Sans Profile picture
May 8, 2022 460 tweets >60 min read Read on X
Malam telah tiba, kini Alisa sudah siap memakai kemben berwarna putih. Rambut panjangnya disanggul rapi. Ia mulai menuruni anak tangga dengan kaki yang telanjang. Angin malam menusuk permukaan kulit terasa dingin, namun Alisa tidak mengeluh. Ia terus berjalan perlahan.
Alisa melihat ke sekelilingnya, gelap. Rumah eyang Uton juga gelap, tidak ada lampu penerangan sedikit pun. Alisa duduk kemudian menghela napas panjang.

Tangannya mulai bergerak menggoreskan korek api untuk menyalakan menyan yang sudah siap di atas sesajen.
Dengan mata tertutup dan bibir bergerak melapalkan doa-doa yang sudah diajarkan oleh eyang Uton, Alisa mulai melakukan ritualnya. Tiba-tiba bibir Alisa mengatup sesaat merasakan ada sesuatu mengusap leher jenjangnya.
Semakin lama tangan itu bergerak menyentuh seluruh tubuh Alisa dari bagian kaki sampai paha kemudian beralih ke tubuh bagian atas. Alisa tidak berani membuka mata saat sosok itu mulai menjilat lehernya menyapu seluruh bahunya.

"Manhis," lirihnya di telinga kiri Alisa. Sontak–
– membuat Alisa membuka mata ketakutan. Sepi, sunyi, gelap, Alisa tidak mendapatkan apa-apa di sekelilingnya.

Tidak bisa berbohong, tangan Alisa bergetar takut, matanya melirik was-was. Alisa menghela napas mencoba menenangkan diri. Alisa kembali menutup matanya untuk–
– melanjutkan ritual. Namun, lagi-lagi ia merasakan ada sesuatu yang mulai mencium wajahnya. Segera Alisa membuka mata, sepi lagi.

"AKHHHHHHH!!!"

Suara eyang Uton berhasil membuat Alisa semakin gentar. Ia tidak menyelesaikan ritualnya lalu berlari menuju arah sumber suara.
"Eyang, eyang kenapa?" Alisa berujar khawatir dengan tangan sibuk menyalakan lampu petromak.

Tepat saat lampu itu menyala, di depannya tiba-tiba muncul wajah eyang Uton dengan mata melotot hitam.

"AAAAA!" Alisa histeris menutup mata sontak melempar lampu petromak itu.
"Nduk, tolong eyang, nduk."

Alisa begitu takut ketika eyang Uton mulai memegang kakinya dengan wajah menghadap atas.

"Nduk, tolong jauhkan mereka dari eyang."

"Nduk, jangan percaya. Ini eyang!" Ujar eyang Uton di sisi lain sedang terbaring lemah di atas tempat tidur.
Alisa melihat keduanya dengan tatapan tak percaya.

"Nduk, percaya sama eyang. Mereka hanya penipu hebat, mereka roh-roh jahat," ujar eyang Uton bermata hitam.

"Lihatlah mata kami, nduk. Aku yang asli, nduk," ujar eyang Uton bermata normal.

"Jangan percaya. Dia bohong!"
"Jangan! Akhhhh, huekkk!" Teriak eyang Uton bermata hitam tiba-tiba memuntahkan darah hitam legam.

"Ce..pat, perghii dari si..ni, nduuuk!" Teriaknya di sela ketidakberdayaannya membuat Alisa melirik eyang Uton yang ada di dalam kamar sedang tersenyum padanya.

"Sini, nduk."
Alisa mulai melangkah mendekati kamar, namun tiba-tiba Alisa menarik lampu petromak yang menyala kemudian melemparkannya ke dalam. Menghilang, ternyata bukan eyang Uton asli.

Alisa menatap eyang Uton yang sedang sekarat di dekatnya. Pria tua itu terlihat rapuh–
– dan terus memuntahkan darah hitam.

"Eyang, eyang kenapa?"

"Perghi nduk, huekak!"

"Eyang, bagaimana bisa aku pergi sedangkan eyang seperti ini?"

"Luphakan ritual sethan itu, pergi jauuuuh dari desa ini, cephaaat!"

"Kita harus pergi bersama-sama, Eyang."
Alisa sudah tidak bisa menahan air mata lagi. Ia tidak bisa meninggalkan eyang Uton dalam keadaan seperti itu.

"Perghi, desha ini tidak baik untukmu."

"Eyang, ayo aku akan menggendong eyang."

"EYANG!"

Alisa histeris ketika melihat eyang Uton terhempas melayang ke atas langit–
– langit rumah lalu dijatuhkan. Ia semakin frustasi ketika melihat eyang Uton terus dilempar ke kiri-kanan dinding rumah.

Tangis Alisa pecah ketika melihat eyang Uton jatuh tidak berdaya di depannya.

"Perghi, seseorang sudah menunggumu di pintu desa."
Alisa menggeleng cepat, ia bahkan mulai memeriksa keadaan eyang Uton lalu bersiap-siap menggendongnya.

"Tidak, nduk. Pergi dari sini sebelum mereka datang."

"Hiks hiks, kata eyang kita akan pindah rumah. Ayo, pergi bersama-sama."

"PErghi!"
Dengan sisa tenaganya eyang Uton merangkak menuju kamar yang sudah terbakar oleh lampu petromak.

"Eyang, jangan!"

Eyang Uton malah menendang-nendang tubuh Alisa yang ingin membantunya. Kini ia seperti dirasuki oleh sesuatu sehingga membuatnya terus mendekati pembakaran api.
Alisa tidak terima, kini Eyang Uton sudah berada di tengah-tengah perapian. Pakaiannya mulai terbakar, terdengar bunyi api semakin berkobar. Terlihat eyang Uton perlahan berdiri, membalikkan tubuh, menatap Alisa dengan tatapan kosong dan bibir menyeringai, kini–
– tangannya bergerak melepaskan kalung yang ada di lehernya. Detik berikutnya terlihat tubuh eyang Uton langsung digerogoti oleh sosok-sosok berbaju hitam, tubuh pucat dengan wajah hancur dan mata yang hitam, lidah mereka menjulur keluar mengisap jasad eyang Uton dari atas–
– sampai bawah. Tiba saat salah satu dari mereka melotot ke arah Alisa, dimana suara tangis gadis itu sedikit menganggu.

"HOAAAKHH!"

Suaranya terdengar mengerikan seperti sedang mengamuk. Alisa buru-buru pergi dari sana, menutup pintu depan dengan kencang kemudian berlari–
– menuju arah pintu desa. Tangisnya berderai kencang masih memikirkan keadaan eyang Uton yang sudah di lahap oleh roh-roh jahat itu. Di belakangnya terlihat api semakin besar, membakar rumah eyang Uton sampai ludes.
Tengah malam yang mencekam disertai tangis seorang gadis mungil yang menderu di tengah hutan belantara, ia terus berlari dengan kaki yang telanjang tanpa alas apapun. Beberapa kali ia merasakan duri masuk ke sela-sela kakinya sehingga membuatnya berdarah.
Alisa juga mendengar bisisik-bisikan di belakangnya untuk menyuruhnya kembali. Namun, Alisa takut. Alisa takut menemui sosok-sosok berupa buruk seperti sebelumnya.

Kepergian Alisa dari desa itu menimbulkan seluruh makhluk halus di sana keluar, berjejer rapi di lapangan,
– menatap Alisa dengan sorot mata kosong, tubuh pucat, serta darah yang mengucur keluar di lubang hidung, telinga, dan mulutnya. Mereka adalah warga desa yang menjadi korban hasil ritual setan di desa Heksen.

"Itu dia, nyai!"
Seorang wanita tua, berambut ubanan, punggung membungkuk itu berdiri, menatap Alisa dengan tatapan iba dari bawah sampai atas. Ia segera mendekat, memegang tangan gadis itu erat kemudian memapahnya naik ke atas delman. Kuda segera pergi ketika sang kusir memberikannya perintah.
"Syukurlah kamu berhasil keluar dari sana."

"Hiks hiks, eyang Uton."

Nyai Sepur memaklumi keadaan Alisa. Eyang Uton lah yang menyuruhnya ke sana, siap-siap jika sesuatu terjadi pada malam ini. Dan benar, kejadian itu tidak akan membuat Alisa melupakannya seumur hidup.
"Eyang Uton lebih tenang ketika kamu selamat sampai di sini, percayalah sama Nyai."

Alisa menggeleng pelan, "Hiks hiks, kenapa eyang Uton tidak ingin ikut bersamaku?"

"Ada banyak hal yang belum sepenuhnya kamu ketahui, nduk."

Nyai Sepur lebih tau tentang eyang Uton dan rahasia
– yang ia simpan selama ini. Delman itu kini sudah keluar dari area hutan belantara menuju jalan aspal besar. Alisa terus menangis, pikirannya terus tertuju pada eyang Uton yang sudah merawatnya sejak kecil.

Setelah perjalanan menempuh satu jam, delman berhenti di sebuah rumah–
– besar dimana sisi kiri dan kanannya di penuhi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Rumah itu memiliki gerbang hitam, dimana di dalamnya terlihat berbagai aktivitas orang-orang yang sedang melakukan kegiatan sehingga membuat keadaan semakin ramai.
Pukul 2 tengah malam, anak-anak muda di kumpulkan di tengah lapangan. Rata-rata mereka mengenakan pakaian baju berwarna hitam. Seseorang wanita berumur 50-an berdiri di depan sambil menjelaskan sesuatu. Entah apa nama tempat itu, yang jelas keadaanya mirip seperti sekolah.
Atensi seorang pria muda, berwajah tirus, bibir pucat dengan mata sayu melirik Alisa dengan tatapan iba. Gadis itu sendirian di barisan paling belakang, memakai kemben warna putih, serta tangis berderai deras. Hanya dia lah yang berbeda di antara mereka.
"Tenanglah, hidupmu akan bahagia di tempat ini."

Suara itu mengalihkan atensi Alisa, melirik pria itu dengan tatapan kosong.

"Kita semua sama di sini, hanya ingin sembuh."

Tidak tertarik dengan pembicaraannya, Alisa memilih menunduk terus menangis murung.
Senang banget udah sampai sejauh ini, kebetulan kita sudah sampai di inti ceritanya, guys. Gimana lanjutannya? Tungguin, yang penting kalian stay terus dan jangan lupa komen untuk minta dikirimin notif update nextnya dari aku! Okeyyy see you 🤗
Seperti asrama, anak-anak muda itu mulai dikumpulkan dengan masing-masing kelompoknya. Hanya saja ini sedikit berbeda, dimana laki-laki dan perempuan sepertinya digabung dalam satu ruangan. Terbukti ketika kelompok Alisa berdiri di depan pintu ruang D, sedang dibacakan peraturan–
– dalam asrama tersebut. Kebetulan Alisa bersama 2 perempuan dan 2 laki-laki.

Perlahan mereka masuk ke dalam, dimana ukuran ruangan itu cukup luas, namun anehnya tidak tersedia kamar mandi di dalam,–
– hanya ada lemari dan tempat tidur tanpa sekat antara laki-laki dan perempuan. Entah bagaimana mereka mengganti pakaian nanti.

"Saat tinggal di asrama ini kalian akan saling membantu, jadi jaga hubungan kalian baik-baik."
Mereka kompak mengangguk kecuali Alisa, gadis itu terus merenung dengan tatapan lurus ke arah jendela besar di samping kiri ruangan.

"Gantilah pakaianmu sesuai dengan peraturan asrama," gumam Fate, pria dewasa berumur 25-an. Ia memiliki badan tinggi, muka putih pucat, serta–
– rambut ditutupi oleh blangkon serta terlihat bijaksana menggunakan baju adat Jawa berwarna hitam. Ia menyodorkan baju hitam kepada Alisa.

Alisa terus diam, tidak mengindahkan ucapan Fate. Sehingga salah satu temannya menyenggol bahunya. Tampak gadis itu menoleh dengan tatapan–
– kosong.

"Ambil."

Alisa hanya melirik baju hitam itu lalu mengambilnya dengan tidak semangat.

"Ganti pakaian mu di kamar mandi dekat sungai."

"Rumah sebesar ini, kenapa kamar mandinya di luar?" eluh Yani, gadis bermata bulat.

"Nanti kamu akan tau sendiri."
Setelah kepergian Fate, kini mereka berlima mulai memeriksa keadaan ruangan itu. Ada yang membuka lemari, ternyata isinya pakaian hitam semua. Kenapa mereka harus menggunakan pakaian serba hitam?

"Batar," gumam pria bertubuh atletis memperkenalkan diri. Ia memiliki rambut–
– sampai bahu sedikit keriting. Senyumnya manis karena ia memiliki lesung pipi di wajahnya. Ia menjabat tangan temannya satu persatu, namun hanya Alisa yang tidak menanggapi.

"Nama saya Yani," lanjut Yani, gadis bertubuh sedang tampak feminim. Di lehernya menggantung kalung–
– emas berliontin hitam.

"Afia," gumam gadis bertubuh sedang dimana warna kulitnya terlihat exotic. Ia mungkin paling ramah karena terus tersenyum dari tadi.

"Darma," ucap pria yang tak sengaja bertemu Alisa tadi di lapangan. Ternyata mereka satu ruangan.
Kini atensi mereka tertuju pada Alisa yang selalu diam dan tidak minat dalam sesi perkenalan itu. Alisa memang berbeda, dari pakaian yang ia kenakan, rambut yang di sanggul, kaki terluka, mata sembab, persis seperti orang yang sedang mengalami masalah.

"Nama kamu siapa?"
Tanya Afia menyentuh bahu Alisa sehingga membuatnya kaget, menatap mereka dengan tajam.

"Jangan murung gitu, famali." Batar menasihati, lantas berjalan ke arah jendela yang terus di sorot oleh Alisa dari tadi.

Ia menatap lurus ke luar jendela, keadaan halaman rumah belakang–
– terlihat gelap dan sepi.

"Kenapa tidak ada kain penutup?" Tanya Yani ikut berdiri di samping, melihat keadaan di luar dengan raut ngeri.

"Kita di sini hanya tamu, terima apa yang ada di sini." Yani menjawab dengan bibir terus mengembang senyum.

"Tapi, ada yang aneh."
Yani menekuk dagunya tampak berpikir. Perkataan itu berhasil menarik perhatian temannya yang lain.

"Kita hanya boleh beraktivitas di luar pada malam hari dan harus diam di ruangan ini kalau sudah pagi hari, aneh banget, kan?"

Afia mengangguk setuju, "Iya, lebih anehnya lagi–
– kita diwajibkan memakai pakaian serba hitam. Padahal kan kita ke sini untuk pembersihan jiwa saja."

Batar malah terkekeh pelan, "Bisa-bisanya perempuan dan laki-laki digabung dalam satu ruangan, kalo misal ada yang berbuat_"
"Sutsss, boleh bicara tapi jangan ngomongin hal-hal yang enggak."

Darma akhirnya berujar dengan tatapan tegasnya. Terdengar Batar mendesis sinis lalu menatap Darma dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Keliatan waras kok bisa masuk sini, mau pembersihan jiwa atau nafsu_"
"Bisa diam gak?" Darma memutar matanya jengkel, ia memilih diam dari pada harus berdebat dengan pria menjengkelkan itu.

"Sudah, berani masuk sini berarti berani menerima resikonya. Lagian gak ada gunanya kalo kita terus mengeluh sedangkan kita sendiri butuh tempat ini untuk–
– pengobatan. Jadi, ikuti saja peraturannya sampai kita benar-benar sembuh."

Penjelasan Afia sangat dewasa, mereka akhirnya diam. Namun, tatapan mereka tertuju pada Alisa saat gadis itu perlahan melangkah keluar menuju pintu.

"Mau kemana?" Tanya Batar sedikit bingung.
"Ganti baju. Ayo Yani, Afia, temenin dia." Darma menyuruh Yani dan Afia yang kini saling lirik.

"Kalian berdua gak mau ikut?" tanya Yani.

"Tugas kami ngatur tempat tidur kalian. Lagian mana ada laki-laki nemenin perempuan pergi ke kamar mandi. Kan aneh!" balas Darma.
Iya, aneh sekali Yani menanyakan hal bodoh itu ke laki-laki. Namun, tidak terlalu memikirkannya. Mereka berdua akhirnya menyusul Alisa yang sudah menghilang di balik pintu.

"Cepat banget jalannya," eluh Yani menatap lorong yang sedang sepi dan lenggang.

"Dia kemana?"
Tanya Afia ikut kebingungan. Mereka berdua masih awam di tempat itu. Jelas saja mereka planga-plongo ketika tidak tahu harus menyusul Alisa ke mana.

"AAAAAA!!!"

Suara histeris terdengar dari kamar E, kamar tetangga mereka. Semua penghuni kamar di lantai satu lantas keluar.
Mereka sepenuhnya kaget karena baru saja ingin istirahat, mereka dikagetkan oleh suara gadis yang begitu memekikkan telinga. Apalagi suaranya menggema di tengah-tengah lorong.

Semua orang langsung mendekati kamar E, termasuk tak ketinggalan Afia dan Yani. Pintu kamar E kini –
– penuh dan sesak. Terlihat di dalam Alisa sedang menodongkan pisau ke leher Ela, salah satu gadis penghuni di kamar tersebut. Teman-temannya yang lain hanya bisa tercengang, ingin melawan tapi takut, akhirnya mereka berusaha tenang dan menatap Alisa dengan was-was.
"Kalian tau dhia siapah?" Tanya Alisa dengan bibir menyeringai lebar, tatapan kosong, serta suara sangat berat. Ia seperti dirasuki oleh makhluk halus terbukti dari tingkah Alisa, seperti bukan dirinya.

"Tumbalku," lanjutnya terkekeh pelan.

"Dia milikku!" ucapnya lebih tegas
Semua tercengang, bulu kuduk mereka kini merinding, mereka melirik satu sama lain. Mungkin baru kali ini mereka melihat kejadian ini sehingga ada beberapa yang takut dan berusaha memanggil para ketua asrama.

"To-tolong!" ujar Kania di sela ketidakberdayaannya.
"AKHhh, milikku akan terus menjadi milikku."

Tangis Ela kini meraung-raung, ia ingin berontak namun pisau itu semakin dekat menyayat permukaan kulit lehernya sehingga mengeluarkan darah segar.

Tiba-tiba saja Alisa mengisap darah itu sehingga membuat Ela bereaksi. Bola matanya–
– mulai berubah menjadi putih, giginya menggertak, tubuhnya mengejang. Sehingga akhirnya ia jatuh ke permukaan lantai kini mulai merangkak seperti ulat yang kepanasan sambil melihat semua orang dengan tatapan menghunus tajam.

"Percuma kalian di sini. Kalihan akan ditumbhalkan!"
Mereka semua membeku di tempat, menatap Ela yang terus menggeliat, tubuhnya terlihat mengejang sangat keras. Darma dan Batar sudah bergabung di sana, tatapan mereka tertuju pada Alisa yang sudah terduduk lemas di lantai. Mulutnya terlihat mengeluarkan darah hitam pekat.
"Kenapa kalian semua diam? Tolong panggilkan ketua asrama!" perintah Darma lalu mendekati Alisa dengan perasaan iba.

"Dengar!" Darma berusaha mengalihkan atensi Alisa, namun gadis itu tetap fokus melihat Ela yang terus teriak kerasukan.

"Semua orang tolong bantu dia!"
Darma sangat kesal kepada mereka yang dari tadi diam, tidak melakukan apa-apa. Ia lantas memeriksa keadaan Ela yang tidak kunjung normal.

"Yani, Afia. Tolong bawa dia ke kamar kita." Darma menyuruh kedua temannya untuk mengurus Alisa. Sedangkan ia akan membantu teman yang lain–
– untuk mengurus Ela. Namun, belum sempat Yani memegang tangan Alisa. Gadis itu mulai bereaksi seperti yang dilakukan oleh Ela.

Ya, kedua gadis itu dirasuki oleh makhluk halus.

"Ada apa ini? Siapa yang menyuruh kalian berkumpul di sini?!"
Fate datang bersama ketua ruangan yang lain. Ia lantas melirik Darma yang sedang membacakan Ela dan Alisa sesuatu. Tiba-tiba emosinya semakin naik, tangannya bergerak menyeret Darma menjauh dari kedua gadis itu.

PLAKKK

Suara tamparan Fate pada wajah tirus Darma berhasil–
–menyita perhatian orang-orang. Mata Fate menajam, menatap Darma dengan amarah yang berkobar.

"Siapa yang menyuruhmu?!"

Darma menelan ludahnya cukup sulit, padahal ia hanya membacakan doa yang sudah diajarkan oleh kakeknya. Namun, Fate malah menghentikannya.
"Bodoh, apa yang kamu baca itu berasal dari mereka!" Tunjuk Fate pada kedua gadis itu, tepatnya makhluk yang ada di dalam tubuh Alisa dan Ela.

"Semakin kamu berdoa, semakin mereka menang dan kuat, goblok!" Hentak Fate di depan muka Darma.
"Itulah kenapa kalian dimasukkan di sini, karena kalian akan dibebaskan dari roh-roh jahat yang masih tersimpan di dalam jiwa kalian!" Bentak Fate mulai menyeluruh, menceramahi mereka dengan urat leher yang mengeras.

"Kerasukan itu hal biasa di asrama ini!"
"Melihat makhluk halus juga hal biasa!"

"Karena memang tempatnya ada di sini, tempat menampung roh-roh jahat ya di rumah besar ini!"

"Tujuannya untuk menyembuhkan jiwa kalian, hanya untuk kalian!"

Semua membatu di tempat, takut menyela apalagi berontak. Fate akhirnya menghela–
– napas panjang. Ia cukup emosi karena baru pertama ke asrama mereka sudah mendapatkan hak-hal seperti ini. Ia pun akhirnya menyuruh pembantunya untuk membawa Alisa dan Ela ke tempat yang lebih aman.

Tak lupa juga ia menyuruh mereka untuk kembali ke kamarnya masing-masing.
Akhirnya ruangan E sedikit demi sedikit ditinggalkan. Darma dan kawan-kawan juga memilih kembali ke kamarnya. Kini, mereka terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku masih bingung_"

"Sutss!" Yani meghentikan Batar yang mau mengoceh.

"Kita sebenarnya sakit apa sih?"
Tanya Yani bingung karena kakeknya sendiri juga tidak memberitahunya tujuannya ke sana, hanya saja kakeknya pernah bilang kalau dirinya perlu diobati.

"Apa jiwa kita ketempelan setan?" Lanjutnya lagi.

Afia menghela napas panjang, "Emangnya kamu gak tau tujuan kamu ke sini apa?"
Yani mantap menggelengkan kepalanya, "Aku cuman dianter kakek setelah itu dia pergi."

Batar langsung menepuk jidatnya, "Kalo kamu kakekmu, nah aku nenek ku. Katanya aku harus diobati biar normal kayak manusia lain. Emang aku terlihat seperti bukan manusia?"
Darma semakin menghela berat, melirik Afia yang juga merasakan hal sama dengannya. Mungkin hanya mereka berdua yang sudah tau tujuan mereka ke sana apa.

"Kakekku pernah bilang, keluarga kami mendapat kutukan karena orang tuaku tidak sengaja melakukan kesalahan. Katanya anak–
– gadis bungsu yang akan mendapat hukumannya. Itu lah kenapa aku berakhir di sini, ingin menghilangkan kutukan itu."

Afia menjelaskan secara gamblang sehingga membuat mereka merinding ketakutan.

"Kalo kamu?" Atensi mereka kini tertuju pada Darma yang kini juga sedang–
– menatapnya. Darma mengidikkan bahu, "Gak tau juga, tapi aku tau tempat ini untuk menghilangkan santet, sihir, atau kutukan yang berkaitan dengan makhluk ghaib."

"Berarti aku dan Yani ada kaitannya dengan makhluk ghaib?" Tanya Batar memperjelas.

Darma mengangguk mantap.
Pagi pun tiba, keadaan rumah besar itu sepi dari aktivitas. Tidak ada sedikit pun orang yang berani keluar dari ruangannya. Kata ketua asrama, jika ada yang berani keluar maka dia akan mendapatkan resikonya sendiri.

Ruangan D terlihat sepi karena penghuninya sedang nyenyak–
– dalam tidurnya. Mengingat mereka belum tidur semalaman. Apalagi kejadian di kamar E yang membuat mereka sedikit takut untuk sekedar melakukan kegiatan.

Mereka tertidur dalam posisi; 3 tempat tidur perempuan berada di sebelah kiri, berhadapan dengan 2 tempat tidur laki-laki–
–di sebelah kanan. Yani tidur di tengah sedangkan Afia dan Alisa, tunggu dulu. Dimana Alisa? Tempat tidurnya masih kosong, ohya mungkin ia masih diurus oleh Fate.

Terlihat pulas, mereka sampai tidak mendengar seseorang yang mengetuk pintu dari tadi.
Suara ketukan semakin besar, jelas terdengar memaksa untuk masuk. Anehnya tidak ada suara panggilan dari luar sekedar minta dibukakan. Sepi, hanya ketukan itu yang kian membesar.

Yani merasa terganggu, ia menoleh pada pintu dengan alis mengernyit bingung. Siapa gerangan yang–
– terus mengetuk pintu mereka dari tadi. Yani mendudukkan dirinya di tepi ranjang, belum sempat berdiri. Jendela besar di dekatnya mengalihkan perhatiannya.

Suara ketukan itu semakin besar, tapi atensi Yani malah tertuju pada seseorang kakek tua yang sedang menyalakan dupa–
– dan mulai mengelilingi pohon sambil melafalkan sesuatu. Yani merasa aneh, baru kali ini ia melihat seseorang melakukan hal ganjil seperti itu.

"Lho, bukannya itu?" gumam Yani melihat Alisa dan Ela dibawa ke dekat pohon dalam keadaan tubuh masih kerasukan.
Sebuah tangan menepuk bahu Yani cukup pelan, membuat gadis itu menengok kaget.

"Kamu sedang apa?" Tanya Afia dengan kening mengernyit bingung.

"Aku melihat itu, di belakang rumah ada_" Bolat mata Yani kini membulat ketika melihat pohon besar itu tidak–
– menunjukkan aktivitas selain kekosongan yang hampa.

"Apa?" Tanya Afia ikut meyorot luar jendela.

"Tadi aku melihat kakek-kakek, terus teman kita yang kerasukan itu di bawa ke sana."

"Teman kita? Tuh, udah tidur." Tunjuk Afia pada Alisa yang sudah–
– terbentang tidur di tempatnya. Yani tercengang dengan tatapan tidak percaya. Lalu, apa yang ia lihat tadi?

"Tidur, Yani. Mungkin kamu masih kecapean makanya kamu berhalusinasi."

Yani menggeleng cepat, ia yakin dengan apa yang ia lihat barusan.
"Jadi, apa yang aku lihat tadi, masa setan?"

"Sutsss, jangan besar-besar!" Afia terpaksa membungkam mulut Yani dengan kesal.

"Kalo mereka dibicarakan, takutnya ada yang datang." Jelas Afia.

TOK TOK TOK

Benar, suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian mereka.
Yani dan Afia saling lirik dengan tatapan tidak percaya. Apa mereka akan mendapatkan hal ganjil lagi? Bagaimana jika orang yang mengetuk di luar adalah makhluk halus berambut panjang dengan wajah hancur? Pikiran mereka mulai dipenuhi hal-hal negatif.

Srekkkk

Tiba-tiba pintu–
– terbuka dengan sendirinya. Bukan makhluk halus, tapi ada Fate dan Alisa yang sedang berdiri di sana. Mereka berempat saling tatap, tapi Afia dan Yani tampak sangat kaget. Jelas dari raut wajahnya yang menunjukkan keanehan sambil melirik tempat tidur sebelah yang tiba-tiba–
– kosong, tidak ada Alisa tidur di sana.

"Kalian belum tidur?" Tanya Fate dengan wajah tegasnya.

"Eee-kami terbangun." Yani berusaha mencari alasan yang pas, tidak mungkin ia menyampaikan keanehan itu pada Fate.

"Terbangun karena anda mengetuk pintu," lanjut Afia.
Fate mengerutkan keningnya, "Tidak ada yang mengetuk."

Afia dan Yani semakin bungkam dengan dada bergemuruh kencang. Sudah pagi hari tapi suasana di asrama begitu mencekam. Mereka mendapat hal ganjil di luar nalar.

"Sudah hal biasa. Jika ada yang mengetuk, jangan dibuka."
"Kalian mendengar ketukan pintu saja, kan?" tanya Fate memperjelas.

Yani menggeleng ingin berbicara, namun Afia langsung menyahut.

"Iya, kami hanya mendengar ketukan pintu."

"Syukurlah, kalo sudah bangun jangan lihat ke arah jendela."

"Kenapa?" Tanya mereka berdua kompak.
"Ada yang memanipulasikan pikiran kalian."

Fate kemudian melirik Alisa yang dari tadi diam, melirik luar jendela dengan tatapan hampa.

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan."

Fate mulai melangkah keluar, sehingga terjadi keheningan di antara ketiga gadis itu.
Yani dan Afia kompak melirik Alisa dengan tatapan tajam, mengintimidasi dari ujung kepala hingga ujung kaki, apakah gadis itu benar-benar manusia?

"Kamu_"

"Sudah, Yani. Dia butuh istirahat, jangan bicarakan sekarang."

Alisa mulai menatap kedua gadis itu dengan hampa.
"Jangan menatapku seperti itu!" tegas Yani melotot tak kalah tajam.

"Yani, kecilkan suaramu."

"Ada apa ini?" Tanya Darma tiba-tiba bangun dan sedang duduk di ranjangnya, menatap mereka dengan heran.

"AAAAA!" Yani dan Afia malah teriak histeris ketika melihat Batar di sebelah–
– tiba-tiba bangun dengan wajah penuh luka. Pria itu menyeringai kemudian melompat ke permukaan lantai dengan tatapan terus tertuju pada Alisa. Perlahan ia ingin menerkam gadis itu, tapi Darma buru-buru menendangnya jauh.

"Dia milikku, bodoh!" Ujar Batar dengan suara tegas.
Batar terus mendekat, Darma kini siap mengambil ancang-ancang untuk melindungi ketiga temannya yang sedang bersembunyi di balik punggungnya.

"Aku akan pergi memanggil Fate," ujar Yani berlari pergi, namun Batar langsung melompat untuk menarik kakinya, Yani sontak–
– histeris ketakutan. Batar kini berada di atas tubuh gadis itu, mencekik lehernya dengan mata merah seakan marah.

Darma tidak diam, ia langsung menarik punggung Batar, menatap pria itu kemudian memberikan pukulan di wajahnya.

"Jangan dipukul, kamu hanya akan menyakiti Batar!"
Perintah Afia tidak dihiraukan oleh Darma. Pria itu terus memberikan pukulan brutal pada Batar, tepatnya makhluk halus yang bersemayam di dalam raganya.

"Darma, hentikan!" Hentak Afia menarik kerah baju belakang Darma hingga membuatnya mundur, melepaskan Batar.
Tatapan pria itu terlihat aneh seperti menyimpan dendam pada sosok yang ada di dalam diri Batar.

PRANGGG!

Sebuah batu besar berhasil meruntuhkan kaca jendela hingga tak sengaja pecahan belingnya mengenai mereka semua. Hal itu membuat mereka kaget, menatap jendela dengan–
– tatapan heran. Sapuan angin halus mulai masuk ke dalam sela-sela jendela. Bau melati tiba-tiba muncul di segala sisi ruangan.

BRAKKK

Tatapan mereka langsung tertuju pada semua pintu lemari yang bergerak terbuka-tertutup. Bau melati semakin menyengat hingga–
– akhirnya muncul sosok perempuan berkebaya hitam, rambut panjang, mata melotot merah, serta bibir menyeringai lebar. Jumlahnya empat, berdiri di sudut-sudut kamar lalu perlahan mendekati mereka di tengah.

"Apa kalian melihatnya?" Tanya Afia kini mulai berkeringat dingin.
Ekor mata Afia melirik Yani saat gadis itu tiba-tiba bangun, berdiri persis seperti yang dilakukan oleh keempat sosok itu. Ia perlahan mendekat dengan senyum menyeringai lebar. Hal itu membuat Darma, Afia, dan Alisa berdiri dengan was-was.

BRAKKKK
Satu langkah mendekat, semua barang yang ada di sekitar mereka terbang berantakan. Tatapan Yani tertuju pada Batar yang sudah terlentang pingsan. Dengan gerak-gerik aneh ia mendekat, memperhatikan kepala Batar, tiba-tiba dengan satu gerakan ia melempar tubuh Batar melayang–
– ke atas kemudian menjatuhkannya hingga membuat kepala pria itu terbentur keras di lantai.

Darah, kepala Batar mengalirkan darah segar sehingga menimbulkan bau anyir di segala sisi ruangan.

"Yani."

"Jaga sopan santun mu, dia putri kerajaan. Panggilah dengan nama yang baik."
Ucapan sosok itu berhasil membuat ketiganya tercengang. Tiba-tiba Yani menatap mereka dengan tatapan kosong, terduduk lemah, kemudian mengusap lehernya cukup keras.

"MAAFKAN SEGALA KESALAHAN HAMBA, TUAN!" Teriak Yani tiba-tiba histeris mulai bersujud di depan mereka.
"Yani apa yang kamu lakukan?" Afia ingin mendekat, namun Darma segera menariknya.

"Jangan percaya, itu tipu daya mereka." Jelas Darma serius.

"Ha? Tipu Daya?"

"Dia bukan Puteri, dia hanya buronon kerajaan yang dipenggal oleh kerajaan. Konon, dia ingin mencari kepalanya yang–
– hilang."

Alisa berujar dengan santai, menatap Batar yang sudah terbujur kaku di depan mereka.

"Lihatlah, itu. Mereka hanya menginginkan kepalanya."

Darma dan Afia sontak menatap Batar dengan raut khawatir. Alisa kini bergerak mengambil beling, menatap keempat makhluk itu–
– dengan tatapan tak terbaca. Dengan satu goresan, Alisa melukai lengan kirinya. Darah segar dan amis mengalir, menetes deras di atas permukaan lantai.

Hal itu membuat Darma dan Afia menatap Alisa sangat kaget.

"Apa yang kamu lakukan?" Ujar Darma khawatir.

"Lihatlah!"
Keempat sosok itu tiba-tiba terbaring lemah ke lantai. Mata mereka melotot semakin berbinar, tubuh mereka mulai merangkak mendekati Alisa, lidah panjang mereka menjulur keluar.

Yani yang dari tadi sujud tiba-tiba pingsan dengan wajah begitu pucat. Pengaruh makhluk itu–
– berhasil keluar dari raganya. Kini keempat sosok itu mulai menjilat darah itu dengan buas. Dalam waktu yang singkat Darma terlihat melapalkan doa kemudian melemparkan beling di tangan Alisa kepada mereka.

Hilang, kempat sosok itu sudah tidak ada. Alisa langsung berjalan–
– mendekati Batar. Ia terlihat khawatir menyentuh kepala Batar kemudian memeriksa keadaannya.

"Ambil kain_"

"APA YANG KALIAN LAKUKAN SUDAH KETERLALUAN!"
Nyai Sepur berdiri di depan pintu dengan kebaya hitam khas Jawa. Ekornya matanya melirik tajam, menatap mereka dengan tatapan yang kecewa. Di sisi kiri dan kanannya berdiri beberapa pria yang juga menatap ruangan mereka dengan tatapan tak terbaca.
"KALIAN SUDAH MELANGGAR PERATURAN DI ASRAMA INI!"

"KENAPA KALIAN MELAKUKAN HAL YANG MEMBUAT NYAWA KALIAN CELAKA?!"

"APA KURANG NASIHAT DAN SERUAN KAMI AGAR KALIAN TIDAK MELAKUKAN KERIBUTAN DI PAGI HARI?"

"KENAPA KALIAN MEMBANGKANG!"

Suara bentakan Nyai Sepur meninggi.
Mereka membatu di tempat, tidak dapat berontak atau mengelak. Nyai Sepur mendekati Alisa memeriksa tangan gadis itu lalu mengikatnya dengan sebuah kain hitam.

"Kuncinya ada di kamu. Jangan melakukan sesuatu yang membuat teman kamu dalam bahaya."
Alisa terdiam cukup lama, menelan mentah-mentah apa yang dibisikkan oleh Nyai Sepur padanya. Tatapannya tertuju pada Batar dan Yani, kedua temannya sudah dibopong oleh beberapa orang pria.

"Mereka akan dimandikan untuk menghilangkan segala hal yang menempel di tubuh mereka."
Nyai Sepur lalu melirik ketiganya satu-persatu.

"Nyai tidak tahu sebabnya, tapi jiwa jahat di dalam raga kalian secepat ini melakukan perlawanan."

"Apa yang Nyai maksud?" Tanya Afia menyahut.

"Kalian harus cepat melakukan ritual pembersihan jiwa. Jika tidak–
– mereka akan terus melakukan perlawanan. Nanti malam bulan purnama ke-15. Semua akan melakukan ritual di pemandian suci yang ada di sepanjang sungai."

"Apa ini karena ulah kami, nyai?"

Nyai Sepur melirik Darma lalu mengangguk setuju.
"Saat melihat jendela tanpa sengaja Yani memberikan pintu masuk untuk mereka. Itu lah kenapa jiwa Batar melawan."

"Kamu juga Darma, jangan melafalkan doa yang membuat mereka semakin banyak."

"Maksudnya?"

"Mbah mu sengaja mengutusmu ke sini karena doa-doa–
– yang kamu hafal berasal dari leluhur. Dan itu tidak baik untukmu kedepannya. Jika kamu terus melafalkan doa itu, kemungkinan besar kamu dan teman-temanmu akan celaka juga."

Darma mengatup diam, menyadari diri ada hal yang aneh jika ia melafalkan doa tersebut. Seolah ada–
– yang membisikkan, menyuruhnya untuk mendoakannya kepada teman-temannya, namun setelah Nyai Sepur menjelaskan. Ia menyadari bahwa itu tidak baik untuknya. Itu lah sebabnya kemarin Fate menampar wajahnya sangat murka.

"Alisa, saya harap kamu tidak melakukan sesuatu yang membuat–
– darah di tubuh kamu mengalir di asrama ini. Darah di dalam tubuh kamu diincar oleh lelembut di sini. Melukai diri kamu sama artinya melukai seluruh orang di asrama ini."

Darma dan Afia melirik Alisa dengan tatapan tak percaya. Kini Nyai Sepur mendekati Afia lalu mengusap–
– rambut gadis itu dengan tatapan iba. Afia yang merasakan itu mengernyit bingung.

"Pasti kamu tau, kan. Kenapa kamu diutus ke sini?" Tanya Nyai Sepur.

"Kata kakek, saya kena kutukan."

"Iya, kamu tau kutukan apa itu?"

"Apa Nyai tau?"

"Kematian."
Nyai Sepur sudah melenggang pergi, meninggalkan mereka yang sedang merenung di tempat, memikirkan berbagai hal yang mungkin terjadi kedepannya.

"7 hari lagi hari kelahiranmu, itu berarti kamu akan menginjak usia 17 tahun. Di umur itu lah kamu harus bersiap menerima segalanya."
Pernyataan Nyai Sepur mampu membuat Afia menelan ludahnya cukup sulit, ia melirik Alisa yang dari tadi diam menatapnya. Lalu beralih pada Darma yang juga menatapnya iba.

"Tidak masalah, namanya juga takdir," gumam Afia tersenyum tegar, padahal hati dan raganya kini ketakutan–
– mendekati hari lahirnya. Dalam 7 hari ia harus bisa menghilangkan kutukan itu. Apa bisa?

"Kita akan membantu kamu," sahut Darma yakin.

"Tidak masalah, aku bisa sendiri. Datang ke sini hidup, berarti pulang dari sini juga harus hidup."

Alisa tersenyum tipis, "Mustahil."
Malam pun tiba, keadaan lorong sudah dipenuhi oleh semua anak asrama. Gadis-gadis itu menggunakan kemben hitam selutut dengan rambut disanggul rapi, sedangkan laki-laki hanya menggunakan celana hitam, bagian atas tubuh mereka dibiarkan terbuka.
Mereka berdiri di depan kamar mereka sendiri, berjejer rapi sambil memegang sebuah wadah kecil yang berisi melati dan secuil rambut yang mereka sudah potong.

Di sepanjang lorong berdiri banyak pria dewasa yang sedang membacakan peraturan ritual itu. Fate sebagai ketua di–
– ruangan D kini menatap jenuh ke arah mereka bertiga. Pasalnya Yani dan Batar tidak bisa ikut karena mereka masih dalam pengobatan Nyai Sepur.

"Sudah dibilang, jangan ceroboh!" Tekan Fate di depan mereka dengan raut wajah kesal.
"Saat pemandian di sungai, jangan dengarkan segala gangguan yang membuat kalian kehilangan fokus. Ujiannya ada di situ, kalian harus bertahan dan tetap tenang."

"Jika kami tidak bisa bertahan_"

"Kamu akan mendapatkan resikonya,"potong Fate pada Darma yang tadi meyahut.
"Apa resikonya?" Kini Afia yang menyela.

"Jiwa kalian hilang dalam pikiran kalian sendiri."

"Itu berarti kami tidak bisa selamat?"

Fate mengangguk lalu melirik Alisa yang sedang diam menatap ke arah depan, dimana seorang laki-laki kini sedang menatapnya tajam.
"Tidak sopan, tundukkan pandanganmu!" suruh Fate pada laki-laki itu karena dia membuat Alisa, anak di bawah perlindungannya risih.

Laki-laki itu lantas menundukkan pandangannya membuat Alisa sedikit lebih lega.

"Sukma kalian berbeda-beda. Di ruangan D sendiri kami sudah–
– mengaturnya sesuai dengan Sukma yang kalian miliki. Itu lah kenapa saat bertemu kalian saling menerima diri. Dan seandainya Sukma kalian menolak. Hal tadi bisa terjadi, saling menatap tajam, mencelakai, dan berakhir kematian."

Mereka tercengang karena baru mengetahui hal itu.
Kini, mereka diarahkan untuk berjalan rapi menuju pemandian suci yang berada di sungai. Sungai sendiri ada di belakang rumah, tepatnya mereka harus menuruni 10 anak tangga yang licin penuh lumut untuk benar-benar bisa masuk ke dalam air sungainya.
Suasana malam itu begitu sepi ditambah air sungai yang begitu menyengat dingin ketika kaki mulai dimasukkan ke dalam air. Segala sisi mereka gelap, tidak ada lampu penerangan selain cahaya bulan purnama yang kian bersinar di atas langit. Suara serangga ikut andil memeriahkan–
– ritual malam itu. Mereka mulai mengambil posisi di sepanjang tepi sungai. Nyai Sepur berdiri di bukti, tepat di atas sungai bersama yang lain untuk mengikuti jalannya proses ritual.

"Jaga fokus kalian, tidak ada yang boleh teriak atau menghindari tempat ini. Kalian harus–
– melaksanakan ritualnya sampai selesai."

Nyai Sepur berujar lantang, memberikan saran dan instruksi agar proses pembersihan jiwa mereka berjalan semestinya.

"Tutup mata kalian dengan kain hitam itu!" Perintah Fate selanjutnya.
Mereka segera menutup mata dengan kain hitam berukuran panjang yang bisa melingkar di kepala mereka. Kini, mereka tidak bisa melihat apa-apa. Gelap, semuanya terasa jadi lebih mencekam. Hanya air sungai yang terdengar nyaring di segala sudut.
Napas mereka mulai tertahan, keringat dingin mulai muncul di kening. Afia terlihat was-was, memegang tangan Alisa dan Darma cukup kuat.

"Di sini kalian hanya bisa melindungi diri kalian sendiri!" Tekan seseorang laki-laki di telinga Afia lalu melepas paksa tangan mereka.
Entah dari mana asalnya, kabut putih mulai mengelilingi area sungai. Angin berhembus kencang, menyapu permukaan kulit dengan lembut. Sayup-sayup terdengar bisikan kecil di telinga Alisa.

"Eyang di sini, nduk."

Alisa segera menggerakkan kepalanya ke arah kanan, dimana sumber–
– suara itu berasal. Tangannya menggarap kecil tempat kosong di sebelahnya, menyakini ada Eyang Uton di sana.

"FOKUS!" Bisik Fate tiba-tiba di telinga Alisa.

Alisa menelan ludahnya cukup sulit, ia pun segera berdiri tegap, mulai memfokuskan pikirannya. Namun entah kenapa–
– pikirannya terus melayang kepada sosok Eyang Uton. Alisa tidak menyadari, jika semua anak di sepanjang sungai mulai menyanyikan kidung khas Jawa. Suara mereka merdu, membuat Alisa heran, kenapa mereka hafal kidung yang sering Eyang Uton nyanyikan untuknya?
Terdengar di sebelahnya Afia dan Darma ikut dalam paduan suara itu. Alisa ingin ikut, sayangnya ia tidak hafal. Ada perasaan aneh di benaknya, kenapa mereka kompak hafal?

BYURRRR

Terdengar di depan Alisa suara benda jatuh ke dalam sungai. Alisa seketika was-was, Afia yang–
– biasa takut tetap fokus menyanyikan kidung, begitu pun Darma. Mungkin hanya dia yang bisa mendengar suara itu.

Tiba-tiba kedua lengan Alisa dipegang, iya seseorang mengusap lengannya dari bawah sampai bahu. Tubuh Alisa menegang, dadanya bergemuruh kencang. Saat–
– tangan itu hendak ingin membuka kembennya. Tentu, Alisa berontak tidak terima. Ia membuka kain hitam penutup matanya, lalu menatap sosok yang kini berada di depannya.

Pria itu? Ya, lelaki yang ada di lorong itu kini berdiri di depannya, meliriknya dengan ekor mata tajam, –
– serta bibir menyeringai lebar. Ia sontak menarik Alisa ke tengah-tengah sungai, membuat Alisa terpeleset jatuh karena dasar Sungai semakin dalam.

"Tt-tolong!" Teriak Alisa, namun mulutnya langsung dibungkam oleh laki-laki itu.

Laki-laki itu terus menarik Alisa hingga membuat–
–gadis itu tenggelam karena dasar sungai tidak menjangkau kakinya. Alisa terlihat tidak berdaya ketika kepalanya mulai ditekan ke dalam air. Mata laki-laki itu merah seperti dikuasi oleh roh jahat. Kata Fate, mereka memiliki Sukma yang berbeda. Itu lah kenapa saat–
– berdekatan, masing-masing Sukma akan melawan. Namun, Alisa tidak mampu menguasai perlawanan laki-laki itu. Kekuatannya jauh lebih besar dari Alisa.

"T-tolong!"

"Matilah, maka semua yang ada di sini akan selamat!" Ujar laki-laki itu terus menekan kepala Alisa ke dalam air.
Kekuatan Alisa untuk melawan sudah habis, napasnya mulai memburu, air terus masuk ke dalam rongga paru-parunya. Namun, saat diujung maut pun, samar-samar Alisa melihat Darma sedang memukul kepala laki-laki itu dengan batu besar.
Alisa seketika merasa tenang dan menutup mata terlihat pingsan. Sedangkan laki-laki itu harus menerima kenyataan bahwa ia luka cukup berat di bagian kepala. Darahnya mulai bercampur dengan air sungai yang tadinya jernih berubah menjadi merah darah. Laki-laki itu pingsan juga.
Darma langsung menarik Alisa ke tepi sungai dan membiarkan laki-laki itu mengapung di tengah-tengah. Ia melirik ke atas bukti dimana tidak ada orang sedikit pun di sana, dimana para ketua asrama? Matanya kembali beralih pada anak-anak yang terus menyanyikan kidung.
"Goblok, ritual macam apa ini?" Umpat Darma lalu mendekati Afia dan membuka penutup matanya.

Darma setengah mati kaget saat melihat bola mata Afia memutih dengan wajah pucat pasi. Bibirnya terus bergerak menyenandungkan kidung seperti yang lain.
Tiba-tiba dari arah yang tidak terduga, sebuah angin hitam pekat menerbangkan tubuh Afia melesat di sekeliling pohon tinggi dekat sungai. Detik berikutnya tubuh Afia perlahan jatuh dengan tubuh terluka penuh sayatan.

BRAKKK

Darma mendekati, menatap sosok Afia yang sudah–
– tidak berdaya dengan mata melotot tajam. Anehnya air matanya keluar deras seperti sedang kesakitan, namun tidak bisa mengeluarkan suara.

"Afia, kenapa?"

Alisa sudah bangun dari pingsannya, berdiri di samping Darma lantas menatap Afia yang sudah terbaring lemah.
"Kita harus membawa dia ke Nyai Sepur."

Darma menggendong Afia di punggungnya, sedangkan Alisa berjalan di sampingnya. Ketiga anak itu mulai berjalan, menyusuri anak tangga yang akan membawa mereka ke rumah besar itu.

"Kenapa mereka melihat kita?" Tanya Alisa ketika–
– mendapati sosok wanita berbaju hitam berdiri di depan pintu utama. Hal itu membuat Darma mengernyit bingung karena ia tidak melihat apa-apa selain kekosongan.

"Awas!"

Saat masuk pintu, kaki Darma tidak sengaja menginjak wadah sajen, alhasil benda itu rusak tidak terbentuk.
Alisa sontak menarik Darma ke dalam rumah ketika tak sengaja melihat banyak sosok yang mulai mendekati mereka dengan mata melotot merah.

"Lari, Darma!" Teriak Alisa karena di belakang ia melihat sosok-sosok itu mulai mengejar dengan kaki dan tangan yang merangkak.
Rambut mereka panjang, lidah mereka hitam menjulur keluar, dan jangan lupa mata mereka yang terus melotot merah. Lorong hampir penuh oleh tubuh besar mereka yang mencapai hampir 180 meter.

BRAKKK
Darma membanting pintu cukup keras, menutupnya rapat-rapat lalu melirik Alisa yang sedang mengatur napasnya karena kelelahan.

"Tempat ini tidak baik untuk kita," gumam Darma memecahkan keheningan.

"Tapi, bagaimana dengan anak-anak yang lain?"
Darma memilih menidurkan Afia di atas lantai lalu fokus berbicara pada Alisa. Hal yang tak disangka pun terjadi, banyak monyet yang tiba-tiba datang menggerogoti tubuh Afia.

"Hiyakk!" Teriak Darma murka, mengusir monyet-monyet itu dengan suara tingginya.
Monyet itu pergi, namun ada sosok perempuan muda tiba-tiba datang dari balik kegelapan. Rambutnya menutupi hampir sebagian wajahnya, kakinya perlahan mendekat, namun dari pakaiannya terlihat ia memakai kemben hitam seperti yang Alisa gunakan.

"Hiks hiks, tolong. Kakiku berdarah"
Alisa dan Darma kompak melirik kedua kakinya yang sedang dijerat oleh ular hitam. Tampak gadis itu tidak berdaya ketika salah satu ular menggigit kakinya hingga berdarah.

"Tolong, sakit!" Ringisnya kesakitan.

Alisa perlahan mendekat, namun Darma menarik bahunya untuk kembali.
"Ini hanya tipu daya_"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, sosok gadis itu berubah menjadi sosok besar berwajah hitam, mata putih, serta mulut yang mengeluarkan darah hitam. Lihatlah gigi-giginya yang ingin menerkam mereka dengan buas.
Buru-buru Darma menyeret Alisa keluar kemudian menutup pintu itu dengan rapat.

"Afia ada di dalam."

Darma mengusap wajahnya frustasi, ia lupa dengan gadis malang itu. Saat hendak kembali masuk ke dalam ruangan, tiba-tiba saja ia menemukan Afia berdiri sangat bugar.
BRAKKK

Darma langsung membanting pintu sangat kencang, menarik tangan Alisa berlari meninggalkan ruangan gelap itu. Di belakang terlihat Afia mengejar dengan gigi menggertak serta mata melotot tajam, gadis itu dirasuki oleh makhluk halus yang ada di ruangan itu.
Kini mereka berlari menaiki anak tangga yang mengantarkan mereka ke lantai 2. Lorong di lantai 2 semakin mencekam, hanya ada lilin yang menyala di tiap sisi dinding.

Alisa dan Darma berhenti, melirik ke belakang lalu menghela napas lega. Afia sudah tidak ada.
Tatapan Alisa beralih ke Darma yang sedang menatap lukisan besar di ujung lorong. Sebuah lukisan seorang pria tua yang memakai baju khas Jawa berwarna hitam.

"Kenapa kamu tidak menolong, Afia?"

Darma mengalihkan fokusnya pada Alisa, "Apa kamu ingin mati?"
"Afia juga teman kita!"

Darma mendesis sinis, "Ingat kata Fate, lindungi diri kalian sendiri!"

"Egois!"

Alisa memilih ingin kembali, namun tangannya segera ditarik oleh Darma. Pria itu bahkan menarik tubuh Afia di sisi dinding, mengunci tubuhnya, lalu menaikkan rahang Alisa–
– untuk segera menatapnya. Alisa menelan ludahnya cukup sulit saat Darma mulai mendekatkan wajahnya ke bagian leher.

Satu hisapan kecil, tiba-tiba dari arah belakang pria yang mirip dengan Darma melempar kepala pria itu dengan sebuah kursi.

"ANJING, GOBLOK, ASUW!"
Umpat Darma yang asli terus memukul sosok itu hingga tidak berdaya di atas permukaan lantai. Tiba-tiba ia berubah menjadi sosok genderuwo yang kemudian menghilang di tempat.

"Alisa, maaf."

Alisa segera memeluk Darma erat, sangat takut dengan beberapa orang yang menemuinya–
– malah ingin melecehkannya. Darma turut prihatin, ia mengingat bagaimana keadaan gadis itu di sungai dan sekarang di lantai 2. Alisa seolah diburu oleh lelembut di sana.

"Alisa kita harus cepat menemui Nyai Sepur."

"Bagaimana dengan Afia?"
"Dia kesurupan, tapi aku sudah mengikatnya di ruangan itu."

Alisa cukup kaget mendengar pernyataan Darma.

"Tenang, dia tidak akan terluka."

Alisa perlahan mengerti, segera mereka melanjutkan perjalanan ke lantai tiga dimana ruangan Nyai Sepur berada.
Saat melewati ruangan tua yang memiliki pintu kayu bercorak wayang. Alisa dan Darma samar-samar mendengar suara gamelan dari dalam. Keributan orang-orang yang sedang mengadakan pesta terdengar seperti perkampungan.

Darma tiba-tiba menarik Alisa, membungkam mulut gadis itu–
– bersembunyi di dekat lemari buku tua yang ada di lorong. Mata Alisa sontak melebar ketika melihat seorang pria berbaju kerajaan lewat di depan, hanya saja kepalanya terlihat tidak ada alias buntung. Pria itu menghilang ketika berjalan masuk ke pintu ruangan tadi.
"Apa kamu melihatnya?" Tanya Darma.

Alisa perlahan mengangguk, ia jadi was-was berada di tempat itu. Rata-rata di segala sudut rumah pasti ada penjaganya.

Ketika mereka hendak berjalan melewati pintu itu. Secara perlahan pintu mulai terbuka dengan sendirinya.
Kabut hitam keluar, mengelilingi raga Alisa lalu merasuki gadis itu. Darma tidak bisa menghentikannya, ia hanya bisa melongo ketika Alisa tiba-tiba menari, mengajaknya menari untuk masuk ke dalam ruangan.

Benar, ruangan itu bukan ruangan biasa. Di dalamnya terlihat seperti–
– perkampungan yang mengadakan upacara adat. Entah, apa ini? Tapi Darma bisa melihat tatapan orang-orang begitu sinis ketika Darma dan Alisa masuk ke dalam.

Mereka berwujud seperti manusia, Darma yakin ini hanya tipu daya mereka. Saat hendak ingin menarik tangan Alisa pergi.
Gadis itu justru pergi ke tengah-tengah, berlenggak-lenggok, sehingga membuatnya di kerubungi oleh makhluk di sana. Mereka menari puas, membuat Darma sedikit risih melihatnya.

Saat melewati kumpulan orang-orang itu. Darma bisa merasakan aura negatif yang cukup dalam.
Bau melati begitu menyengat di rongga hidungnya. Kini ia sudah berdiri paling depan, menatap kanan-kiri hingga tatapannya tertuju pada sesajen di tengah-tengah. Darma tercengang dengan mulut terbuka lebar. Ia begitu kaget saat melihat kepala Yani sedang dijadikan tumbal–
– dalam upacara itu. Lihat, semakin musik berputar kencang. Semakin Alisa mempercepat tariannya. Ia bahkan tak segan mengangkat kepala Yani seolah sedang mengagungkannya.

Orang-orang bersorak-sorai hingga membuat telinga Darma memekik kesakitan. Ia melirik sebuah botol kaca di–
– depannya lalu tak segan melemparnya ke arah lantai.

PRANGGG

Pecah, suara itu berhasil membuat music diam, sehingga membuat Alisa merosot lemah dengan wajah sangat pucat. Darma segera mendekatinya, memeriksa seluruh keadaannya.

"Alisa, bangun."
Darma bodoh, ia lupa bahwa mereka sedang berada di sarang makhluk halus. Ia tampak khawatir dengan keadaan Alisa, namun ia lupa bahwa orang-orang itu mulai berjalan mendekati mereka dengan wajah yang sudah berubah pucat.
Darma baru menyadari ketika kepala Yani mulai digerogoti oleh para lelembut itu. Tidak tinggal diam, Darma langsung membopong tubuh Alisa, segera berlari melewati sosok-sosok itu.

Naas, kakinya tersandung oleh sesuatu. Ia jatuh menimbulkan suara yang cukup besar.
Atensi mereka kini tertuju pada Alisa dan Darma. Bibir mereka menyeringai lebar, detik berikutnya mereka secara buas menggorogoti tubuh Alisa yang sudah tergelatak tidak berdaya.

"Ya Tuhan ku, tolong aku!" Hentak Darma berkeringat dingin, melindungi tubuh Alisa dari gigi-gigi–
– tajam mereka. Darma bisa merasakan energi di dalam tubuhnya mulai diserap oleh makhluk itu. Dengan berat hati ia mulai melantunkan doa yang sudah diajarkan oleh kakeknya. Kata Nyai Sepur, hal itu malah akan membuat mereka semakin banyak.
Namun, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang Darma lihat. Lelembut itu malah menghilang, meninggalkan dia dan Alisa yang sudah terbaring lemah di atas lantai. Napas Darma terdengar tidak teratur, keringat hampir membasahi seluruh tubuhnya. Ia terlihat begitu kelelahan.
"Manis, darah perawan manis. Aku ingin darahmu!"

"Aku ingin darahmu!"

"Aku ingin darahmu!"

Bagai disambar petir, Darma bisa melihat para lelembut dari berbagai jenis mulai berdatangan memasuki ruangan itu. Darma tidak tinggal diam, ia kembali bersiap-siap–
– melawan mereka dengan sisa tenaganya. Namun, nihil. Mereka terlalu banyak sehingga membuat Darma kewalahan ikut terbaring lemah, mendekap tubuh Alisa yang berada di bawahnya.

Air mata Darma perlahan runtuh, bibirnya mulai menyenandungkan kidung dengan suara serak dan lemah.
Di sepanjang sungai orang-orang mulai ribut, membicarakan tiga anak yang kini belum ada tanda-tanda untuk segera membuka mata.

Mereka adalah Afia, Alisa, dan Darma. Ketiganya terlihat masih berdiri diam, menutup mata, dan enggan sadar seperti temannya yang lain.
"Kita lihat apa yang terjadi. Jika mereka memuntahkan darah, itu berarti mereka sudah berhasil dalam ritual ini."

Fate yang mendengar penjelasan Nyai Sepur mulai terlihat was-was. Tangannya bergerak tidak tenang, sedikit khawatir terjadi sesuatu pada mereka.
"Nyai, ini sudah terlalu lama. Tolong lakukan sesuatu."

"Tenang, Fate."

"Tenang apanya? Dulu, temannya saya juga begini, tapi Nyai Sepur tidak melakukan apa-apa sehingga membuat mereka kehilangan sukmanya."

Ekor mata Nyai Sepur melirik tajam pada Fate yang tak segan–
– segan menatapnya lebih tajam. Tampaknya mereka menyembunyikan rahasia yang begitu dalam. Fate sendiri takut terjadi sesuatu pada ketiga anak itu sehingga membuat mereka kehilangan sukmanya dalam ritual pemandian jiwa ini.
Ia hanya tidak ingin mereka bernasib sama dengan apa yang diterima oleh teman-temannya.

"Teman kamu melanggar aturan, itu lah kenapa mereka berakhir seperti itu."

"Bukannya kemarin saya dengar, ketua asrama ingin membangkitkan roh putranya? Nyai ingin menjebak mereka bukan?"
"Jangan ngawur, Fate. Jangan mengatakan hal-hal yang membuat semuanya semakin rumit."

"Kalian yang membuatnya rumit. Berlagak melakukan pembersihan jiwa, tapi kalian malah akan menumbalkan mereka."

"Siapa yang memberitahumu?"
"Tidak penting darimana saya tahu. Saya salah satu korban di sini, mana mungkin saya akan diam."

"FATE!"

"IYA, SAYA AKAN MENGHANCURKAN KALIAN!"

Fate segera melangkah mendekati sungai, tempat ketiga anak itu berada.

"Jangan membuat nyawamu terancam, Fate!"
Perkataan itu berhasil membuat Fate menghentikan langkahnya. Di depannya ada tiga pria besar berbaju hitam, pengawal dari kakek tua yang berdiri di tengah, mencegatnya dengan tatapan tajam.

"Pilihanmu apa Fate, selamat atau mati?" Ujar Mbah Deris tersenyum samar.
Fate mulai berkeringat dingin, ia tidak mampu bergerak ketika sebuah belati tajam sudah menempel di pangkal tenggorokannya. Jika ia mati sekarang, bagaimana bisa ia memberitahu mereka tentang hal bejat ini?

"Mohon ampun, mbah. Saya tidak bermaksud_"

"MBAH, MAAFKAN SAYA!"
Tubuh Fate diseret paksa ke tempat yang lebih sepi. Di sebuah pohon besar, di belakang rumah. Ketiga pria itu menebas kepala Fate hingga membuat darahnya muncrat keluar ke permukaan tanah. Terlihat beberapa sosok mulai muncul, menjilat darah itu dengan buas.
"Siapa yang buka suara akan mati," ucap Mbah Deris tersenyum sinis lalu melangkah pergi.

Mbah Deris adalah ketua utama sekaligus Pemilik rumah besar itu. Konon, dia adalah anak keturunan raja sekaligus saudara dari eyang Uton. Ia memiliki tekad ingin membangkitkan putra–
–semata wayangnya yang sudah meninggal sejak 17 tahun lalu. Katanya, raganya masih tersimpan rapi di dalam suatu ruangan. Sudah beberapa kali menumbalkan banyak massa, namun jiwa putranya masih enggan kembali. Namun, pada tahun ini, terlihat ada tanda-tanda putranya akan kembali–
– ketika Alisa datang ke tempat itu. Dia lah kunci utamanya, jika Alisa dikorbankan maka pembangkitan putranya akan berhasil. Mbah Deris hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.

Alisa, sejak lahir gadis itu sudah diincar karena darah yang mengalir di tubuhnya memiliki–
– kekuatan magis yang begitu besar. Apalagi menginjak usia 17 tahun, darah di dalam tubuhnya tercium sangat khas di kalangan makhluk halus.

Kini, Alisa dan kedua temannya masih terbujur kaku dengan darah mulai keluar dari lubang hidungnya. Semua orang mulai khawatir dan–
– bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi pada mereka. Saat Nyai Sepur melihat hal itu, tampak wanita tua itu tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu.

"HUKKK HUKKK HUKK!"

Alisa tiba-tiba batuk, memuntahkan darah hitam pekat dari mulutnya. Matanya layu, wajahnya–
– pucat pasi, terlihat ia ingin tumbang. Namun, Nyai Sepur segera memapahnya untuk duduk.

"Apa yang kamu lihat, nduk?"

"Yani," gumam Alisa pelan.

"Dimana Yani?" Tanyanya kini mulai mengeluarkan air mata tampak menangis.

Nyai Sepur terdiam cukup lama, mengelap air mata–
– gadis itu yang kian deras seperti menyimpan kesedihan yang amat dalam.

"Yani sedang istirahat, tenangkan dirimu, nduk."

Alisa menggeleng pelan, "Aku melihat kepala Yani_"

"HUKK HUK HUK!"

Suara Darma mengalihkan atensi Alisa, pria itu memuntahkan darah hitam pekat sama–
– seperti dirinya. Ia melihat ke sekelilingnya dengan bola mata khawatir. Pria itu langsung mendekati Alisa, memeriksa gadis itu hingga lupa dengan keadaannya sendiri.

"Syukurlah kamu selamat."

Darma melirik Nyai Sepur yang kini juga sedang menatapnya, wanita tua itu tampak–
– tersenyum puas. Terlihat Darma mengusap wajahnya frustasi, ia tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia alami.

"Nyai, apa nyai tahu tentang hal ini? Apa nyai tahu kami akan mengalami hal ini?"

Nyai Sepur mengangguk, "Ini bagian dari prosesnya." Ucapnya tersenyum samar.
Darma menggeleng cepat, "Nyai, tempat ini sudah tidak aman lagi. Banyak hal misterius yang tidak masuk akal. Dan Nyai harus tahu kalo aku dan Alisa hampir mati saat berada di sana. Banyak sosok-sosok yang begitu mengerikan dan Yani, kepala Yani_"

"Suttss!"
Nyai Sepur menatap Darma begitu dalam, "Jangan bicara terlalu banyak, takutnya ada yang terganggu."

Darma dan Alisa mengernyit bingung, mereka saling tatap lalu merasa aneh ketika Nyai Sepur menggoreskan tangannya dengan pisau di atas aliran sungai. Tiba-tiba air sungai berubah–
– menjadi hitam pekat ketika darah itu berhasil menyentuh permukaan air. Hal itu yang membuat Nyai Sepur semakin tersenyum lebar.

Berbeda dengan orang-orang yang ada di sepanjang sungai yang begitu kaget melihat perubahan air itu. Hal mistis itu terjadi di depan mata kepala–
– mereka sendiri. Sungguh, ini sudah di luar daya mereka.

BYURRRR

"AKHhh, to-tolong!"

Teriak Nyai Sepur ketika Afia yang baru sadar langsung membawanya ke tengah-tengah sungai yang dalam. Nyai Sepur yang tua dan rentan tidak bisa melakukan apa-apa selain teriak meminta tolong–
–ketika Afia dengan mata melotot tajam sedang dirasuki oleh makhluk halus mulai mencekik lehernya dengan brutal.

Kejadian itu berhasil membuat semua orang ribut, kecuali Alisa dan Darma yang begitu kaget dengan perubahan Afia.

"Mathilah, kamu terlalu banyak melakukan dosa!"
Nyai Sepur tampak tidak bisa bernapas lagi, wanita tua rentan itu mulai lemas di dalam air dengan wajah pucat pasi. Darma yang melihat hal itu langsung mendekat, berniat untuk menolongnya.

"Afia, lepaskan!"

"Hati-hati, nduk." Lirih Afia serak.

"Hati-hati dengan tempat ini!"
Setelah mengatakan itu, Afia ikut lemas tidak berdaya sehingga membuat Darma harus menarik keduanya ke tepi sungai. Semua orang langsung bergegas dari sungai, tampak takut dengan kejadian yang baru saja Nyai Sepur dan Afia alami.
Alisa menatap kepergian mereka lalu berdiam diri melihat ke arah sungai, terlintas di benaknya bagaimana laki-laki itu berusaha mencelakainya di sana.

"Jaga dirimu baik-baik ya, nduk."

Sayup-sayup terdengar nenek tua dari belakang, membuat Alisa menoleh pelan. Keadaan sudah–
– sepi dan lenggang. Hingga tatapannya tertuju pada sosok nenek tua berambut panjang nan putih sedang duduk di batu besar, dekat sungai. Alisa terus memandangnya hingga ketika nenek itu berbalik, napas Alisa berhenti ketika melihat wajahnya hancur dan melotot tajam.
Segera Alisa berlari pergi, bergabung dengan gerombolan anak-anak lain yang sudah masuk ke dalam rumah besar itu. Hampir saja jantungnya copot, melihat segala hal mistis yang muncul di sekelilingnya.

Kini, Alisa dan Darma sudah berada di dalam ruangannya. Tatapan mereka tertuju–
–pada Afia yang sudah terbaring lemah di atas tempat tidur. Terdengar helaan berat dari mulut Darma, pria itu berjalan mendekati jendela lalu menatap keadaan belakang rumah dengan hampa.

"Terasa nyata padahal hanya mimpi," gumam Darma.

"Aneh, semua gak masuk akal," balas Alisa.
Darma mendudukkan dirinya di tepi ranjang lalu fokus menatap Alisa.

"Bukan kebetulan kalo kita mengalaminya bersama-sama, pasti ini salah satu rencana mereka."

"Mereka siapa?"

"Orang-orang licik di asrama ini."
Tok tok tok

Terdengar pintu diketuk pelan dari luar. Darma dan Alisa melirik pintu yang masih tertutup rapat kemudian saling tatap tampak was-was.

"Jangan buka sampai ada yang memanggil," saran Darma.

Darma dan Alisa sepakat diam, membiarkan orang itu terus mengetuk pintu.
"Afia!"

Alisa dan Darma tidak menyadari jika gadis itu sudah bangun dan langsung berjalan mendekati pintu. Panggilan Darma tidak dihiraukan oleh Afia, gadis itu tampak pucat dengan tatapan kosong seperti orang mati.

"Afia, jangan!"

Sayangnya Afia berhasil membuka pintu–
– dengan lebar, menampakkan sosok Batar yang sedang berdiri termenung di sana. Hal itu membuat Darma dan Alisa kaget, segera mendekati mereka.

Batar terlihat berbeda, ia memakai pakaian serba putih dengan wajah dan bibir begitu pecat, kelopak matanya hitam, air matanya tampak–
– ingin jatuh, pria itu terus melotot ke arah Alisa dan Darma.

"Kenapa kamu datang sendiri? Yani, dimana?" Tanya Alisa celingak-celinguk melihat lorong yang sepi, tidak ada Yani.

"Batar, kenapa kamu melotot seperti itu. Jawab Alisa, dimana Nyai Sepur mengobati kalian?"
Batar dan Afia malah berjalan, meninggalkan Darma dan Alisa yang kian bingung dengan sikap mereka. Mereka berjalan melewati lorong asrama yang gelap, kemudian belok kanan di ujung lorong.

Darma dan Alisa diam-diam mengikut di belakang. Gerak-gerik temannya sangat mencurigakan, –
– mereka takut terjadi suatu pada Batar dan Afia. Mengingat Afia yang tiba-tiba bangun dari tidurnya, tidak berbicara banyak dan langsung pergi bersama Batar yang tiba-tiba berdiri di depan ruangan mereka. Keduanya yang biasa cerewet dan banyak bicara kini terlihat bisu.
Saat hendak melewati lorong kedua, tak sengaja mereka bertemu 4 pria yang sebaya dengan mereka. Tampak Darma diam ketika melihat pria yang berdiri paling depan, menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Pria itu mirip seperti yang ada di alam bawa sadarnya. Dia pria yang berusaha–
– mencelakai Alisa waktu di sungai. Reaksi Alisa juga kaget, ia bahkan lebih kenal setiap inci wajah pria itu. Kini mereka berjalan semakin dekat, dan saat hendak berpapasan...

Pria itu tiba-tiba menyerang Darma hingga membuatnya tumbang di atas permukaan lantai.
Alisa tercengang, bingung harus mengejar Afia dan Batar atau menolong Darma yang sedang tidak berdaya.

Kini, Alisa bisa melihat Darma sedang dikepung oleh keempat pria itu. Mereka bersiap-siap akan menghajar Darma dengan pisau yang sudah siap di tangan mereka.
"Mau apa, monyet?!" Hentak Darma yang sudah terbaring dengan wajah merah menahan amarah.

Pria yang sedang duduk di atas tubuh Darma kini mengancam dengan memainkan pisau tajam itu di depan leher Darma.

"Kamu cuman figuran, jangan ikut campur atau kamu bakal_"

"AYOO!"
Bentak Darma tak mau gentar dengan ancaman mereka. Darma bahkan mengarahkan pisau itu ke lehernya, membuat sebagain mereka semakin murka merasa ditantang.

Pria itu hendak menusuk leher Darma, tapi Alisa kini bersuara sehingga membuat mereka menoleh kompak.
"Kamu sebenarnya maunya apa?" Tanya Alisa pelan-pelan.

"Kamu!" Jawab pria itu lugas dengan senyum merekah sinis.

"Apa yang kamu inginkan dariku?"

"Semuanya."

Karena terlalu fokus pada Alisa, pria itu akhirnya lengah dan memberikan kesempatan kepada Darma untuk menghajar–
– kepalanya hingga terbentur keras di permukaan lantai. Kini posisi jadi berubah, dimana Darma yang duduk di atas tubuh pria itu dan mencekik lehernya dengan kencang.

"Manusia bejat, kelakuanmu melebihi setan!" Umpat Darma emosi.

Pria itu malah terkekeh pelan seolah cekikan–
– di lehernya tidak begitu mempengaruhinya. Bahkan Darma lupa bahwa pria itu masih memegang pisau di tangannya, mengarahkannya pada perut mulus Darma sedang mengancam.

"Sebaik apa pun kamu melindunginya, dia sudah ditandai untuk dijadikan_" ucapan pria itu tertahan, melirik–
– Alisa yang sedang menatap mereka begitu khawatir.

"Tumbal," lanjutnya dengan satu hentakan, mendorong pisau itu hingga tertancap pas di tengah-tengah perut Darma.

Darah mengucur keluar, Darma kini tumbang. Pria itu lantas berdiri, menatap Darma lalu berganti pada Alisa.
"Obati dia supaya ada yang menjagamu," saran pria itu tersenyum sinis lantas berjalan melewati Alisa, menggoreskan pisau di bagian lengannya.

"Auww!" ringis Alisa kesakitan, tak segan menatap pria itu tajam.

"Manis," balasnya mengisap jari telunjuknya yang terkena darah Alisa.
Pria itu sudah pergi, kini tinggal Alisa yang turun tangan membantu Darma yang sudah pucat dan sekarat. Ia bingung harus membawa Darma dengan cara apa, pasalnya hanya dia sendirian. Tubuhnya juga terbilang kecil, ia tak mampu menggendong Darma yang memiliki bobot lebih besar.
"Kenapa, nduk?"

Alisa mengusap dadanya kaget karena Mbah Deris tiba-tiba muncul dari arah kegelapan, berjalan membungkuk dengan tongkat khasnya. Di sisi kiri-kanannya ada pria berbaju hitam seperti pengawal. Mereka menghampiri Alisa yang sedang berusaha menutupi luka Darma.
"Ma-maaf_"

"Panggil Mbah Deris, saya bukan jin seperti yang ada di pikiran kamu."

Alisa menelan ludahnya cukup sulit. Benar, tadi ia pikir kakek tua itu adalah pengganggu di sana. Namun, ia benar-benar salah duga.

"Teman saya terluka. Tolong teman saya, Mbah."
Mbah Deris menghela napas panjang cukup tenang.

"Dia hanya terluka sedikit."

"Ta-tapi, mbah. Perutnya sobek ngeluarin darah terus."

"Lebih baik kamu tutupi luka kamu."

Mbah Deris memberikan Alisa kain hitam lalu mengikatnya di lengan gadis itu. Alisa jadi bingung–
– kadang kala ia menemukan orang yang peduli padanya dan kadang juga ia menemukan orang yang berusaha mencelakainya. Seperti Mbah Deris, kakek tua itu telaten mengusap darah di seluruh lantai yang tak sengaja terkena darah Alisa.

"Takutnya mereka datang."

"Siapa, Mbah?"
"Yang mengincarmu."

Alisa menelan ludahnya cukup sulit, Mbah Deris berkata dengan tatapan tajam dan serius. Ia jadi merasa terintimidasi di sana. Apa benar banyak yang mengincarnya?

"Ayo, kita obati teman kamu."

Mendengar hal itu, Alisa melupakan sejenak apa yang dikatakan–
– oleh Mbah Deris. Beberapa pria berbaju hitam itu membopong Darma lalu berjalan mengikuti Mbah Deris dan Alisa yang berjalan di depan. Langkah mereka perlahan naik ke atas tangga, membuat Alisa sontak mengingat kejadian di alam bawah sadarnya.

"Mbah, kenapa kita harus ke sini?"
"Ruangan Mbah ada di atas. Nanti Mbah yang akan mengobati teman kamu."

"Ta-tapi mbah, aura negatif di sini sangat tajam."

"Mbah sudah bilang, jaga dirimu baik-baik. Banyak yang mengincarmu."

"Kenapa mereka mengincar saya?"

Mbah Deris perlahan membuka pintu ruangannya.
Bibirnya tersenyum lebar ke arah Alisa lalu mengusap rambut gadis itu cukup pelan. Ia menemukan satu helai rambutnya lalu memperlihatkannya pada Alisa.

"Semua hal yang ada di badan kamu, jangan sampai ada yang jatuh di asrama ini."

Alisa tercengang cukup kaget.
Bahkan Nyai Sepur juga mengatakan hal itu padanya. Apa sebenarnya keistimewaan yang ia miliki?

"Eyang Uton telah menceritakan semuanya kepada Mbah."

"Lho, Eyang Uton?"

Mbah Deris yang sedang menumbuk beberapa daun untuk membuat ramuan obat tampak tersenyum tenang.
"Adik Mbah, Eyang Uton lah yang menyuruh Mbah untuk menjemput kamu waktu itu."

Alisa semakin terkejut mendengar rahasia demi rahasia yang akhirnya terdengar di telinganya.

"Berarti Mbah Deris juga tau kalo Eyang Uton akan mengalami hal itu?"

Mbah Deris membuang napas kasar.
Senyum yang tadi merekah kini musnah berganti dengan perasaan kalut dan pikiran yang sukar.

"Setidaknya Mbah Deris sudah memenuhi pesan terakhirnya."

Alisa menggeleng, "Kenapa Mbah Deris tidak datang untuk menolong kami?"

Mbah Deris lebih memilih fokus mengobati luka Darma.
Ia seperti bisu mendapatkan pertanyaan demi pertanyaan dari Alisa. Ia paham Alisa akan kecewa seperti ini. Tapi, Mbah Deris hanya memberikan fakta yang ada.

"Ada yang tidak perlu kamu ketahui, Alisa."

"Termasuk tentang segala mistis yang kalian sembunyikan? Eyang Uton,–
– Mbah Deris, Nyai Sepur, semua mengatakan hal sama, tapi kalian lupa memberitahuku tentang rahasia dalam diriku? Lalu bagaimana caraku menjaga diriku."

Mbah Deris memilih fokus mengikat perut Darma dengan kain hitam. Setelah selesai ia menatap Alisa dengan senyum merekah.
"Karena semua hal yang terjadi di luar daya kamu, Alisa."

"Mbah."

"Teman mu sudah diobati, sekarang kembali lah ke ruangan kamu."

Alisa menggeleng cepat, "Aku ingin tetap di sini."

Mbah Deris melihat sekeliling ruangan itu lalu menatap Alisa dengan raut tak terbaca.
"Akan lebih baik kamu kembali ke ruangan kamu."

"Aku sendirian di sana, Mbah. Teman-temanku satu persatu pergi."

"Itu lah kenapa kamu harus menjaga dirimu, karena semua yang ada di sekeliling mu juga akan berpengaruh."

"Jadi, mereka celaka karena aku?"
Mbah Deris memilih diam lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Ia meninggalkan Alisa yang sedang kebingungan dengan pertanyaan nya sendiri.

Alisa melirik Darma yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur, sejenak ia menghela napas pelan.

"Dia terluka karena melindungiku."
Alisa menyimpulkan seperti itu karena ia tahu, pria yang mencelakai Darma hanya ingin mengincarnya. Darma begitu baik melindunginya dari pria bejat itu.

"Tapi, bagaimana dengan Afia, Batar, dan Yani?"

"Kamu hanya dijebak, nduk."
Alisa sontak membalikkan tubuh ke arah ruangan gelap di depannya yang hanya ditutupi oleh tabir hitam sehingga segala hal di dalam ruangan itu tidak bisa terlihat.

Tiba-tiba angin datang dari jendela yang sedang terbuka lebar. Tabir hitam itu tersingkap, menampilkan sosok–
– nenek tua yang sedang berdiri di sana. Persis sama seperti yang ia lihat di sungai waktu itu.

"Jangan takut, nduk. Jin itu ada yang baik, ada juga yang menyimpang dari Gusti Allah."

"Mak-maksud, Mbah?"

"Jangan percaya pada orang-orang di asrama ini."

"Kenapa, Mbah?"
Tiba-tiba nenek tua itu mulai melangkah keluar dari ruangan gelap itu. Alisa melangkah mundur, tidak sanggup melihat wajahnya yang hancur dan melotot tajam.

"Mereka hanya ingin memanfaatkan kamu."

"Ke-kenapa aku harus mempercayai, Mbah?"

Nenek tua itu mulai memegang bahu–
– Alisa lalu tersenyum lebar. Tampak gadis itu terus menutup mata, sangat takut dengan jin yang ada di depannya.

"Deris ingin membangkitkan_"

"Nduk!" Nyai Sepur tiba-tiba datang menggerakkan bahu Alisa sehingga membuat gadis itu kaget melihat wujud Nyai Sepur.

"Kamu kenapa?"
"Bu-bukannya tadi?"

"Dari tadi Nyai manggil-manggil kamu, tapi gak nyahut. Kok nutup mata segala?"

Alisa menelan ludahnya lalu melihat sekelilingnya untuk mencari sosok itu, tapi nihil. Tidak ada tanda-tanda nenek tua itu berada di sana.

"Kamu melihat sesuatu?"
Alisa menggeleng cepat, ia tidak ingin memberitahu hal yang dialaminya kepada Nyai Sepur.

"Tidur lah di ruangan kamu, nanti Nyai Sepur temani."

"Bagaiman dengan teman-temanku, Nyai?"

"Mereka sudah di tempat aman. Kamu hanya perlu menjaga dirimu, ayo."

"Darma?"
"Biarkan dia istirahat di sini."

Alisa akhirnya mengangguk, mengikuti langkah Nyai Sepur untuk pergi menuju ruangannya. Tampak lantai dua tidak begitu asing bagi Alisa, apalagi saat melintasi pintu ruangan yang bercorak wayang itu. Ia bisa menghirup bau melati di segala sisi.
Alisa sudah tiba di ruangan D, dimana hanya ada dia dan Nyai Sepur menempati ruangan yang sepi dan lenggang itu. Jendela kabar terbuka lebar, ia bisa melihat banyak anak-anak di luar menggunakan pakaian serba putih. Lagi-lagi Alisa merasa sudah biasa, ia tahu mereka bukan–
– manusia. Terbukti mereka bermain bola menggunakan kepala manusia.

"Masih dini hari, wajar mereka muncul di saat-saat sepi seperti ini."

Alisa melirik Nyai Sepur yang sedang duduk di tepi ranjang. Ia menghampiri lalu duduk di sampingnya.

"Apa Nyai bisa memberitahuku kenapa–
– aku bisa seperti ini?" Tanyanya dengan wajah penasaran.

Nyai Sepur mengusap lembut rambut Alisa lalu tersenyum simpul.

"Tidak ada yang perlu diketahui, nduk."

Alisa membuang napas kasar, ia kecewa mendengar jawaban Nyai Sepur yang selalu menyembunyikan semuanya darinya.
"Hari-hari berikutnya akan lebih berat, ayo istirahat."

"Nyai tahu."

Alisa tiba-tiba berubah murung, melihat sekeliling tempat tidur temannya yang kosong tanpa adanya mereka.

"Apa benar mereka celaka karena aku?"
Nyai Sepur menghela napas berat, "Takdir itu nyata, mereka hanya menemui takdir mereka."

Alisa memegang tangan Nyai Sepur, ia begitu kaget saat mendapati tangan nenek tua itu terasa sangat dingin.

"Nyai, tangan_"

"Tidak apa-apa, penyakit tua. Ayo, tidur di pangkuan Nyai."
Nyai Sepur memapah tubuh Alisa untuk tidur di tempat tidur, dimana kepala Alisa berada di pangkuannya. Kini, Alisa terlihat nyaman ketika Nyai Sepur mengusap lembut rambutnya disertai dengan menyanyikan kidung khas Jawa.
Tampak Alisa menutup mata, perlahan mulai nyaman dengan nyanyian merdu Nyai Sepur. Ia akhirnya terlelap tidur.

Hal ini berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Darma, pria itu membuka mata, merasakan nyeri di bagian perutnya. Ekor matanya menatap sekeliling ruangan.
Ia bisa merasakan ada aura yang tidak beres ketika melihat segala sisi ruangan yang begitu gelap dan lenggang.

Darma memilih bangun dari baringannya, memegang perutnya yang ditutupi oleh kain hitam, lantas mulai menurunkan kedua kaki di permukaan lantai.
Tiba-tiba saja napas Darma terasa berat dan dadanya mulai bergemuruh kencang. Ia tidak bisa bohong tentang kekhawatirannya ketika dua buah tangan menjerat kakinya di bawah, sehingga ia tidak bisa berdiri. Darma takut untuk sekedar menengok, tapi ia yakin sosok itu sedang ada–
– di bawah tempat tidur. Menelan ludah saja rasanya sulit bagi Darma. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya menengok ke bawah.

"HIHIHIHI!"

Sesok perempuan berwajah pucat, bermata putih, dan bergigi tajam kini cekikikan tepat di bawah Darma.
Darma sudah bersumpah serapah di dalam hatinya. Ia ingin berlari tapi tangan itu semakin erat memegang kedua tangannya.

"Kenapa kamu menggangguku?!"

Sesosok itu kini duduk di samping Darma, menaruh kepalanya di bahu pria itu. Ia terus memainkan rambut panjangnya sambil diam.
Darma yang merasakan hal itu semakin menutup mata rapat-rapat. Rongga hidungnya sangat jelas mencium bau melati.

"Tidak ada yang selamat dari tempat ini," bisik sosok itu di telinga Darma.

"Mereka akan menjadikan kalian tumbal," lirihnya.
Sosok itu mulai memainkan kuku tajamnya di leher Darma. Ia seperti siap-siap mencekik leher pria itu.

"Kalian semua akan mati."

Ia segera mencekik Darma, namun Darma lebih dulu menarik tubuh jin itu hingga dihempaskan ke atas tempat tidur.

"Tempatmu bukan di sini, setan!"
Hilang, sosok itu akhirnya menghilang. Napas Darma tampak memburu menahan emosi. Dengan jalan tertatih-tatih, ia mulai keluar dari ruangan itu. Saat di depan pintu, ia melirik kiri-kanan merasa janggal.

"Darma, t-tolong!" Gumam Afia kini sedang duduk dengan wajah pucat dan–
– air mata yang berubah menjadi warna merah darah. Darma setengah mati kaget, berjalan mendekatinya di sisi kiri.

"Afia, apa yang terjadi?"

"To-tolong, sa-sakit!" Seru Batar tiba-tiba dari arah kanan sehingga membuat Darma lantas menoleh kaget.
Saat mendekati Afia, gadis itu tiba-tiba menghilang. Darma kebingungan, kini langkahnya membalik pada Batar di belakangnya.

Bagian atas tubuh Batar terlihat berdarah tampak ada sobekan di jantungnya. Matanya juga mengeluarkan darah, ia seperti habis dimutilasi oleh orang.
Belum sempat Darma mendekati Batar, terdengar suara tangis gadis dari arah sampingnya.

"Hiks, hiks." Tangis seorang gadis tiba-tiba dari arah samping, terduduk dengan rambut terurai ke depan menyembunyikan wajahnya.

"Yani?"

Sosok itu mulai mengangkat wajahnya. Dan benar –
– saja, dia adalah Yani teman satu ruangan sekaligus gadis tanpa kepala yang Darma temui di alam bawah sadarnya.

Sebelum mendekati Yani, Darma sekali lagi melirik Batar. Tapi, nihil. Pria itu menghilang sama seperti Afia. Kini ia melangkah mendekati Yani yang sedang tersenyum–
– padanya. Baru tiga langkah tiba-tiba kepala Yani miring, melototi Darma dengan senyum lebar. Hal itu membuat bulu kuduk Darma berdiri, merasa tidak ada yang beres.

"Pasti kamu bukan Yani."

"Aku YANI!" Teriaknya sontak membuat Darma setengah mati kaget ketika melihat kepala–
–itu jatuh ke permukaan lantai sehingga yang tersisa kini hanyalah tubuh Yani tanpa kepala.

"Goblok, setan, asuw!" Umpat Darma segera melangkah cepat, meninggalkan kepala itu yang terus memanggilnya lirih.

"Darma, to-tolong!" Lirih kepala itu terus mengeluarkan bau darah amis.
Darma berjalan pontang-panting sambil melirik kiri-kanan dengan was-was. Tangannya tetap memegang perutnya yang kian sakit ketika ia bergerak. Saat hendak melewati sebuah ruangan, sayup-sayup terdengar seseorang sedang berbicara di dalam.
Darma tidak peduli, ia lebih memilih fokus untuk pergi menuju ruangannya. Namun, langkahnya terhenti ketika tak sengaja mendengar orang itu menyebut nama Alisa.

Ia lantas membalikkan tubuh, mendekati pintu lalu mendengarkan seksama apa yang sedang mereka bicarakan.
"Eyang Uton sudah mengatakan kalau Alisa tidak akan membuat ritual ini berhasil."

"Kenapa kamu percaya pada Uton? Dia sudah mati, dia mengatakan hal itu karena dia hanya ingin menyelamatkan cucu angkatnya." Mbah Deris berujar sinis.

"Tapi, Mbah_"
"Apa yang kita butuhkan semuanya ada pada Alisa. Dia gadis muda, perawan, dan darahnya sudah terikat dengan ritual 17 tahun yang lalu."

"Iya, tapi apa yang membuktikan gadis itu masih perawan?"

"Darahnya masih tercium wangi, Kun. Semua lelembut di sini terus mengintai dia."
Kun, ketua ritual itu terdiam cukup lama. Ia mencium bau kain hitam yang diberikan oleh Mbah Deris, bekas darah Alisa yang tercium sangat wangi. Tampak ia tersenyum puas.

"Baiklah, jaga dia. Jangan sampai ada yang menyentuhnya sebelum ritual diadakan."
Darma berjalan menuruni anak tangga dengan tertatih-tatih, wajahnya pucat pasi, matanya menatap kosong, ia terlihat rapuh tak lagi memikirkan segala hal yang ada di sekelilingnya. Pikirannya hanya tertuju pada Alisa, gadis malang itu.

"Jaga Alisa ya, nduk."
Darma melirik tangannya yang sedang dipegang oleh seseorang. Ia lantas menoleh ke samping, mendapati Eyang Uton sedang tersenyum padanya.

"Eyang percaya kamu bisa menghentikan perbuatan bejat mereka."

"E-eyang siapa? Apa eyang juga_"

"Teman-teman kamu sudah tidak ada."
"Ha?"

Sambil menjelaskan, eyang Uton terus berjalan menemani Darma yang sedang kesulitan menuruni anak tangga.

"Deris ingin membangkitkan putranya. Dia membutuhkan jantung Batar."

Darma membatu di tempat dengan tatapan tajam ke arah eyang Uton. Ia sekilas mengingat
– sosok Batar yang ia temui di atas. Itu lah kenapa Batar meminta tolong dan merasakan sakit di bagian jantungnya. Air mata Darma perlahan runtuh, tak menyangka dengan apa yang ia dengar.

"A-fia dan Ya-Yani, bagaimana?" Ucapnya bergetar menahan tangis.
"Afia memang sudah dijual oleh orang tuanya untuk dijadikan tumbal. Keluarganya sudah ridho dengan hal itu."

Tangis Darma seketika runtuh, air matanya pecah mendengar hal bejat itu. Ia tak habis pikir dengan keluarga Afia yang begitu kejam menjual anaknya sendiri.
"Yani? Malang sekali nasib gadis itu. Kalung hitam di leher Yani menandakan dirinya adalah kepala terakhir yang mereka butuhkan dalam proses ritual."

"Kepala?"

"Mereka membutuhkan 1000 kepala manusia dalam kurun waktu 17 tahun."

Bibir Darma tercengang cukup lama,–
– ia juga kaget ketika mendengar kenyataan itu.

"Terus, anak-anak asrama di sini?"

"Sebenarnya mereka anak buah Deris, mereka roh-roh jahat yang bekerjasama dengan Deris."

"Jadi, mereka semua mengelabui kami?"

Eyang Uton mengangguk, "Iya, terakhir kamu dan Alisa. Darah Alisa–
– akan dijadikan bahan penyempurnaan ritual mereka. Dan kamu? kakek kamu berkerjasama dengan Deris, mereka hanya memanfaatkan kamu."

Darma bagai disambar petir, ia merosot lemah di lantai dengan air mata terus mengalir deras. Tatapannya kosong, menatap langit-langit rumah.
Ingatannya kembali tertuju pada teman-temannya, Batar, Afia, dan Yani. Kini terdengar suara tangisnya mulai lirih menyayat hati di segala sisi.

"Belum berakhir, kamu bisa menyelamatkan dirimu. Pergilah dari sini, bawa Alisa pergi!"

Suara Eyang Uton memaksanya bersamaan–
– panggilan seseorang yang terus menepuk-nepuk wajahnya.

"Darma, bangun, nduk."

Nyai Sepur tak sengaja melihat pria itu tertidur di bawah lantai dalam keadaan terbujur kaku.

"Darma, apa yang terjadi sama kamu?"

Darma mulai mengerjapkan matanya, sontak kaget ketika melihat–
– Nyai Sepur berada di depannya. Ia melirik kiri-kanan sedikit heran. Tadi, bukannya dia bersama pria tua itu?

"Kenapa kamu tidur di sini?"

"Nyai,_" perkataan Darma berhenti ketika melihat sosok Mbah Deris kini berdiri di depannya.

"Kamu sudah baikan?"
Darma menelan ludahnya cukup sulit. Ia melirik Nyai Sepur lalu berganti pada Mbah Deris, mereka berdua terus menatapnya seolah sedang mengintimidasi.

"Ii-iya, Mbah."

"Bagus, ayo ikut bersama_"

"Tidak!"

Mbah Deris mengernyit heran lalu menatap Nyai Sepur dengan tatapan tak–
– terbaca. Hal itu membuat Darma semakin terpojokkan.

"Ma-maaf, mbah. Saya ingin kembali ke ruangan saya."

"Iya, maksud Mbah. Biarkan Nyai Sepur menemani kamu."

"Ti-tidak, Mbah. Saya bisa sendiri."

Darma segera berdiri, meringis sakit ketika luka di perutnya belum pulih.
Ia segera beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menatap Darma yang terlihat ketakutan bahkan sesekali melihat ke belakang.

"Jauhi dia dari Alisa."

"Baik, Mbah."
Alisa mengerjapkan matanya sesaat merasakan ada sesuatu yang menetes mengenai wajahnya. Ia lantas mengusap wajahnya, melihat tangannya yang kini terkena darah merah. Alisa seketika menelan ludah cukup kaget, was-was terhadap sesuatu yang ada di atasnya.
Dengan hitungan detik, Alisa memberanikan diri untuk menoleh ke atas. Sedikit demi sedikit_

BUGH

"AAAAKHH!"

Alisa teriak histeris ketika kepala manusia tiba-tiba jatuh mengenai tubuhnya. Tanpa pikir panjang ia bangun kemudian menjauh dari tempat tidur itu. Tangannya sigap–
– membuka pintu ingin segera kabur. Tapi, Nyai Sepur tiba-tiba datang dari balik pintu.

"Apa yang terjadi, nduk?" Tanya Nyai Sepur memeriksa seluruh tubuh gadis itu.

Alisa menutup matanya terus menunjuk-nunjuk ke arah tempat tidur.

"Kepala, Nyai!"

"Dimana?"

"Di situ!"
Nyai Sepur hanya melihat kekosongan di sana. Ia tak mendapati kepala seperti yang dikatakan oleh Alisa. Gadis itu bahkan pucat pasi dengan tubuh bergetar takut.

"Iya, mereka memang suka menganggu. Tenang, Nyai akan bersama kamu sekarang."

Alisa perlahan membuka mata tampak was–
– was. Ternyata kosong, tidak ada kepala yang penuh darah di sana. Ia lantas menelan ludahnya, melirik segala sisi ruangan yang tampak berbeda dari ruangannya.

"Aku dimana, Nyai? Bukannya tadi aku tidur di ruangan ku."

"Setelah dipikir-pikir, tempat ini lebih baik untuk kamu."
"Ta-tapi di sini lebih menakutkan."

Alisa mengatakan hal itu karena ruangan itu terbilang gelap, tidak ada jendela sebagai pentilasi udara, hanya ada satu tempat tidur di sana. Ruangan itu terasa lembab dan hanyut, bisa dibilang kedap suara.

"Aku ingin kembali_"
"Percaya sama, Nyai. Kamu akan baik-baik saja di sini."

"Tidak, Nyai. Tadi saja aku melihat kepala manusia jatuh dari atas. Bagaimana bisa aku tenang di tempat sepi seperti ini?"

"Itu hanya halusinasi mu, nduk."

"Aku melihatnya, kepala itu jatuh mengeluarkan darah."

"Nduk!"
"Lebih baik aku kembali ke ruanganku_"

Belum sempat keluar dari ruangan itu, Nyai Sepur menarik tangan Alisa cukup kuat. Alisa terhentak, menatap Nyai Sepur yang kini sedang melotot ke arahnya.

"Diam di sini dan lakukan perintahku atau kau akan celaka jika keluar dari sini."
"Sa-sakit, Nyai. Kenapa Nyai tiba-tiba berubah seperti ini?"

Nyai Sepur menjambak rambut Alisa lalu menghempaskannya ke atas tempat tidur. Matanya tak berhenti melotot menatap Alisa.

"Diam di sini dan berdoalah untuk hidupmu. Karena di luar sana, orang-orang sedang–
–menyiapkan ritual untuk menumbalkan kamu," lirihnya kejam.

Air mata Alisa jatuh,napasnya mulai tidak teratur. Ia langsung bersujud di lantai, menarik kaki Nyai Sepur yang melangkah keluar dari sana.

"Nggak, hiks hiks, maafin Alisa!"

Nyai Sepur tak segan menendang wajah Alisa.
BRAKKK

Pintu ditutup rapat, menyisakan Alisa yang duduk memukul-mukul pintu dari dalam. Tiba-tiba Nyai Sepur berubah dan menyampaikan hal yang ada di luar akalnya. Lalu, sebelum itu kenapa mereka terus menyuruhnya untuk menjaga diri, sedangkan mereka malah ingin menumbalkannya.
Alisa benar-benar terpuruk, duduk di depan pintu sambil terus menangis. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini, padahal dulu Darma pernah bilang kalau mereka ke sana untuk penyembuhan jiwa saja.

Kenapa dulu ia mau saja pergi bersama Nyai Sepur. Apa ini ada–
– hubungannya dengan Eyang Uton. Kenapa pria tua itu mengirimnya ke sini?

Mbah Deris, apakah mereka juga sama? Padahal Mbah Deris terlihat baik padanya.

Semua pertanyaan itu muncul di kepala Alisa, sehingga ia tak sadar ada beberapa anak kecil yang berwajah pucat sedang duduk–
– di depannya. Mereka memandang Alisa dengan sorot diam dan hening.

Alisa yang sedang rapuh, rasanya semakin frustasi ketika melihat keenam anak itu berjejer rapi, mulai bergumam padanya.

"Mau main."

"Ayo, main."

Mereka mulai menganggu Alisa dengan menarik-narik rambutnya.
Alisa hanya menangis pasrah, menundukkan kepalanya di sela-sela lutut, dan menutup kedua telinganya berharap suara mereka segera hilang.

Suara tangis Alisa di ruangan bawah tanah tak mampu terdengar sampai ke atas ketika semua anak asrama sedang sibuk, berjalan melewati lorong–
– di lantai satu. Tampak mereka membuntuti orang-orang yang membawa peti berisi manusia.

Ya, dia adalah Kamang, putra Mbah Deris yang berusia 28 tahun. Sejujurnya dia sudah meninggal dunia sejak 17 tahun lalu. Mbah Deris berambisi ingin membangkitkannya–
– lantaran ia putra satu-satunya, pewaris segala kekuatan magis yang ia miliki. Jika kekuatannya tidak diwariskan, maka Mbah Deris harus menerima kenyataan bahwa rohnya akan terus bergentayangan di bumi.

Mereka beramai-ramai pergi menuju belakang rumah, membuat Darma yang baru–
–saja lewat keheranan dan semakin khawatir. Saat hendak melihat jendela yang mengarah ke belakang rumah, dadanya bergemuruh kencang, keringat dingin muncul di wajahnya, matanya terpusat pada kepala manusia yang sudah ditata rapi, mengelilingi peti yang ada di tengah-tengah.
Mereka mulai menyebar sesajen di sekeliling lapangan. Darma yakin akan ada ritual yang diadakan di sana. Mereka bahkan memakai pakaian serba hitam. Dan benar kata Eyang Uton, rata-rata anak asrama yang ia pikir manusia, malah tidak memiliki bola mata.
Suasana pagi itu mencekam ditambah lagi awan hitam yang mulai mengelilingi rumah besar itu. Tampak Darma kaget ketika sebuah tangan menepuk bahunya cukup pelan.

"Mb-mbah."

Mbah Deris berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Hal itu membuat Darma semakin–
– tegang, terdengar dari napasnya yang tidak teratur.

"Kenapa kamu tidak kembali ke ruangan kamu?"

"Ee-iya, Mbah. Saya tadi salah jalan."

Mbah Deris jelas tidak bisa dibohongi. Ia memegang lengan Darma cukup erat sehingga membuat pria itu sontak kaget.

"Kembalilah."
Darma yang mendengar itu semakin mengernyit bingung. Lengannya sampai merah dipegang oleh Mbah Deris.

"Tidurlah dengan nyenyak."

Darma menelan ludahnya sesaat melihat pria tua itu tersenyum sinis padanya.

"I-iya Mbah, saya kembali."
Darma segera pergi dari sana, ekor matanya melirik ke belakang, tepatnya ke arah luar jendela. Ia keheranan ketika melihat keadaan halaman belakang sepi, tidak ada aktivitas yang sedang dilakukan. Padahal jelas tadi ia melihat mereka sedang menyiapkan ritual. Kemana mereka pergi?
Darma berjalan cepat menuju ruangannya, berharap ia bisa bertemu Alisa untuk segera mengajak gadis itu pergi dari sana. Saat membuka pintu, keadaan di dalam begitu sepi dan lenggang. Ia meringis sakit ketika merasakan perutnya semakin panas dan nyeri.
Kaki Darma perlahan melangkah, menyusuri setiap kamar yang ada di lorong untuk mencari gadis malang itu. Ia tidak menemukan apa-apa selain kehampaan sehingga akhirnya ia bertemu Nyai Sepur yang sedang berjalan menaiki tangga. Nenek tua itu terlihat membawa sesuatu di tangannya.
"Nyai!"

Darma berjalan mendekati Nyai Sepur. Tatapannya langsung tertuju pada rambut yang ada di atas nampan yang dipegang oleh Nyai Sepur. Ekor mata Darma kini melirik sinis.

"Nyai, dimana Alisa?"

Nyai Sepur menelan ludahnya cukup sulit.

"Dia sedang istirahat_"

"Dimana?!"
"Akan lebih baik kamu istirahat di ruangan kamu."

"Tolong hentikan, Nyai. Nyai sudah terlalu sering berbohong."

"Aku tidak pernah membohongi kalian."

"Nyai pasti tau kan tentang ritual yang sedang disiapkan di belakang rumah. Terus ini rambut siapa?"
Nyai Sepur menghela napas berat. Ia enggan peduli, mulai berjalan menaiki anak tangga. Hal itu membuat Darma langsung menarik lengannya.

Dalam keadaan tua rentan seperti itu, Nyai Sepur tumbang. Nampan yang ia pegang jatuh berantakan di tangga.

"DARMA!"

"Kalian semua IBLIS!"
Darma segera mengambil rambut itu lalu berjalan tertatih-tatih untuk mencari Alisa.

"Darma, lepaskan rambut itu!"

Darma tidak peduli, ia terus berjalan sehingga terdengar dari belakang Nyai Sepur teriak murka.

"Kamu akan celaka, Darma!" Suaranya menggema di segala sisi.
Darma berjalan ngos-ngosan. Ia memegang perutnya yang terasa semakin sakit. Namun, pikirannya tetap tertuju pada Alisa. Gadis itu pasti sedang tidak baik-baik saja.

"A-alisa!" Gumam Darma mulai serak memanggil di tengah-tengah lorong.

"Aish!" Darma malah terduduk lemah dengan–
– perut mulai mengeluarkan darah. Ia berdecak kesal mulai melepaskan ikatan hitam itu.

Betapa terkejutnya Darma ketika melihat luka di perutnya sudah dipenuhi oleh belatung berwarna hitam. Belatung itu semakin merobek lukanya dan membuat darah semakin mengucur keluar.
Mata Darma memerah menahan sakit. Air mata bahkan hampir keluar saat ia berusaha mengeluarkan belatung itu dari perutnya. Usahanya tidak berbuah apa-apa, belatung itu malah semakin banyak menggerogoti perutnya.

"Akh, pasti obat itu yang membuatnya seperti ini!"
Dengan sisa tenaganya dan dalam keadaan wajah pucat pasi, Darma berusaha berdiri tegap. Namun, hal itu membuat perutnya semakin sakit. Tak sadar air matanya keluar, tapi ia tetap tegar berjalan tertati-tatih untuk mencari Alisa.

"Kamu dimana, Alisa?!" Teriak Darma frustasi.
"Teriak kalo kamu mendengar suaraku!" Lanjutnya di ambang putus asa.

Darma semakin tidak bertenaga. Penglihatannya kunang-kunang, tapi ia tetap memaksakan diri.

"Uruslah dirimu dulu sebelum membantu dia."

Suara itu berasal dari belakang Darma. Segera ia menoleh.
Dan mendapati pria itu kini berdiri di depannya. Arung adalah anak semata wayang Nyai Sepur. Ia juga ikut andil dalam memanipulasi keadaan di asrama itu.

"Tumbalkan aku." Darma tampak merosot lemah di lantai.

"Lepaskan Alisa!"

Arung malah tersenyum mengejek, "Memperihatinkan."
Di belakang rumah, orang-orang tanpa bola mata itu masih menyiapkan acara ritual dengan khusyuk dan khidmat. Keadaan begitu mencekam saat awan hitam pekat mengelilingi rumah besar itu. Tidak ada yang tahu bagaimana proses ritual berjalan nanti malam. Mereka hanya bertugas untuk–
– menyiapkan semua kebutuhan dari mulai menyiapkan bunga 7 rupa yang disebar di permukaan tanah, menyiapkan darah kelelawar hitam di atas wadah besar, dan yang terpenting adalah tidak membiarkan jasad Kamang sunyi dan sepi.
Kini, Mbah Deris keluar dari mulut pintu, menatap seluruh orang-orang yang sudah berjejer rapi membentuk lingkaran di tengah-tengah lapangan. Ia melangkahkan kakinya mendekat, wajahnya begitu tegang dan dingin. Di belakangnya ada Kun dan beberapa pria suci sebagai pemuka ritual.
Terlihat juga Nyai Sepur bergabung bersama kumpulan wanita yang notebenenya roh jahat yang bersemayam di jasad mereka. Tatapan mereka tertuju pada peti Kamang yang berada di tengah-tengah. Bolat mata mereka tidak ada, pun Nyai Sepur yang memiliki bola mata putih melotot.
Mereka kompak menggunakan pakaian serba hitam, warna yang paling disukai oleh lelembut di sana. Bau anyir darah kelelawar menyeruak masuk ke rongga hidung, mengundang jin untuk ikut serta bergabung dalam persiapan ritual itu.
Dari arah sungai terlihat Akung berlenggak-lenggok memainkan Kris yang ada di tangannya. Ia hanya memakai celana putih tanpa atasan. Matanya juga berubah menjadi putih seperti sedang dirasuki oleh roh jahat. Ia berjalan mendekati ritual dengan tatapan buas ke arah peti Kamang.
Hal itu membuat Mbah Deris dan pemuka ritual lain tersenyum penuh arti. Akung sengaja dijadikan sebagai ksatria ritual yang bertugas dalam mengambil darah perawan Alisa. Mungkin dalam sejarah ritual, ritual ini lah yang paling kejam yaitu merendahkan harga diri wanita, mengambil–
–paksa segala hak-haknya. Namun, harus disadari bahwa karma itu pasti akan datang. Begitu pun dengan apa yang diterima oleh Alisa hari ini. Ia lahir dalam keadaan mengorbankan nyawa manusia. Meskipun bukan sepenuhnya salah, namun Alisa membawa petaka bagi hidupnya dan orang lain.
Suasana ritual semakin tegang ketika terdengar di segala sudut, pohon-pohon besar mengaum tertiup angin besar. Samar-samar terdengar suara gamelan bergemuruh kecil hingga terdengar sangat memekikkan. Kini hujan turun semakin deras, beberapa kilat bahkan–
– menyambar di segala sisi. Akung terus menunjukkan kepiawaiannya, menari gagah di tengah-tengah mereka. Yang tadinya suasana pagi terang, kini gelap gulita seperti badai yang siap mengamuk massa.

Mbah Deris mulai berjalan mendekati peti Kamang. Ia membuka peti itu–
– sedikit demi sedikit sehingga terlihat jasad Kamang yang memakai pakaian serba hitam dengan tubuh masih lengkap karena diawetkan selama 17 tahun. Hanya saja jasadnya terlihat pucat, tidak dialiri oleh darah sedikit pun. Air hujan kini mulai mengalir di wajah dan–
– seluruh permukaan tubuhnya. Terlihat Mbah Deris mencium wajah putranya dengan tangis bahagia.

Kamang akan dibangkitkan malam ini, putranya akan kembali hidup. Mbah Deris bahagia meskipun kenyataannya, setelah Kamang bangkit, ia harus merelakan nyawanya melayang.
Itu lah perjanjian yang harus dia tepati. Dia rela bekerja sama dengan iblis supaya nyawa putranya dapat kembali.

Sayup-sayup terdengar kidung mulai didengungkan oleh peserta ritual di sekelilingnya. Suara mereka begitu merdu bersamaan hujan yang diselingi oleh guntur.
Jasad Kamang mulai dipindahkan oleh pemuka ritual di atas kayu yang sudah ditata sedemikian rupa. Akung yang masih dirasuki oleh setan kini mengibaskan krisnya di punggung mereka hingga mengucurkan darah segar dan amis. Tidak ada yang meringis kesakitan, malah mereka semakin–
– khusyu berdoa sambil mengitari jasad Kamang. Berbeda dengan Mbah Deris yang sedang melihat keadaan di sekelilingnya. Ia bisa melihat lelembut dari berbagi jenis sudah berkumpul di sekitar mereka untuk mengikuti ritual tersebut. Hal itu membuat Mbah Deris lega sekaligus bahagia.
"Kenapa kamu berkhianat padaku, Deris?" Seorang pria tua yang memakai baju adat Jawa dan berwajah hancur itu menatap dengan mata melotot hitam.

Saat Mbah Deris melirik ke belakang, ia malah menghilang dan senyap.

"Kamu akan kalah, Deris!"
Mbah Deris lagi-lagi menengok ke belakang, ia tak menemukan apa-apa. Siapa yang berani mengganggunya di saat sedang khusyuk melaksanakan ritual ini.

"Takut lah pada penguasa!"

Mbah Deris langsung membalikkan tubuh,seketika napasnya kelu ketika melihat Eyang Uton sedang–
– merangkak di permukaan tanah dengan mulut mengeluarkan darah dan mata melotot tajam. Bukan satu saja, tapi wujudnya hampir 5. Dengan kuku-kuku tajam, ia berusaha mendekati Mbah Deris dengan tatapan buas ingin menerkam. Hal itu membuat Mbah Deris membaca kidung yang sering–
– dilafalkan oleh Eyang Uton. Lihatlah sekarang, Eyang Uton histeris kesakitan sehingga beberapa detik kemudian suaranya menghilang dan lenggang.

Mbah Deris bernapas lega, ia kembali fokus pada ritual yang sedang dipersiapkan oleh pemuka ritual. Tatapannya malah tertuju pada–
– tiga anak muda yang sedang berdiri di depan jasad Kamang dengan tubuh bersimbah darah. Mereka adalah Yani, Afia, dan Batar. Tatapan ketiga anak muda itu kosong, kini tatapannya malah tertuju pada Mbah Deris. Seketika mereka berubah menjadi sosok bertubuh–
– besar dengan wajah berantakan dan gigi-gigi tajam ingin menerkam pria tua itu. Tubuh mereka sekejap berdiri di depan Mbah Deris, mencekik leher pria itu dengan kuku-kuku runcingnya, merobek tubuhnya dengan buas, dan berteriak pekik di telinga Mbah Deris.
Hal itu membuat Mbah Deris terlihat mengamuk sendirian di tengah-tengah prosesi ritual. Bahkan ia teriak meminta tolong, namun tidak ada yang mendengar lantaran fokus dengan kidung dan gamelan yang bersenandung ribut. Rasanya setengah mati gila ketika guntur saling sahut murka,–
Namun tidak ada yang bisa menolong pria rentan itu. Bahkan kini matanya mulai memutih, tanda ada roh jahat yang merasuki tubuhnya.

Tubuhnya tiba-tiba merangkak, menatap lurus ke arah jasad Kamang dengan bibir mengulum senyum penuh arti.
Saat pemuka ritual sedang fokus menaburkan bunga 7 rupa dan darah kelelawar hitam ke atas jasad Kamang. Mbah Deris tiba-tiba melompat lalu sigap menggigit kepala Kamang dengan buas.

"Apa yang sedang kamu lakukan!" Kun menghentak murka, menarik paksa Mbah Deris hingga terlempar–
– ke atas tanah. Pria tua rentan itu tersenyum sinis seolah menyimpan dendam pada Kamang.

"Dia sedang dirasuki, uruslah dia!" Perintah Kun kepada yang lain sembari fokus membacakan doa dan lanjut mengurus jasad Kamang.

"Kalian sudah melawan Pencipta!"

"KALIAN AKAN BINASAH!"
Mbah Deris terpaksa dibawa pergi dari sana supaya persiapan ritual berjalan lancar. Saat hendak mengusap wajah Kamang dengan rambut hitam itu? Rambut yang diperebutkan oleh Nyai Sepur dengan Darma. Tiba-tiba leher Kun terasa diremas kencang oleh sebuah tangan dari belakangnya.
Kun mulai sesak, namun pria tua itu tetap gigih melanjutkan proses ritual tersebut. Sampai akhirnya Kun merasakan tubuhnya berat, hampir ia merosot lemah dengan darah mulai keluar dari hidungnya.

"Jiwa-jiwa yang datang tidak akan selamat, jiwa-jiwa yang pergi akan tenang."
"Tidak ada jin yang bisa menaklukan manusia. Kami memiliki kekuatan yang tidak bisa dikalahkan."

"Jiwa yang tersesat, pergilah dengan damai."

"Jiwa yang tidak tau arah, pergilah dengan tentram."

Kun terus melafalkan keempat kalimat itu berulang kali. Perlahan tubuhnya terasa–
– ringan dan tidak ada yang menganggu lagi. Ia kembali melanjutkan prosesi ritual selanjutnya yaitu berjalan ke tengah-tengah lapangan dengan tatapan tertuju pada 1000 kepala manusia yang akan ditumbalkan.

Sreettttt

Sontak Kun menengok ke belakang dan mendapati Akung sedang–
– menyeret jasad Kamang dengan mata melotot hitam dan gigi menggertak seolah marah. Kris yang ada di tangannya tertancap di atas dada Kamang. Hal itu semakin membuat Kun frustasi, tidak menyangka hal ini akan terjadi.

"AKUNGGGG!" Bentak Kun, namun pria muda itu tidak menoleh.
Ia terus berjalan membawa Kamang ke arah sungai, dimana keadaan pada siang hari itu berubah menjadi malam lantaran di sekeliling mereka kegelapan tidak dapat dihindarkan. Badai terus mengamuk, menimbulkan hujan dan angin saling bertarung hebat.
Pemuka ritual lain sedang sibuk mengurus Mbah Deris, kini sisanya tergeletak di depan Kun dengan leher terluka parah. Kun hanya menelan ludahnya cukup sulit, menatap Akung karena ritualnya tidak berjalan semestinya.

"Ada yang salah," gumam Kun cukup takut.

"Kamu saalah, Kunn."
Suara itu berasal dari sisi pohon besar, di dekat tempat ritual terjadi. Dimana terdapat seorang nenek tua berambut panjang sedang bergelantungan dengan kepala menggantung ke bawah sedangkan kaki menggantung di ranting pohon. Matanya melotot hitam dengan gigi-gigi tajam penuh–
– darah. Ia terkekeh seolah sedang mengejek.

"Akung bukan orang yang tepat, Kun," jelasnya tiba-tiba berdiri di depan Kun dengan kepala bergerak mengikuti alunan gamelan yang terus beriringan.

"Dia pria yang angkuh dan serakah."

"Bagaimana bisa kamu memilihnya?"
Kun berdecak kesal lantas mengejar Akung yang sudah menyeret Kamang jauh ke arah sungai.

"Kamu akan celaka, Kun. HIHIHIHI."

Kun merasa tubuhnya berat untuk digerakkan. Ternyata nenek tua itu sedang berada di atas punggungnya.

"Kamu akan mencelakai dirimu sendiri, hihihi."
Kun menelan ludahnya takut sedikit terancam dengan beberapa kalimat nenek tua itu. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha melapalkan doa yang membuat lelembut di sana tidak berani menganggunya lagi. Akhirnya ia bisa berlari ke arah sungai, mencari Akung yang sedang sibuk memotong-
– motong jasad Kamang di atas batu besar. Untung saja baru jemarinya yang terpotong sehingga Kun bisa menyeret Akung kemudian menenggelamkan kepala pria itu supaya sadar secepatnya. Terjadi pemberontakan hebat dari Akung, lebih tepatnya jin yang ada di dalam tubuhnya. Namun, itu–
– tidak berlangsung lama ketika Kun terpaksa memukul tengkuknya hingga membuatnya pingsan tidak sadarkan diri.

Terlihat bayangan hitam terbang ke arah sisi di sepanjang sungai sehingga muncul banyak sosok perempuan tanpa kepala.

"Dimana kepala kami?"

"Kenapa kalian tega?"
"DIMANA KEPALA KAMI, KUN?!!!" Hentak mereka memekikkan telinga hingga membuat Kun terbaring lemah dengan suara merintih meminta tolong.

"Sa-sakit, hentikan!" Gumam Kun, namun tubuh pria itu malah dibanting keras ke arah air oleh sosok-sosok itu.
Sehingga akhirnya Kun ikut tidak sadarkan diri, terapung di atas air dengan wajah bengkak penuh dengan darah.

Di sisi lain, terlihat proses ritual terus berlangsung terjadi. Dimana Nyai Sepur dan peserta ritual masih sibuk menyenandungkan kidung yang diiringi oleh suara gamelan.
Mereka belum sepenuhnya sadar karena roh jahat yang ada di dalam tubuh mereka seolah menguasai mereka. Hal itu yang membuat mereka tidak bisa diganggu oleh apa pun.

Ini berbeda dengan keadaan di dalam rumah, dimana di segala sudut rumah muncul sosok-sosok yang memakai pakaian–
– kerajaan sedang ramai melakukan pesta rakyat. Ini menurut penglihatan Darma yang sedang berjalan di sisi mereka. Wajah mereka normal seperti manusia pada umumnya, tidak ada yang buruk rupa. Mereka terlihat asik bercengkrama sesekali mencicipi segala makanan yang tersedia.
"Minum, nak."

Nenek tua berambut putih itu berjalan ke arah Darma, menyodorkan gelas yang terbuat dari bambu. Di dalamnya terlihat air putih segar, membuat Darma segera mengambilnya.

Belum meneguk, pikiran Darma langsung fokus. Ia sadar bahwa rumah ini sejak awal sudah aneh.
Bagaimana mungkin ada kumpulan manusia kerajaan di rumah ini, sedangkan dari awal rumah ini sepi hanya ditempati oleh beberapa orang saja. Ia bahkan tidak pernah melihat mereka sebelumnya.

"Monggo, nak. Diminum."

Darma menatap dalam sosok nenek di depannya. Mata nenek tua itu–
– terlihat kosong dan hampa. Senyumnya begitu ramah, namun semakin menatapnya Darma semakin pusing.

"Sudah, nek."

"Minum supaya perut kamu sembuh."

Darma memilih menggeleng, mengembalikan minuman itu lalu melanjutkan langkahnya untuk mencari Alisa, tujuannya.
Ia melirik ke belakang, benar saja nenek tua itu sudah tidak ada di tempatnya. Hal itu yang membuat bulu kuduk Darma semakin merinding. Ia lebih memilih melihat ke bawah dari pada melihat ke sekelilingnya. Tanpa ia sadari, sosok-sosok itu sedang meliriknya dengan hampa.
"Kamu sedang mencari apa?"

Darma mengusap dadanya kaget ketika seorang pria muda kini berdiri di depannya dengan bibir mengembang senyum manis. Ia memakai pakaian kerajaan khas bangsawan. Darma bahkan tidak pernah mengenalinya sebelumnya.

"Pergilah, kamu sudah selamat."
Darma menggeleng pelan, ia yakin pasti ini salah satu pengganggu yang bisa menghentikannya untuk mencari Alisa.

"Teman kamu sudah tidak bisa diselamatkan."

Darma melirik pria muda itu lalu mengernyit bingung.

"Jiwanya sudah terikat, takdirnya memang begitu."
"Bagaimana bisa aku percaya sedangkan kalian dalang di balik semua ini."

Setelah mengatakan itu Darma tiba-tiba memuntahkan darah hitam pekat, dimana banyak belatung yang berceceran di sana.

"Pergilah dan selamatkan dirimu."

"Datang sendiri, pulang sendiri."

"Lupakan mereka."
Darma tumbang, pria itu bahkan tidak iba untuk sekedar membantunya. Ia terus memuntahkan darah hitam sehingga membuat perutnya terasa dililit dan semakin sakit. Detiknya berikut penglihatannya buram dan semuanya berubah menjadi gelap.
Malam pun tiba, tidak ada proses ritual seperti tadi pagi. Hanya saja hujan tidak berhenti sehingga membuat hawa di dalam rumah semakin lembab dan mencekam. Apalagi tidak ada lampu penerangan yang mampu membuat penglihatan jadi terang. Hanya beberapa lilin yang menyala di bagian–
– dinding. Beberapa kilat datang menyambar, membuat kain putih di jendela berkibar sehingga membuat ruangan yang di tempati oleh Darma terasa begitu mengerikan. Entah siapa yang membawanya ke sana, yang jelas Darma kini hanya memakai celana putih dengan bagian tubuh atas terbuka.
Darma melirik perutnya yang semakin parah dan menghitam seperti terinfeksi sesuatu. Ia meringis sakit ketika mendapati kaki dan tangannya diikat dengan rantai di sisi ranjang. Ia tidak bisa bergerak, bangun saja rasanya susah. Apalagi memaksa untuk pergi dari ruangan gelap itu.
Sreetttt

Pintu terbuka dengan sendirinya, memberikan angin kencang leluasa masuk ke dalam ruangan. Darma menelan ludahnya cukup sulit ketika melihat seorang wanita berpostur tinggi tiba-tiba datang lalu berjalan perlahan ke arahnya.

"Siapa kamu?"
Darma tidak bisa melihat jelas wajahnya karena dihalangi oleh rambut panjangnya. Ia memakai pakaian serba putih dan tidak bersuara sedikit pun. Ia semakin mendekat dan tepat di depan Darma, ia mengangkat wajahnya perlahan.

"A-alisa?"
Wanita itu menggeleng pelan lalu tangannya terangkat, menunjuk ke arah dinding di sisi kiri.

"A-alisa, tolong buka kan rantai ini. Biar kita sama-sama pergi dari sini. Cepat, aku mohon."

Wanita itu malah melotot, menatap Darma dengan tatapan tajam dan tidak suka.
"Cepat sebelum orang-orang itu kembali."

Darma setengah mati kaget, wanita yang mirip Alisa itu melompat ke atas tubuhnya lalu melototkan matanya di depannya. Tangannya mencekram kuat leher Darma seolah ingin membunuhnya.

"Kamu bukan Alisa!"
Kini, Darma menyadari ketika ia tak sengaja mencium bau khas melati di rambut panjang wanita itu. Apalagi wajahnya pucat, kuku-kukunya begitu tajam, dan Darma merasa pusing berada di dekatnya.

"A-alisa tidak boleh mathi!" Bisik wanita itu penuh penekanan.

"Sia-siapa kamu?"
"Alisa harus keluar dari sini!"

"Kenapa bukan kamu saja yang pergi menolongnya?"

"DERIS KEJAM!!!" Teriaknya lirih tiba-tiba porak poranda melayang ke segala sisi dinding dan akhirnya jatuh ke lantai dengan suara yang cukup tinggi. Darma tercengang dengan bulu kuduk berdiri.
Wanita itu menghilang ketika datang empat pemuka ritual yang sempat ia lihat di belakang rumah. Mereka tampak pucat pasi, berjalan dengan tatapan kosong, lalu tanpa bicara kini memaksa Darma untuk berdiri dengan tubuh lemas dan tertatih-tatih.

"Kalian ingin membawaku kemana?"
Dari tadi hanya kehampaan yang didapati Darma. Mereka hanya terdiam, tidak merasa iba dengan keadaannya. Rantai di kaki dan tangannya juga tidak dilepaskan. Ia hanya bisa meringis ketika merasakan perutnya mulai mengucurkan darah yang bau dan menyengat.
Ketika mereka melewati salah satu ruangan yang ada di tengah lorong. Samar-samar terdengar di sisi kiri-kanan Darma suara orang yang merintih sedang kesakitan.

"Hiks hiks, tolong!" Tangisnya terdengar lirih dan menggema di tengah lorong.

"Aku takut!"

"Sakit!"

"Darma!"
Darma membatu di tempat ketika suara itu berhasil menyebut namanya. Ia melirik ke arah belakang, betapa kagetnya dia mendapati Alisa sedang merangkak di lantai dengan mulut memuntahkan banyak darah. Tatapannya terus tertuju pada Darma dengan air mata deras seolah meminta tolong.
"Alisa!"

Darma membalikkan tubuh ingin menolong gadis malang itu. Namun, tubuhnya langsung diseret oleh keempat pria itu untuk menjauh dari sana. Alhasil ia hanya bisa menatap Alisa terus menangis di belakangnya.

"PERGI DARI SINI, ALISA!" Teriak Darma di sisa kekuatannya.
"KAMU DALAM BAHAYA!"

"PERGI MENJAUH DARI RUMAH INI!"

BRAKKKK

Jantung Darma seketika melemah, mulutnya terkatup ketika gerbang hitam itu ditutup rapat, menampilkan orang-orang yang memakai pakaian serba hitam menyambutnya dengan wajah pucat dan tatapan kosong.
Keempat pria itu membawanya ke sebuah ruangan yang usang dan berdebu. Ia bahkan tidak yakin, apakah itu layak ditempati atau tidak. Yang jelas, samar-samar suara mata air terdengar di segala sisinya. Ia yakin ada sejenis sungai di belakang ruangan itu. Untung saja ada jendela–
– kecil yang bisa membuatnya leluasa melihat ke arah luar. Benar saja, bahkan ini sudah melebihi ekspektasi Darma. Kini ia bisa melihat air terjun, di bawah air terjun itu terlihat orang-orang yang memakai pakaian serba putih sedang memandikan jasad pria muda.

"Bersiaplah."
Darma segera melirik kanan ketika tak sengaja ada suara yang berhasil mengalihkan perhatiannya.

"Upacaranya ada di sini."

"Berani bersuara tapi tidak berani menampilkan wujud, setan!" Umpat Darma terus melihat ke segala sisi, namun tidak kunjung ada yang muncul.
"Ritual mereka gagal. Itu lah kenapa mereka pindah ke sini."

Seorang perempuan berambut panjang muncul, lagi-lagi wanita yang mirip Alisa itu kini sedang duduk membelakanginya.

"Hihihi, mereka terlalu memaksakan kehendak," bisiknya kini tiba-tiba sudah berdiri di samping Darma.
"Ritual tidak boleh diadakan di sumber air mata suci," jelasnya.

"Apa maksudmu?"

"Semua akan Mathiii!"

Suara wanita itu perlahan menghilang bersamaan kidung yang terdengar hanyut dan lirih tiba-tiba datang yang membuat Darma seketika tumbang dan pusing. Lagu apa yang mereka–
– nyanyikan sehingga membuatnya terasa begitu berhalusinasi. Ini terbukti ketika Darma tiba-tiba berdiri, berjalan keluar ruangan dengan bibir mengembang senyum. Matanya tertutup rapat seolah hanyut dalam irama kidung yang mereka nyanyikan.

"Lebih baik mati demi jiwa yang suci."
Darma berulang kali mengucapkan itu sampai ia berjalan ke air terjun untuk bergabung dalam proses ritual mereka.

Hujan turun seperti badai, beberapa kilat datang menyambar pohon rindang di sekeliling mereka. Mbah Deris, Kun dan pemuka ritual lain masih khusyuk berdoa.
Meskipun terlihat lemah dan terluka, mereka tetap gigih untuk melanjutkan ritual dalam pembangkitan jiwa Kamang.

Samar-samar kembali terdengar gamelan yang disertai kidung yang bersahut merdu. Peserta ritual datang, mulai mengelilingi mereka dengan wajah pucat seperti dirasuki.
Darma ikut hanyut terbawa suasana, pikirannya fokus tertuju pada jasad Kamang yang sedang dimandikan dengan bunga 7 rupa yang begitu harum dan menyengat.

"Lebih baik mati demi jiwa yang suci."

Perlahan tangan Darma ditarik oleh seseorang, pergi dari sungai secara diam-diam.
Di luar dugaan, orang yang menarik Darma adalah Alisa. Gadis malang itu terlihat tidak berdaya, menangis sesenggukan sambil menarik Darma berusaha keluar dari tempat itu. Kedua kakinya pincang, tampak ada luka sayatan di bagian betisnya. Lihat juga rambut hitamnya yang dipotong–
– secara paksa. Wajahnya sembab karena terus menangis belakangan ini. Alisa begitu rapuh dan lemah, ditambah lagi saat ia mengetahui bahwa ia akan dikorbankan dalam ritual pembangkitan Kamang. Ia bahkan tau, jika mereka hanya membutuhkan darah perawannya dalam ritual itu.
"Lebih baik mati demi jiwa yang suci."

Kalimat itu berulang kali Darma dengungkan hingga membuat Alisa muak sendiri untuk mendengarnya. Ia terus memaksa Darma untuk berhenti berbicara, tapi pria itu seperti orang yang kehilangan arah.

"Tolong sadar, Darma!"
Darma belum sadar juga meskipun mereka kini sudah berjalan melewati satu gorong besar dan panjang yang ada di sungai agar bisa keluar dari tempat yang menyeramkan itu.

"Lewat sini." Darma menarik Alisa melewati aliran sungai yang begitu dalam.

"Otak kamu dimana?!"
Alisa tak kuasa menampar wajah Darma sehingga suaranya menggema di tengah-tengah gorong. Suara tangis gadis itu begitu menyayat hati, kini Darma malah menatapnya dengan senyum lebar seperti sedang kesetanan.

"Kamu tidak bisa pergi, Alisa?!" Ujar Darma lirih, menyeret kepala–
–Alisa hingga terbentur keras ke dinding gorong. Tangan Darma begitu kuat mencengkram bagian leher Alisa hingga membuatnya tidak bisa bernapas leluasa.

"Takdirmu ada di sini, kamu tidak akan bisa menghindarinya!"

Wajah Alisa memerah menahan napas, lehernya terasa ingin patah–
– saat Darma mencekiknya semakin kencang. Ia bahkan tidak bisa berontak untuk sekedar melawan. Tangisnya terus meraung, berdoa dalam hati supaya Darma bisa secepatnya sadar.

Alisa melirik perut Darma yang kian membusuk belakangan ini. Tanpa berpikir panjang ia meremas perut–
– pria itu, mengoyaknya dengan segenggam tangannya berusaha melukainya secara dalam.

Aktivitas Alisa berhasil membuat Darma tumbang, merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya. Ia bahkan kembali memuntahkan darah yang lebih banyak dari sebelumnya. Lagi-lagi belatung dan –
– darah hitam pekat keluar dari mulutnya. Hal itu yang membuat Alisa bergeming, menatap Darma dengan penuh rasa iba.

"Darma, maafkan aku."

Suara itu berhasil mengalihkan atensi Darma, melirik Alisa yang kini sedang menatapnya. Tampak pria itu sepenuhnya sudah sadar diri.
Seketika napasnya lemah, memegang erat bahu Alisa lalu menatap wajah gadis itu lamat-lamat. Air matanya tidak bisa dibendung lagi, ia menangis lalu memeluk Alisa begitu gelisah.

"Kamu kemana saja? Aku sudah mencarimu di seluruh tempat di rumah ini," ujarnya di sela tangisnya.
Suara tangis mereka saling beradu di tengah-tengah gorong. Alisa dan Darma sama-sama tahu tentang ketiga temannya yang sudah dikorbankan dalam ritual bejat itu. Kini yang tersisa tinggal mereka berdua, dua anak muda yang kelimpungan mencari arah pulang karena terjebak di sana.
"Kita harus pergi dari sini." Alisa memapah tubuh Darma untuk meninggalkan gorong yang begitu gelap dan mencekam. Di luar, hujan turun sangat lebat dan untung saja beberapa kilat muncul untuk memberi sedikit penerangan.

"Alisa, aku tidak yakin bisa keluar dari sini."

"Bisa!"
Alisa menatap Darma begitu dalam seolah ingin memberikan keyakinan untuknya.

"Jangan lemah hanya karena perut ini!" Alisa tanpa sungkan merobek bagian rok bawahnya lalu mengikat perut Darma berusaha untuk memberikan penanganan pertama.

"Ini hanya tipu daya Mbah Deris."
Alisa berujar lemah, kini menatap Darma dengan tatapan sayu dan kosong, "Bertahanlah, setidaknya jangan mati di sini."

Darma menghela napas berat, mengusap air mata di ujung matanya lalu mengangguk lemah. Ia tersenyum tipis lalu memegang tangan Alisa cukup erat.

"Ayo, pergi!"
Kini mereka berjalan lagi, kebetulan ujung gorong sudah ada di depan. Cahaya kilat memburu, menunjukkan berbagi wujud di sepanjang tepi sungai. Rasanya badai malam itu lebih besar dari biasanya.

Saat hendak keluar dari gorong, terlihat raut Alisa berubah drastis.
Wajahnya tampak sangat pucat, dadanya bergemuruh kencang, kini ekor matanya melirik Darma dengan was-was.

"Kenapa diam Alis_"

"Sutss!" Alisa berubah cemas, menarik tubuh Darma agar bersembunyi di balik punggungnya.

"Kenapa mereka banyak sekali?" Gumam Alisa bergetar takut.
Dari awal Darma meyakini ada yang berusaha mengikuti mereka. Ini terbukti ketika ia mencium bau melati yang menyeruak datang di sekeliling mereka.

"Apa mungkin takdir kita mati di sini?"

Alisa malah bergumam putus asa, menangis seperti gadis yang sedang ketakutan. Darma–
– mengambil alih, melindungi Alisa agar bersembunyi di balik punggungnya.

"Sesuai katamu, setidaknya jangan mati di sini."

Alisa malah meremas bahu Darma cukup keras sehingga membuat pria itu menoleh kebingungan. Bagai disambar petir, Darma bisa melihat seorang pria bertubuh–
– tegap tinggi, wajah sayu, mata melotot tajam dan merah, kini sedang berusaha mengisap leher Alisa seperti hewan buas.

"Dar-ma, to-tolon!"

Belum sempat Alisa meminta tolong, Darma langsung mengepalkan tinjunya ke arah lelembut tadi. Hilang, ia hanya memukul udara bebas.
"Alisa, maaf."

"Darma, mereka semua berkumpul di sini."

Alisa sontak menangis melihat berbagai wujud makhluk tak kasat mata, sedang memandang mereka dengan tatapan menghunus tajam. Bola mata mereka menyala, melotot dengan gigi-gigi runcing yang terus mengeluarkan darah,–
– serta tubuh merangkak perlahan mendekat. Entah jenis makhluk apa itu, yang jelas wujud mereka begitu menyeramkan. Hampir gorong-gorong penuh dengan volume tubuh mereka.

"LARI SECEPATNYA, ALISA!" Hentak Darma mendorong tubuh Alisa, agar berlari sejauhnya dari sana.
Namun, ia berdiam diri, tertinggal di sana supaya bisa mengalihkan perhatian makhluk itu agar tidak mengejar Alisa.

Hal itu yang membuat Alisa berlari secepatnya, menyusuri sungai dengan air mata deras dan sesak. Sesekali ia jatuh, terpeleset dengan tubuh yang lunglai dan rapuh.
"Darma, ayo kita mati bersama!" Teriak Alisa menangis frustasi, namun langkahnya tidak berhenti untuk belari sekuat tenaganya.

"Aku lelah, siapa yang mau menolongku? Tidak ada!" Teriak Alisa kini sudah menjauhi sungai, berlari melewati belakang rumah.
Ia terus menangis, hingga akhirnya tubuhnya membatu di tempat ketika melihat eyang Uton berdiri di depannya dengan wajah sumringah dan bibir mengembang senyum manis. Pria tua itu berdiri di dekat pohon besar itu.

"Sini, nduk."

"Eyang?" Alisa bergumam sepi.
"Eyang datang untuk menjemput kamu," jawabnya terdengar jelas di telinga Alisa.

Alisa terdiam, melirik kiri-kanan. Segalanya sepi dan sunyi, hanya air hujan yang turun semakin deras dan angin membaur kencang.

"Sini, nduk. Eyang rindu sama kamu."

"Hiks, Alisa lelah, eyang."
"JANGAN MENDEKAT, ALISA!"

Belum sempat Alisa memeluk Eyang Uton, tiba-tiba dari arah belakang. Darma menarik tangannya, menyeretnya agar pergi dari sana. Tapi ia tumbang, terjatuh merasa kakinya sedang ditarik oleh sesuatu.
Kamang, pria itu menarik kakinya dengan wajah tersenyum sinis dan mata melotot merah. Alisa kini pucat pasi, merasa dikhianati oleh lelembut di sana. Ia pikir benar-benar Eyang Uton, ternyata bukan.

"Jangan sentuh dia!" Darma melempar batu besar ke arah Kamang, tapi nihil.
Kamang malah menyeret Darma ke segala sisi lalu melemparnya dari atas pohon yang tinggi.

BRAKKK

"Karena kamu, semua orang menjadi korbannya," jelas Darma kini lemah tidak berdaya dengan wajah berdarah dan tubuh penuh luka.

Wujud Kamang menghilang saat mendengar suara kidung–
–khas Eyang Uton bersenandung di tempat itu. Alisa terduduk lemah, menangis sesenggukan sehingga samar-samar ia mendengar suara Eyang Uton berbisik di telinganya.

"Pergi, nduk."

"Eyang?! Eyang, tolong Alisa!" Balas Alisa cepat, melihat sekelilingnya yang sepi dan sunyi.
Tiba-tiba Alisa merasakan seseorang memegang bahunya, lalu sedikit demi sedikit mengajak Alisa untuk berdiri dari duduknya.

"Eyang?"

"Pergi jauh dari sini."

Suara itu begitu halus dan lembut. Alisa tidak dapat melihat wujudnya sehingga tanpa sadar. Kini Darma menarik–
– tangannya dengan erat lalu mengajaknya berlari secepat mungkin.

"Darma, aku_"

"Jangan pikirkan aku, pikirkan dirimu sendiri."

Bukan tanpa alasan, kini Alisa melihat tubuh Darma sudah lemah, koyak, perutnya membusuk, dan kakinya pincang-pincang. Namun, ia tetap kuat untuk–
–berambisi menolong Alisa agar keluar dari sana. Hal itu yang membuat Alisa semakin terisak menangis.

Kini, mereka sudah berada di dalam rumah. Tinggal melewati itu mereka dapat keluar dari sana dengan selamat. Namun, takdir berkata lain. Saat melewati lorong di dalam rumah–
– terlihat semua pintu ruangan terbuka-tertutup seperti sedang diamuk oleh angin besar. Suasana semakin mencekam ketika semua lampu padam, tidak dapat memberikan penerangan bagi mereka.

"Masuk di sini berarti menetap untuk selamanya," lirih mereka hanyut dalam kekosongan.
Darma dan Alisa menegang, berdiri di tengah-tengah lorong dengan mata sesekali melirik salah satu ruangan itu.

Tampak di dalam ruangan, makhluk tak kasat mata dari berbagi jenis sudah memenuhi area, menatap mereka dengan tatapan tak wajar. Ada yang berjenis manusia–
– namun wajahnya hancur, ada yang mirip seperti hewan dengan lidah panjang menjulur keluar, ada juga yang berbadan tinggi besar dengan mata melotot merah, dan yang paling menakutkan adalah ribuan kepala yang melayang di udara.

"Kamu tau kan pintu keluar dimana?"
Alisa menggeleng cepat, "Meskipun tau, aku tidak yakin bisa selamat dari sini."

"Percaya pada dirimu sendiri, Alisa!"

"Hiks hiks, ayo mati bersama."

Mendengar hal itu, Darma semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tampak pria itu menghela napas panjang lalu samar-samar–
– terdengar seseorang tertawa riang seperti sedang mengejek mereka.

Mereka adalah Mbah Deris, Kun, Nyai Sepur yang sedang berada di ujung lorong. Sepertinya mereka memang iblis yang menyamar jadi manusia. Mereka terlalu kejam untuk disebut sebagai manusia.

"Apa mau kalian?"
Pertanyaan Darma semakin membuat mereka tertawa remeh. Terlihat mereka berjalan semakin dekat, sehingga membuat Alisa dan Darma mundur was-was.

"Serahkan wanita itu, dan selamatkan dirimu sendiri!"

Darma melirik Alisa yang kini sedang menangis lantaran takut.

"Ayo, Alisa."
Alisa menggeleng cepat, "Lebih baik kita mati bersama, Darma. Tolong, jangan serahkan aku sama mereka."

"Ayo, kita mati bersama," Lirih Darma malah menarik tangan Alisa, berlari sekencangnya melewati lorong itu.

Hal itu yang membuat seisi rumah mengamuk, mengejar dengan suara-
– suara yang begitu memekikkan telinga. Ada yang merangkak, menggelinding, melompat, segala jenis lelembut di sana seperti zombie yang kelaparan. Jangan lupa juga suara gamelan dan kidung yang kini mulai bersenandung semakin kencang. Saat hendak melewati Mbah Deris, Kun, dan–
– Nyai Sepur. Alisa dan Darma setengah mati kaget ketika melihat kepala mereka terpisah dari lehernya. Apa mungkin mereka juga sudah mati?

Mbah Deris ingin mendekati Alisa, namun Darma sigap membawa Alisa masuk ke salah satu ruangan yang cukup sepi dan kosong. Ia langsung–
– menutup pintu rapat-rapat, berdoa dengan tangis yang berderai supaya makhluk itu tidak bisa masuk ke dalam.

"Tutup jendela, Alisa!"

Untung saja Alisa sigap, menutup jendela dengan rapat-rapat. Terlihat makhluk itu juga memenuhi jendela, menjilat kacanya dengan mata melotot–
– murka. Hal itu yang membuat Alisa langsung menutup jendela dengan kain putih seadanya.

Terdengar di sekeliling ruangan itu, mereka mengamuk, memukul pintu, dinding, dan jendela seperti sedang berontak ingin dibukakan.

Darma merosot lemah, memuntahkan darah hitam yang begitu–
– menyakitkan untuk dirinya. Ia melirik tubuhnya yang sudah lemah dan penuh dengan luka. Apalagi perutnya yang kian membusuk, mengeluarkan darah dan bau yang cukup menyengat.

"Alisa_"

Ketika menengok, Darma begitu kaget dan kebingungan ketika melihat Alisa kini berdiri di–
–depannya, mulai menurunkan baju yang ia kenakan sehingga membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas.

"Apa yang kamu lakukan?" Darma memalingkan wajah, tidak ingin melihat jauh keadaan gadis itu.

"Ayo, Darma."

"Kalau aku tidak perawan, mereka tidak akan mengajar kita lagi."
Darma malah menangis terisak, memeluk tubuhnya begitu frustasi. Ia tak bisa bayangkan akhirnya akan seperti ini. Darma, Alisa, dan mungkin semua orang yang sudah menjadi korban ritual itu selama 17 tahun, mereka hanya ingin meminta keadilan untuk nyawa mereka.
###

Darah merah dan segar itu mulai menodai kain putih di ranjang sedikit demi sedikit sehingga akhirnya deras dan basah karena darah perawan Alisa.

Dua insan yang sedang berpelukan di atas ranjang tampak menangis, terisak meratapi nasib. Terdengar dari arah luar suara–
– makhluk itu semakin ribut. Kidung bersenandung begitu memekikkan telinga. Mengamuk sehingga membuat angin besar datang mengibaskan kain jendela yang kini menampakkan wujud Kamang yang sedang melotot murka dan beberapa makhluk tak kasat mata yang berteriak histeris.

"Huekkk!"
Darma lagi-lagi memuntahkan darah, kali ini begitu banyak sehingga membuat Alisa harus membantunya untuk duduk di sisi ranjang.

"A-alisa, maafkan aku."

Alisa menangis histeris ketika melihat Darma mulai berubah, matanya melotot keluar, lidahnya menjulur keluar, darah merah–
– mulai keluar dari seluruh lubang di wajahnya, baik dari mata, hidung, dan telinga. Ia mencabik-cabik perutnya lalu mencekik dirinya sendiri dengan kuat.

Hal ini berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Alisa. Gadis itu tiba-tiba berdiri, memecahkan kaca jendela, sehingga–
membuat seluruh makhluk itu leluasa masuk, menyeret tubuh lemah Alisa lalu menyiksanya dengan buas. Terdengar Alisa dan Darma sama-sama histeris kesakitan.

Pintu kini juga terbuka lebar, memberikan keluasan untuk makhluk di sana masuk, memenuhi ruangan yang kini sebagi bukti–
– tempat penyiksaan Alisa dan Darma sehingga akhirnya berakhir binasa.

Tidak ada yang selamat, pun orang-orang di balik ritual itu juga ikut binasa karena perbuatan bejat mereka.

TAMAT!
Maaf, karena terlalu memaksakan alur. Semoga kita semua bisa mengambil pesan moral di dalamnya.

Start : 5 Mei 2022
Finished: 4 Juni 2022

Sampai jumpa di petulangan selanjutnya.
Terimakasih karena sudah bertahan membaca cerita ini sampai akhir.

Jangan lupa follow ya :)

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Sans

Sans Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Retakwoi

May 7, 2022
MISOPHONIA (Bersuara = Mati) Chapter II

• Horror Thread •

#threadhorror #bacahorror #misophonia Image
Sebelumnya terima kasih sudah berani membaca Misophonia sampai chapter 2 ini. Kalian orang-orang terpilih yang menikmati kisah Alisa, gadis bersurai hitam dengan bibir pucat yang selalu menikmati hidup di tengah kekosongan.
Kata ustadzku, "Percaya pada hal ghaib merupakan salah satu bentuk keimanan kita kepada Allah swt."

Segala hal yang tak kasat mata, semua sebenarnya ada. Hanya saja kita memiliki batasan untuk mencapai hal tersebut.
Read 56 tweets
May 4, 2022
MISOPHONIA (Bersuara = mati)

• Horror Thread •

#threadhorror #bacahorror Image
Kata orang tua, sebelum mengawali sesuatu hendaknya mengucapkan "Bismillah".
Ucapan sakral yang membuat hubungan tali manusia dengan Tuhan tidak putus dan selalu dipelihara dalam perjalanan membaca thread ini.
Penulis berpesan, semoga kisah ini bisa dijadikan pembelajaran yang baik untuk kita semua. Agar, ketika berbicara selalu menjaga sopan santun dan tata krama setiap bertemu dengan orang baru.
Read 126 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(