roesli, mengisahkan seusai serangan umum 1 Maret 1949 itu, Soeharto memang menjadi bunga pertempuran.
Dia menceritakan terbukti kemudian risikonya bagi Soeharto sangat besar, kampungnya di sebelah selatan Yogyakarta, Kemusuk, diobrak abrik.
Bapaknya ditembak mati Belanda sehari setelah serangan 1 Maret itu. Saat itu pasukan KNIL Belanda mencari cari keberadaan Soeharto.
Selanjutnya, menjelang penyerahan kedulatan oleh pihak pemerintah di Yogyakarta Soeharto ditunjuk untuk membujuk Pak Dirman agar bersedia pulang dari gerilya.
Saat itu elit di Yogyakarta tahu Panglima Besar Soedirman enggan pulang ke ibu kota karena ingin merdeka secara total, bukan terus berunding.
Pak Dirman saat itu mengangap kemenangan sudah di depan mata. Dia tahu tentara Belanda moralnya sudah mengalami degradasi yang parah.
Sama seperti Tan Malaka, Indonesia oleh Pak Dirman dianggap sangat mampu untuk memenangi peperangan dengan mutlak, persis seperti Vietnam yang saat itu mampu gusur kolonial Prancis.
Soharto dan Rosihan Anwar itulah yang menjemput pulang Pak Dirman dari gerilya.
Dari kawasan Malioboro, Soeharto menyetir sendiri mobil jeep bersama Rosihan ke arah Gunung Kidul dan Pacitan.
Sepanjang perjalanan dari pagi sampai sore, yang diakhiri berjalan kaki cukup jauh dan minum air kelapa muda, Soeharto jarang bicara.
"Dia memang 'kulino meneng' (orang yang terbiasa diam).'' kisah Rosihan dalam sebuah perbincangan.
Setelah Sodirman yang datang memakai tandu tiba di Yogyakarta, kedatangannya disambut dengan upacara kebesaran militer di Alun Alun Utara Yogyakarta.
Soeharto bertindak sebagai komandan upacara.
Setelah itu Pak Dirman pergi menghadap ke Istana Yogyakarta untuk ketemu Presiden Soekarno.
Keduanya bertemu dengan suasana kaku. Soedirman terlihat masih kecewa dengan sikap berunding pemerintah.
Saking canggungnya pose foto pelukan Soekarno dengan Pak Dirman diulang dua kali karena dianggap tak terlalu akrab.
Presiden Soekarno, meminta fotografer Istana, Mendur, mengulanginya adegan itu.
Maka, Soekarno kemudian bertindak layaknya pemain dan sutradara film untuk mengulang adegan pelukan itu.
'Pelukannya kurang erat. Kepala saya tak terlalu merunduk. Kita ulang pelukan ini,'' kata Soekarno.
Keterangan Foto: Presiden Sukarno dan Panglima Besar Sudirman berpelukan saat pertama kali bertemu ketika kembali ke Yogyakarta setelah pulang gerilya.
Foto dengan pose pelukan ini ternyata diulang karena awalnya terkesan kaku.
Kelak, sama seperti menyambut Pak Dirman pulang dari gerila, saat Pak Dirman di makamkan dengan upacara kebesaran mililter di Taman Makam Pahlawan Semaki, Soeharto juga bertindak sebagai komandan upacara.
Selain Sudirman, Soeharto sangat hormat kepada Gatot Subroto. Kelak ketika Soeharto jadi Presiden nama Gatot Subroto diberikan kepada sebuah jalan baru yang dibangun membelah kota Jakarta, Jl Gatot Subroto.
Soeharto juga sosok sangat patuh kepada Gatot. Bahkan, ketika dia sempat mau mundur dari tentara karena pangkatnya tak kunjung naik, Pak Gatot-lah yang melarangnya.
''Sabar To,'' kata Pak Gatot di awal tahun 1960-an.
Soeharto menurut karena Pak Gatot sudah dianggap sebagai ayah angkatnya.
Sebelumnya pula, yakni pada episode usai Menhan yang sempat dipegang pemimpin PKI dalam pemberontakan Madiun, Amir Syarifudin, bisa ditangkap Soeharto diminta Pak Gatot mengawal Amir ke Yogyakarta melalui kereta api.
Di dalam gerbong Soeharto itulah yang mengawal Amir Syarifuddin dengan cara memberikan bacaan yang dimintanya, yakni karya Shakespeare: Romeo dan Juliet.
Soeharto juga sukses mengawal Amir yang kala kedatangan dia sampai di Stasiun Yogyakarta di maki-maki bahkan hendak dipukuli oleh massa.
Dan dalam soal penangkapan Amir ini kredit suksesnya harus diberikan kepada para anggota Batalion Siliwangi yang dipimpin Kemal Idris. Pasukannya itulah yang membersihkan pesantren di sekitar Madiun, terutama Pesantren Takeran, yang dikepung milisi bersenjata PKI Musso.
Uniknya, salah satu anak Kyai Pesantren Takeran yang saat itu menjadi tentara Siliwangi, Kharis Suhud, yang membebaskan pesantren orang tuanya dari kepungan. Kelak Kharis Suhud sempat menjadi Ketua MPR RI.
Dan salah satu sosok keluarga pesantren ini lainnya adalah sosok yang dikenal sebagai Dahlan Iskan.
''Mas Kharis dan tentara Siliwangi yang datang membebaskan pesantren kami dari kepungan orang komunis,'' kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Takeran dalam perbincangan di rumahnya pada suatu sore beberapa waktu silam.
Ya itulah sepenggal kisah Soeharto di zaman perang kemerdekaan selaku kepercayaan Soedirman dan Gatot Subroto.
Banyak pihak boleh saja berusaha keras menghapus hubungan dan jasa mereka ini, tapi ingat semakin keras usaha menghapusnya malah semakin kuat tertanam dalam benak!
Kisah Soeharto Tentara Kesayangan Soedirman dan Gatot Subroto
Potret Kemajuan dan Keunggulan Muhammadiyah di Akar Rumput
Muhammadiyah Sepanjang telah mengelola beberapa amal usaha sebagai basis kebermanfaatan masyarakat dan umat, salah satu diantaranya adalah RS. Siti Khodijah Muhammadiyah Sepanjang
Mengenang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta : Soeharto, Sudirman, dan Hamengkubuwono IX
Tanggal 1 Maret memiliki arti penting bagi sejarah Bangsa Indonesia.
Sebab, pada 1 Maret 1949 sebuah peristiwa yang disebut serangan umum terhadap Kota Yogyakarta, membuka mata dunia tentang keberadaan negara Indonesia di forum internasional.
Sebab peristiwa heroik ini dimulai saat 19 Desember 1948, Belanda mengkhianati perjanjian damai Renville dengan melancarkan Agresi Militer Belanda II. Dalam Agresi Militer ini, Belanda berhasil menaklukan ibukota Yogyakarta & menangkap pemimpin-pemimpin pemerintahan RI.
Mencerahkan! Muhammadiyah akan bangun Rumah Sakit di Labuan Bajo
Wabup Mabar: Pemkab Mabar Dukung Rencana Muhammadiyah Manggarai Barat Bangun Rumah Sakit
Wakil Bupati Manggarai Barat dr. Yulianus Weng sangat mengapresiasi dan mendukung rencana luar biasa dari Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Manggarai Barat untuk membangun Rumah Sakit (RS).
"Pemda Manggarai Barat akan mendukung dan membantu rencana proses pembangunan RS Muhammadiyah di Lemes desa Macang Tanggar," ujar Wabup Yulianus Weng saat menerima silaturahmi PDM Manggarai Barat, Sabtu (12/02/2022) malam di rumah jabatan wakil Bupati Manggarai Barat.
Ketua Umum PP @Muhammadiyah Prof @HaedarNs menyampaikan, mengenai tema Milad 109 Muhammadiyah "Optimis Hadapi Pandemi Covid-19: Menebar Nilai Utama", ada empat pesan yang ingin diusung Muhammadiyah
Kenapa Pak Anwar Abbas selalu kritis, terhadap persoalan yang ada? bahkan terkadang ke pemerintah
*usahakan baca sampai selesai
Pak Anwar Abbas adalah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia periode 2020-2035, sebelumnya Sekjend MUI. Ia juga salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag. selain dikenal sebagai seorang Ulama, tokoh Muhammadiyah yang berasal dari Minang ini adalah seorang dosen sekaligus ahli ekonomi Islam Indonesia.
Tulisan Ketua Umum PP @Muhammadiyah, Prof @HaedarNs dalam rubric refleksi dan opini di Harian Republika tentang agama, demokrasi, dan politik diterbitkan menjadi buku dengan judul “Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan” yang diterbitkan Suara Muhammadiyah (SM) dan Republika
Prof @HaedarNs menyebut bahwa persoalan agama menjadi wilayah yang paling tidak mudah untuk dibahas. Hal itu disebabkan karena dua unsur dalam agama, yaitu sacral dan profane