"SEDULUR ALUS"

- HORROR THREAD-

@bacahorror #bacahorror
Karena beberapa pembaca mungkin bukan berasal dari Jawa. Jadi mungkin saja beberapa orang tidak tahu apa arti dari sedulur alus. Sedulur dalam Jawa berarti saudara sedangkan Alus berarti halus.
Namun, bukan berarti Sedulur Alus adalah saudara yang berperilaku halus seperti yang terpikirkan oleh beberapa di antara kalian.
Sedulur alus adalah saudara yang ada sejak kita didalam kandungan. Masyarakat Jawa percaya bahwa mereka adalah saudara yang hadir menemani kita sejak kita menjadi janin di dalam kandungan.
Dan ini berkaitan dengan kejadian beberapa tahun silam. Hal yang membuatku tidak habis pikir hingga saat ini. Jadi setelah ini akan aku bahas satu persatu kisahnya
Aku adalah anak tunggal. Dari sebuah keluarga yang kiranya cukup disegani di Desaku. Alasannya adalah Mbah Nang (sebutan untuk Simbah Laki-laki/ Kakek) adalah seorang yang tinggi kemampuan spiritual kejawennya.
Mbah Nang selalu dimintai tolong oleh banyak orang. Dari minta disembuhkan dari penyakit nonmedis, upacara adat, sampai berbagai keinginan lainnya. Itu membuat Mbah Nang dikenal dan disegani banyak orang bahkan mereka yang diluar kampung.
Sedangkan aku? Aku adalah cucu kesayangannya. Cucu yang sejak kecil selalu memilih tidur bersamanya dibanding dengan Ibu dan Bapak di kamar.
Tentu ini membuatku sedikit banyak mengerti hal-hal di luar nalar yang sering terjadi dengan Mbah Nang dan membuatku lebih banyak mendengar wejangan dan ilmu dibandingkan cucu cucu lainnya.
Saat itu, hampir disetiap malam aku akan dibangunkan dengan suara Mbah Nang yang bergonta ganti suara seperti sedang mengobrol dengan beberapa orang dalam satu waktu. Padahal sudah jelas di kamar itu hanya ada aku, Mbah Putri yang sedang sare (tidur) dan Mbah Nang.
Tapi aku sangat bisa merasakan bahwa malam-malam seperti itu. Kamar akan terasa sesak dan ramai. Ruangan yang berukuran empat kali empat itu akan terasa terisi penuh makhluk yang serasa sedang rapat membahas sebuah hal penting.
Biasanya, aku yang setengah sadar memilih memaksakan mataku untuk terpejam dan kembali terlelap.
Karena, Mbah Nang pernah berkata "Luwih becik siro gak reti opo-opo tinimbang tibakke mumet gak reti bakale kudu opo." (Lebih baik kamu tidak tahu apa-apa dibanding nanti pada akhirnya bingung harus apa)
Tapi malam itu berbeda. Entah kenapa aku sangat merasa penasaran dengan apa yang sedang Mbah Nang bicarakan.
Mbah Nang saat itu nampak sedang bersitegang dengan sosok lain. Padahal jika dilihat dengan mata normal, Mbah Nang hanya sedang duduk sendirian menghadap ke dinding dekat jendela yang tertutup rapat.
Aku mendengar suara Mbah Nang meninggi. Sedangkan dilain sisi, lawan bicaranya juga tak mau kalah tinggi. Suasana tegang mulai memenuhi ruangan yang sejak lama memang sudah biasa menjadi saksi bisu suasana seperti ini. Suasa aneh yang selalu diiringi kejadian di luar nalar.
Tiba-tiba kusadari Mbah Nang berhenti mengobrol. Seperti sedang mengecek sesuatu. Dan benar saja, Mbah Nang ternyata tahu jika aku hanya pura-pura tidur.
"Siro nopo gak turu?" (Kamu kenapa tidak tidur?) kata Mbah Nang sembari menepuk-nepuk kakiku. Aku yang sudah ketangkap basah lantas mengucek mataku dan memilih bangun untuk duduk di atas kasur.
"Mboten nopo-nopo Mbah Nang. Dereng saget." (Tidak kenapa-kenapa Mbah Nang. Belum bisa.) Jawabku yang bingung aku harus apa memilih mengedarkan pandangan mataku ke segala penjuru ruangan.
Ruangan yang sedari tadi terasa sesak dan ramai. Saat itu langsung terasa lega. Aneh. Aku merasa ganjal. Apakah Mbah Nang mengusir makhluk-makhluk tadi yang mengisi hampir penuh di setiap sudut ruang kamar ini?
"Yowis ndang mapan. Sesuk kudu sekolah to?" (Yasudah buruan tidur. Besok sekolah kan?)
"Nggih Mbah," jawabku singkat lalu memilih kembali tidur.
Pagi harinya, Mbah Nang menyuruhku berangkat sekolah. Tapi, ibu dan bapak diminta untuk datang ke kamarnya. Aku tidak tahu saat itu mereka membicarakan apa. Cerita ini aku dapat setelah Mbah Nang kembali ke Rahmatullah. Karena ibu dan bapak berani cerita setelahnya.
Pagi itu, Mbah Nang tidak biasanya memanggil Ibu selaku anak kandungnya dan Bapak untuk datang ke kamar miliknya. Kamar yang membuat sesiapa saja berpikir dua kali jika akan masuk.
Kamar yang walau di pagi atau bahkan siang hari akan selalu ditutup jendelanya secara rapat dan meninggalkan suasana gelap dan singup.
"Kula nuwun, Mbah."
(Permisi Mbah)
"Melbu o"
(Masuklah)
Mbah Nang saat itu sedang duduk bersila menghadap ke sebelah barat. Posisinya membelakangi Ibu dan Bapak yang saat ini ada di ambang pintu kamar.
Setelahnya, sepenuturan Ibu, Mbah Nang isi. Maksudnya Mbah Nang dirasuki sosok lain yang selama ini memang kerap silih berganti merasuki tubuh Mbah Nang. Sosok itu menjelaskan banyak hal sampai di titik bahwa aku, anaknya dilahirkan berbeda.
Aku dilahirkan sebagai getih anget dan beberapa kali sosok itu menyebut balung kuning. Tapi Ibu dan Bapak tidak begitu menangkap maksud dari arah pembicaraan saat itu. Karena sosok itu menggunakan kromo alus seperti Jawa Kuno. Membuat ibu dan bapak kesulitan memahami artinya.
Awalnya Ibu dan Bapak tidak begitu menggubris pembicaraan hari itu. Karena pada dasarnya Ibu dan Bapak tidak begitu memahami ilmu yang Mbah Nang miliki. Jadi sering kali mereka hanya mendengarkan lalu berusaha melupakan.
Jatuhnya mereka seperti orang yang menyepelekan.
Sampai suatu ketika. Hal itu terjadi. Hal yang membuat aku sampai saat ini juga dibuat bingung. Bagaimana hal itu bisa terjadi.
Hari itu, Bapak sangat marah. Aku tidak tahu kenapa Bapak hari itu begitu murka. Dasar temperamen Bapak yang lumayan tinggi membuatnya membanting-banting berbagai benda di rumah. Sampai hal tidak terduga terjadi.
Bapak menendangku hingga tersungkur di atas tanah. Aku yang saat itu masih kecil di tendang dan dicaci maki tanpa sebab. Hari itu aku benar-benar benci. Aku melihat dia bukan sebagai Bapakku. Melainkan orang yang menyakitiku.
Walaupun aku tidak tergores sama sekali. Bahkan badanku tidak terasa sakit. Dimana seharusnya secara logika tubuhku yang kecil ini seharusnya merasakan sakit.
Walaupun aku tidak merasakan pegal atau bahkan lebam. Tapi hari itu aku benar-benar sakit hati. Bagaimana mungkin tidak? Bapak kandungku menendangku sampai tersungkur?
Saat itu, aku benar-benar sakit hati. Aku bergumam. Bahwa aku membenci kaki itu yang menendangku hingga tersungkur. Aku juga membenci mulut itu yang terus memaki dan menyalahkanku.
Walau, Mbah Nang pernah memberiku wejangan untuk tidak "Mbatin Ala" ketika sedang marah. Hari itu aku justru melakukannya. Karena aku sudah terlanjur sakit diperlakuakan demikian. Tidak seharusnya anak seumuranku mendengar kalimat cacian yang Bapak lontarkan saat itu
Konon, Mbah Nang percaya bahwa aku memiliki kelebihan. Dimana ketika aku sakit hati atau marah. Dan jika aku sampai "Mbatin Ala" kepada orang yang menyakitiku. Itu akan menyebabkan bencana penyakit bagi orang yang menyakitiku.
Jujur aku yang masih kecil saat itu tidak begitu memahami maksud Mbah Nang. Tapi pada akhirnya aku tahu setelah kejadian yang menimpa Bapak.
Entah angin darimana. Tiba-tiba saja tanpa sebab Bapak tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kakinya bengkak seperti habis disengat puluhan lebah.
Bapak teriak-teriak meminta tolong. Membuat seisi rumah kaget dan segera bergegas ke kamar Bapak dan Ibuk yang letaknya ada di ujung depan rumah.
"Tulungg .. Tulung .. sikilku abuhh Buk" (Tolong .. Tolong .. kakiku bengkak Bu) kata Bapak saat itu.
"Lah ya Allah Gusti?! Nangopo sikilmu komono Pak?" (Ya Allah, kenapa kakimu seperti itu Pak?)
"Gak reti Buk. Tangi turu sikilku wis abuh kongene. Iki ya lambeku kok nyenyeh." (Tidak tahu Bu. Bangun tidur sudah bengkak seperti ini. Ini juga mulutku kok bernanah."
Mbah Nang, yang sudah lebih tau duduk permasalahannya akhirnya masuk perlahan ke kamar. Aku ingat, saat itu Mbah Nang, duduk di tepian kasur. Mbah Nang lantas memanggilku untuk ikut masuk ke dalam.
"Taa.. Taa ... Nduk, cah ayu. Mreneo" (Taa.. Taa.. Nduk, anak cantik. Kesinilah)
Aku yang saat itu baru berumur 7 tahun bergegas masuk menuju ke arah Mbah Nang. Dengan langkah kecilku aku sedikit berlari masuk.
"Pripun Mbah?" (Bagaimana Mbah?) tanyaku kepada Mbah Nang yang saat itu memilih memangkuku.
"Wingi siro Mbatin Ala apa kaliyan Bapak?" (Kemarin kamu bergumam buruk apa kepada Bapak?)
Aku yang saat itu kaget dengan pertanyaan Mbah Nang hanya menunduk diam.
Mbah Nang kemudian terkekeh. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu heran. Kenapa Mbah Nang terkekeh disaat situasi membingungkan ini.
"Wan, sampeyan wis tau dak kandani to ? Anakmu iku bedo. Ojo sampe moro tangan lan ngati-ati nek omong karo bocah iki." (Wan, kamu kan sudah kuberi tahu. Anakmu ini berbeda. Jangan sampe kamu main tangan dan berhati-hatilah berbicara dengan anak ini.)
Mbah Nang kemudian menjelaskan, bahwa kaki Bapak yang bengkak dan mulutnya yang nyenyeh adalah akibat dari perbuatannya melukaiku.
Mbah Nang mengatakan bahwa Sedulur Alus yang selalu menjagaku tidak terima dengan perilaku Bapak kepadaku. Itu membuat mereka bergerak untuk "membalas" perlakuan Bapak.
Ya, mereka. Karena itu lebih dari satu. Mbah Nang menyadari itu sejak Mbah Nang berdiskusi dengan mereka disetiap malam.
Kata Mbah Nang, aku memiliki "Sedulur Alus" yang siap pasang badan setiap kali aku disakiti. Wujudnya bisa dikatakan sangat mirip denganku. Sedangkan sisanya. Adalah penjaga yang ada sejak aku lahir. Mereka tidak ingin lepas dariku karena aku dilahirkan sebagai getih anget.
Bukti lainnya, saat beberapa bulan setelahnya ibuku dengan sengaja mencubitiku agar aku menangis. Ibuku mencubitiku yang tidak bersalah hanya karena luapan rasa kesal dengan Bapak.
Dimana keesokan harinya. Tangan ibu bengkak besar. Ciri-cirinya sama persis dengan bengkak yang dialami Bapak saat menendangku hingga tersungkur.
Lalu, ada lagi. Ini terjadi ketika aku berumur 15 tahun. Dimana saat itu aku suka mendalami sebuah aliran seni beladiri. Aku sangat aktif dan lumayan berprestasi dibidang itu. Hingga membuat salah satu temanku merasa iri dan memiliki niat buruk kepadaku.
Sebut saja namanya, Fira. Dia berulang kali ingin menjatuhkanku. Tapi selalu saja gagal. Hingga suatu hari, saat kita sedang latihan perlawanan. Dengan sengaja Fira mencoba menendang tulang keringku sekuat tenaga. Dimana ini sebenarnya merupakan sebuah pelanggaran.
Aku ingat, hari itu semua orang yang melihatku latihan berteriak keras saat melihat Fira mendaratkan tendangan ke tulang keringku. Tentu itu akan terasa amat sakit jika tendangan terkena di tulang kering. Buruknya bisa patah tulang.
Tapi syukur Alhamdulillah. Saat itu aku sama sekali tidak merasakan sakit. Lain halnya dengan Fira yang seharusnya tidak sakit justru merasa kesakitan luar biasa.
Fira berteriak histeris. Kakinya seketika bengkak besar dan muncul kucuran darah diujungnya. Membuat seluruh pelatihku segera bergegas membawanya ke rumah sakit.
Fira mengalami patah tulang. Ternyata darah yang muncul berasal dari tulang jari-jari Fira yang mencuat keluar merobek kulit.
Lalu ada lagi. Satu kisah yang membuatku jadi lebih berhati-hati. Belajar menjadi jiwa pengampun. Agar tidak sering "Mbatin Ala".
Kisah itu terjadi ketika aku berusia 18 tahun. Aku mengenal seorang laki-laki yang sebut saja namanya Segaf. Dia adalah laki-laki yang saat itu nampak sangat tertarik kepadaku.
Dalam kurun waktu 3 bulan. Aku dibuat jatuh cinta kepadanya. Hari-hariku dibuat berbunga dan merasa membutuhkan laki-laki itu. Sampai suatu ketika. Dia berkhianat. Dia selingkuh dan memilih gadis lain.
Aku dibuat benar-benar merasa hancur kehilangan orang yang kusayang. Hingga aku kembali "Mbatin Ala" bahkan sepertinya saat itu aku dengan kesadaran penuh dan sengaja berharap laki-laki itu harus merasa kehilangan orang yang dia sayang. Dan merasakan pesakitan berkali-kali lipat.
Aku saat itu tidak pernah menyangka dengan apa yang terjadi setelahnya. Sampai detik ini aku dibuat berpikir heran dengan kebetulan yang terjadi setelah aku "Mbatin Ala" kepada laki-laki itu.
Aku hanya berpikir bahwa "Mbatin Ala" itu wajar. Dan toh seharusnya itu tidak akan dia rasakan. Karena modelan laki-laki seperti itu bisa dipastikan sulit untuk merasa kehilangan orang yang dia sayang. Alasannya, dia tidak mudah sayang kepada sembarang orang.
Tapi siapa sangka. Sebulan setelah berakhirnya hubunganku dengan laki-laki itu. Aku mendapat kabar tidak terduga.
Salah satu kakak perempuannya dan salah satu kakak laki-laki nya. Orang yang sangat dia sayang setelah kedua orangtuanya. Orang yang selalu dia gaungkan kehebatannya setiap bertemu denganku. Secara mendadak meninggal secara tragis.
Kakaknya meninggal dengan kejanggalan di dada. Sedangkan kakak laki-lakinya meninggal karena kecelakaan di tengah hujan yang deras. Dimana aku sangat membenci hujan karena dia mencampakanku ditengah hujan deras kala itu.
Berulang kali aku merasa ini hanya kebetulan. Tapi disisi lain logikaku menolak dengan kebetulan berulang yang terus saja terjadi selama beberapa tahun.
Sampai pada akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa yang disebut dengan "Sedulur Alus" yang selama ini Mbah Nang sebut.
Sebenarnya, sejak aku umur 3 tahun, waktu dimana aku terus merengek tidak mau tidur di kamar sambil berteriak histeris menyebut-nyebut "Ularr .. Ular.. Besar, bermahkota." sambil menunjuk-nunjuk atas kasur. (Bsok di beda utas. Jika berkenan aku akan bahas ini.)
Mbah Nang sudah memagariku dan menutup mata batinku. Alasannya agar aku tidak begitu semakin dalam mengerti banyak hal yang kelak bisa membahayakan diriku sendiri.
Tapi, entah kenapa. Semakin bertambah usia. Aku justru semakin peka dan semakin terbuka. Pernah beberapa kali aku mengobrol bahkan sampai salim (mencium tangan kepada orang yang lebih tua) kepada "barang alus" yang kupikir saat itu manusia.
Siapa sangka hal ini berlanjut hingga pada suatu malam. Dimana ketika diriku sendiri yang bisa dikatakan belum siap. Harus bertemu dan melihat "Sedulur Alus" yang selama ini Mbah Nang katakan.
Malam itu. Aku sudah berada di rumah yang berbeda dengan Mbah Nang dan Mbak Dok (sebutan untuk Nenek). Karena syukur Alhamdulillah. Ibuk dan Bapak sudah diberi rejeki untuk memiliki rumah sendiri.
Posisi rumahnya, berada terpisah dari kumpulan rumah-rumah warga. Saat itu, benar-benar hanya rumah ini yang berdiri di sini. Di pojok kebun Salak yang rimbun, yang membuat siapa saja akan berpikir dua kali untuk mau mendirikan bangunan di sini. Bagaimana tidak?
Selain jauh dari kumpulan rumah-rumah warga dan berada di pojok berbatasan persis dengan kebun salak yang rimbun. Rumah ini juga berada di antara bentangan sawah yang luas di sebelah Barat,Utara dan Selatan-nya. Dan berdiri kokoh sendirian.
Bisa dipastikan jika aku menjerit akan sulit dijangkau oleh telinga tetangga sedesaku. Karena posisi rumah kami yang memang terpencil itu.
Dan malam itu. Aku ditinggal sendirian oleh Ibuk dan Bapak yang sedang memiliki urusan entah kemana.
Sejak sore aku berada di rumah sendirian. Dan aku merasa sedikit was-was. Sejak tadi aku merasa beberapa pasang mata tengah mengintaiku. Ini membuat perasaanku tidak nyaman.
Tapi aku menepisnya dengan memutar tembang lagu Jawa Asmarandana. Karena kebetulan saat itu aku harus melakukan persiapan untuk lomba nembang di Provinsi. Jadilah aku berniat memutarnya dan sesekali bersenandung untuk menghafalkan cengkok dan power dari sinden.
Aku ingat, saat itu orangtuaku meletakan "Koco Pengilon" yang cukup besar di ruang belakang yang posisinya tepat berada di pojok lorong rumahku. Panjangnya sekitar 70cm dan panjangnya sekitar 160cm dilengkapi kursi duduk yang saat itu tengah kupakai untuk duduk sambil nembang.
Namanya gadis remaja. Duduk di kursi yang menghadap "Koco Pengilon" yang cukup besar membuat naluriku sebagai perempuan tergerak. Tanganku asyik menyisir rambutku secara perlahan sambil senyum-senyum sendiri.
Aku merasa cantik malam itu. Aku yang memakai dress selutut warna hitam, terus asyik menembang tembang Jawa dan menyisir rambut secara perlahan di depan Pengilon.
Aku terus memainkan rambutku sembari terus melanjutan tembang demi tembang. Sedangkan mataku terfokus kepada rambutku yang saat itu sudah sepanjang dada. Sampai sebuah suara ikut menyaut untuk mengikutiku melantunkan tembang.
Suaranya begitu halus. Sangat halus dan enak di dengar. Namun nadanya yang lirih membuat siapa saja yang mendengar akan merasa bulu kuduknya berdiri.
Aku mulai mematung kala aku menyadari itu bukan suara dari rekaman sinden yang sedari tadi kuputar.
Seketika bulu kudukku berdiri. Benar-benar berdiri. Aku merasa takut dan bingung harus bereaksi bagaimana.
Perlahan aku mengangkat kepalaku naik ke arah "Koco Pengilon". Begitu perlahan, karena aku sudah menebak aku sudah tidak sendirian saat itu.
Dan benar saja. Di sana, tengah berdiri di belakangku. Seorang gadis yang perawakannya sama persis denganku, yang wajahnya sangat mirip denganku. Hanya saja kulitnya pucat pasi. Tengah menyeringai menatap ke arahku.
Sepersekian detik aku seperti terhipnotis. Tubuhku kaku dan hanya bisa menatap sosok itu. Sosok yang hampir semua halnya bahkan rambutnya sama persis denganku. Terkecuali dress yang kami pakai malam itu.
Aku ingat dia memakai dress selutut berwarna putih terang. Nyaris terlihat seperti cahaya. Berbeda denganku yang memakai dress selutut berwarna hitam malam itu.
Aku hanya diam mematung ketika melihatnya terus menyeringai. Jujur saja aku ketakutan. Tapi tubuhku seperti tak berdaya untuk bergerak meninggalkan tempat itu. Isi kepalaku benar-benar kacau.
Panikku bertambah tatkala mengingat perkataan Mbah Nang mengenai "Koco Pengilon" itu bisa menjadi jalur dimensi lain dan bisa digunakan menjadi perangkap jiwa manusia.
Aku benar-benar takut dengan sosok yang nyaris seratus persen mirip denganku yang saat itu tengah berdiri di belakangku. Dan aku juga takut dengan fakta bahwa aku berada di depan "Koco Pengilon"
Bersama sosok itu.
Bersyukur, Ibuk dan Bapak pulang kala itu. Aku yang semula mematung dan lemas karena ketakutan akhirnya kembali memiliki kekuatan untuk bergerak meninggalkan sosok yang sangat mirip denganku itu.
Sekuat tenaga aku menceritakan apa yang terjadi. Dengan tangan yang masih gemetar hebat dan wajahku yang pucat ketakutan. Aku menceritakan secara rinci kejadian diluar nalar barusan kepak Ibuk dan Bapak.
Sialnya, Ibuk dan Bapak hanya mendengarkannya degan sambi lalu. Seolah tidak ingin terlalu menggubris pembicaraanku. Aku tau, mereka melakukan itu karena tidak ingin merasa takut. Tapi aku benar-benar tidak habis pikir.
Bagimana bisa ibu malah berkata "Awakmu mik kekeselen iku. Kurang turu. Wis ndang turuo." (Kamu hanya kecapean itu. Kurang tidur. Sudah, buruan tidur.) Ketika aku yang baru saja nyaris mati jantungan karena dibuat kaget sekaligus takut dengan adanya sosok yg sama persis denganku
Ibuk dan Bapak benar-benar terlihat tidak percaya. Terutama Ibuk yang secara gamblang memperlihatkan ketidak percayaannya terhadap ceritaku. Dan itu membuatku mengurungkan niatku meneruskan ceritaku yang sebenarnya masih belum selesai.
----

Anggita yang kesal dengan respond Ibuk dan Bapaknya memilih bergegas ke kamar. Walau masih tersisa rasa takut, ia mencoba memberanikan diri melewati "Kaca Pengilon" itu untuk menuju ke kamarnya. Karena hanya itu jalan satu-satunya menuju ke kamarnya.
Dengan sedikit rasa keberanian. Ia mencoba melirik ke arah "Koco Pengilon" itu. Perlahan karena takut apa yang ia takutkan berada di sana. Tapi syukurlah. Sosok itu sudah tidak ada. Ia pun segera ngabrit ke kamarnya dan memilih tidur.
Di lain sisi, Ibuk dan Bapak tengah duduk di teras dengan perasaan khawatir.
"Opo maneh iku, Pak?" (Apa lagi itu pak?) "Kok Anggita, soyo mrene soyo kerep weruh le aneh-aneh" (Kok, Anggita semakin kesini semakin sering melihat yang tidak-tidak). Ujar Ibuk yang saat itu khawatir.
"Awakku yo gak ruh Buk. Aku yo samar." (Aku juga tidak tau Buk. Aku juga khawatir).
"Wis-wis. Rasah dibahas. Anggep wae kui halusinasine deknen."
(Sudah-sudah. Tidak usah dibahas. Anggap saja itu hanya halusinasinya).
"Taaapp.. tapii yo opo kok nng jero omah hlo Pak." (Taapp... Tapii ya apa, kok berada di dalam rumah Pak)
"Wis to Buk. Ora usah dibahas. Barang kongono seneng yen awakmu keweden ngono."
(Sudahlah Bu. Tidak perlu dibahas. Makhluk seperti itu senang jika kamu ketakutan begitu)
Siapa sangka. Malam itu. Ketika semua penghuni rumah terlelap dalam tidurnya. Sosok itu berdiri tepat di sampingku. Hingga konon kata Mbah Ijah. Salah seorang spiritual yang paham kondisiku saat itu. Sosok itu selalu berada di sampingku. Menemaniku kemanapun aku pergi.
Dan dia akan terus mengawasiku dan siapa saja yang menyakitiku. Mbah Ijah pernah bilang kepadaku bahwa sosok itulah yang selama ini menjagaku. Mbah Ijah percaya bahwa dia adalah alasan segala macam kesialan yang terjadi pada orang-orang yang menyakitiku, Allahualam Bissawab
Tapi bagiku kebetulan kembali. Malam itu, sebelum aku dengan kesal memilih tidur. Aku bergumam agar sosok itu datang saja ke Ibuk dan Bapak. Agar mereka percaya dengan perkataanku. Agar mereka tidak selalu menyepelekan apa yang selama ini telah kuceritakan.
Dan benar saja. Dari sepenuturan Ibuku. Malam itu. Sekitar pukul tiga dini hari. Tiba-tiba ibuk terbangun dari tidurnya. Dia merasa ada orang yang sedari tadi sibuk di ruang belakang. Ibuk pikir itu aku. Jadi dia bergegas bangun dan pergi mengecek apa yang mungkin aku lakukan.
Dengan cahaya remang-remang. Ibuk bisa melihat sosok sepertiku tengah berdiri di dapur. Dia menunduk. Ibuk pikir aku tengah kelaparan setelah memilih tidur tanpa makan terlebih dahulu karena kesal tadi.
"Nduk, nak ngelih mam o sate. Ibuk mau lebar tumbas sate. Kae ono ning mejo makan." (Nduk, kalau lapar makanlah sate. Ibuk tadi sudah beli sate. Itu ada di meja makan.) kata Ibuk yang kemudian bergegas ke kamar mandi karena merasa ingin buang air.
Usai dari kamar mandi ibu berniat kembali ke kamar untuk tidur. Sekilas ia melihat aku masih berdiri di tempat yang sama. Masih dengan posisi menunduk. Lalu setelah ibu perhatikan lagi. Sosok yang ibuk pikir adalah aku secara perlahan-lahan akan menoleh.
Karena cara menolehnya yang tidar wajar. Sangat perlahan. Membuat ibuk seketika sadar. Itu bukanlah aku. Seketika keringat dingin membanjiri telapak tangan ibuk. Ibuk lantas teringat bahwa tadi aku tidak memakai dress putih selutut melainkan memakai dress hitam selutut.
Ibu yang sudah sadar bahwa itu bukan aku. Segera memilih bergegas ke kamar. Tanpa bersuara atau tanpa menjerit ketakutan. Karena ibu paham jika dia menjerit malam itu. Bisa saja sosok itu justru menghampirinya atau mengikutinya.
Ibu sangat ketakutan. Dia berjalan dengan sisa tenaga yang ada. Kakinya terasa lemas kala dia mengetahui bahwa baru saja ia berhadapan dengan sosok yang sama persis dengan anaknya. Sosok yang memang sangat mirip seperti apa yang sudah diceritakan sebelumnya.
Ketakutan menyelimuti ibuk malam itu. Ia tidak bisa kembali tidur. Sesekali mencoba membangunkan Bapak agar menemaninya. Tapi tidak berhasil karena Bapak sangat lelah malam itu.
Ibu meringkuk ketakutan. Takut bila mana sosok itu tau bahwa ibuk sadar akan keberadaan sosok itu. Takut bila mana sosok itu akan ikut masuk ke kamar dan menemaninya malam itu. Takut karena ibuk sempat melihatnya tersenyum dibalik uraian rambut itu.
Syukurnya, suara Adzan berkumandang setelah itu. Dan bapak sudah terbangun dari tidurnya. Barulah setelah solat subuh Ibuk merasa aman dan merasa bisa untuk tidur dengan nyaman setelah melewati waktu yang terasa panjang karena ketakutan.
Hal seperti ini menjadi sering terjadi. "Sedulur Alus" yang Mbah Nang katakan dulu semakin kerap memperlihatkan wujudnya. Bahkan kepada orang-orang yang notabenenya hanya bertamu ke rumah kami.
Pernah suatu ketika. Ketika aku pulang dari latihan bela diri. Beberapa teman laki-lakiku berniat mampir ke rumahku. Melihat mereka yang sudah mau repot-repot mengantarku jadilah kupersilahkan untuk masuk sekedar minum teh hangat dan memakan beberapa camilan di rumahku.
Aku ingat, saat itu tengah sorop (surup). Waktu dimana siang tengah berganti ke malam. Waktu dimana yang kita sebut "mereka" biasanya keluar. Waktu yang disarankan untuk menutup rapat-rapat pintu dan jendela rumah. Karena sebagian dari mereka biasanya sangat usil ingin ikut masuk
Jadilah saat itu aku menutup pintu dan jendela rumahku yang saat itu sudah terisi ketiga teman laki-lakiku dan satu teman perempuanku. Sebut saja namanya, Iky, Farhan, Yanto dan Mbak Shafa. Mereka memang satu ekstrakurikuler denganku kala itu.
Jadi sebagian sudah pernah ke rumahku, kecuali Iky dan Farhan. Mereka terlihat kagum melihat rumahku yang posisinya berada ditengah-tengah sawah. "Enak ya Nggi, rumah kamu ga ribet sama tetangga," kata Iky berbasa-basi.
"Iya, lumayan. Ga harus denger suara tetangga yang gaenak"
Saat itu mereka sedang duduk di sofa ruang tengah. Sedangkan aku memilih berdiri bersandar di ambang pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dengan ruang belakang. Kami asyik mengobrol kala itu. Kecuali Iky dan Farhan yang kuperhatikan sedang senyum-senyum tidak jelas.
Mereka senyum-senyum seolah sedang malu-malu menatap orang yang mereka suka dan itu ke arahku. Ralat. Karena setelah kuperhatikan lagi mereka menatap ke arah belakangku. Ini membuatku aneh. Karena tidak ada orang lain selain kita berlima saat itu.
Tapi aku tidak menggubrisnya. Karena setelah itu mereka pulang. Walau mereka masih senyam senyum sendiri dan bagiku itu aneh. Tapi kubiarkan saja. Mereka berpamitan pulang bersama.
Besoknya. Mereka berdua tidak datang ke latihan. Katanya demam. Dan sepenuturan Mbak Shafa. Mereka takut untuk pergi ke rumahku lagi. Alasannya kalian tau apa?
Sore itu. Ketika yang lainnya asik mengobrol dan memakan camilan. Iky dan Farhan dibuat terpana dengan sosok yang wujudnya sama persis denganku. Katanya, perempuan itu cantik. Sama persis denganku. Bedanya kulitnya lebih putih dan berseri.
Sepanjang perjalanan pulang mereka terus memuji sosok itu. Bahkan mereka berdua sempat berebut untuk mendapatkan nomor ponselnya. Sampai mereka tiba di rumah Shafa. Dan membuat Shafa dan Yanto benar-benar tidak percaya dengan perkataan mereka berdua.
Berulang kali Shafa dan Yanto menkonfirmasi keberadaan sosok itu. Iki dan Farhan terus kekeh menjawab sosok itu terus berdiri dibelakangku dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Shafa dan Yanto saling pandang karena tidak percaya dengan perkataan temannya itu.
Iky dan Farhan terus saja berebut meminta nomor ponsel sosok itu ke Shafa. Hingga Shafa dan Yanto yang terlihat pucat ketakutan berusaha menjelaskan bahwa aku adalah anak tunggal. Tidak memiliki saudara perempuan apalagi saudara kembar.
Sebenarnya masih ada banyak cerita lain mengenai sosok "Sedulur Alus" ini. Tapi lain waktu saja akan aku akan ceritakan kembali di utas yang berbeda. Karena sejak semalam badanku terasa lelah dan dingin.
Terimakasih sudah membaca dan menyukai utas ini. Percaya atau tidak dengan semuanya. Aku tidak akan memaksakannya. Karena dari dulu aku tidak pernah memaksa oranglain untuk percaya dengan apa yang kualami. Sudah cukup baik bagiku, kalian semua membaca kisahku hingga sejauh ini.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Shankara Anggita

Shankara Anggita Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(