Sans Profile picture
May 7, 2022 56 tweets 9 min read Read on X
MISOPHONIA (Bersuara = Mati) Chapter II

• Horror Thread •

#threadhorror #bacahorror #misophonia Image
Sebelumnya terima kasih sudah berani membaca Misophonia sampai chapter 2 ini. Kalian orang-orang terpilih yang menikmati kisah Alisa, gadis bersurai hitam dengan bibir pucat yang selalu menikmati hidup di tengah kekosongan.
Kata ustadzku, "Percaya pada hal ghaib merupakan salah satu bentuk keimanan kita kepada Allah swt."

Segala hal yang tak kasat mata, semua sebenarnya ada. Hanya saja kita memiliki batasan untuk mencapai hal tersebut.
Alangkah baiknya sebelum membaca thread ini kita sama-sama membaca "Bismillah"
Salah satu lafal agar kita tetap dipelihara oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat membaca 🤐
Srek srek srek

Langkah kaki itu perlahan mulai cepat menerobos jalan setapak dimana sisi kiri-kanannya dipenuhi oleh semak-semak serta tumbuhan berduri.

Malam telah tiba, kegelapan kian menguasai segala sudut hutan. Beberapa kali lolongan anjing berseru lantang seperti sedang–
– mengejar mangsa. Anjing di tengah hutan tentu berbeda dengan yang terlihat di kota. Rata-rata anjing di hutan ukurannya lebih besar dan tentunya lebih buas.

Napas gadis itu mulai memburu, ia sesekali melirik ke belakang untuk mencari tahu. Apakah hewan buas itu sudah tidak–
– mengejarnya? Tebakannya salah, anjing buas yang mengejarnya kian bergerombol. Karena gelap, mata mereka terlihat menyala, lidah mereka keluar tampak kelaparan, kaki mereka terus berlari kencang mengejar mangsa yang sudah ada di depan.
Tidak menyerah gadis itu terus berlari meskipun peluhnya sudah banjir di wajah. Samar-samar ia mendengar sumber air di ujung jalan setapak. Di sisa tenaganya ia terus berlari, namun naas karena gelap dan tidak memikirkan keadaan jalan.

Jatuh, ia terhempas jatuh ke depan–
– lantaran tak sengaja menabrak akar pohon besar yang melintang di tengah jalan. Ia merasakan sakit di bagian kakinya, wajahnya semakin pucat ketika melihat 5 anjing itu kini menggeram seperti siap-siap ingin menerkamnya.

Tubuhnya membatu, tidak bergerak juga tidak melakukan–
– perlawanan. Gadis itu diam, namun dengan tangan jeli ia menarik sebatang ranting pohon yang tak sengaja ada di samping kirinya.

Berhitung di dalam hati, dalam hitungan 1 sampai 3. Ia langsung berdiri dengan gagah, mengangkat ranting pohon tinggi-tinggi lalu menatap anjing itu–
– dengan tatapan menghunus tak kalah tajam. Jika kita pikirkan, mustahil jika gadis mungil sepertinya akan berhasil mengalahkan 5 anjing yang bahkan ukurannya sampai di pahanya.

"EYANG, TOLONG ALISA!" teriaknya histeris memukul anjing itu dengan ranting mengayun bebas.
"Jangan dekati aku, anjing!" teriak Alisa mengumpat, menendang salah satu anjing yang ingin mendekatinya.

Alisa terjatuh nyungsep ketika anjing lain menggigit celana yang ia kenakan dengan brutal.

"EYANG, DEMI TUHAN TOLONG ALISA!"teriaknya histeris saat merasakan gigi-gigi–
– anjing itu mulai menusuk kakinya. Alisa mulai menangis ketika melihat anjing lain mulai berdatangan ketika mencium bau amis darah miliknya.

Saat anjing itu ingin menerkam tubuhnya, tiba-tiba dari arah yang tak disangka. Sebuah batu besar terlempar ke arah anjing itu–
– sehingga membuat tubuhnya terhempas jauh dari Alisa. Sebuah lampu petromak mulai datang, memberikan penerangan di sisi jalan.

Eyang Uton dalam keadaan membungkuk perlahan datang dengan bibir mengembang senyum. Malaikat Alisa, dia lah yang selalu menjadi penolong untuk Alisa.
Anjing-anjing itu sudah kocar-kacir meninggalkan tempat itu selepas Eyang Uton mengusirnya dengan sebatang kayu.

"Ternyata kamu belum bisa menjaga diri, nduk."

"Apanya yang tidak bisa? Anjing-anjing itu saja yang terlalu serakah."

Alisa mulai berdiri kemudian memeriksa–
– kakinya yang mengalirkan darah segar. Ia sedikit berdecak kesal dengan mata tajam melirik Eyang Uton.

"Kenapa harus berlatih dengan anjing-anjing itu sih?"

Eyang Uton terkekeh pelan, "Jika bukan mereka, siapa lagi temanmu untuk berlatih di tengah hutan seperti ini?"
"Hutan ini sebenarnya ramai, eyang." Mata Alisa terlihat menyimpan suatu rahasia yang dalam.

Eyang Uton yang mendengar itu hanya diam, tidak terlalu jauh memikirkannya.

"Eyang gak pernah lihat hewan besar, tinggi, di belakang rumah kita?"

Eyang Uton malah memukul kaki Alisa–
– dengan tongkat miliknya. Ia selalu mendengar hal-hal aneh dari gadis itu. Meskipun ia sudah menutup mata batin gadis itu sejak kecil, tapi Alisa mulai bertingkah aneh saat beranjak 17 tahun.

"Padahal aku tidak berbohong, tapi kenapa eyang selalu memukulku?"
"Ada beberapa hal yang tidak perlu kita tahu, Alisa."

"Lho, eyang terlalu pengatur. Kalo aku bisa melihat, emangnya eyang bisa menghentikan itu?"

"Kamu pernah melihat apa saja?"

"Berani tidak kalo aku kasih tau di belakang eyang ada_"

"Sudah, diam!"

Alisa mengerucutkan–
– bibirnya tampak kesal. Ia mulai berjalan di belakang Eyang Uton dengan tatapan menunduk karena ia tahu di sepanjang kiri-kanan mereka ada sosok perempuan berpakaian hitam dengan muka pucat dan bola mata berwarna putih mengintimidasi.

"Apa kamu mau tinggal selamanya di sini?"
"Iya, selamanya bersama eyang."

Eyang Uton melihat dirinya yang sudah membungkuk, lemah, dan sesekali sulit bernapas. Ia malah terkekeh pelan.

"Manusia itu memiliki batasan umur–"

"Tidak masalah, aku akan hidup dan mati bersama eyang." potong Alisa.

"Tapi, eyang gak mau."
"Eyang selain keras kepala, eyang juga ngeselin."

"Eyang hanya ingin yang terbaik buat kamu."

"Iya, tempat Alisa yang terbaik hanya bersama eyang."

"Dasar bocah ingusan!"

"Dasar kakek-kakek tua, udah bungkuk, mau aja melawan anak muda!"

"Heh!"

Alisa menjulurkan lidahnya,
mengejek eyang Uton lalu masuk ke dalam rumah kayu, kecil, namun bisa menampung keduanya di sana. Tak sempat memasuki kamar mandi, Alisa malah berlari keluar rumah lagi.

"Eyang, apa sebaiknya jendela kita ditutup oleh kain hitam saja?"

Eyang Uton mengangkat alisnya sedikit –
– bingung, ia melihat gelagat aneh dari raut wajah Alisa. Tampak seperti orang yang sedang ketakutan.

"Kenapa?"

Alisa malah mendekat kemudian membisikkan sesuatu di telinga eyang Uton.

"Dari kemarin aku melihat banyak sosok yang menjilat kain itu seperti orang sedang–
– kelaparan. Lidah mereka panjang, wajah mereka hitam, mata mereka melotot saat aku tak sengaja lewat."

Eyang Uton menelan ludahnya cukup kaget. Ia memegang tangan Alisa yang terasa dingin, tidak seperti biasanya. Ia juga mencium aroma melati di rambut gadis itu.

"Eyang!"
Eyang Uton menggerakkan kepalanya ke arah sumber suara dimana ada sosok Alisa sedang berdiri di mulut pintu. Ia mengernyit bingung merasa aneh, lalu siapa yang tadi bersamanya?

"Eyang, aku panggil kok gak nyahut!" teriak Alisa tiba-tiba datang dari arah–
– samping rumah. Eyang Uton semakin kaget ketika melihat dua sosok Alisa ada di mulut pintu dan di samping rumah, sebenarnya mana yang asli?

"Eyang, aku di sini!" teriak Alisa kembali mengalihkan atensinya pada pohon besar dimana ia sedang bermain ayunan di sana.
Ada tiga sosok Alisa, Eyang Uton mengintimidasi mereka satu persatu. Mereka bertiga tersenyum, tapi mata mereka perlahan menghitam. Ia menelan ludah takut ketika mereka mulai berjalan mendekat.

"Eyhang, aku di belakhang eyhang," lirih Alisa tiba-tiba ada di punggung Eyang Uton.
"Eyang, aku di sini!"

"Eyang, aku di sini!"

"Eyang, aku di sini!"

Suara mereka berhasil memekikkan telinga Eyang Uton. Ada sekitar 10 Alisa di sekelilingnya, berjalan mendekat dengan senyum menyeringai, mata yang menghitam, serta seluruh tubuh yang pucat.

"ALISA!"
Eyang Uton membuka matanya dengan mata yang melotot kaget. Terlihat ada peluh di kening dan lehernya, ia melirik kiri-kanan merasa was-was. Ternyata ia sedang terbaring di dalam kamar. Sedikit lega karena itu hanya mimpi. Tapi, kenapa ia merasa semuanya nyata?

"Eyang."
Eyang Uton menggerakkan kepalanya ke arah Alisa yang sedang berdiri di depan pintu dengan wajah yang menunduk. Ia menelan ludahnya cukup sulit, apa yang ada di mimpi akan terjadi di dunia nyata?

"Kenapa eyang menatapku seperti itu?"

Wajah Alisa perlahan terangkat, menampilkan–
– sosok gadis berwajah pucat, lesu, dan tidak berdaya. Ia perlahan mendekat lalu duduk di pinggir tempat tidur eyang Uton.

"Nduk, kenapa duduk membelakangi eyang?" tanya Eyang Uton karena Alisa tiba-tiba duduk murung seperti itu.

"Aku lapar, tidak ada makanan."
"Lho, bukannya_"

Alisa tiba-tiba berdiri, bergerak membalikkan tubuh, menatap lurus ke arah eyang Uton dengan mata perlahan menghitam. Bibirnya menyeringai lebar, kini tubuhnya tiba-tiba melompat ke arah pembaringan eyang Uton.

"Akhu ingin kamu, Uton!"
Sosok bermata hitam itu mencekik leher Eyang Uton tanpa ampun, memberikan rasa sesak di dada pria tua rentan itu. Beberapa kali eyang Uton berontak, namun hasilnya tetap nihil.

"EYANG!"

Alisa datang dengan wajah penuh khawatir, ia tak sengaja lewat di depan pintu kamar eyang–
– Uton kemudian melihat keanehan saat eyang Uton mencekik dirinya sendiri.

"Huk, huk!" eyang Uton duduk dibantu oleh Alisa, wajahnya tampak memerah menahan sesak napas.

"Eyang melupakan ini di kamar mandi."

Alisa memakaikan eyang Uton kalung jimat, penangkal makhluk halus.
Entahlah, tapi Alisa pernah dijelaskan jika eyang Uton tidak memakai kalung itu. Maka ia akan terus diganggu oleh roh-roh jahat.

Namun, ada yang belum diketahui oleh Alisa. Jika kalung bertali hitam dengan liontin hijau itu berisi ari-ari kering miliknya waktu bayi dulu.
Eyang Uton sengaja membuatnya untuk melindungi hidupnya sendiri. Namun, sejak Alisa beranjak remaja. Kalung itu mulai tidak bereaksi lagi, beberapa makhluk halus mulai mengganggunya seolah menginginkan jiwanya.

"Eyang, tadi saat eyang tidur. Ada kakek-kakek datang ke sini."
Eyang Uton menaruh gelas di atas nampan sebelum akhirnya mengernyit bingung, "Kakek-kakek?"

"Iya, terus dia ngasih ini ke Alisa. Katanya nitip buat eyang."

Alisa menyodorkan sebuah kain putih yang berisi sesuatu. Eyang Uton sedikit bingung, ia pun perlahan membukanya.
Di dalam kain putih itu ada tulisan 2-2-1992, angka itu ditulis berwarna merah darah bersamaan segenggam rambut hitam.

Alisa tiba-tiba teriak histeris, menjauhkan diri dengan raut begitu ketakutan. Tangannya menunjuk-nunjuk pada kain.

"Nduk, kamu kenapa?"

"KEPALA!"
Teriak Alisa dengan bibir pucat pasi, ia melihat kepala seorang perempuan dengan rambut panjang sedang tersenyum padanya, matanya mengeluarkan darah merah, bibirnya menyeringai lebar.

"Alisa!" teriak eyang Uton beranjak dari duduknya karena Alisa buru-buru pergi.
Alisa menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Lampu petromak yang ada di atas dipan tiba-tiba mati. Gelap, ruangan kamarnya mendadak gelap dengan angin tiba-tiba berhembus dari arah jendela.

Bertiup, mengibarkan kain putih penutup jendela dengan kencang. Alisa segera ingin–
– keluar dari kamar. Namun, matanya malah melihat sesuatu yang ganjal. Dimana di jendela terdapat banyak sosok yang sedang menjilat kain putih itu sambil menatapnya dengan mata yang melotot merah.

Alisa setengah mati kaget, baru kali ini dia melihat makhluk seperti itu.
Kini, tubuhnya bergetar hebat, bibirnya pucat pasi, keringat dingin muncul di wajahnya. Alisa ingin keluar, tapi pintu malah tidak bisa terbuka.

Angin halus tiba-tiba datang dari arah belakangnya, menyentuh permukaan kulit dengan lembut, sehingga sayup-sayup terdengar sesuatu.
"Sini, nduk. Ibu ingin bertemu kamu."

Alisa terus memaksa ingin keluar, ia menolak tegas untuk mempercayai apa yang ia dengar tadi.

"Apa kamu tidak ingin menemui ibumu?"

Bulu kuduk Alisa semakin naik, ia merasa ini mimpi buruk. Baru kali ini dalam hidupnya dia menemui hal-hal–
– ganjil seperti ini. Soal ibu, ia tidak begitu percaya. Eyang Uton sudah menjelaskan jika orang tuanya masih hidup dan sedang bekerja di kota.

"Jangan percaya Uton, dia hanya memanfaatkan kamu."

Sesosok itu tiba-tiba berdiri di sampingnya, Alisa sampai tidak kuat melihat–
– wajahnya hancur, bau, dan sangat mengenaskan. Alisa sudah tidak tahan, tubuhnya merosot lemah dengan mata tertutup rapat. Pingsan, gadis muda itu akhirnya tidur tenang.
Tiga hari setelah kejadian itu Alisa jatuh sakit. Ia enggan tidur lagi di kamarnya. Terpaksa eyang Uton selalu berada di sampingnya kemana pun ia pergi.

"Nduk, bisa eyang bicara sebentar," ujar eyang Uton menyapa Alisa yang sedang termenung di sampingnya.
Beberapa hari ini gadis itu seperti kehilangan napsu untuk hidup, ia beberapa kali teriak ketakutan, merenung, bahkan sampai kurus seperti sekarang.

Eyang Uton mengusap rambut panjang Alisa dengan lembut, "Besok, Alisa bisa pergi ke kota."
Perkataan itu berhasil menarik perhatian Alisa. Ia tampak mengernyit bingung, tangannya bergerak menyentuh tangan eyang Uton yang kian keriput.

"Kita pindah rumah?"

Eyang Uton menghela napas panjang "Iya, kita pindah rumah."
"Huk, huk!" eyang Uton batuk keras kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Ia terlihat mengambil sesuatu di bawah meja.

"Bukannya dari dulu eyang tidak mau pindah?"

Pertanyaan itu berhasil membuat eyang Uton diam kemudian membalikkan tubuh, menatap Alisa dengan senyum lebar.
"Setelah dipikirkan akan lebih baik kita pindah dari sini."

"Terus, siapa yang akan mengurus semua rumah di desa ini?"

Eyang Uton berjalan menuju jendela lalu menatap lurus ke arah rumah-rumah warga di desa Heksen. Ya, mereka masih menetap di sana.
Desa Heksen terlihat lenggang, hanya eyang Uton dan Alisa yang berani menginjakkan kaki di desa itu.

"Kamu tau, Alisa? Besok hari kelahiran mu." Tiba-tiba eyang Uton mengalihkan pembicaraan.

Alisa hanya diam, menatap punggung eyang Uton yang sudah membungkuk.

"Aku tau."
Eyang Uton kini melangkah mendekati Alisa, "Jadi, apa kamu akan tetap melakukan ritual itu?"

Alisa mengangguk lemah, ia tahu malam ini ia akan melakukan ritual untuk pemandian jiwa. Setiap malam kelahirannya ia harus melakukan itu sendirian.

"Jangan takut, semakin kamu takut–
– semakin mereka mempermainkan mu."

Eyang Uton kemudian keluar dari rumah sambil menenteng wadah berisi bunga melati yang sudah dicampur dengan darah ayam. Ia berjalan mengelilingi rumah warga ssesekali meletakkan bunga itu di sisi lapangan.
Lapangan berada tepat di tengah-tengah rumah warga. Nanti di sanalah Alisa akan melakukan ritual pemandian jiwa.

Alisa terus melihat aktivitas eyang Uton sesekali melihat pohon besar di depannya. Mungkin, malam ini lah malam terakhir ia melakukan ritual pemandian jiwa di sana.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Sans

Sans Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Retakwoi

May 8, 2022
Malam telah tiba, kini Alisa sudah siap memakai kemben berwarna putih. Rambut panjangnya disanggul rapi. Ia mulai menuruni anak tangga dengan kaki yang telanjang. Angin malam menusuk permukaan kulit terasa dingin, namun Alisa tidak mengeluh. Ia terus berjalan perlahan.
Alisa melihat ke sekelilingnya, gelap. Rumah eyang Uton juga gelap, tidak ada lampu penerangan sedikit pun. Alisa duduk kemudian menghela napas panjang.

Tangannya mulai bergerak menggoreskan korek api untuk menyalakan menyan yang sudah siap di atas sesajen.
Dengan mata tertutup dan bibir bergerak melapalkan doa-doa yang sudah diajarkan oleh eyang Uton, Alisa mulai melakukan ritualnya. Tiba-tiba bibir Alisa mengatup sesaat merasakan ada sesuatu mengusap leher jenjangnya.
Read 460 tweets
May 4, 2022
MISOPHONIA (Bersuara = mati)

• Horror Thread •

#threadhorror #bacahorror Image
Kata orang tua, sebelum mengawali sesuatu hendaknya mengucapkan "Bismillah".
Ucapan sakral yang membuat hubungan tali manusia dengan Tuhan tidak putus dan selalu dipelihara dalam perjalanan membaca thread ini.
Penulis berpesan, semoga kisah ini bisa dijadikan pembelajaran yang baik untuk kita semua. Agar, ketika berbicara selalu menjaga sopan santun dan tata krama setiap bertemu dengan orang baru.
Read 126 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(